Pengaruh perlakuan panjang hari dan suhu terhadap pembungaan Gomphrena leontopiodes dan Ptilotus axillaris

(1)

PENGARUH PERLAKUAN PANJANG HARI DAN

SUHU TERHADAP PEMBUNGAAN

Gomphrena

leontopiodes

DAN

Ptilotus axillaris

Oleh

Chiqa Naida Graciosa A34304056

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

PENGARUH PERLAKUAN PANJANG HARI DAN

SUHU TERHADAP PEMBUNGAAN

Gomphrena

leontopiodes

DAN

Ptilotus axillaris

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Chiqa Naida Graciosa A34304056

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(3)

RINGKASAN

CHIQA NAIDA GRACIOSA. Pengaruh Perlakuan Panjang Hari dan Suhu terhadap Pembungaan Gomphrena leontopiodes dan Ptilotus axillaris. Dibimbing oleh KRISANTINI dan DEWI SUKMA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui panjang hari dan suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan pembungaan Gomphrena leontopiodes dan Ptilotus

axillaris yang merupakan flora endemik Australia. G. leontopiodes dan P. axillaris memiliki potensi untuk dibudidayakan menjadi tanaman hias pot dan

tanaman hias bedengan. Informasi budidaya kedua spesies tersebut masih terbatas karena tanaman belum pernah dibudidayakan dan masih belum banyak penelitian yang dilakukan. Penelitian ini adalah sebagai salah satu usaha mengembangkan tanaman G. leontopiodes dan P. axillaris agar dapat menjadi tanaman hias komersial. Hipotesis yang diajukan adalah dari kisaran perlakuan yang diberikan terdapat perlakuan panjang hari dan suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan pembungaan G. leontopiodes dan P. axillaris.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Agustus 2008 di The University of Queensland Gatton Campus, Australia. Penelitian dilakukan di dalam Research Greenhouse yang memiliki pengatur cahaya dan suhu. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor (kombinasi panjang hari dan suhu) yang terdiri dari 16 perlakuan. Masing – masing spesies yaitu G. leontopiodes dan P. axillaris memiliki enam ulangan. Data diolah dengan sidik ragam (uji F) apabila berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan duncan multiple range test (DMRT) pada taraf 5%.

Panjang hari yang digunakan adalah hari pendek (SD) 11 jam dan hari panjang (LD) 16 jam. Suhu yang digunakan adalah suhu rendah (LT) 25/10˚C (suhu siang/malam) dan suhu tinggi (HT) 35/20˚C. Seluruh kemungkinan kombinasi panjang hari dan suhu dilaksanakan termasuk transfer kondisi, yaitu perlakuan yang diikuti dengan perubahan suhu dan/atau panjang hari setelah minggu ke-8 dan dilakukan selama 4 minggu. Penelitian selesai dilakukan pada minggu ke-12.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak nyata mempercepat


(4)

G. leontopiodes. Perlakuan juga tidak mempengaruhi persentase tanaman G. leontopidoes yang memiliki bunga mekar di tiap perlakuan, namun perlakuan nyata mempengaruhi total bunga yang dimiliki tanaman dan penampakan tanaman. Perlakuan P8 (25/10˚C LDSD), P4 (35/20˚C LDSD) dan P1 (35/20˚C SD) adalah perlakuan yang memiliki total bunga lebih banyak dari perlakuan yang lain, sedangkan penampakan tanaman terlihat lebih baik pada perlakuan yang memiliki suhu 25/10˚C. Pada suhu 25/10˚C batang tanaman tumbuh tegak, penampakan tanaman tampak lebih kompak dan warna bunga lebih kuat. Perlakuan yang dinilai sesuai untuk pertumbuhan dan pembungaan dan disarankan sebagai perlakuan untuk budidaya G. leontopiodes adalah perlakuan dengan suhu 25/10˚C.

Hasil penelitian menunjukkan perlakuan tidak nyata mempercepat inisiasi kuncup bunga dan tidak nyata mempercepat mekarnya bunga P. axillaris, namun perlakuan nyata meningkatkan persentase jumlah tanaman yang memiliki bunga mekar pada tiap perlakuan. Seluruh tanaman pada perlakuan dengan suhu 25/10˚C dan 25/10˚C → 35/20˚C memiliki bunga mekar, sedangkan penampakan tanaman pada suhu 25/10˚C dan 25/10˚C → 35/20˚C dinilai lebih baik dari penampakan tanaman pada suhu lainnya. Perlakuan yang dinilai sesuai untuk pertumbuhan dan pembungaan dan disarankan sebagai perlakuan untuk budidaya P. axillaris adalah perlakuan dengan suhu 25/10˚C dan suhu 25/10˚C → 35/20˚C.


(5)

Judul : PENGARUH PERLAKUAN PANJANG HARI DAN SUHU TERHADAP PEMBUNGAAN Gomphrena leontopiodes DAN

Ptilotus axillaris Nama : Chiqa Naida Graciosa NRP : A34304056

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Krisantini, MSc. Dr. Dewi Sukma, SP.MSi.

NIP 131 476 604 NIP 132 166 488

Mengetahui. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. NIP 131 124 019


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1987. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Hudiarto Sukarman dan Ibu Evi Indrayani.

Pada tahun 1998 penulis lulus SD Islam Al–Azhar Bumi Serpong Damai (BSD), kemudian melanjutkan sekolah di SLTP Islam Al–Azhar BSD dan lulus pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan sekolah di SMU Plus Pembangunan Jaya, Bintaro Jaya dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebagai mahasiswa Program Studi Hortikultura, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.

Selama masa perkuliahan penulis pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian masa kepengurusan 2005-2006. Penulis adalah anggota dan pernah menjadi bendahara IAAS (International Association of Student in Agricultural and Related Sciences) Local Committee IPB periode 2005-2006 dan 2006-2007. Penulis pernah ikut serta sebagai panitia dalam berbagai kegiatan dan juga pernah ikut serta sebagai peserta dalam berbagai pelatihan.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Perlakuan Panjang Hari dan Suhu terhadap Pembungaan Gomphrena leontopiodes dan Ptilotus axillaris” dapat diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa penulis curahkan kepada suri tauladan Rasullulah Muhammad SAW. Penelitian ini dapat terlaksana dengan adanya kerjasama antara CNF (Centre for Native Floriculture) The University of Queensland, Australia dan Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih antara lain, kepada:

1. Dr. Ir. Krisantini, MSc dan Dr. Ir. Dewi Sukma, MSi, sebagai pembimbing skripsi yang telah memberi bimbingan, pengarahan dan bantuan selama masa penelitian dan penulisan skripsi.

2. Dr. Margaret E. Johnston, sebagai pembimbing dari The University of Queensland yang telah memberi kesempatan penelitian, bimbingan, pengarahan dan bantuan.

3. Dr. Ir. Endah R. Palupi, MSc, sebagai penguji skripsi yang telah memberi saran dan masukan untuk perbaikan skripsi.

4. Ir. Megayani Sri Rahayu, MS, sebagai pembimbing akademik yang telah memberi arahan dan nasehat akademik.

5. Kedua orang tua, Hudiarto Sukarman dan Evi Indrayani, serta adik, Bryna Melina Elvia yang selalu mendukung, membantu, menyemangati dan mendoakan.

6. Irvan Setya Adjie dan Diajeng Peni Purnamasari yang telah memberi perhatian, bantuan dan doa.

7. Ade Damayanti dan Sri Wahyuni yang telah menyemangati dan memberi bantuan selama masa penelitian dan penulisan skripsi.

8. Bradley Pearce, Brigitte Pruess dan Chris George yang telah banyak membantu.

9. Teman–teman kelas horti 41 (hortifamily) 10.Teman–teman IAAS LC IPB


(8)

11.Teman–teman di Wisma Mega I dan teman–teman di Pondok Putri Rahmah

12.Pihak-pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan florikultura Indonesia dan semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2009


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Gomphrena leontopiodes... 4

2.2. Botani Tanaman Ptilotus axillaris... 6

2.3. Fisiologi Pembungaan ... 8

2.4. Panjang Hari dan Pembungaan... 10

2.5. Interaksi Suhu dan Panjang Hari serta Pengaruhnya terhadap Pembungaan ... 11

2.6. Media dan Pupuk ... 13

BAB III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

3.2. Bahan dan Alat ... 16

3.3. Metode Penelitian ... 18

3.4. Pelaksanaan ... 21

3.5. Pengamatan ... 25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum ... 26

4.2. Daya Berkecambah ... 27

4.3. Pembungaan Tanaman ... 28

4.4. Jumlah Kuncup Bunga, Bunga Mekar dan Total Bunga ... 35

4.5. Jumlah Daun pada Berbagai Waktu Pengamatan... 38

4.6. Penampakan Tanaman ... 41

4.7. Perlakuan yang Diduga Sesuai untuk Pertumbuhan dan Pembungaan... 43

4.8. Daerah di Indonesia yang Diduga Sesuai untuk Budidaya... 45

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 47

5.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA... 46


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Persentase Daya Berkecambah (DB) Benih pada Penyemaian

Pertama dan Kedua... 27 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Percobaan Gomphrena-

leontopiodes dan Ptilotus axillaris... 29 3. Saat Muncul Kuncup Bunga Gomphrena leontopiodes dan

Ptilotus axillaris... 31 4. Persentase Tanaman Gomphrena leontopiodes yang Memiliki

Bunga Mekar pada Setiap Perlakuan ... 32 5. Persentase Tanaman Ptilotus axillaris yang Memiliki Bunga

Mekar pada Setiap Perlakuan ... 33 6. Saat Mekar Bunga Gomphrena leontopiodes dan Ptilotus axillaris 35 7. Jumlah Kuncup Bunga, Bunga Mekar, dan Total Bunga

Gomphrena leontopiodes ... 37 8. Jumlah Kuncup Bunga, Bunga Mekar, dan Total Bunga Ptilotus-

axillaris... 38 9. Jumlah Daun Gomphrena leontopiodes pada Berbagai Waktu

Pengamatan... 40 10. Jumlah Daun Ptilotus axillaris pada Berbagai Waktu Pengamatan 41

Lampiran

1. Suhu Harian Gatton Tanggal 1-14 April 2008 ... 49 2. Suhu Bulan Januari-Desember Longreach Tahun 1966-2008... 49 3. Analisis Sidik Ragam Pembungaan Gomphrena leontopiodes... 50 4. Transformasi Hasil Sidik Ragam Pembungaan Gomphrena-

leontopiodes ... 51 5. Analisis Sidik Ragam Pembungaan Ptilotus axillaris... 52


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. a. Bunga Gomphrena leontopiodes Warna Putih; b. Bunga

Gomphrena leontopiodes Warna Ungu Kemerahmudaan ... 4 2. a. Gomphrena globosa (www.mobot.org); b. Celosia plumosa

(www.amigadasflores.blogspot.com); c. Celosia argentea cv.

Cristata(www.botanik.uni-karlsruhe.de)... 5 3. Ptilotus axillaris Koleksi Nurseri UQ Gatton Campus ... 6 4. a. Ptilotus exaltatus cv. Joey (www.tmato.com) b. Ptilotus

macrocephalus (www.pinkertonforest.com).... 7 5. Model Sederhana Empat Jalur Kontrol Pembungaan pada

Arabidopsisthaliana (Corbesier dan Coupland 2006) ... 9 6. a. Mikroskop; b. Kaca Pembesar; c. Pot-pot Kecil yang Sudah Diisi Media Pembibitan ... 16 7. a. Colour Tag; b. Mesin Label; c.LI-400 Data Logger untuk

Mengukur Intensitas Cahaya ... 18 8. a Benih Gomphrenaleontopiodes;b. Benih Ptilotusaxillaris... 21

9. a. Perendaman Benih dalam Sterilan Klorin pada Sterilisasi;

b. Penanaman Benih ... 23 10. Penanaman Tanaman ke dalam Pot... 25 11. a. Kuncup Bunga Ptilotus axillaris; b. Kuncup Bunga Gomphrena

leontopiodes ... 29 12. a. Bunga Ptilotusaxillaris mekar; b. Bunga Gomphrena

leontopiodes mekar ... 34 13. Tanaman Gomphrena leontopiodes: a.P8 (25/10˚C LDSD);

b. P4 (35/20˚C LDSD); c. P1 (35/20˚C SD)... 36 14. Tanaman Ptilotus axillaris perlakuan: a. P8 (25/10˚C SDLD);


(12)

Lampiran

1. a. Bangunan Research Greenhouse Tampak Kanan; b. Bangunan Research Greenhouse tampak kiri ... 53 2. Layout Percobaan Sebelum Transfer Dilakukan ... 54 3. Layout Percobaan Setelah Transfer Dilakukan ... 55 4. Tanaman Gomphrena leontopiodes pada Perlakuan: a.25/10°C

SDLD; b. 25/10°C SD; c. 25/10°C LD; d. 25/10°C LDSD... 56 5. Tanaman Gomphrena leontopiodes pada Perlakuan: a. 35/20°C

SDLD; b. 35/20°C SD; c. 35/20°C LD; d. 35/20°C LDSD ... 56 6. Tanaman Gomphrena leontopiodes pada Perlakuan: a. 25/10°C→

35/20°C SDLD; b. 25/10°C→35/20°C SD; c. 25/10°C→35/20°C LD; d. 25/10°C→35/20°C LDSD... 57 7. Tanaman Gomphrena leontopiodes pada Perlakuan: a. 35/20°C→

25/10°C SDLD; b. 35/20→25/10°C LD; c. 35/20→25/10°C SD; d. 35/20→25/10°C °C LDSD... 57 8. Tanaman Ptilotus axillaris pada Perlakuan: a. 25/10°C SD; b. 25°C

LDSD; c. 25/10°C LD; d. 25/10°C SDLD ... 58 9. Tanaman Ptilotus axillaris pada Perlakuan: a. 25/10°C →35/20°C

SDLD; b. 25/10°C →35/20°C SD; c. 25/10°C →35/20°C LD;

d. 25/10°C →35/20°C LDSD... 58 10. Tanaman Ptilotus axillaris pada Perlakuan: a. 35/20°C SDLD;

b. 35/20°C SD; c. 35/20°C LD; d. 35/20°C LDSD ... 59 11. Tanaman Ptilotus axillaris pada Perlakuan: a. 35/20°C → 25/10°C

SDLD; b. 35/20°C → 25/10°C SD; c. 35/20°C → 25/10°C LD; d. 35/20°C → 25/10°C LDSD... 59 12. Tanaman Gomphrena leontopiodes yang berada di luar greenhouse 60 13. Peta Topografi Indonesia dan Australia... 60 14. Peta Iklim Indonesia dan Australia... 61 15. a. Peta Suhu pada Bulan Januari di Indonesia dan Australia; b. Peta


(13)

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman hias merupakan komoditas hortikultura yang memiliki keindahan estetika pada bunga, daun, batang maupun bonggol akarnya. Dunia tanaman hias senantiasa memerlukan jenis dan kultivar tanaman hias baru untuk diperkenalkan, karenanya diperlukan usaha untuk menambah keragaman pilihan dan variasi tanaman hias yang ada. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mendapatkan jenis tanaman hias baru adalah mengembangkan spesies tanaman lokal atau endemik yang memiliki potensi dengan cara memperbaiki sifat dan membudidayakannya yang dikenal dengan domestikasi. Domestikasi diharapkan dapat menambah nilai tanaman dan memungkinkan tanaman untuk dirilis menjadi tanaman hias baru.

Gomphrena leontopiodes dan Ptilotus axillaris merupakan flora endemik Australia yang memiliki potensi menjadi tanaman hias pot dan tanaman hias bedengan. Kedua spesies ini termasuk ke dalam anggota famili Amaranthaceae. Saat ini belum terdapat informasi yang memadai tentang budidaya dan syarat tumbuh G. leontopiodes dan P. axillaris karena tanaman belum pernah dibudidayakan dan belum banyak penelitian yang dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari fisiologi pembungaan G. leontopiodes dan P. axillaris.

Tanaman merespon keadaan lingkungan yang diterimanya yaitu suhu dan cahaya sebagai sinyal untuk berbunga. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Porat et al. (1995) pada Celosia plumosa (Amaranthaceae) menunjukkan bahwa hari panjang (16 jam) dapat menghambat pembungaan C. plumosa, sedangkan peningkatan suhu lingkungan dari 17/12°C menjadi 27/22°C dapat meningkatkan laju pertumbuhan, panjang batang, panjang bunga majemuk tanaman serta dapat mempercepat waktu pembungaan. C. plumosa kemudian diklasifikasikan menjadi tanaman hari pendek kualitatif.

Menurut Hopkins (2004), tanaman dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan kebutuhan panjang hari untuk berbunga, yaitu tanaman


(15)

hari panjang, tanaman hari pendek dan tanaman hari netral. Kebutuhan panjang hari dapat bersifat obligat (kualitatif) apabila tanaman tersebut hanya akan memiliki bunga dibawah kondisi panjang hari tersebut dan fakultatif (kuantitatif) apabila tanaman memiliki bunga lebih cepat di salah satu kondisi panjang hari.

Belum diketahui panjang hari yang dibutuhkan oleh G. leontopiodes dan P. axillaris untuk berbunga. Di alam bebas, tanaman G. leontopiodes dapat

ditemukan di daerah yang dekat dengan daerah yang bernama Longreach sedangkan tanaman dari genus Ptilotus dapat ditemukan di daerah yang dekat dengan Longreach, di daerah yang bernama Cunnamulla dan Winton, Queensland, Australia.

Tanaman G. leontopiodes yang digunakan pada penelitian memiliki bunga berwarna ungu kemerahmudaan. G. leontopiodes dinilai sesuai untuk

dikembangkan sebagai tanaman hias pot dan tanaman hias bedengan. G. leontopiodes tumbuh di daerah agak kering hingga kering benua Australia

sehingga memiliki sifat toleran kering. Anggota genus Gomphrena yang telah umum dikenal adalah Gomphrena globosa, yang bernama lokal bunga kancing atau bachelor’s button. Hopkins (2004) menyebutkan, spesies G. globosa merupakan tanaman hari netral yang artinya tanaman yang pembungaannya tidak dipengaruhi oleh panjang hari.

Williams et al. (1989) menyebutkan Ptilotus terdiri dari sekitar 100 spesies tanaman yang sebagian besarnya adalah spesies endemik Australia. Ptilotus tumbuh di wilayah agak kering hingga kering sehingga memiliki sifat toleran kering seperti G. leontopiodes. Harrison et al. (2007) menyatakan P. axillaris adalah tanaman yang memiliki bunga majemuk yang banyak dan bertekstur lembut, berwarna putih atau merah muda, memiliki batang yang tumbuh mendatar di permukaan tanah yang dinilai sesuai menjadi tanaman hias pot gantung.

Menurut Johnston dan Joyce (2006) sifat toleran kering yang dimiliki kedua spesies tersebut menjadi nilai tambah karena tanaman tidak memerlukan banyak air dalam hal konsumsi air. Hal tersebut selaras dengan kebijakan pemerintah negara bagian Queensland yang memberlakukan peraturan penghematan penggunaan air tanah termasuk penggunaan air untuk menyiram di


(16)

pekarangan. Kedua spesies tersebut dapat dipromosikan sebagai tanaman hias yang disarankan untuk ditanam atau sebagai susbstitusi tanaman hias di pekarangan.

Informasi mengenai suhu lingkungan dan kebutuhan panjang hari yang sesuai untuk pembungaan tanaman akan sangat bermanfaat pada saat tanaman diproduksi secara komersial. Informasi tersebut dapat membantu produsen menghasilkan produksi berkelanjutan dalam rangka memenuhi permintaan pasar.

1.2. Tujuan

Mengetahui panjang hari dan suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan pembungaan G. leontopiodes dan P. axillaris.

1.3. Hipotesis

Dari kisaran perlakuan yang diuji, terdapat perlakuan panjang hari dan suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan pembungaan G. leontopiodes dan P.axillaris.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Botani Tanaman Gomphrena leontopiodes

Tanaman Gomphrenaleontopiodes termasuk ke dalam: Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Caryopyllales Famili : Amaranthaceae Genus : Gomphrena

Spesies : Gomphrena leontopiodes

Pustaka mengenai tanaman G. leontopiodes masih terbatas karena tanaman G. leontopiodes belum pernah dibudidayakan dan belum banyak diteliti. Nurseri UQ Gatton Campus memiliki tanaman G. leontopiodes dengan bunga berwarna putih dan berwarna ungu kemerahmudaan (Gambar 1). Tanaman G. leontopiodes yang berwarna ungu kemerahmudaan adalah yang digunakan pada penelitian ini. Habitat tanaman G. leontopiodes di alam Australia adalah daerah dengan iklim

yang panas dan kering. Menurut Johnston dan Joyce (2006) tanaman G. leontopidoes adalah tanaman yang tidak membutuhkan banyak air.

Gambar 1. a. Bunga Gomphrena leontopiodes Warna Putih; b. Bunga Gomphrena- leontopiodes Warna Ungu Kemerahmudaan


(18)

Spesies dari genus Gomphrena yang telah lebih dikenal di Australia adalah Gomphrena globosa (Gambar 2a). Ratnasari (2007) menyebutkan G. globosa adalah tanaman hias yang ada di Indonesia dan memiliki nama lokal bunga kancing atau bachelor’s button. Menurut Gilman dan Howe (1999) G. globosa adalah tanaman yang memiliki bunga berbentuk globular yang relatif kecil dan memiliki kultivar dengan bunga berwarna ungu, merah muda, kuning atau putih. Tanaman G. globosa adalah tanaman hias yang biasa digunakan sebagai tanaman bedengan, tanaman dalam pot dan tanaman sela. Keunggulan bunga tanaman G.globosa adalahmeskipun kering warna bunga tidak akan pudar

sehinga dapat dijadikan hiasan bunga kering di dalam rumah. Tanaman G. globosa dapat tumbuh tinggi mencapai 18 inch (± 46 cm). Tanaman

membutuhkan sinar matahari penuh dan media yang tidak terlalu lembab. Perbanyakan tanaman G. globosa dapat dilakukan dengan cara menanam benih langsung ke media. Umumnya, tanaman G. globosa toleran terhadap serangan hama dan penyakit.

Menurut Ratnasari (2007) tanaman hias dari famili Amaranthaceae yang terdapat di Indonesia selain G. globosa adalah Celosia plumosa (Gambar 2b) dan Celosia argentea cv. Cristata (Gambar 2c), ketiga tanaman hias tersebut biasa digunakan sebagai tanaman hias bedengan. Tanaman G. globosa dan tanaman C.argentea cv. Cristata juga memiliki kegunaan lain sebagai tanaman obat.

Gambar 2. a. Gomphrena globosa (www.mobot.org); b. Celosia plumosa (www.amigadasflores.blogspot.com); c. Celosia argentea cv. Cristata(www.botanik.uni-karlsruhe.de).


(19)

2.2. Botani Tanaman Ptilotus axillaris

Tanaman Ptilotus axillaris termasuk kedalam: Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida Ordo : Caryophyllales Famili : Amaranthaceae Genus : Ptilotus

Spesies : Ptilotus axillaris

Ptilotus spp. terdiri dari sekitar 100 spesies tanaman yang sebagian besar adalah spesies endemik Australia yang hidup di kawasan agak kering hingga kering (Williams et al., 1989). Sebagian kecil spesies dari Ptilotus spp. ditemukan di kawasan Tasmania dan Malaysia (Anonim, 2008). Pada umumnya Ptilotus spp. merupakan tanaman herba semusim atau dwimusiman (Bennel dan Williams, 1992), namun juga terdapat Ptilotus spp. yang merupakan tanaman tahunan (Williams dan Jones, 1994).

Ptilotus spp. memiliki nama lokal mulla-mulla atau pussy tails karena bentuk bunganya yang menyerupai buntut kucing(Anonim, 2008). Ptilotus spp. memiliki ciri morfologi yang beragam, ada yang memiliki batang tumbuh mendatar di atas permukaan tanah (P. axillaris, Gambar 3), memiliki batang tumbuh tegak (P. exaltatus, Gambar 4a) atau merupakan tanaman semak pendek berkayu (Kok Kiong et al., 2007).


(20)

Tanaman P. axillaris umumnya berbunga pada saat musim dingin hingga musim semi (Wrigley dan Fagg, 1979 dan Galbraith, 1977 dalam Williams, 1995). Tanaman P. axillaris adalah tanaman yang memproduksi banyak bunga majemuk yang bertekstur lembut, berwarna putih atau merah muda, memiliki batang yang tumbuh mendatar di permukaan tanah dan dinilai potensial untuk dijadikan tanaman hias pot gantung (Harrison et al., 2007).

Beberapa spesies Ptilotus spp. memiliki bunga majemuk berukuran besar dan berbulu dinilai menarik sebagai tanaman hias dalam bentuk segar maupun tanaman hias kering (Williams, 1989). Salah satu keunggulan Ptilotus spp. adalah vase life yang panjang dan toleransi sebagian besar Ptilotus spp. pada kondisi lingkungan yang kering (Harrison et al., 2007). P. exaltatus dapat tumbuh dan berbunga dengan baik dibawah suhu harian minimum 20°C dan sinar matahari penuh (Bennel, 1984 tidak dipublikasikan dalam Williams, 1992). Sebuah riset pasar yang dilakukan oleh CNF (Centre for Native Floriculture) diketahui bahwa pasar tanaman hias di Jepang menyukai bentuk dan warna bunga tanaman P. macrocephalus (Gambar 4b) yang berwarna kehijauan (Johnston dan Joyce, 2006).

Melalui penelitian reproduksi biologi dan kecocokan silang antarspesies

Ptilotus spp yang sudah dilakukan, diketahui P. nobilis, P. exaltatus, P. macrocephalus dan P. schwartzii potensial untuk dijadikan bunga potong.

P. nobilis dan P. exaltatus juga potensial dijadikan tanaman hias pot seperti Gambar 4. a. Ptilotus exaltatus cv. Joey (www.tmato.com); b. Ptilotus

macrocephalus (www.pinkertonforest.com). b a


(21)

halnya P. helipteoides, P. latifolius, P. spicatus dan P. axillaris (Harrison et al., 2007). Selanjutnya melalui penelitian tingkat molekuler yang telah dilakukan, diajukan usulan untuk merubah nama P. exaltatus menjadi P. nobilis karena dinilai merupakan spesies yang sama namun memiliki warna yang berbeda (Kok Kiong et al., 2007).

Baru terdapat sejumlah kecil kultivar Ptilotus spp. yang sudah dibudidayakan secara komersial sebagai bunga potong, yaitu P. exaltatus cv. Pink feather dan P. obovatus cv. Cobtus yang merupakan hasil seleksi The University of Sydney Plant Breeding Institute. Kultivar P. exaltatus cv. Musk sticks sudah diperkenalkan kepada usaha nurseri di Australia, namun produksi komersial Ptilotus spp. masih terbatas meskipun budidayanya relatif mudah dilakukan dan bunga yang dihasilkan banyak (Harrison et al., 2007).

2.3. Fisiologi Pembungaan

Corbesier dan Coupland (2006) menyebutkan sedikitnya terdapat empat faktor yang mempengaruhi pembungaan. Dua faktor bersifat endogen yaitu giberelin dan autonomous. Dua faktor lain bersifat eksogen yaitu fotoperiode (panjang hari) dan vernalisasi. Empat faktor pembungaan tersebut dapat mengaktifkan gen FLOWERING LOCUS T (FT) dan gen SUPRESSOR OF OVEREXPRESSION OF CO1 (SOC1) atau yang disebut floral integrator. SOC1 dan FT akan bekerja mendorong ekspresi gen APETALA1 (AP1) dan LEAFY (LFY) yang berfungsi dalam pembentukan primordia bunga (Gambar 5).

Thomas dan Vince-Prue (1997) dalam Thomas (2006) menyatakan vernalisasi memungkinkan tanaman berbunga setelah tanaman mendapatkan perlakuan suhu rendah, sedangkan fotoperiode memungkinkan terjadinya induksi pembungaan karena adanya sinyal perbedaan panjang hari yang diterima tanaman. Thomas (2006) menyebutkan Arabidopsis thaliana merupakan tanaman hari panjang dan adalah salah satu contoh yang jelas bahwa tanaman merespon perbedaan panjang hari. Menurut Vince-Prue (2002) respon tanaman terhadap panjang hari adalah adanya sinyal pembungaan oleh floral stimulus yang ditranslokasi dari daun ke meristem apikal. Floral stimulus menginduksi


(22)

pembungaan dan merubah meristem apikal yang vegetatif menjadi generatif. Tanaman kemudian akan membentuk kuncup bunga.

Salisbury (1992) menyebutkan florigen adalah stimulus berupa senyawa kimia yang dapat menginduksi pembungaan tanaman. Konsep florigen pertama kali diperkenalkan oleh seorang peneliti Rusia bernama Chailakhyan pada tahun 1937. Chailakhyan melakukan percobaan menyambung tanaman terinduksi pembungaan pada tanaman tanpa-induksi pembungaan dan diletakkan di bawah kondisi hari panjang non induktif, hasilnya tanaman tanpa-induksi berbunga. Pengamatan yang dilakukan Chailakhyan menunjukkan terdapat senyawa kimia pembawa sinyal induksi pembungaan yang melintasi sambungan yang diduga adalah florigen. Penelitian yang bertujuan untuk mengekstrak florigen dari tanaman sudah banyak dilakukan namun hingga kini belum berhasil. Menurut Corbesier and Coupland (2006) perkembangan lebih lanjut dari banyak penelitian dan tinjauan dalam jurnal mengenai pembungaan dan florigen menduga gen FT adalah florigen yang selama ini dicari oleh para peneliti.

Menurut Bernier (1988) dalam Corbesier and Coupland (2006) sinyal induksi pembungaan oleh suhu rendah diterima pucuk tanaman, sedangkan sinyal induksi pembungaan oleh perbedaan panjang hari diterima oleh daun tanaman

FD LFY SOC1 Photoperiodic pathway Autonomous pathway Vernalization pathway Gibberellin pathway Circadian clock Light quality

GI CO

FT FD AP1 Flower morphogenesis Ambient temperature FLC

Gambar 5. Model Sederhana Empat Jalur Kontrol Pembungaan pada Arabidopsis- thaliana (Corbesier dan Coupland, 2006).


(23)

yang sudah mencapai kompetensi atau kematangan untuk tanggap. Erwin (2005) menambahkan stimulus pembungaan dari daun ke meristem pucuk juga akan diterima setelah meristem pucuk mencapai kompetensi. Salisbury (1992) menyatakan waktu tanaman untuk mencapai kompetensi bergantung pada spesies tanaman tersebut. Sebagai contoh yaitu, tanaman henbane akan dapat tanggap terhadap perlakuan hari panjang setelah tanaman berumur 10 sampai 30 hari, sedangkan Motum dan Goodwin (1986) mengemukakan tanaman kangaroo paw akan dapat berbunga setelah umbi tanaman mencapai ukuran tertentu.

2.4. Panjang Hari dan Pembungaan

Iannucci (2008) menyebutkan fotoperiodisme adalah suatu mekanisme merespon durasi, kualitas dan energi radiasi cahaya. Fotoperiodisme membuat tanaman dapat merespon perubahan panjang hari dan berbunga di waktu tertentu dalam setahun. Menurut Hopkins (2004) tanaman hari pendek adalah tanaman yang berbunga lebih awal (bersifat kuantitatif) atau hanya akan berbunga (bersifat kualitatif) apabila periode terang kurang dari titik kritis. Tanaman hari panjang adalah tanaman yang berbunga lebih awal (bersifat kuantitatif) atau hanya akan berbunga (bersifat kualitatif) jika periode terang yang diterima melebihi titik kritis. Tanaman netral adalah tanaman yang pembungaannya tidak dipengaruhi oleh panjang hari.

Hempel et al. (1998) dalam Jaeger et al. (2006) menyebutkan meristem pucuk tanaman yang pada awalnya vegetatif dapat berubah menjadi generatif setelah adanya sinyal induksi pembungaan dari hari panjang. Sebagai contoh yaitu, Islam et al. (2005) menyatakan tanaman Lisianthus (Eustoma grandiflorum) akan lebih cepat berbunga pada perlakuan hari panjang, Halevy (2001) menyatakan pembungaan tanaman Rice flower (Ozothamnus diosmofolius) akan diinduksi dan diinisiasi oleh perlakuan hari panjang dan Verheul et al. (2006) menyatakan jumlah bunga majemuk tanaman Stroberi (Fragaria x ananasa) lebih banyak pada perlakuan hari panjang, sedangkan menurut Dawson dan King (1993) tanaman Geraldton wax (Chamelaucium uncinatum) adalah tanaman yang akan terinduksi untuk berbunga pada perlakuan hari pendek.


(24)

2.4.1. Proses Pembungaan pada Tanaman Hari Panjang

Peningkatan ekspresi gen CONSTANS (CO) akan mendorong pembungaan pada tanaman hari panjang. Ekspresi gen CO akan meningkat seiring menuju akhir dari hari panjang dan puncaknya akan dicapai sekitar 12 jam setelah waktu terang dimulai. CO akan tetap tinggi selama waktu gelap hingga waktu terang berikutnya. Rangsangan cahaya kemudian membuat CO mengaktifasi transkripsi gen FLOWERING LOCUS T (FT). FT diregulasi di dalam daun, dimana lalu FT mRNA akan ditranslokasi menuju pucuk dan berinteraksi dengan FLOWERING LOCUS D (FD) menghasilkan inisiasi pembungaan (Thomas, 2006).

2.4.2. Proses Pembungaan pada Tanaman Hari Pendek

Pada spesies tanaman hari pendek terdapat komponen umum yang juga terdapat pada A. thaliana (spesies tanaman hari panjang). Komponen ini ikut berperan dalam merespon panjang hari. Gen Hd1 adalah ortholog gen CO dan gen Hd3a adalah ortholog gen FT, keduanya dibutuhkan dalam proses pembungaan spesies hari pendek. Hubungan kerja antara gen Hd1 dan gen Hd3a berkebalikan dengan kerja gen CO dan gen FT yang ditemukan pada A. thaliana. Gen Hd1 diakumulasi hingga akhir dari hari panjang. Rangsangan cahaya pada hari panjang akan menekan transkripsi Hd3a sehingga menghambat pembungaan pada tanaman hari panjang, namun pada hari pendek respon yang akan terjadi adalah sebaliknya, Hd1 akan mendorong transkripsi Hd3a sehingga pembungaan dapat terjadi (Thomas, 2006).

2. 5. Interaksi Suhu dan Panjang Hari serta Pengaruhnya Terhadap Pembungaan

Suhu berinteraksi dengan panjang hari dalam mempengaruhi pembungaan tanaman (Salisbury, 1992). Suhu mempengaruhi hampir seluruh reaksi biokimia dalam tubuh tanaman. Pada umumnya suhu yang lebih tinggi akan membuat laju reaksi di dalam tanaman meningkat (Parker, 1999). Selain cahaya dan air, suhu merupakan faktor penting dalam lingkungan yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Hopkins, 2004). Fotoperiodisme merupakan mekanisme


(25)

yang memungkinkan tanaman merespon panjang hari dan berbunga pada waktu yang spesifik akan tetapi karena adanya pengaruh suhu, tahap perkembangan tanaman tidak selalu akan terjadi pada waktu yang sama (Iannucci, 2008).

Sejumlah spesies tanaman membutuhkan suhu tertentu untuk berbunga. Beberapa kultivar tanaman krisan memerlukan suhu minimum untuk membentuk kuncup bunga yang normal dan seragam, sedangkan tanaman cineraria (Pericallis x hybrida) membutuhkan suhu dibawah titik kritis untuk dapat berbunga (Vince-Prue, 2002). Suhu tumbuh yang sesuai untuk tanaman kurang lebih akan sama dengan suhu daerah asal tanaman tersebut. Umumnya, spesies tanaman yang berasal dari daerah subtropis memerlukan perlakuan suhu rendah untuk dapat berbunga yang disebut dengan vernalisasi (Hopkins, 2004).

Respon pertumbuhan tanaman dapat berbeda karena dipengaruhi oleh suhu yang diterima tanaman (Salisbury, 1992). Menambah panjang hari atau mengurangi suhu harian rata-rata dapat menghambat pembungaan tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) (Aggarwar dan Poehlman, 1977). Perlakuan suhu 25˚C akan mendorong munculnya kuncup bunga tanaman geraldton wax (Chamelaucium uncinatum), akan tetapi perlakuan suhu 12-15˚C selama 3-6 minggu beserta hari pendek akan menekan induksi pembungaan tanaman (Dawson dan King, 1993). Suhu berpengaruh lebih dominan dibandingkan dengan panjang hari pada pembungaan tanaman rice flower (Ozothamnus diosmifolius). Pada suhu 26/18˚C (suhu siang/suhu malam) tanaman tidak berbunga pada panjang hari apapun, pada suhu 20/12˚C dan 23/15˚C tanaman berbunga hanya di hari panjang namun pada suhu 17/9˚C tanaman berbunga di seluruh panjang hari (Halevy et al., 2001). Panjang hari pada suhu 12,2-17,8˚C dapat membuat jumlah floret per umbel bawang bombay lebih banyak, sebaliknya panjang hari pada suhu 23-24,4˚C mengurangi jumlah floret per umbel (Khokhar, 2007). Suhu tinggi dan panjang hari dapat mempercepat pembungaan tiga spesies legume yaitu sainfolin (Onobrychis viciifolia Scop.), sulla (Hedysarum coronarium L.) dan berseem clover (Trifolium resupinatum L.) (Iannucci, 2008).

Tanaman dapat mengalami pertumbuhan maksimum ketika suhu siang hari yang diterima 10-15˚C lebih tinggi dari suhu malam hari. Pada suhu siang hari yang optimum tanaman berfotosintesis dan melakukan respirasi, sedangkan di


(26)

malam hari tanaman melakukan respirasi dengan laju yang lebih lambat pada suhu yang lebih rendah. Pertumbuhan tanaman dapat terjadi jika laju fotosintesis lebih besar dari laju respirasi (Parker, 2004). Tanaman tomat yang diberi suhu lebih rendah di malam hari tumbuh lebih cepat dan memproduksi buah secara maksimum (Went et al., 1961 dalam Parker, 2004).

2.6. Media dan Pupuk

Tanaman hias komersial yang ditumbuhkan di dalam greenhouse menggunakan media yang terdiri dari campuran tanah, peat moss, perlit, pasir, vermikulit, serbuk gergaji, cacahan kayu dan lainnya. Salah satu fungsi utama media adalah menyokong tanaman agar berdiri tegak (sokongan mekanis) (Boodley, 1998). Media terbaik untuk menanam benih adalah yang berpori, mudah diairi, tekstur baik, minimal nutrisi, bebas dari fungi penyebab penyakit, bakteri dan benih tak diinginkan (Parker, 2004).

2.6.1. Peat moss

Peat moss adalah hasil bahan tanaman yang tertimbun dalam lapisan tanah selama ratusan tahun (Boodley, 1998). Bobot peat moss relatif ringan, bersifat porus, aerasi dan drainase baik serta dapat dicampur dengan komponen media lain. Peat moss perlu dilembabkan sebelum dipakai karena peat moss yang kering akan sulit dibasahi kembali. Derajat kemasaman peat moss bisa rendah sebesar 4,0-4,5. Campuran media tanam yang menggunakan peat moss disarankan ditambah dengan kapur untuk mengurangi pengaruh pH peat moss yang rendah. Kekurangan dari media peat moss yaitu harga yang relatif mahal dan merupakan sumber daya yang tak terbarukan. Sekarang ini sabut kelapa mulai umum digunakan sebagai alternatif pengganti peat moss (Mason, 2004).

2.6.2. Kulit Kayu Cemara (Pinebark)

Mediakulit kayu cemara disukai karena kandungan asam organiknya lebih sedikit dibandingkan dengan hardwood bark. Kulit kayu (bark) yang digunakan adalah yang sudah tua atau yang sudah dikompos. Kulit kayu cemara dicacah


(27)

menjadi ukuran yang berbeda dan dikelompokkan ke dalam grade sesuai dengan ukuran (Mason, 2004).

2.6.3. Vermikulit

Vermikulit adalah mineral mika yang merupakan materi tambang dari Afrika Selatan dan Amerika. Vermikulit lembut dan mudah ditekan menjadi tipis. Vermikulit yang digunakan pada budidaya tanaman hortikultura adalah yang telah diproses dan mengembang, vermikulit kemudian akan berbentuk seperti akordion. Vermikulit steril dan sangat ringan. Vermikulit menahan air, udara dan nutrisi dengan sangat baik sehingga ideal untuk hidroponik.

Vermikulit dikelompokkan berdasarkan ukuran, semakin besar grade semakin kecil ukurannya. Grade nomor 1 adalah vermikulit yang paling kasar sedangkan grade nomor 4 adalah vermikulit yang paling halus dan umumnya digunakan dalam penyemaian. Dua kegunaan vermikulit yaitu kapasitas tukar kation dalam penyerapan nutrisi dan kemampuannya sebagai buffer. Vermikulit mengandung kalium, magnesium dan kalsium dalam bentuk yang tersedia untuk tanaman (Boodley, 1998 dan Mason, 2004).

2.6.4. Perlit

Perlit merupakan media tanam dari mineral tambang yang telah diproses sama seperti vermikulit. Perlit yang sudah diproses kemudian akan mengembang seperti berondong jagung. Perlit yang mengembang berbobot 95-145 kg/m3. Perlit bebas dari organisme pembawa penyakit, serangga, benih gulma dan makhluk hidup lainnya.

Perlit berwarna putih dan permukannya kasar. Perlit memiliki pH netral sekitar 7,0–7,5. Di dalam perlit terkandung sejumlah kecil sodium, alumunium dan fluorin yang dapat di serap oleh tanaman. Perlit memiliki kemampuan menahan air lebih baik dari vermikulit akan tetapi perlit juga lebih cepat kering dari vermikulit. Perlit adalah bahan yang relatif keras dan tidak mudah rusak (Boodley, 1998 dan Mason, 2004).


(28)

2.6.5. Sekam

Sekam ber-pH netral, ringan dan berguna meningkatkan drainase dan aerasi. Derajat kemasaman sekam yang dikompos akan menjadi sedikit masam (pH 5,7-6,2). Sekam yang sudah dikompos memiliki kemampuan menahan air lebih baik dibandingkan sekam yang belum dikompos (Mason, 2004).

Meski harga media bukan tanah seperti perlit dan vermikulit relatif murah untuk nurseri skala besar, akan tetapi media bukan tanah tersebut kurang populer di Indonesia. Media bukan tanah yang umumnya digunakan di Indonesia adalah arang sekam. Selain harga arang sekam yang lebih murah, arang sekam mudah didapat, mudah dibuat, steril dan inert. Di Indonesia media arang sekam digunakan mulai dari usaha tanaman hias kecil hingga besar.

2.6.6. Pupuk Slow Release

Pupuk slow release yang digunakan pada penelitian ini adalah Osmocote®. Osmocote® merupakan pupuk lengkap (N-P-K) yang dilapis dengan lapisan berbahan dasar kacang kedelai. Ketebalan lapisan dan suhu lingkungan mempengaruhi jangka waktu pelepasan unsur hara sampai habis, yang bervariasi mulai dari 3-4 bulan hingga 16-18 bulan (Boodley, 1998 dan Scotts Australia, 2008). Kecepatan pelepasan unsur hara di dalam Osmocote® tergantung pada suhu lingkungan (semakin panas suhu lingkungan, semakin cepat unsur hara dilepas).

Osmocote® juga bisa digunakan untuk memupuk tanaman air. Osmocote® memiliki nisbah N-P-K yang beragam. Osmocote® juga memiliki varian dengan formulasi yang sesuaikan untuk kebutuhan tanaman tertentu seperti tanaman bedengan, tanaman air, tanaman pot, tanaman sayur dan tanaman lainnya (Scotts Australia, 2008).


(29)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2008. Lokasi penelitian adalah Research Greenhouse, The University of Queensland (UQ) Gatton Campus, Australia, ketinggian 104 m dpl.

3.2. Bahan dan Alat

Tanaman berasal dari benih yang dipanen dari tanaman koleksi nurseri UQ Gatton Campus. Benih merupakan hasil penyerbukan terbuka. Peralatan yang digunakan pada saat skarifikasi dan sterilisasi yaitu: amplas, mikroskop (Gambar 6a), kaca pembesar (Gambar 6b), kuas, cawan petri, pinset, sterilan klorin dan air destilata. Peralatan dan bahan yang digunakan pada penyemaian pertama yaitu: pot kecil diameter 50 mm (0,125 l; Gambar 6c), tray, pinset, kuas dan media yang terdiri dari campuran 50% media perlit dan 50% media pembibitan nurseri (peat: perlit: vermikulit 1:1:1) disertai 2 kg pupuk slow release Osmocote mini exact (N:P:K 13:6:16)/m3 atau setara dengan 0,3 g Osmocote

mini exact/pot kecil. Benih ditanam di dalam greenhouse tanpa pengatur suhu dan cahaya.

Peralatan yang digunakan pada saat penyemaian kedua yaitu: kertas saring, cawan petri, 200 mg/lGA3(67645-1G, Sigma-Aldrich Inc., USA) untuk P.

axillaris, alumunium foil dan greenhouse berpengatur cahaya dan suhu (Gambar

b c

Gambar 6. a. Mikroskop; b. Kaca Pembesar; c. Pot-pot Kecil yang Sudah Diisi Media Pembibitan


(30)

Lampiran 1). Peralatan dan bahan yang digunakan pada saat menanam benih yang berkecambah yaitu: tray, pinset, kuas, pot kecil diameter 50 mm (0,125 l) dan media pembibitan yang sama dengan penyemaian pertama.

Karakterisasi (characterizing) sesuai perlakuan menggunakan: penggaris, colour tag (Gambar 7a), tray dan mesin label (Gambar 7b). Peralatan dan bahan yang digunakan untuk pindah tanam tanaman adalah pot berdiameter 100 mm (0,5 l) dan media pembesaran berupa kompos kulit kayu pinus (composted pine bark) dan cacahan kayu (woodchip). Media pembesaran disertai dengan pupuk dan bahan tambahan (/m3):

1 kg Osmocote

Exact (N:P:K 16:5:9,2), habis dilepas 3-4 bulan, 2 kg Osmocote Plus (N:P:K 15:3,9:9,1), habis dilepas 8-9 bulan, 2 kg Nutricote

(N:P:K 16:4,4:8,3), habis dilepas 7 bulan, 1,3 kg Osmoform (N:P:K 18:2,2:11), habis dilepas 4 bulan, 1,3 kg Coated Iron: 28% Iron dan 17% Sulphur,

1,2 kg Saturaid dan 1,3 kg Dolomite

atau setara dengan jumlah pupuk dan bahan tambahan per volume pot (0,5 l): 0,5 g Osmocote

Exact, 1,0 g Osmocote

Plus, 1,0 g Nutricote

, 0,7 g Osmoform, 0,7 g Coated Iron, 0,6 g Saturaid dan 0,7 g Dolomite

.

Komposisi media tersebut dibuat oleh nurseri. Media juga digunakan untuk tanaman penelitian lain dan tanaman yang dibudidayakan oleh nurseri.

Satu minggu setelah pindah tanam dilakukan penyemprotan fungisida Banrot 1 g/l (bahan aktif Terrazole 3 % dan Thiophanate-methyl 5%). Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan mengukur photosyntetically active radiation (PAR) menggunakan LI-400 Data Logger (LI-COR®Biosciences, USA, Gambar 7c).


(31)

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan terpisah antara spesies G. leontopiodes dan P. axillaris. Rancangan percobaan pada masing-masing

spesies menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor (kombinasi panjang hari dan suhu). Masing- masing spesies yaitu G. leontopiodes dan P. axillaris memiliki enam ulangan.

Panjang hari yang digunakan yaitu, hari pendek (SD) 11 jam dan hari panjang (LD) 16 jam (11 jam cahaya matahari + 5 jam lampu incandescent). Tirai hitam sebagai pengatur panjang hari digunakan untuk menutup ruang tumbuh pada pukul 17.00-06.00. Periode night break pada hari panjang adalah pukul 21.00-02.00 (lima jam) menggunakan lampu incandescent 100W (Sylvania, Indonesia). Suhu yang digunakan yaitu, suhu rendah (LT) 25/10˚C (suhu siang/malam) dan suhu tinggi (HT) 35/20˚C. Pada percobaan terdapat perlakuan yang diikuti dengan transfer perubahan suhu dan/atau panjang hari. Transfer tersebut dilakukan 8 minggu setelah perlakuan dimulai. Terdapat dua layout percobaan, yaitu layout sebelum transfer dilakukan (Gambar Lampiran 1) dan layout percobaan setelah transfer dilakukan (Gambar Lampiran 2). Total perlakuan terdapat 16 perlakuan yaitu sebagai berikut:

P1 : HT SD (suhu 35/20˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap) P2 : HT LD (suhu 35/20˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap) P3 : HT SD→LD (suhu 35/20˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu

gelap kemudian dipindahkan ke suhu 35/20˚C, 16 jam waktu terang dan Gambar 7. a. Colour Tag; b. Mesin Label; c.LI-400 Data Logger untuk Mengukur

Intensitas Cahaya.


(32)

8 jam waktu gelap)

P4 : HT LD→SD (suhu 35/20˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap kemudian dipindahkan ke suhu 35/20˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap)

P5 : LT SD (suhu 25/10˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap) P6 : LT LD (suhu 25/10˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap) P7 : LT SD→LD (suhu 25/10˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu

gelap kemudian dipindahkan ke suhu 25/10˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap)

P8 : LT LD→SD (suhu 25/10˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap kemudian dipindahkan ke suhu 25/10˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap)

P9 : HT→LT SD (suhu 35/20˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap kemudian dipindahkan ke suhu 25/10˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap)

P10 : HT→LT LD (suhu 35/20˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap kemudian dipindahkan ke suhu 25/10˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap)

P11 : HT→LT SD→LD (suhu 35/20˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap kemudian dipindahkan ke suhu 25/10˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap)

P12 : HT→LT LD→SD (suhu 35/20˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap kemudian dipindahkan ke suhu 25/10˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap)

P13 : LT→HT SD (suhu 25/10˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap kemudian dipindahkan ke suhu 35/20˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap)

P14 : LT→HT LD (suhu 25/10˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap kemudian dipindahkan ke suhu 35/20˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap)


(33)

gelap kemudian dipindahkan ke suhu 35/20˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap)

P16 : LT→HT LD→SD (suhu 25/10˚C, 16 jam waktu terang dan 8 jam waktu gelap kemudian dipindahkan ke suhu 35/20˚C, 11 jam waktu terang dan 13 jam waktu gelap)

Pada masing – masing percobaan, spesies G. leontopiodes dan P. axillaris memiliki 96 satuan percobaan.

Model linear rancangan yang digunakan dalam percobaan dengan spesies G. leontopiodes dan spesies P. axillaris adalah:

Yi = µ + Μi + εi

Yi = Pengamatan perlakuan panjang hari dan suhu ke-i µ = rataan umum

Μi = Pengaruh perlakuan panjang hari dan suhu ke-i

εi = Pengaruh galat percobaan

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, data pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (uji F). Jika hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut duncan multiple range test (DMRT) pada taraf 5%.

3.4. Pelaksanaan 3.4.1. Penyiapan Benih 3.4.1.1. Skarifikasi

Benih G. leontopiodes (Gambar 8a) sebanyak 320 benih dan P. axillaris (Gambar 8b) sebanyak 480 benih disiapkan. Benih dibersihkan dari perianth (bagian bunga yang terdiri dari sepal dan petal) lalu dilakukan skarifikasi yaitu melukai sedikit lapisan pelindung benih (testa) dengan cara menggosokkan amplas perlahan ke lapisan pelindung benih. Bagian embrio benih dijaga agar tidak rusak karena gesekan. Skarifikasi dilakukan untuk mempermudah terjadinya


(34)

imbibisi dan perkecambahan. Kaca pembesar atau mikroskop digunakan untuk memastikan testa sudah terkelupas.

3.4.1.2.Sterilisasi

Setelah skarifikasi selesai, benih ditempatkan di dalam cawan petri kemudian direndam dengan larutan klorin 2000 ppm selama 7 menit (Gambar 9a). Cawan petri sesekali digoyangkan untuk memastikan benih secara merata terbilas klorin. Setelah selesai benih ditiriskan kemudian dibilas dengan air destilata sebanyak lima kali.

3.4.1.3. Penyiapan Media Pembibitan

Media pembibitan yang terdiri dari peat, perlit dan vermikulit (1:1:1) yang ditambah dengan 2 kg pupuk slow release Osmocote mini exact (N:P:K 13:6:16)/m3 dicampur sedemikian rupa menggunakan mesin. Pot kecil diameter 50 mm (0,125 l) diisi media kemudian dibasahi sampai air keluar dari lubang pot.

3.4.1.4. Penyemaian Pertama

Benih G. leontopiodes ditanam dua benih per pot sedangkan benih P. axillaris ditanam tiga benih per pot, menggunakan pinset dan kuas (Gambar 9b). Gambar 8. a Benih Gomphrenaleontopiodes; b. Benih Ptilotusaxillaris.

b a


(35)

Setelah semua benih selesai ditanam, permukaan media dalam pot dilapis tipis media vermikulit lalu dilembabkan dengan air.

3.4.1.4.1. Pemeliharaan

Pot kecil berisi benih disimpan di dalam propagation house sampai berkecambah, penyiraman dilakukan dengan sistem fogging otomatis. Benih yang sudah berkecambah dipindah ke dalam birkdale house (greenhouse tanpa pengatur suhu dan cahaya). Penyiraman selanjutnya dilakukan dengan hand sprayer dan dilaksanakan sesuai kebutuhan berdasarkan pengamatan visual terhadap kelembaban media. Pengendalian hama dilakukan dengan memasang perangkap serangga dan melakukan penyemprotan insektisida satu minggu sekali oleh pekerja nurseri. Karena bibit hasil penyemaian pertama kali tidak mencukupi, sehingga harus dilakukan penyemaian kedua.

3.4.1.6. Penyemaian Kedua

Benih G. leontopiodes sejumlah 70 benih dan P. axillaris sejumlah 115 benih disiapkan. Lapisan pelindung benih dikelupas sedikit dengan amplas kemudian disterilisasi. Cawan petri diisi tiga lembar kertas saring kemudian dilembabkan dengan air. Benih diletakkan diatas kertas saring menggunakan pinset dan kuas. Satu cawan petri diisi 20-25 benih. Untuk benih G. leontopiodes digunakan empat cawan petri sedangkan untuk benih P. axillaris digunakan lima cawan petri. Cawan petri ditutup kemudian dibungkus dengan alumunium foil (Gambar 9c) lalu disimpan dalam ruang tumbuh greenhouse kondisi SD 35/20˚C.

Gambar 9. a. Perendaman Benih dalam Sterilan Klorin pada Sterilisasi; b. Penanaman benih; c. Penyemaian Benih dalam Cawan Petri.


(36)

Satu minggu setelah semai, kertas saring untuk penyemaian P. axillaris diganti dengan yang baru kemudian pada kertas saring dituangkan 2 ml GA3

kosentrasi 200 mg/l untuk membantu perkecambahan. Benih kemudian ditempatkan kembali ke dalam cawan petri berisi kertas saring yang sudah diberi GA3. Kertas saring yang sudah diberi GA3 dibiarkan semalam setelah itu

keesokan harinya kertas saring diganti kembali dengan yang baru kemudian dilembabkan dengan air. Selama penyemaian kelembaban kertas saring dipertahankan dengan penyiraman menggunakan hand sprayer.

3.4.1.6.1 Penanaman Bibit

Benih yang berkecambah ditanam di dalam pot kecil berisi media yang sama dengan penanaman bibit sebelumnya. Penanaman menggunakan pinset dan kuas kemudian bibit disimpan di dalam ruang tumbuh greenhouse dengan kondisi LD 25/10˚C.

3.4.1.6.2.Pemeliharaan

Penyiraman bibit dilakukan menggunakan hand sprayer sesuai kebutuhan berdasarkan kelembaban media. Pengendalian hama dilakukan dengan memasang perangkap serangga dan penyemprotan insektisida satu minggu sekali oleh pekerja nurseri.

3.4.1.7. Perlakuan

Perlakuan dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 2008 untuk P. axillaris dan 8 Mei 2008 untuk G. leontopiodes. Tanaman ditempatkan di dalam ruang tumbuh yang dilengkapi pengatur suhu dan cahaya sesuai kondisi perlakuan. Pemindahan tanaman ke suhu dan/atau panjang hari lain sesuai perlakuan yang terdapat transfer dilaksanakan 8 minggu setelah perlakuan. Tanaman berada selama empat minggu di dalam kondisi ke-dua. Total lama perlakuan adalah 12 minggu.


(37)

3.4.1.8. Pindah Tanam

3.4.1.8.1. Penyiapan media dan wadah tanam

Media pembesaran yang terdiri dari kompos kulit kayu pinus (composted pine bark), cacahan kulit kayu (woodchip) dan pupuk slow release beserta bahan tambahan lainnya yang sudah disebutkan sebelumnya dicampur sedemikian rupa dengan menggunakan mesin. Wadah tanam yang digunakan adalah pot berdiameter 100 mm (0,5 l).

3.4.1.8.2.Penanaman

Tanaman dipindah-tanamkan 14 hari setelah perlakuan panjang hari dan suhu dimulai (HSP). Sepertiga bagian pot diisi media kemudian tanaman dikeluarkan perlahan dari pot kecil, media yang menempel pada akar tidak dibersihkan. Tanaman diposisikan sedemikian rupa berada di tengah pot kemudian ditambahkan media sampai media memenuhi batas atas pot atau kurang lebih sejajar dengan ruas terbawah tanaman (Gambar 11).

Gambar 10. Penanaman Tanaman ke dalam Pot

3.4.1.8.3. Pemeliharaan Tanaman

Penyiraman tanaman dilakukan dua hari sekali atau jika media terlihat kurang lembab. Penyiraman dilakukan menggunakan selang air. Pemupukan tanaman dilakukan pada saat 70 HSP dengan Basacote

Plus 3M (N:P:K: 16:8:12) 2 g/pot.


(38)

3.5. Pengamatan

Peubah yang diamati meliputi: daya berkecambah benih, tinggi tanaman (cm), jumlah daun, dan lebar tajuk (cm) pada saat satu hari sebelum perlakuan dimulai, saat muncul kuncup bunga beserta jumlah daun tanaman, saat mekar bunga beserta jumlah daun tanaman, tinggi tanaman (cm), jumlah kuncup bunga, jumlah bunga mekar dan jumlah total bunga per tanaman setelah masa percobaan selesai. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan satu kali setiap bulan dan rentang waktu dilakukannya pengukuran adalah pukul 11.30-13.00 siang hari.


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum

Penelitian dilakukan saat musim gugur sampai dengan musim dingin pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2008. Selama penelitian berlangsung tanaman berada di dalam greenhouse mulai dari berupa kecambah sampai saat penelitian selesai. Rentang intensitas cahaya matahari di dalam greenhouse adalah 111 hingga 1500 µmol/sec.m2 pada saat dilakukannya pengukuran yaitu pada pukul 11.30 – 13.00.

Penyemaian benih pertama kali mengalami kesulitan karena daya berkecambah benih yang rendah, diduga salah satu yang mengakibatkan daya berkecambah benih menjadi rendah adalah suhu lingkungan yang rendah karena sudah memasuki waktu musim gugur. Pada saat penyemaian (1-14 April 2008) di dalam birkdale house (greenhouse tanpa pengatur cahaya dan suhu), rata-rata suhu minimum lingkungan adalah 11,3°C dan rata-rata suhu maksimum lingkungan adalah 27,3°C (Tabel 1 Lampiran).

Secara umum kondisi tanaman selama penelitian cukup baik, sehat dan tidak terserang hama dan penyakit yang berarti. Serangga yang ada di lingkungan nurseri bukan hama yang merugikan tanaman. Nurseri tetap melaksanakan pengendalian hama dengan melakukan penyemprotan insektisida secara rutin satu kali seminggu baik untuk tanaman di luar maupun di dalam greenhouse. Pengendalian lain yang dilakukan adalah dengan memasang perangkap serangga di dalam greenhouse. Selama masa penyemaian dan pembesaran tanaman, serangga yang ditemukan di dalam greenhouse adalah thrips (famili Thripidae, ordo Thysanoptera) dan shore fly (famili Ephydridae, ordo Diptera).

Beberapa saat setelah tanaman G. leontopiodes pada perlakuan P10 dan P12 (dipindahkan dari suhu 35/20˚C ke suhu 25/10˚C) daun tanaman dewasa berubah warna menjadi kekuningan, sedangkan tanaman G. leontopiodes pada perlakuan P9 (dipindahkan dari suhu 35/20˚C ke suhu 25/10˚C), beberapa daun tanaman ujungnya menjadi berwarna merah gelap. Perubahan warna pada daun diduga terjadi karena tanaman mengalami stres dan perkembangan akar yang


(40)

terganggu akibat perubahan suhu lingkungan. Pada tanaman jagung, warna daun dapat berubah menjadi kekuningan ataupun keunguan karena perkembangan akar yang terganggu oleh faktor suhu udara dan suhu tanah yang lebih rendah serta musim hujan yang membuat tanah menjadi lebih lembab (Elmore dan Abendroth,

2007).

4.2. Daya berkecambah

Ralph (2003) menyebutkan testa (lapisan pelindung benih) pada benih Ptilotus spp. dapat menghambat terjadinya imbibisi sehingga perkecambahan benih ikut terhambat. Untuk meningkatkan jumlah benih yang berkecambah, benih terlebih dahulu dibersihkan dari perianth (sepal dan petal). Testa kemudian dikelupas sedikit dengan cara skarifikasi menggunakan amplas untuk memudahkan terjadinya imbibisi. Menurut Williams et al (1989), skarifikasi yang dilakukan pada P. exaltatus dapat meningkatkan DB benih menjadi 60-80%.

Tabel 1. Persentase Daya Berkecambah (DB) Benih pada Penyemaian Pertama dan Kedua

Penyemaian 1 Penyemaian 2

Spesies

Kondisi DB

(%) Kondisi

DB (%)

G. leontopiodes 19,7 78,3

P. axillaris

•Wadah pot kecil

•Media 50% perlit dan 50% media pembibitan

•Dalam propagation house

•Setelah berkecambah disimpan dalam

greenhouse tanpa pengatur suhu dan cahaya

4,4

•Wadah cawan petri

•Media Kertas saring tiga lapis

•Dalam greenhouse SD 35/20˚C

•Setelah berkecambah dipindah-tanamkan ke pot kecil disimpan dalam greenhouse LD 25/10˚C

75,7

DB benih pada penyemaian pertama kali yang rendah (Tabel 1) diduga dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang rendah (Tabel 1 Lampiran) karena musim sudah memasuki waktu musim gugur. DB benih pada penyemaian kedua kali lebih tinggi yaitu 78,3% (G. leontopiodes) dan 75,7% (P. axillaris) (Tabel 1)


(41)

diduga dipengaruhi oleh suhu tinggi greenhouse (kondisi SD 35/20˚C) dan oleh pemberian GA3 untuk benih P. axillaris.

Penyemaian benih opium poppy (Papaver somniferum) pada suhu yang lebih tinggi dapat mempercepat benih untuk berkecambah. Lisson (2007) menyatakan pada suhu 34˚C benih opium poppy dapat berkecambah lebih cepat dibandingkan benih pada suhu lainnya yaitu kurang dari lima hari. Menurut Hopkins (2004) suhu merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan cara mempengaruhi berbagai reaksi biokimia di dalam tanaman dan pada umumnya peningkatan suhu akan meningkatkan laju pertumbuhan tanaman.

Penyemaian kedua menggunakan lot benih yang berbeda dengan lot benih yang digunakan pada penyemaian pertama. Pada penyemaian kedua, tiga lapis kertas saring di dalam wadah cawan petri digunakan sebagai media penyemaian. Benih di dalam cawan petri disemai di dalam ruang tumbuh dengan kondisi SD (11 jam) suhu 35/20˚C. Satu minggu setelah penyemaian kedua dimulai, kertas saring pada cawan petri P. axillaris diganti dengan kertas saring baru kemudian dilembabkan dengan 2 ml zat pengatur tumbuh GA3 kosentrasi 200 mg/l. Kertas

saring yang sudah dilembabkan dengan GA3 kemudian digunakan selama

semalam untuk meningkatkan DB benih. Menurut Ralph (2003) setelah melakukan skarifikasi daya berkecambah benih dapat ditingkatkan lebih lanjut dengan menambahkan GA3 atau GA4.

4.3. Pembungaan Tanaman

Perlakuan tidak nyata mempercepat inisiasi kuncup bunga G. leontopiodes, tidak nyata mempercepat perkembangan kuncup bunga sampai

bunga G. leontopiodes mekar dan juga tidak nyata mempengaruhi persentase jumlah tanaman yang berbunga pada setiap perlakuan. Perlakuan nyata

meningkatkan jumlah bunga mekar, meningkatkan jumlah total bunga G. leontopiodes dan perlakuan sangat nyata meningkatkan jumlah daun saat

muncul kuncup bunga, meningkatkan jumlah daun saat mekar bunga dan meningkatkan jumlah kuncup bunga G. leontopiodes (Tabel 2).


(42)

Perlakuan tidak nyata mempercepat inisiasi kuncup bunga P. axillaris dan tidak nyata mempercepat perkembangan kuncup bunga sampai bunga P. axillaris mekar. Perlakuan nyata meningkatkan jumlah daun saat muncul kuncup bunga dan juga nyata meningkatkan jumlah daun saat bunga P. axillaris mekar. Perlakuan sangat nyata mempengaruhi persentase jumlah tanaman yang berbunga pada setiap perlakuan, sangat nyata meningkatkan jumlah bunga mekar, sangat nyata meningkatkan jumlah kuncup bunga dan sangat nyata meningkatkan jumlah total bunga P. axillaris (Tabel 2).

Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Percobaan Gomphrena leontopiodes dan Ptilotusaxillaris

Spesies Peubah

G. leontopiodes P. axillaris

Saat muncul kuncup bunga tn tn

Jumlah kuncup bunga ** *

Jumlah daun saat muncul kuncup bunga ** tn

Saat mekar bunga tn tn

Persentase jumlah tanaman berbunga tn **

Jumlah bunga mekar * **

Jumlah daun saat bunga mekar * tn

Jumlah total bunga * **

4.3.1. Saat Muncul Kuncup Bunga

4.3.1.1. Saat Muncul Kuncup Bunga Gomphrena leontopiodes

Saat muncul kuncup bunga adalah peubah pengamatan yang menunjukkan

jumlah hari yang dibutuhkan tanaman untuk membentuk kuncup bunga G. leontopiodes pertama yang dapat terlihat (Gambar 11a). Tanggal ketika kuncup

bunga G. leontopiodes yang pertama dapat dilihat dicatat lalu jumlah hari dihitung sejak tanggal benih ditanam sampai tanggal kuncup bunga pertama terlihat, sehingga didapatkan jumlah hari yang dibutuhkan tanaman sampai kuncup bunga pertama dapat terlihat. Hasil pengamatan menunjukkan perlakuan tidak nyata mempercepat saat muncul kuncup bunga G. leontopiodes (Tabel 3). Diduga

Keterangan : tn : tidak berbeda nyata pada uji F 5% * : berbeda nyata pada uji F 5 % ** : berbeda sangat nyata pada uji F 1%


(43)

panjang hari dan suhu sebagai perlakuan tidak mempengaruhi lama waktu tanaman G. leontopiodes membentuk kuncup bunga yang pertama, sehingga tanaman dapatmenghasilkan kuncup bunga dalam waktu yang tidak berbeda.

4.3.1.2. Saat Muncul Kuncup Bunga Ptilotus axillaris

Pengamatan peubah saat muncul kuncup bunga pada tanaman P. axillaris, menggunakan metode yang sama dengan pengamatan peubah saat muncul kuncup bunga pada tanaman G. leontopiodes. Tanggal ketika kuncup bunga P. axillaris pertama terlihat (Gambar 11b) dicatat dan kemudian jumlah hari yang dibutuhkan tanaman sampai kuncup pertama terlihat didapatkan dari menghitung tanggal benih ditanam sampai pada tanggal kuncup bunga muncul yang tercatat. Hasil pengamatan menunjukkan perlakuan tidak nyata mempercepat saat munculnya kuncup bunga P. axillaris (Tabel 3). Diduga panjang hari dan suhu yang merupakan perlakuan tidak mempengaruhi tanaman P. axillaris dalam mempercepat kemunculan kuncup bunga pertama yang terlihat, sehingga tanaman pada perlakuan yang berbeda dapat menghasilkan kuncup bunga dalam waktu yang tidak berbeda.

Gambar 11. a. Kuncup Bunga Gomphrena leontopiodes; b. Kuncup Bunga Ptilotus axillaris


(44)

Tabel 3. Saat Muncul Kuncup Bunga Gomphrena leontopiodes dan Ptilotus axillaris

Keterangan: angka yang diberi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

HST: hari setelah tanam.

4.3.2. Persentase Tanaman yang Memiliki Bunga Mekar

4.3.2.1. Persentase Tanaman Gomphrena leontopiodes yang Memiliki Bunga Mekar

Banyak tanaman yang memiliki bunga yang mekar di setiap perlakuan dihitung pada saat pengamatan terakhir kemudian ditampilkan dalam bentuk peubah persentase tanaman yang memiliki bunga mekar. Perlakuan tidak nyata mempengaruhi persentase jumlah tanaman G. leontopiodes yang memiliki bunga

Perlakuan Kode

Perlakuan Suhu (˚C) Panjang hari (jam) Saat muncul kuncup bunga G. leontopiodes Saat muncul kuncup bunga P. axillaris HST

P5 (25/10 SD) 108,3 a 46,5 a

P6 (25/10 LD) 104,3 a 45,2 a

P7 (25/10 SDLD) 89,0 a 47,5 a

P8 (25/10 LDSD) 91,8 a 47,8

Rata-rata 98,4 46,8

P13 (25/10 35/20 SD) 98,8 a 47,2 a P14 (25/10 35/20 LD) 97,2 a 48,3 a P15 (25/10 35/20 SDLD) 90,3 a 47,2 a P16 (25/10 35/20 LDSD) 105,3 a 44,7 a

Rata-rata 97,9 46,9

P1 (35/20 SD) 89,8 a 48,5 a

P2 (35/20 LD) 103,7 a 51,0 a

P3 (35/20 SDLD) 96,5 a 47,5 a

P4 (35/20 LDSD) 93,4 a 52,0 a

Rata-rata 95,9 49,8

P9 (35/20 25/10 SD) 91,5 a 53,8 a

P10 (35/20 25/10 LD) 94,4 a 52,7 a P11 (35/20 25/10 SDLD) 109,5 a 50,8 a P12 (35/20 25/10 LDSD) 97,2 a 47,7 a


(45)

mekar pada tiap perlakuan (Tabel 4). Terdapat satu perlakuan dengan persentase jumlah tanaman yang memiliki bunga mekar sebanyak 100% yaitu perlakuan P1.

Tabel 4. Persentase Tanaman Gomphrena leontopiodes yang Memiliki Bunga Mekar pada Setiap Perlakuan

Keterangan: angka yang diberi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

4.3.2.2. Persentase Tanaman Ptilotus axillaris yang Memiliki Bunga Mekar Persentase jumlah tanaman P. axillaris yang memiliki bunga mekar pada tiap perlakuan sangat nyata dipengaruhi oleh perlakuan. Tanaman P. axillaris pada perlakuan dengan suhu 25/10˚C yaitu P5, P6, P7 dan P8 serta tanaman P. axillaris pada perlakuan dengan suhu 25/10˚C 35/20˚C yaitu P13, P14, P15 dan P16 memiliki persentase tanaman dengan bunga mekar lebih tinggi dari perlakuan lain yaitu sebesar 100% (Tabel 5). Diduga perlakuan dengan suhu yang

Perlakuan Kode perlakuan

Suhu (˚C) Panjang Hari (jam)

Persentase tanaman berbunga (%)

P5 (25/10 SD) 66,6 a

P6 (25/10 LD) 16,6 a

P7 (25/10 SDLD) 33,3 a

P8 (25/10 LDSD) 66,6 a

Rata-rata 45,8

P13 (25/10  35/20 SD) 33,3 a P14 (25/10  35/20 LD) 66,6 a P15 (25/10 35/20 SDLD) 50 a P16 (25/10  35/20 LDSD) 16,6 a

Rata-rata 41,6

P1 (35/20 SD) 100,0 a

P2 (35/20 LD) 66,6 a

P3 (35/20 SDLD) 16,6 a

P4 (35/20 LDSD) 50,0 a

Rata-rata 58,3

P9 (35/20  25/10 SD) 33,3 a

P10 (35/20  25/10 LD) 66,6 a P11 (35/20  25/10 SDLD) 66,6 a P12 (35/20  25/10 LDSD) 50,0 a


(46)

yang lebih rendah (25/10˚C) lebih sesuai untuk perkembangan kuncup bunga tanaman P. axillaris.

Tabel 5. Persentase Tanaman Ptilotus axillaris yang Memiliki Bunga Mekar pada Setiap Perlakuan

Keterangan: angka yang diberi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

Menurut Wrigley dan Fagg (1979) dan Galbraith (1977) dalam Williams (1995), bunga tanaman P. axillaris umumnya mekar pada saat musim dingin hingga musim semi. Pada saat musim dingin, suhu lingkungan di tempat tanaman P. axillaris berasal (Longreach) berkisar antara 23,7˚C di siang hari dan antara 8,2˚C di malam hari, kemudian suhu berangsur-angsur akan menjadi hangat pada musim semi. Suhu akan menjadi berkisar antara 36,1˚C pada siang hari dan berkisar antara 19,9˚C pada malam hari (Tabel Lampiran 2).

Kondisi suhu 25/10˚C pada perlakuan, menyerupai kondisi suhu lingkungan pada saat musim dingin, sedangkan kondisi suhu 25/10˚C 35/20˚C

Perlakuan Kode

perlakuan Suhu (˚C) Panjang Hari (Jam) Persentase berbunga (%)

P5 (25/10 SD) 100 a

P6 (25/10 LD) 100 a

P7 (25/10 SDLD) 100 a

P8 (25/10 LDSD) 100 a

Rata-rata 100

P13 (25/10  35/20 SD) 100 a P14 (25/10  35/20 LD) 100 a P15 (25/10  35/20 SDLD) 100 a P16 (25/10  35/20 LDSD) 100 a

Rata-rata 100

P1 (35/20 SD) 50 abc

P2 (35/20 LD) 75 ab

P3 (35/20 SDLD) 100 a

P4 (35/20 LDSD) 66,7 abc

Rata-rata 72,9

P9 (35/20  25/10 SD) 50 bc

P10 (35/20  25/10 LD) 50 bc P11 (35/20  25/10 SDLD) 33,3 c P12 (35/20  25/10 LDSD) 66,8 abc


(47)

menyerupai kondisi suhu lingkungan pada saat musim semi. Menurut Hopkins (2004) suhu tumbuh yang sesuai untuk tanaman kurang lebih akan sama dengan suhu lingkungan di tempat tanaman berasal.

4.3.3. Saat Mekar Bunga

4.3.3.1. Saat Mekar Bunga Gomphrena leontopiodes

Saat mekar bunga adalah peubah pengamatan untuk menunjukkan jumlah hari yang dibutuhkan tanaman untuk menghasilkan bunga mekar pertama. Pengamatan peubah saat mekar bunga dilakukan dengan cara mencatat tanggal pada saat minimal terdapat satu bunga majemuk yang sudah mekar, pengamatan dilakukan untuk setiap tanaman. Jumlah hari sejak benih tanaman tersebut ditanam sampai bunga pertama mekar dihitung kemudian menjadi jumlah hari yang dibutuhkan tanaman untuk mengahasilkan bunga mekar pertama. Hasil pengamatam menunjukkan perlakuan tidak nyata mempercepat saat mekarnya bunga tanaman G. leontopiodes (Tabel 6).

Gambar 12. a. Bunga Gomphrena leontopiodes mekar; b. Bunga Ptilotus axillaris mekar.

4.3.3.2. Saat Mekar Bunga Ptilotus axillaris

Pengamatan peubah saat mekar bunga pada tanaman P. axillaris sama dengan pengamatan peubah saat mekar bunga pada tanaman G. leontopiodes. Tanggal pada saat terdapat minimal satu bunga majemuk P. axillaris yang sudah


(48)

Keterangan: angka yang diberi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

HST: hari setelah tanam

mekar dicatat, kemudian dihitung jumlah hari sejak benih tanaman ditanam sampai terlihat bunga pertama yang mekar, sehingga didapatkan jumlah hari yang dibutuhkan tanaman P. axillaris untuk memiliki bunga mekar atau saat mekar bunga P. axillaris. Hasil pengamatan menunjukkan perlakuan tidak nyata mempercepat saat mekarnya bunga tanaman P. axillaris (Tabel 6).

Tabel 6. Saat Mekar Bunga Gomphrena leontopiodes dan Ptilotus axillaris

4.4. Jumlah Kuncup Bunga, Bunga Mekar dan Total Bunga

4.4.1. Jumlah Kuncup Bunga, Bunga Mekar dan Total Bunga Gomphrena leontopiodes

Perlakuan sangat nyata meningkatkan jumlah kuncup bunga tanaman G. leontopiodes (Tabel 7). Tanaman G. leontopiodes pada perlakuan P8

(25/10˚C LDSD) menghasilkan jumlah kuncup bunga paling banyak yaitu Perlakuan

Kode

Perlakuan Suhu (˚C) Panjang hari (Jam) Saat mekar bunga G. leontopiodes (HST) Saat mekar bunga P. axillaris (HST)

P2 (25/10 SD) 115,5 a 96,6 a

P4 (25/10 LD) 106,0 a 89,0 a

P7 (25/10 SDLD) 111,5 a 98,3 a

P8 (25/10 LDSD) 115,0 a 97,0 a

Rata-rata 112,0 95,2

P10 (25/10  35/20 SD) 121,0 a 80,3 a

P12 (25/10  35/20 LD) 107,0 a 80,5 a

P14 (25/10  35/20 SDLD) 112,5 a 89,8 a P15 (25/10  35/20 LDSD) 109,0 a 94,5 a

Rata-rata 112,4 86,3

P1 (35/20 SD) 106,2 a 86,5 a

P3 (35/20 LD) 113,0 a 94,7 a

P5 (35/20 SDLD) 124,8 a 97,7 a

P6 (35/20 LDSD) 110,0 a 96,3 a

Rata-rata 113,5 93,8

P9 (35/20  25/10 SD) 121,0 a 87,7 a

P11 (35/20  25/10 LD) 120,5 a 85,5 a

P13 (35/20  25/10 SDLD) 114,0 a 93,7 a P16 (35/20  25/10 LDSD) 121,0 a 90,0 a


(49)

sebanyak 7,7 kuncup bunga per tanaman. Secara umum, tanaman G. leontopiodes pada suhu 25/10˚C memiliki jumlah kuncup paling banyak dengan rata-rata 3,9 kuncup bunga per tanaman.

Perlakuan nyata meningkatkan jumlah bunga tanaman G. leontopiodes yang mekar (Gambar 12a, Tabel 7). Tanaman G. leontopiodes pada perlakuan P1 (35/20˚C SD) memiliki jumlah bunga mekar paling banyak yaitu sebanyak 3,0 bunga per tanaman. Secara umum, tanaman G. leontopiodes pada suhu 35/20˚C memiliki jumlah bunga mekar paling banyak dengan rata-rata 1,7 bunga per tanaman.

Gambar 13. Tanaman Gomphrena leontopiodes: a.P8 (25/10˚C LDSD); b. P4 (35/20˚C LDSD); c. P1 (35/20˚C SD).

Perlakuan nyata meningkatkan jumlah total bunga G. leontopiodes (Tabel 7). Tanaman pada perlakuan P8 (25/10˚C LDSD) menghasilkan total bunga per tanaman paling banyak yaitu 7,8 bunga per tanaman. Terdapat tiga kondisi perlakuan yang memiliki jumlah total bunga lebih banyak dari perlakuan yang lain yaitu P8 (25/10˚C LDSD, Gambar 14a), P4 (35/20˚C LDSD, Gambar 14b) dan P1 (35/20˚C SD, Gambar 14c). Pada perlakuan P8 jumlah kuncup bunga lebih banyak dari jumlah bunga mekar, sedangkan pada perlakuan P4 dan P1 jumlah bunga yang mekar lebih banyak dari perlakuan P8. Suhu yang lebih tinggi diduga dapat menginduksi mekarnya kuncup bunga G. leontopiodes. Julien Von Sachs dalam Salisbury (1992) menyebutkan perlakuan suhu yang lebih tinggi (10-17°C) dapat menginduksi mekarnya bunga tulip sedangkan suhu yang lebih rendah (3-7°C) dapat menyebabkan bunga menutup.


(50)

Keterangan: angka yang diberi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

Tabel 7. Jumlah Kuncup Bunga, Bunga Mekar, dan Total Bunga Gomphrena leontopiodes

Perlakuan Jumlah bunga

Kode

Perlakuan Suhu (˚C) Panjang hari (Jam) Kuncup Mekar Total

P5 (25/10 SD) 3,8 bc 0,2 b 4,0 abc

P6 (25/10 LD) 1,2 bc 0,2 b 1,3 c

P7 (25/10 SDLD) 2,8 bc 0,3 b 3,2 abc

P8 (25/10 LDSD) 7,7 a 0,2 b 7,8 a

Rata-rata 3,9 0,2 4,1

P13 (25/10  35/20 SD) 1,8 bc 0 b 1,8 bc P14 (25/10  35/20 LD) 4,0 bc 1,3 ab 5,3 abc P15 (25/10  35/20 SDLD) 2,5 bc 2,0 ab 4,5 abc P16 (25/10  35/20 LDSD) 3,7 bc 0 b 3,7 abc

Rata-rata 3,9 1,3 3,8

P1 (35/20 SD) 4,0 bc 3,0 a 7,3 a

P2 (35/20 LD) 1,7 bc 1,8 ab 3,8 abc

P3 (35/20 SDLD) 0,7 c 0 b 0,7 c

P4 (35/20 LDSD) 5,0 ab 2,0 ab 7,0 ab

Rata-rata 2,9 1,7 4,7

P9 (35/20  25/10 SD) 1,3 bc 0,3 b 1,7 c P10 (35/20  25/10 LD) 3,2 bc 1,2 ab 4,3 abc P11 (35/20  25/10 SDLD) 1,0 c 0,2 b 1,2 c P12 (35/20 25/10 LDSD) 2,2 bc 0,7 b 2,8 abc

Rata-rata 1,9 0,6 2,5

4.4.2. Jumlah Kuncup Bunga, Bunga Mekar dan Total Bunga Ptilotus axillaris

Perlakuan nyata mempengaruhi jumlah kuncup bunga P. axillaris (Tabel 8). Tanaman pada perlakuan suhu P12 (35/20˚C 25/10˚C LDSD, Gambar 15a) memiliki jumlah kuncup bunga paling banyak yaitu 102,3 kuncup bunga per tanaman. Secara umum tanaman pada perlakuan dengan suhu 35/20˚C memiliki jumlah kuncup bunga lebih banyak dari perlakuan dengan suhu lain, rata-rata jumlah kuncup bunga pada perlakuan dengan suhu 35/20˚C adalah 74,9 kuncup bunga per tanaman.

Perlakuan nyata menambah jumlah bunga P. axillaris yang mekar (Gambar 12b, Tabel 8). Jumlah bunga mekar paling banyak terdapat pada tanaman perlakuan P13 (25/10˚C 35/20˚C SD, Gambar 15b) yaitu 45,2 bunga mekar per tanaman. Secara umum tanaman pada perlakuan dengan suhu 25/10˚C


(51)

 35/20˚C memiliki jumlah bunga mekar lebih banyak dari perlakuan lain, rata-ratanya adalah 17,9 bunga mekar per tanaman.

Tabel 8. Jumlah Kuncup Bunga, Bunga Mekar, dan Total bunga Ptilotus axillaris

Keterangan: angka yang diberi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

Jumlah bunga mekar yang lebih banyak diduga disebabkan pengaruh dari faktor suhu pada perlakuan yang mungkin sesuai untuk perkembangan bunga P. axillaris, sehingga jumlah bunga yang dihasilkan pada suhu 25/10˚C 35/20˚C lebih banyak. Jumlah bunga mekar yang lebih sedikit secara umum terdapat pada tanaman di perlakuan dengan suhu 35/20˚C 25/10˚C, rata-rata jumlah bunga mekar pada suhu 35/20˚C 25/10˚C adalah 10,7 bunga per tanaman. Sedikitnya jumlah bunga yang mekar diduga disebabkan oleh yang suhu tinggi pada perlakuan, suhu tinggi dapat membuat proses mekarnya bunga terhambat karena tanaman mempertahankan bunga untuk tidak membuka dengan tujuan agar air di dalam tanaman tidak cepat hilang karena transpirasi.

Perlakuan Jumlah bunga

Kode Perlakuan

Suhu (˚C) Panjang hari

(Jam) Kuncup Mekar Total

P5 (25/10 SD) 58,3 abc 3,8 c 103,0 abcd

P6 (25/10 LD) 38,3 c 2,5 c 101,3 abcd

P7 (25/10 SDLD) 92,7 ab 23,5 bc 117,7 a

P8 (25/10 LDSD) 57,7 abc 36,7 ab 101,3 abcd

Rata-rata 61,8 16,6 105,8

P13 (25/10  35/20 SD) 56,5 abc 45,2 a 113,7 ab P14 (25/10  35/20 LD) 75,7 abc 8,3 c 90,7 abcd P15 (25/10  35/20 SDLD) 80,2 abc 14,0 bc 89,7 abcd P16 (25/10  35/20 LDSD) 40,3 c 4,2 c 109,0 abc

Rata-rata 63,2 17,9 100,8

P1 (35/20 SD) 52,5 bc 21,7 bc 62,5 cde

P2 (35/20 LD) 85,3 abc 17,6 bc 66,2 bcde

P3 (35/20 SDLD) 95,3 ab 8,0 c 82,2 abcd

P4 (35/20 LDSD) 66,3 abc 4,3 c 30,5 e

Rata-rata 74,9 12,9 60,4

P9 (35/20  25/10 SD) 65,0 abc 10,8 c 58,3 de P10 (35/20  25/10 LD) 53,3 bc 17,3 bc 78,5 abcd P11 (35/20  25/10 SDLD) 52,5 bc 5,3 c 72,8 abcde P12 (35/20  25/10 LDSD) 102,3 a 9,5 c 78,2 abcd


(52)

Perlakuan nyata meningkatkan jumlah total bunga P. axillaris per tanaman. Tanaman pada perlakuan P7 (25/10˚C SDLD, Gambar 15c) menghasilkan jumlah total bunga paling banyak yaitu 138,3 bunga per tanaman. Secara umum tanaman pada perlakuan dengan suhu 25/10˚C memiliki jumlah total bunga yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman pada perlakuan suhu lainnya, rata-ratanya adalah 105,8 bunga per tanaman.

Gambar 14. Tanaman Ptilotus axillaris perlakuan: a. P12 (35/20˚C 25/10˚C LDSD); b. P13 (25/10˚C 35/20˚C SD); c. P7 (25/10˚C SDLD).

4.5. Jumlah Daun pada Berbagai Waktu Pengamatan

4.5.1. Jumlah Daun Gomphrena leontopiodes pada Berbagai Waktu Pengamatan

Perlakuan sangat nyata meningkatkan jumlah daun tanaman G. leontopiodes pada saat kuncup bunga muncul (Tabel 9). Tanaman G. leontopiodes pada perlakuan P2 (35/20˚C LD) memiliki jumlah daun saat

muncul kuncup bunga paling banyak yaitu 173,2 helai daun per tanaman, sedangkan, tanaman pada perlakuan P9 (35/20˚C 25/10˚C SD) memiliki jumlah daun saat muncul kuncup bungapaling sedikit yaitu 30,8 helai daun per tanaman.

Perlakuan sangat nyata meningkatkan jumlah daun tanaman G. leontopiodes pada saat bunga mekar (Tabel 9). Tanaman pada perlakuan P1

(35/20˚C SD) memiliki jumlah daun saat bunga mekar paling banyak yaitu 190,0 helai daun per tanaman, sedangkan tanaman pada perlakuan P3 (35/20˚C SDLD) memiliki jumlah daun saat bunga mekar paling sedikit yaitu 17,5 helai daun per tanaman. Tidak terdapat korelasi antara jumlah daun dengan jumlah bunga G.leontopiodes (nilai P = 0,79).


(1)

74

Gambar 6. Tanaman Gomphrena leontopiodes pada Perlakuan: a. 25/10°C→35/20°C SDLD; b. 25/10°C→35/20°C SD; c. 25/10°C→35/20°C LD; d. 25/10°C→35/20°C LDSD.

Gambar 7. Tanaman Gomphrena leontopiodes pada Perlakuan: a. 35/20°C→25/10°C SDLD; b. 35/20→25/10°C LD;


(2)

75

Gambar 8. Tanaman Ptilotus axillaris pada Perlakuan: a. 25/10°C SD; b.25°C LDSD;

c. 25/10°C LD; d. 25/10°C SDLD.

Gambar 9. Tanaman Ptilotus axillaris pada Perlakuan:

a. 25/10°C →35/20°C SDLD; b. 25/10°C →35/20°C SD; c. 25/10°C →35/20°C LD; d. 25/10°C →35/20°C LDSD


(3)

76

Gambar 10. Tanaman Ptilotus axillaris pada Perlakuan: a. 35/20°C SDLD; b. 35/20°C SD;

c. 35/20°C LD; d. 35/20°C LDSD

Gambar 11. Tanaman Ptilotus axillaris pada Perlakuan:

a. 35/20°C → 25/10°C SDLD; b. 35/20°C → 25/10°C SD; c. 35/20°C → 25/10°C LD; d. 35/20°C → 25/10°C LDSD.


(4)

77

Gambar 12. Tanaman Gomphrena leontopiodes yang berada di luar greenhouse.


(5)

78


(6)

79

Gambar 15. a. Peta Suhu pada Bulan Januari di Indonesia dan Australia; b. Peta Suhu pada Bulan Juli di Indonesia dan Australia

a