Ronny Z. P. Situmeang : Uji Eksperimental Perbandingan Unjuk Kerja Motor Bakar Berbahan Bakar Premium Dengan Campuran Premium-Bioetanol Gasohol Be-25 Dan Be-30, 2009.
bersifat karsinogenik dan mutagenik, seperti etilen, formaldehid, benzena, metil nitrit dan hidrokarbon poliaromatik PAH. Mesin solar akan
menghasilkan partikulat dan senyawa-senyawa yang dapat terikat dalam partikulat seperti PAH, 10 kali lebih besar dibandingkan dengan mesin bensin
yang mengandung timbel. Untuk beberapa senyawa lain seperti benzena, etilen, formaldehid, benzoapyrene dan metil nitrit, kadar di dalam emisi
mesin bensin akan sama besarnya dengan mesin solar. Emisi kendaraan bermotor yang mengandung senyawa karsinogenik diperkirakan dapat
menimbulkan tumor pada organ lain selain paru. Untuk itu Bahan Bakar Nabati BBN merupakan cara untuk mengurangi emisi fine-particulates.
6. Mudah larut dalam air dan tidak mencemari air permukaan dan air tanah.
Proses destilasi dapat menghasilkan etanol dengan kadar 95, untuk digunakan sebagai bahan bakar perlu lebih dimurnikan lagi hingga mencapai
99,5 yang sering disebut Fuel Grade Ethanol FGE. Mengingat pemanfaatan etanol yang beraneka ragam, maka kadar etanol yang dimanfaatkan harus berbeda
sesuai dengan penggunaannya. Etanol yang mempunyai kadar 90-96,5 dapat digunakan pada industri, sedangkan etanol yang mempunyai kadar 96-99,5
dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Etanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan yang
harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga etanol harus mempunyai kadar sebesar 99,5-100. Perbedaan besarnya kadar akan
berpengaruh terhadap proses pengolahan karbohidrat menjadi glukosa larut air [4].
2.2 Pembuatan Bioetanol
Pembuatan bioetanol yang menggunakan bahan baku tanaman yang mengandung pati, dilakukan dengan cara mengubah pati menjadi gula glukosa
larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat dan tetes menjadi bioetanol ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Ronny Z. P. Situmeang : Uji Eksperimental Perbandingan Unjuk Kerja Motor Bakar Berbahan Bakar Premium Dengan Campuran Premium-Bioetanol Gasohol Be-25 Dan Be-30, 2009.
Tabel 2.1. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati atau Karbohidrat dan Tetes Menjadi Bioetanol
Bahan Baku Kandungan
Gula dalam Bahan Baku
kg Jumlah Hasil
Konversi Bioetanol liter
Perbandingan Bahan Baku
dan Bioetanol Jenis
Konsumsi kg
Ubi Kayu 1000
250-300 166,6
6,5:1 Ubi Jalar
1000 150-200
125 8:1
Jagung 1000
600-700 200
5:1 Sagu
1000 120-160
90 12:1
Tetes 1000
500 250
4:1 Sumber : www.geocities.com
Pengubahan pati menjadi gula dapat dilakukan dengan dua metode yaitu hidrolisa asam dan hidrolisa enzim. Namun, pada saat ini metode yang lebih
banyak digunakan adalah dengan hidrolisa enzim. Pada proses pengubahan pati menjadi gula larut air yang menggunakan metode hidrolisa enzim dilakukan
dengan penambahan air dan enzim, selanjutnya dilakukan proses fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan ragi. Reaksi yang terjadi pada proses
produksi bioetanol secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2 [30] dibawah ini :
C
6
H
10
O
5
n + H
2
O N C
6
H
12
O
6
1 pati
enzim glukosa
C
6
H
12
O
6
n 2 C
2
H
5
OH + 2 CO
2
2 glukosa ragi etanol
Secara sederhana teknologi proses produksi bioetanol yang menggunakan bahan baku ubi kayu dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi,
dan fermentasi. Pada proses gelatinasi ubi kayu dihancurkan kemudian ditambahkan air sehingga akan diperoleh bubur ubi kayu, dimana pati yang
Ronny Z. P. Situmeang : Uji Eksperimental Perbandingan Unjuk Kerja Motor Bakar Berbahan Bakar Premium Dengan Campuran Premium-Bioetanol Gasohol Be-25 Dan Be-30, 2009.
dihasilkan diperkirakan mencapai 27-30 . Kemudian pati yang telah diperoleh dari bubur ubi kayu tersebut dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel.
Pada umumnya, proses gelatinasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: 1.
Bubur pati dipanaskan sampai 130
o
C selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperatur 95
o
C yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar 15 menit. Kemudian selama sekitar 75 menit,
kondisi temperatur 95
o
C tersebut dipertahankan, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.
2. Pati langsung ditambah enzim termamyl, kemudian dipanaskan sampai
mencapai temperatur 130
o
C selama 2 jam. Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai
keuntungan, yaitu pada suhu 95
o
C aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu 130
o
C pada cara pertama tersebut dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga
lebih mudah terjadi kontak dengan air dan enzim serta dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi. Gelatinasi
cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung gelatinasi dengan enzim termamyl pada temperature 130
o
C menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi dapat mengurangi aktifitas dari ragi. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan
enzim pada suhu 130
o
C akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap ragi. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh
terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95
o
C. Selain itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh
pada temperature 93
o
C, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 107
o
C, half life termamyl tersebut adalah 40 menit. Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai temperatur
55
o
C, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan ragi. Ragi yang sering digunakan dalam
fermentasi alkohol adalah Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi 12-18, tahan
Ronny Z. P. Situmeang : Uji Eksperimental Perbandingan Unjuk Kerja Motor Bakar Berbahan Bakar Premium Dengan Campuran Premium-Bioetanol Gasohol Be-25 Dan Be-30, 2009.
terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32
o
C [31]. Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi
bioetanol. Mekanisme reaksi pada proses fermentasi dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pada saat keadaan aerob asam piruvat diubah menjadi asetil-koenzimA.
Tetapi karena ragi Saccharomyzes ceraviseze dalam keadaan anaerob, asam piruvat diubah menjadi etanol dengan bantuan piruvat dekarboksilase dan alkohol
dehidrogenase melalui proses fermentasi alkohol [19].
C O
O C
O CH
3
piruvat dekarboksilase
CO
2
C O
H CH
3
alcohol dehidrogenase
NADH NAD+
CH2 OH
CH
3
Pyruvat Acetaldehida
Ethanol
Gambar 2.1 Reaksi pengubahan piruvat menjadi alkohol
Bioetanol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gas-gas antara lain CO
2
dan aldehyde. Gas CO
2
pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 , sehingga untuk memperoleh
bioetanol yang berkualitas baik, maka bioetanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan CO
2
dilakukan dengan menyaring bioetanol yang terikat oleh CO
2
, sehingga dapat diperoleh bioetanol yang bersih dari gas CO
2
. Pada umumnya bioetanol atau alkohol yang dihasilkan dari proses fermntasi yang mempunyai kemurnian sekitar 30 – 40, sehingga harus dimurnikan lagi.
Agar mendapatkan kadar bioetanol lebih dari 95 dan dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar
30 – 40 tersebut harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air [32].
Destilasi merupakan pemisahan larutan berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78
o
C sedangkan air adalah 100
o
C. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 – 100
o
C akan mengakibatkan sebagian besar etanol
Ronny Z. P. Situmeang : Uji Eksperimental Perbandingan Unjuk Kerja Motor Bakar Berbahan Bakar Premium Dengan Campuran Premium-Bioetanol Gasohol Be-25 Dan Be-30, 2009.
menguap [29]. Destilasi fraksinasi merupakan pemisahan atau pengambilan uap dari setiap tingkat yang berbeda dalam kolom destilasi. Produk yang lebih berat
diperoleh di bagian bawah, sedangkan yang lebih ringan akan keluar dari bagian atas kolom. Dari hasil destilasi ini, kadar bioetanolnya berkisar antara 95-96.
Namun, pada kondisi tersebut campuran membentuk azeotrope, yang artinya campuran alkohol dan air sukar untuk dipisahkan. Untuk memperoleh bioetanol
dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5 atau yang umum disebut Fuel Grade Ethanol, masalah yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen yang terikat
dalam struktur kimia alkohol dengan cara destilasi biasa, oleh karena itu untuk mendapatkan Fuel Grade Etanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut dengan cara
azeotropic destilasi. Untuk menghasilkan anhydrous alcohol, kondisi azeotrope harus
dipecahkan dengan bahan pelarut lain. Bahan pelarut yang biasa digunakan adalah benzene atau n-hexane. Cara lain yang umum dipakai adalah desiccants process
dan molecular sieves. Pada proses desiccant, untuk mendapatkan anhydrous alcohol digunakan bahan kimia yang sifatnya stabil yang bereaksi hanya dengan
air, dan tidak bereaksi dengan alkohol. Contohnya adalah kalsium oksida. Reaksi antara CaO dengan air mengeluarkan panas, sehingga perlu rancangan khusus
pada kolomnya. Selain itu berbagai macam pati juga dapat dipakai sebagai dessicant. Molecular sieves adalah kristal aluminosilikat, merupakan bahan
penyaring yang tidak mengalami hidrasi maupun dehidrasi pada struktur kristalnya. Molekul penyaring ini secara selektif menyerap air, karena lubang
kristalnya mempunyai ukuran lebih kecil dibanding ukuran molekul alkohol, dan lebih besar dibandingkan molekul air. Alkohol yang berbentuk cair maupun uap
dilewatkan kolom yang berisi bahan penyaring, air akan tertahan dalam bahan tersebut dan akan diperoleh alkohol murni. Biasanya proses ini menggunakan dua
kolom, kolom kedua untuk aliran uap alkohol sedangkan pada kolom pertama setelah proses dialirkan udara atau gas panas untuk menguapkan air [40].
Pada industri pembuatan etanol, juga akan diperoleh hasil lain, baik yang dapat dimanfaatkan langsung maupun harus diproses lebih lanjut. Hasil samping
tersebut antara lain stillage, karbondioksida, dan minyak fusel. Stillage adalah sisa destilasi yang tertinggal dalam kolom bagian bawah dan masih bercampur dengan
Ronny Z. P. Situmeang : Uji Eksperimental Perbandingan Unjuk Kerja Motor Bakar Berbahan Bakar Premium Dengan Campuran Premium-Bioetanol Gasohol Be-25 Dan Be-30, 2009.
air. Stillage tersebut masih banyak mengandung bahan-bahan organik yang tidak terfermentasikan. Stillage dari proses destilasi jumlahnya cukup besar, yaitu 10-13
kali jumlah alkohol yang dihasilkan. Mengingat bahan yang terkandung di dalamnya, maka stillage dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, makanan ternak dan
biogas. Sedangkan gas karbondioksida yang dihasilkan selama proses fermentasi biasanya diserap dan dimurnikan kemudian ditekan menjadi bentuk cair. Minyak
fusel yang pada prinsipnya merupakan campuran n-amyl, n-butyl, isobutyl, n- propyl dan iso-propyl alkohol juga asam-asam, ester maupul aldehid, dapat
digunakan sebagai bahan baku kimia, bahan pelarut dan bahan bakar [41].
Sumber: www.agribisnis.deptan.go.id
Gambar 2.2 Proses Produksi Bioetanol dari bahan berpati
Sumber: www.agribisnis.deptan.go.id
Gambar 2.3 Diagram alir proses pembuatan Bioetanol dari ubi kayu
Ronny Z. P. Situmeang : Uji Eksperimental Perbandingan Unjuk Kerja Motor Bakar Berbahan Bakar Premium Dengan Campuran Premium-Bioetanol Gasohol Be-25 Dan Be-30, 2009.
2.3 Manfaat Bioetanol