BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki abad ke-21, berarti menapaki abad global. Akibat perkembangan teknologi dan transportasi, dunia internasional pada abad ini mengalami sebuah
perubahan besar, yang dikenal dengan era global. Dalam era demikian, situasi dunia menjadi amat transparan, “jendela internasional” terdapat hampir di setiap rumah. Apa
yang terjadi di setiap sudut bumi dalam waktu singkat dapat ditangkap dari berbagai belahan dunia, “pintu gerbang” antar negara semakin terbuka, sekat-sekat budaya
menjadi hilang, budaya antar bangsa semakin membaur, melebur, serta saling mempengaruhi.
Dari sudut ekonomi, era global ini akan di tandai oleh sebuah aktivitas ekonomi baru, yakni perdagangan bebas dan pasar global. Berbagai kawasan dunia, dalam era
global ini, akan menjadi pasar dagang dan lahan investasi internasional secara bebas dan terbuka. Setiap individu dan kelompok bisnis dari suatu negara, akan berinteraksi dengan
individu dan kelompok dari manca negara, baik dalam bentuk kemitraan maupun persaingan. Kondisi ini, pada tahap berikutnya, akan menggiring seluruh penduduk dunia,
memasuki ajang kompetisi global secara ketat, bebas dan terbuka. Untuk memasuki ajang kompetisi global itu, tentu saja di perlukan sejumlah
kualifikasi, baik menyangkut sifat mental maupun keahlian profesi. Kualifikasi ini
penting untuk mempertajam kemampuan dan daya saing, agar tidak tergilas. Di antara kualifikasi penting yang diperlukan dalam kompetisi global adalah etos kerja yang tinggi
. Etos, menurut Clifford Geertz, adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia
yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek evaluatif yang bersifat menilai.
1
Etos kerja, dengan demikian, adalah sikap mental atau cara diri dalam memandang, mempersepsi,
menghayati, dan menghargai sebuah nilai kerja. Etos kerja akan mempengaruhi semangat, kualitas dan produktifitas kerja. Etos
kerja juga dapat membentuk semangat transformatif. Sebuah semangat yang selalu berusaha mengubah keadaan menuju kualitas yang lebih baik. Sebuah semangat dan
sikap mental yang selalu berpandangan bahwa kehidupan hari ini harus lebih baik dari kehidupan kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Maka jelas, kualifikasi
mental yang demikian itu sangat diperlukan untuk memasuki kompetisi global. Pentingnya etos kerja bukan saja dapat dilihat dari perannya dalam menjaga garis-
garis pembangunan nasional dan menghindarkan individu atau negara dari resiko-resiko yang merugikan. Lebih dari itu, ia dapat memotifasi kegairahan berekonomi dan
meningkatkan produktifitas, hingga pada gilirannya dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Orang mulai melihat pentingnya sikap dan kemajuan
ekonomi setelah berkembang menejemen berdasarkan ilmu tabiat behavioral science. “Agar menejemen perusahaan berjalan baik”, anjur Roethlisberger. “Di dalam organisasi
perusahaan terdapat ahli-ahli yang bertugas memberikan diagnosa pada keadaan-keadaan
1
Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta : Yayasan Obor, 1994 h. 3
manusia……
2
sesuatu yang lebih dalam dan mempengaruhi tabiat adalah sikap. Ia bahkan, berdasarkan hasil riset di USA, memiliki kadar 90, selebihnya pengetahuan
dalam menentukan mutu produk perusahaan.
3
Padahal mutu produklah yang paling menentukan maju-mundurnya perusahaan.
Etos itu dibentuk oleh nilai-nilai anutan, maka agama mendapat perhatian yang lebih tinggi, sebagai sesuatu yang bukan saja memberikan aspek etis dari kerja, tapi juga
mengiringinya dengan implikasi yang ekonomis. Pengakuan akan hal ini juga terdengar dari begawannya menejer dunia, Peter F. Drucker, yang mengaku bahwa saat ini, selaku
konsultan menejemen, ia lebih banyak belajar teologi, ketimbang sewaktu masih mengajar agama.
4
Max Weber pernah menjelaskan hubungan fungsional antara nilai suatu ajaran dengan keberhasilan pemeluknya.
5
Islam memiliki pandangan sangat positif terhadap etos kerja. Dalam Islam, kerja bukan semata untuk kerja, kerja tidak murni perkara profan, tidak hanya prilaku duniawi,
bukan hanya mengejar untung atau gaji, juga bukan semata menepis gengsi, misalnya dari tudingan sebagai pengangguran.
Islam adalah agama amal atau kerja, maka inti ajarannya adalah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridho Allah SWT. Melalui kerja atau amal sholeh
2
F.J. Roethlisberger, Menejemen dan Moril Pekerja, Jakarta : Aksara Baru, 1990, h. 171
3
M. Imaduddin Abdurrahim, Sikap Tauhid dan Motifasi Kerja, Ulumul Quran, II, 6 Juli – september 1990 h. 40
4
M. Imaduddin Abdurrahim, Sikap Tauhid dan Motifasi Kerja, h. 45
5
Salah satu pernyataan Weber yang dikutip Taufik Abdullah adalah bahwa “hanya kerja keras saja satu-satunya yang bisa menghilangkan keraguan religius dan memberikan kepastian akan rahmat Tuhan”
Taufiq Abdullah ed , Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h.8
dan dengan memurnikan sikap menyembah hanya kepada-Nya.
6
Ini sesuai dengan pendapat Max Weber, ia berpendapat bahwasanya ada saling ketergantungan timbal balik
antara kepercayaan agama dan motivasi di satu pihak dan gaya hidup serta kepentingan material di pihak lain.
7
Islam memiliki norma-norma yang mendorong manusia untuk bekerja keras dan sungguh-sungguh, namun tetap mempersyaratkan tanggung jawab, pemenuhan hak-hak
diri dan orang lain, serta cara-cara yang halal. “Sistem etika Islam memperlihatkan komitmennya dalam memberikan kondisi spiritual psycho logical dynamics kepada
umatnya untuk melakukan aktivitas keduniawian yang bermakna dan beraspek religius.
8
Sebagai salah satu wadah, sarana atau tempat pendidikan nonformal, maka Majelis Ta’lim Wali Songo selain efektif juga sangat berperan dalam membimbing para pengrajin
kusen untuk meningkatkan etos kerja melalui bimbingan keagamaan yang dilaksanakan rutin setiap hari rabu pukul 20.00 WIB sampai selesai.
Arti bimbingan menurut bahasa adalah menunjukkan orang lain kepada suatu tujuan yang bermanfaat bagi hidupnya.
9
Artinya bimbingan merupakan suatu proses di dalam membantu individu sesuai dengan nama kegiatan tersebut, bentuk yang ada adalah
bimbingan keagamaan yang mencakup nilai-nilai akhlak, syariah muamalah, maupun masalah-masalah aqidah.
6
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan. Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995, cet., ke-5. h. 216
7
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Terjemahan oleh Robert M.Z, Lawang Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994, h. 224
8
Sugeng Sugiono, Etos Kerja Wanita Bakul di Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, Jurnal Penelitian Agama, 03, Januari 1993, h.38
9
Muhammad Arifin, Pedoman Pelaksanaan
Bimbingan
Penyuluhan Agama , Jakarta : PT. Golden
Terayon Press, 1982, cet., ke-5, h.1.
Melalui majelis ta’lim Wali Songo, para jamaah yang terdiri dari para pengusaha pengrajin kusen, mereka berusaha mendapatkan arti hidup sebenarnya, yakni dari
berbagai literatur dan contoh kehidupan nabi-nabi serta para ahli hikmah seperti para wali Allah, serta berusaha memahami keseimbangan antara hidup di dunia dan hidup di
akhirat yang disampaikan oleh pembimbing. Mereka sebagai pengrajin dan pedagang mengharapkan ilmu agama Islam yang pada gilirannya akan mendorong mereka untuk
melakukan muamalah secara benar khususnya dalam etos kerja mereka dalam berkarya. Merekapun secara konsisten istiqomah melakukan kegiatan sosial, seperti memberikan
santunan kepada para kaum du’afa dan anak-anak yatim stiap bulan.
B. Pembatasan dan Perumuhan Masalah