2.2. Pemberdayaan Perempuan
Secara fakta konstruksi nilai sosial yang berbeda mengakibatkan kondisi yang berbeda pula dalam kesempatan, prestasi, dan kualifikasi antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh masuknya perempuan ke dunia kerja atau lebih dikenal dengan ranah publik dengan pendidikan terbatas hanya akan menduduki kondisi kurang penting.
Kalaupun perempuan berhasil berkarier harus dapat berjuang keras untuk menembus dominasi laki-laki dan menembus normative nilai sosial yang sering mempertanyakan
kemampuan seorang perempuan karena kondisi kepermpuanannya. Berbicara mengenai pemberdayaan dan penghapusan diskriminasi pada kaum
perempuan tidak terlepas dari berbagai kebutuhan gender, baik yang praktis maupun strategis sebagai kriteria evaluasi untuk beberapa pendekatam pembangunan yang
berbeda. Kebutuhan Praktis Gender lebih menekankan pada model pemenuhan kebutuhan yang segera guna meringankan beban kehidupan perempuan sehari-hari, tetapi tidak
menyinggung ketaksejajaran inequality pembagian kerja secara seksual ataupun ketidaksejajaran antara-gender, misalnya seperti penyediaan tempat-tempat penitipan
anak, dapur-dapur umum, pemakaian alat-alat kontrasepsi, dan tempat perlindungan untuk perempuan yang dianiaya. Sedangkan Kebutuhan Strategis Gender merupakan
kebutuhan jangka panjang yang menghilangkan ketidakseimbangan gender di dalam rumah tangga serta menjamin hak serta peluang perempuan untuk mengungkapkan
kebutuhan mereka seperti dibuatkannya UU Persamaan Hak dan persamaan upah untuk
pekerjaan yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Ada lima pendekatan yang sering dipakai guna terciptanya keadilan dan kesejahteraan perempuan di dalam pembangunan, khususnya pada negara-negara yang
sedang berkembang, termasuk Indonesia. Antara lain : Pendekatan Kesejahteraan Welfare Approach, Pendekatan Kesamaan Equality Approach, Pendekatan Anti
Kemiskinan Anti-Poverty Approuch, Pendekatan Efisiensi Eficiency Approuch, dan Pendekatan Pemberdayaan Empowerment Approuch.
Untuk kasus perempuan bekerja yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah bawah, Pendekatan Anti Kemiskinan dinilai lebih tepat dan
memungkinkan untuk dapat diterapkan. Pendekatan ini lebih menekankan pada upaya menurunkan ketimpangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki. Karena kelompok
sasarannya adalah para “pekerja yang miskin”, maka sektor informal dipandang sebagai sebuah jalan keluar dengan asumsi bahwa sektor informal akan mampu meningkatkan
kesempatan kerja secara mandiri. Pendekatan ini sejalan dengan strategi pembangunan “pemerataan dengan
pertumbuhan” redistribution with growth dan strategi “kebutuhan dasar” basic needs. Pendekatan Anti Kemiskinan untuk perempuan menitikberatkan pada peranan produktif
mereka, atas dasar bahwa penghapusan kemiskinan dan peningkatan keseimbangan pertumbuhan ekonomi membutuhkan peningkatan produktivitas perempuan pada rumah
tangga yang berpendapatan rendah. Asumsi awal pendekatan ini ialah bahwa kemiskinan perempuan dan ketimpangannya dengan laki-laki diakibatkan oleh kesenjangan peluang
untuk memiliki tanah dan modal serta diskriminasi seksual dalam pasar tenaga kerja.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga segala proyekkegiatan yang dapat menciptakan penghasilan income generating activities bagi perempuan sangat diutamakan.
2.3. Konsep Gender