ﺪﺴْ ضْرﺄْا اْﻮ ْ ﺎ و ْ هءﺎ ْ أ سﺎ ا اﻮﺴ ْ ﺎ و ﻂْﺴ ْﺎ ناﺰ ْاو .
ﺮْ ا ﺔ ﻆ ْ ﻜْ ﺎ أ ﺎ و
ْﺆ ْ ْآ ْنإ ْ ﻜ .
ْ ْنأ كﺮ ْﺄ ﻚ ﺎ أ ْ ﺎ اﻮ ﺎ ﺪ ْ ﺎ كﺮ
ﺪ ﺮ ا ْا ْﺄ ﻚ إ ءﺎ ﺎ ﺎ اﻮْ أ ْ ْنأ ْوأ ﺎ ؤﺎ اء
.
“Dan kepada penduduk Mad-yan Kami utus saudara mereka, Syu`aib. Ia berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia.
Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik mampu dan sesungguhnya aku khawatir
terhadapmu akan azab hari yang membinasakan kiamat. Dan Syu`aib berkata: Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu
merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa keuntungan dari Allah
adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu. Mereka berkata: Hai Syu`aib, apakah agamamu yang
menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta
kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal. Q.S. Huud 11 : 84-87
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa Islam mempunyai prinsip ekonomi yang menekankan pada kejujuran serta keadilan. Setiap orang yang melakukan prilaku
ekonomi, maka setiap prilakunya akan di pertanggungjawabkan di akhirat yaitu di pengadilan Tuhan yang maha adil. Orang yang beriman kepada hari akhir dan yakin
tentang adanya pengadilan Tuhan, maka ia tidak akan merugikan orang lain serta ia akan melakukan tindakan ekonomi yang mempunyai prinsip keberkahan.
B. Etos Kerja 1. Pengertian Etos Kerja
Ethos , berasal dari bahasa Yunani yaitu ethikos, ethika, bermakna custom, usage,
characters
19
. Etos, menurut Cliffor Geertz, adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan
19
Webster’s Third New International Dictionary of English Language, New York Merriam
Webster’s Inc, 1986, h. 877-878.
dunia yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek evaluatif yang bersifat hidup. Etos adalah aspek evaluatif yang bersifat menilai.
20
Kerja dapat didefinisikan sebagai: Suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis maupun
sosial. Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi semua kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial da rasa ego. Selain
itu, kerja merupakan aktifitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri. Dukungan sosial ini dapat berupa penghargaan masyarakat terhadap aktifitas yang di
tekuni. Sedangkan dukungan individu dapat berupa kebutuhan-kebutuhan yang melatarbelakangi aktifitas kerja seperti kebutuhan untuk aktif, berproduksi, berkreasi,
untuk memperoleh pengakuan dari orang lain, memperoleh nama baik dan lainnya.
21
Adapun pengertian ethos kerja adalah: a. Dasar motivasi yang terdapat dalam budaya suatu masyarakat yang menjadi
penggerak bathin anggota masyarakat yang mendukung budaya itu untuk melakukan suatu kerja.
b. Nilai-nilai tertinggi dalam gagasan budaya terhadap kerja yang dapat menjadi bagian penggerak bathin masyarakat yang melakukan
c. Pandangan hidup yang khas dari suatu masyarakat terhadap kerja yang dapat mendorong keinginannya untuk melakukan pekerjaan itu.
22
Etos kerja, dengan demikian, adalah sikap mental atau cara diri dalam memandang, mempersepsi, menghayati, dan menghargai sebuah nilai kerja..
20
Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta : Yayasan Obor h.3
21
Ali Sumanto Al-Kindi, Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Membrantas Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan Umat,
Solo: Aneka, 1996, cet., ke-1, h. 41
22
Made Purna ed, Etos Kerja Dalam Ungkapan Tradisional, Jakarta: Depdikbud, 1991, h.73
Etos kerja akan mempengaruhi semangat, kualitas dan produktifitas kerja. Etos kerja juga dapat membentuk semangat transformatif. Sebuah smangat yang selalu
berusaha mengubah keadaan menuju kualitas yang lebih baik. Sebuah semangat dan sikap mental yang selalu berpandangan bahwa kehidupan hari ini harus lebih baik dari
kehidupan kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Maka jelas, kualifikasi mental yang demikian itu sangat diperlukan untuk memasuki kompetisi global.
2. Unsur-unsur Etos Kerja
Dalam pembahasan etos kerja, maka yang menjadi unsur-unsurnya adalah: a.
Cara Pandang Bekerja sangatlah penting sebagaimana pentingnya ibadah, bekerja juga
merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa yakni sebuah ketaatan kepada sang Kholik, karena orang yang bekerja dan berpenghasilan akan sanggup
memberi makan, pakaian dan tempat tinggal kepada keluarga yang di tanggungnya. Kewajiban bagi seorang pemimpin rumah tangga misalnya,
termaktub di dalam al-Quran surah al-Baqarah2:233 berikut:
فوﺮْ ْﺎ ﻬ ﻮْﺴآو ﻬ ْزر دﻮ ْﻮ ْا ﻰ و
“… Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf...”
Islam mewajibkan kepada semua pengikutnya untuk bekerja. Ia tidak mengizinkan adanya kaum yang menjauhkan diri dari pencaharian rizki dan hanya berpangku
tangan atau mengharap dikasihani orang. Kerja merupakan pendekatan taqorrub kepada Allah dan pencapaian ridho-Nya ibtigha’u mardhatihi harus dilakukan
melalui kerja nyata atau amal sholeh.
.
ﺎ ﺎ ْﺪآ ﻚ ر ﻰ إ حدﺎآ ﻚ إ نﺎﺴْﺈْا ﺎﻬ أﺎ
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya”. Q.S. Al-Insyiqaq84: 6
b. Motivasi Kerja
Motivasi kerja menurut Sergiovanni yang dikutip oleh Ibrahim Bafadal menyatakan bahwa motivasi kerja adalah keinginan dan kemauan seseorang untuk mengambil
keputusan, bertindak dan menggunakan seluruh kemampuan psikis, sosial dan kekuatan fisiknya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang adalah atasan, rekan, sarana fisik kebijaksanaan dan peraturan perusahaan, imbalan jasa uang atau non-
uang, dan jenis pekerjaan.
c. Disiplin Kerja
Disiplin kerja adalah suatu sikap, perbuatan untuk selalu mentaati tata tertib.
23
Sedangkan disiplin dalam kerja adalah sikap kejiwaan seseorang atau kelompok yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti atau memetuyhi segala
peraturan yang telah ditentukan.
24
Kedisiplinan dalam bekerja antara lain tercermin melalui sikap tanggung jawab terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya
sehingga seseorang itu mampu menghargai waktu, rajin mengerjakan apa yang menjadi tugasnya serta mampu mematuhi segala peraturan dan tata tertib dimana ia
23
Pandji Anoraga, Psikologi Kerja, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, h. 46
24
Panji Anoraga dan Sri Suryati, Perilaku Keorganisasian, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995, cet., ke-1, h.123
bekerja. Orang yang mempunyai kedisiplinan juga bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
d. Produktivitas
Produktivitas sangat penting dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan perluasan kerja. Produktivitas mengandung pengertian
yang berkenaan dengan konsep ekonomis, filosofis dan sistem. Sebagai konsep ekonomis, produktivitas berkenaan dengan usaha-usaha atau
kegiatan manusia untuk menghasilkan barang atau jasa yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan masyarakat pada umumnya.
Sebagai konsep filosofis, produktivitas mengandung pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan dimana hari ini
harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari kemarin. Sedangkan konsep sistem, memberikan pedoman pemikiran bahwa pencapaian
suatu tujuan harus ada kerjasama atau suatu keterpaduan dari unsur-unsur yang relevan sebagai sistem. Produktivitas kerja sebagai sistem tidak mungkin dapat
ditingkatkan tanpa dukungan subsistem yang antara lain berupa pendidikan, teknologi, tata nilai, iklim kerja, derajat kesehatan, pengalaman dan tingkat upah
minimal. e.
Prestasi Kerja Prestasi kerja berasal dari bahasa Belanda prestatie yang memiliki pengertian
“apa yang telah diciptakan; hasil belajar; hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dari jalan keuletan”. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia
1990 prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Yang termasuk aspek-aspek prestasi kerja adalah: 1. Kesetiaan, 2. Kualitas kerja, 3. Tanggung jawab, 4.
Ketaatan dan 5. Kejujuran. 3.
Etos Kerja Dalam Perspektif Islam
Etos kerja termasuk salah satu di antara global narrative, pembicaraan global. Salah satu di antara ciri sumber daya manusia SDM yang diharapkan oleh negara-negara maju
dan berkembang adalah warga yang memiliki etos kerja tinggi. Dalam menejemen Industri, ada empat parameter yang biasanya digunakan untuk melihat seseorang atau
kelompok memiliki etos kerja atau tidak. Pertama, bagaimana pandangan seseorang tentang kerja. Orang yang memiliki etos kerja tinggi dan baik pasti mempunyai
pandangan bahwa kerja sebagai hal yang mulia. Karena sebagai hal yang mulia, dia menghargai kerja. Parameter kedua, ada atu tidakadanya semangat untuk melakukan
pekerjaan, semangat bekerja atau menyelesaikan pekerjaan. Orang-orang yang memiliki etos kerja yang baik, apabila ditugasi melakukan pekerjaan akan tumbuh semangatnya
untuk menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik. Parameter ketiga adalah adnya upaya untuk menyempurnakan suatu kerja agar menjadi lebih produktif. Dia tidak hanya
melakukan suatu pekerjaan berdasarkan semangat atau perintah saja, tetapi berusaha menjadikan cara kerja, model kerja, atau sistem kerja menjadi lebih baik dan bernilai
produktif. Adapun parameter keempat, adanya kebanggaan dapat melakukan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Dia merasa bangga dan puas kalau dapat melakukan pekerjaan
itu dengan baik. Orang yang memiliki empat parameter tersebut dianggap orang ang memiliki etos kerja yang tinggi.
Bagaimana Islam memandang kerja? Dalam kajian tasawuf, posisi manusia terhadap kerja dapat dibagi ke dalam dua kategori atu dua tipe. Tipe pertama, adalah
orang yang berada di maqom tajrid, artinya orang yang posisinya sudah tidak lagi membutuhkan kerja. Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak membutuhkan
kerja misalnya karena usia yang telah lanjut, atau kemungkinannya sangat kecil untuk melakukan pekerjaan, atau karena orang tersebut sudah mempunyai satu tingkat tertentu
dalam hidupnya sehingga tidak menginginkan berbagai kesenangan yang mengharuskan dia kerja. Misalnya, orang yang hidupnya sudah mapan atau karena ia memilih hidup
sederhana. Dia tidak mempunyai keinginan-keinginan lain secara berlebihan kecuali kebutuhan yang sangat primer. Mungkin orang tersebut sudah menyerahkan hidupnya
untuk kepentingan lain, misalnya beribadah. Tapi sebaliknya, ada tipe kedua yaitu orang yang berada pada maqom ikhtiar, masih memerlukan usaha. Sebab dia masih
membutuhkan rumah, kendaraan, baju baru, menyekolahkan anak, dan berbagi kebutuhan lain. Oleh sebab itu, jika ada orang yang masih menginginkan makan enak, tetepi tidak
mau bekerja pada dasarnya ia menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Mestinya ia berada pada maqom ikhtiar tetapi ia menempatkan dirinya pada maqom tajrid.
Kajian ini akan menafikan orang-orang yang sudah membebaskan diri dari kebutuhan kerja maqom tajrid. Fokus pembahasan ini adalah berkenaan dengan orang
yang berada di maqom ikhtiar. Islam sebagai agama yang mempunyai konsep mengenai suatu kehidupan bahagia way of life memberi petunjuk bahwa bekerja adalah sesuatu
yang harus dilakukan, khususnya bagi orang-orang yang berada pada maqom ikhtiar. Etos kerja dalam Islam merupakan manifestasi kepercayaan seorang muslim bahwa
kerja memiliki kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah. Dalam
kata lain, etos kerja dalam Islam adalah cara pandang yang diyakini seorang mukmin bahwa bekerja adalah bukan hanya untuk memuliakan dirinya, atau untuk menampakkan
kemanusiannya, tetapi juga sebagai manifestasi amal sholih karya produktif, yang karenanya, memiliki nilai ibadah yang sangat luhur. Penghargaan hasil kerja dalam Islam
lebih setara dengan iman, bahkan bekerja dapat dijadikan jaminan atas ampunan dosa, sebagaiman yang disbdakan Rosulullah saw. Yang berbunyi:
“Barang siapa yang di waktu sorenya merasa kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka di sore itulah ia diampuni dosanya.” H.R. Ibnu
‘Abbas
Sebagaimana cara pandang diatas, kerja keras memiliki kaitan organik dengan tanggung jawab umat Islam yang diberi atribut oleh Allah sebagai umat terbaik khaira
ummah yang dilahirkan untuk manusia, dengan tugas menyeru kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar. Gelar khaira ummah ini hanya akan menjadi slogan yang kosong, lipstick, serta retorika tanpa makna, bila tidak di iringi dengan semangat kerja
serta kesadaran berkreasi, berinovasi, dan berproduksi. Hanya pribadi yang menghargai nilai kerja yang kelak mampu membentuk masyarakat yang tangguh. Sebaliknya pribadi
yang malas dan bermental pengemis, hanya akan mengorbankan dan menjerumuskan masyarakat dan generasinya ke dalam situasi sulit.
Sejalan dengan tanggung jawab sebagai khaira ummah tersebut, Islam senantiasa memotivasi pemeluknya untuk bekerja tanpa kenal lelah, bersemangat seakan hidup tak
akan pernah berakhir. Rasulullah saw. Bersabda yang berbunyi:
ا ﻚ ﺎآ كﺎ ﺪ
ﻚ ﺮ ﻻ او اﺪ ا
اﺪﻏ تﻮ ﻚ ﺎآ
“Berusahalah kamu untuk duniamu, seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan berusahalah kamu untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari.”
H.R. Ibn ‘Asakir
Dalam hadits lain Rasulallah saw. Bersabda yang artinya: “Berpagi-pagilah kamu mencari rizki dan kebutuhan hidup, sebab waktu
pagi itu mengandung berkah keberhasilan”. H.R. ‘Aisyah Islam mengancam pemeluknya yang malas, suka mengkhayal, dan hanya bersandar
pada angan-angan kosong. Ali bin Abi Thalib melarang anaknya yang bersandar pada angan-angan kosong, karena menurutnya, perbuatan demikian adalah pakaian orang-
orang bodoh. Nabi juga sangat cemas dan khawatir terhadap umatnya yang suka berfoya-
foya, tidak produktif, serta rendah etos kerjanya. Dalam sebuah riwayat Daruquthni,
Nabi bersabda yang berbunyi: “Yang paling aku khawatirkan menimpa umatku adalah banyak makan, tidur
berkepanjangan, pemalas dan lemah keyakinan.” H.R. Ad-Daruquthni Dari hadits ini jelas sekali Islam mengajak umatnya untuk bekerje keras dan tidak
boleh menjadi pemalas yang mempunyai cita-cita tetapi tanpa adanya suaru tindakan yang dapat merubah nasibnya.
4. Hubungan Agama dan Etos Kerja
Agama sangat berperan terhadap pola tindakan, keagamaan pada diri seseorang disebut religiitas. Menurut Glock dan Stark, ada lima macam dimensi religusitas yaitu
dimensi keyakinan, dimensi peribadatan atau praktek keagamaan, dimensi penghayatan, dimensi pengamalan, dan dimensi pengetahuan agama
25
. Penjelasan dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dimensi keyakinan
25
Djamaluddin Ancok, Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995 cet., ke-2, h. 70
Dimensi ini berisi tentang pengakuan akan kebenaran ajaran-ajaran agama. Seorang yang beragama akan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran yang diyakininya dan
mengakui akan kebenaran doktrin-doktrin yang di terimanya. b.
Dimensi peribadatan atau praktek agama Dimensi ini mencakup prilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal lain yang dilakukan
untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. c.
Dimensi pengalaman atau penghayatan Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan dan
sensasi-sensasi yang dialami oleh seseorang. d.
Dimensi pengetahuan agama Pengetahuan ini berhubungan dengan sejauh mana pengetahuan yang dimiliki
seseorang tentang agama. e.
Dimensi pengamalan Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat dari keyakinan keagamaan, praktek,
pengalaman, dan pengetahuan seseorang tentang agama yang dianutnya. Dimensi pengamalan yaitu sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi prilaku
pemeluknya.
26
Max Weber, sosiolog berkebangsaan Jerman adalah yang pertama kali membahas hubungan antara agama dan prilaku ekonomi atau agama dengan etos kerja. Dari sekian
banyak sumbangan Weber terhadap pengembangan sosiologi ekonomi ada beberapa tulisannya yang penting dibahas, salah satunya, adalah The Protestan Ethic and The
Spirit of Capitalism . Dalam tulisan tersebut Weber menyatakan bahwa ketelitian yang
khusus, perhitungan dan kerja keras dari bisnis Barat didorong oleh perkembangan etika
26
Djamaluddin Ancok, Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, h. 71
protestan yang muncul pada abad ke-16 dan digerakkan oleh doktrin Calvinisme yaitu doktrin tentang takdir. Pemahaman tentang takdir menurut adanya kepercayaan bahwa
tuhan telah memutuskan tentang keselamatan dan kecelakaan. Selain itu doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorangpun dapat mengetahui apakah dia termasuk orang yang
terpilih. Dalam kondisi seperti ini, menurut Weber, pemeluk Calvinisme mengalami “panik terhadap keselamatan”. Cara untuk menenangkan kepanikan tersebut adalah
orang harus berfikir bahawa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk mencapai keberhasilan
seseorang harus mencapai aktivitas kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi, yang dilandasi oleh disiplin dan bersahaja, yang didorong oleh keagamaan. Menurut Weber
etika kerja Calvinisme yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakt barat kepada perkembangan masyarakat kapitalis modern. Jadi, doktrin
Calvinisme tentang takdir memberikan daya dorong psikologis bagi rasionalisasi.
27
Menurut Weber, bahwa ada saling ketergantungan antara kepercayaan agama dan motivasi di satu pihak dan gaya hidup serta kepentingan material di pihak lain. Observasi
awal Weber dari fakta sosiologis yang di temukan di Jerman, bahwa sebagian besar dari pimpinan perusahaan pemilik modal dan personal teknik dan komersial tingkat atas
adalah orang Protestan bukannya Katolik. Weber bertolak dari suatu asumsi dasar bahwa rasionalitas adalah unsure pokok yang menyebabkan peradaban mempunyai arti nilai dan
pengaruhyang universal. Prilaku ekonomi kapitalis kata weber bertolak pada keuntungan yang di dapat dengan mempergunakan kesempatan bagi tukar-menukar secara formal
berdasarkan kesempatan mendapatkan untung yang damai.
27
Drs. Damsar. MA, Sosiologi Ekonomi Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997 cet., 1, h. 18
Kapitalisme modern timbul sebagai hasil kumulatif kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan agama yang berakar jauh di dalam sejarah Eropa. Mulai dari masa
reformasi sampai kira-kira abad ke- 18 pengaruh agama sangat menentukan. “ Protestanisme dan Calvinisme, menimbulkan semacam etika tertentu yang bersumbu
pada kapitalisme, melahirkan suatu panggilan beruf calling,” demikian ungkap Weber. Ia menjelaskan bahwa “ beruf” atau panggilan adalah konsepsi agama yang ditentukan
Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas dimana harus bekerja.
28
Pendapat lain mengenai hubungan agama dengan etos kerja ialah yang dikemukakan oleh sosiolog Robert N. Bellah, ia mengatakan:
Adanya hubungan dinamis antar agama Tokugawa dan kebangkitan ekonomi Jepang modern. Baginya, etika ekonomi Jepang modern bersumber dari etika kelas
samurai yang merupakan tulang punggung pembaharuan Meiji 1869-1911, dan etika samurai sendiri berakar dalam ajaran-ajaran Tokugawa. Salah satu ajaran agama
Tokugawa tentang etika samurai yaitu,” bekerja keraslah dan hiduplah sederhana, dan penuh perhatian kepada orang lain”.
29
Dari teori-teori diatas sangat jelas, bahwa agama memang sangat berkaitan dengan etos kerja seseorang. Sebagaimana kita ketahui, agama, selain fungsinya sebagai sistem
keyakinan dan sistem peribadatan, agama juga sebagai sistem kemasyarakan termasuk di dalamnya tentang prilaku ekonomi dalam hal ini etos kerja seseorang. Agama
mengajarkan untuk menghargai bentuk-bentuk dan hasil kerja sebagai wujud dari usaha dalam mencapai tujuan beragama, sehingga mendorong umatnya untuk bekerja keras.
28
Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Talcott Parsons terj., Charles Scribner’s Son, 1998, h. 80
29
Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, h. 144
C. Peranan Majelis Ta’lim