Fenomena Perempuan Shopaholic Di Kota Medan (Studi Kasus pada Perempuan Shopaholic di Kota Medan)

(1)

1 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FENOMENA PEREMPUAN SHOPAHOLIC DI KOTA MEDAN

(Studi Kasus pada Perempuan Shopaholic di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

FITRIA WIDYA LESTARI

060901010

DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

2 ABSTRAKSI

Beberapa tahun terakhir ini, shopaholic atau compulsive shopper telah menjadi perhatian berbagai program televisi dan majalah perempuan. Mereka juga telah menjadi topik perbincangan para sosiolog. Meski media massa menggunakan istilah dengan agak “serampangan”, sebenarnya seorang shopaholic sering merasa terasing, sangat ketakutan, dan kehilangan kendali diri. Tidak diragukan lagi, kita hidup dalam masyarakat yang sangat “gemar belanja”. Kita hidup berdasar pada kekayaan yang kita miliki dan banyak dari kita hidup dalam belitan hutang. Banyak orang, berapapun penghasilannya, memandang belanja sebagai sebuah hobi. Mereka menghabiskan akhir pekan dengan berbelanja, menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak mereka miliki, dan sering menyesali perbuatannya di kemudian hari. Seorang shopaholic belanja di luar kendali. Mereka akan belanja saat berada dalam situasi emosional, dan menggunakan belanja sebagai mekanisme bertahan hidup. Mereka tidak berhenti belanja karena mereka sungguh-sungguh menemukan kenikmatan dalam belanja. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti fenomena perempua shopaholic ini.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Nawawi, 1994 : 2004). Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh), misalnya tentang perilaku, motivasi, tindakan, dan sebagainya (Moleong, 2005:4). Studi kasus adalah suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetil, dan komprehensif. Studi kasus dapat juga didefenisikan sebagai suatu metode yang dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial, memberikan penekanan pada pengumpulan data mengenai sebagian atau seluruh unsur kehidupan seseorang atau suatu kelompok, maupun hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam situasi sosial atau kebudayaan tertentu (Yin, 2003 : 1).

Setelah melakukan penelitian maka ditemukan data bahwa seorang shopaholic suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya, merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya, pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut, memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dan lain-lain yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan, selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja, merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya, tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya. Hal ini disebabkan maraknya gaya hidup konsumerisme hedonistik, iklim kehidupan dan pola relasi sosial yang kian impersonal (lebih menekankan fungsi, tidak begitu peduli pada kebutuhan empati dan afeksi), tempo kerja yang semakin cepat sehingga banyak orang mengalami keterasingan (alienasi) di tengah lingkungan hidupnya.


(3)

3 KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, anugerah dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proses perkuliahan di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, mulai dari semester pertama sampai pada penyusunan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dengan judul : “Fenomena Perempuan Shopaholic di Kota Medan (Studi Kasus pada Perempuan Shopaholic di Kota Medan)”.

Skripsi ini secara khusus penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda Adi Suwito dan Ibunda Dwi Susanti. Beribu-ribu ucapan terimakasih tidak akan dapat membalas setiap doa, dukungan, pengorbanan dan kasih sayang mereka yang telah diberikan kepada penulis sampai saat ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada saudara-saudari kandung penulis yang tersayang Yudha Hadiwinata, ST ; Widya Sartika ; Aji Pranata Negara atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama ini.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima saran, masukan, motivasi, dukungan dan bantuan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :


(4)

4 1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. T. Ilham Saladin, M.Si selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Henry Sitorus, M.Si selaku dosen pembimbing penulis yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing penulis di tengah-tengah kesibukan beliau yang cukup padat. Beliau senantiasa sabar dalam membimbing penulis hingga penulisan skripsi ini selesai. Berkat beliau penulis memperoleh banyak pengetahuan baru mengenai sistematika penulisan, metode penelitian dan hal-hal baru yang berkaitan dengan penyusunan skripsi.

5. Penguji I dan Penguji II yang akan menguji penulis dalam sidang meja hijau. 6. Kak Fenni Khairifa, S.Sos, M.Si selaku staf administrasi di Departemen

Sosiologi. Terimakasih atas segala bantuannya.

7. Kak Nurbaiti selaku pegawai pendidikan bagian Departemen Sosiologi. Terima kasih atas bantuannya selama ini.

8. Seluruh dosen di Departemen Sosiologi dan staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan berbagai materi kuliah selama penulis menjalani perkuliahan di kampus ini. 9. Senior-senior penulis yang telah menjadi alumni (Ferdinan Delessed Girsang,


(5)

5 memberikan berbagai pengalaman kepada penulis. Terima kasih buat kebersamaan dan semangatnya selama ini. Semoga kita menjadi orang yang berhasil dan berguna untuk masyarakat luas. Amin.

10.Untuk rekan-rekan satu stambuk dan seperjuangan penulis : Eric Christian Pasaribu, Jhon Anggredi Sitio, Maya Novita, S.Sos, Vivi Syahfitri, S.Sos, Theo Panggabean, S.Sos, Herbin Martin, Riandiko, Chandra, Prabu, Irma, Dilla, Zulfadli, Asma, dan kawan-kawan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih banyak buat kebersamaan kita selama ini. Banyak hal yang telah kita lewati bersama selama menjalani perkuliahan di kampus tercinta. Terimakasih juga karena telah memberikan sumbangan pemikiran dan motivasi kepada penulis.

11.Junior-junior penulis di Departemen Sosiologi : Martinus Alfredo Munthe, S.Sos, Lia Lidia Saragih, S.Sos, Martogi, dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih buat doa dan dukungannya kepada penulis.

12.Para informan yang telah berbagi kisah hidup dan pengalaman dengan penulis.

13.Semua pihak yang turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih buat bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna adanya. Untuk itu penulis mengharapkan masukan dari para pembaca sekalian dalam bentuk kritik dan


(6)

6 saran yang cukup membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih banyak.

Medan, April 2013 Penulis,


(7)

7 DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Definisi Konsep ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi dan Gaya Hidup ... 9

2.2. Teori Labeling……….………...…...9

2.3. Kondisi Status Sosial Ekonomi Masyarakat...……….12

2.4. Teori Kebutuhan………...13

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 18

3.2. Lokasi Penelitian ... 18 3.3. Unit Analisis dan Informan


(8)

8

3.3.1. Unit Analisis ... 19

3.3.2. Informan ... 19

3.4.Teknik Pengumpulan Data ... 21

3.5. Interpretasi Data ... 22

3.6. Keterbatasan Penelitian ... 23

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL INFORMAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………...24

4.1.1. Sun Plaza ”SURGA” bagi Perempuan Shopaholic Kota Medan...29

4.2. Profil Informan...32

BAB V INTERPRETASI DATA 5.1. Shopaholic ... 40

5.2. Perilaku Konsumen...43

5.3. Gaya Hidup………...………..56

5.4. Teorisasi Gaya Hidup.……….65

5.5. Pertukaran Simbolik……….65

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan………..67

6.2. Saran………69 DAFTAR PUSTAKA


(9)

2 ABSTRAKSI

Beberapa tahun terakhir ini, shopaholic atau compulsive shopper telah menjadi perhatian berbagai program televisi dan majalah perempuan. Mereka juga telah menjadi topik perbincangan para sosiolog. Meski media massa menggunakan istilah dengan agak “serampangan”, sebenarnya seorang shopaholic sering merasa terasing, sangat ketakutan, dan kehilangan kendali diri. Tidak diragukan lagi, kita hidup dalam masyarakat yang sangat “gemar belanja”. Kita hidup berdasar pada kekayaan yang kita miliki dan banyak dari kita hidup dalam belitan hutang. Banyak orang, berapapun penghasilannya, memandang belanja sebagai sebuah hobi. Mereka menghabiskan akhir pekan dengan berbelanja, menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak mereka miliki, dan sering menyesali perbuatannya di kemudian hari. Seorang shopaholic belanja di luar kendali. Mereka akan belanja saat berada dalam situasi emosional, dan menggunakan belanja sebagai mekanisme bertahan hidup. Mereka tidak berhenti belanja karena mereka sungguh-sungguh menemukan kenikmatan dalam belanja. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti fenomena perempua shopaholic ini.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Nawawi, 1994 : 2004). Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh), misalnya tentang perilaku, motivasi, tindakan, dan sebagainya (Moleong, 2005:4). Studi kasus adalah suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetil, dan komprehensif. Studi kasus dapat juga didefenisikan sebagai suatu metode yang dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial, memberikan penekanan pada pengumpulan data mengenai sebagian atau seluruh unsur kehidupan seseorang atau suatu kelompok, maupun hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam situasi sosial atau kebudayaan tertentu (Yin, 2003 : 1).

Setelah melakukan penelitian maka ditemukan data bahwa seorang shopaholic suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya, merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya, pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut, memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dan lain-lain yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan, selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja, merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya, tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya. Hal ini disebabkan maraknya gaya hidup konsumerisme hedonistik, iklim kehidupan dan pola relasi sosial yang kian impersonal (lebih menekankan fungsi, tidak begitu peduli pada kebutuhan empati dan afeksi), tempo kerja yang semakin cepat sehingga banyak orang mengalami keterasingan (alienasi) di tengah lingkungan hidupnya.


(10)

9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Beberapa tahun terakhir ini, shopaholic atau compulsive shopper telah menjadi perhatian berbagai program televisi dan majalah perempuan. Mereka juga telah menjadi topik perbincangan para sosiolog. Meski media massa menggunakan istilah dengan agak “serampangan”, sebenarnya seorang shopaholic sering merasa terasing, sangat ketakutan, dan kehilangan kendali diri. Tidak diragukan lagi, kita hidup dalam masyarakat yang sangat “gemar belanja”. Kita hidup berdasar pada kekayaan yang kita miliki dan banyak dari kita hidup dalam belitan hutang. Banyak orang, berapapun penghasilannya, memandang belanja sebagai sebuah hobi. Mereka menghabiskan akhir pekan dengan berbelanja, menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak mereka miliki, dan sering menyesali perbuatannya di kemudian hari.

Seorang shopaholic belanja di luar kendali. Mereka akan terus-menerus belanja meskipun telah jauh terbenam dalam hutang. Mereka akan belanja saat tertekan secara emosional, dan menggunakan belanja sebagai mekanisme bertahan hidup. Mereka tidak berhenti belanja karena mereka sungguh-sungguh menemukan kenikmatan dalam belanja. Mereka membeli barang-barang karena mereka merasa harus. Seorang shopaholic adalah seseorang yang lepas kendali. Hal ini dapat terlihat jelas dari kasus perempuan shopaholic berikut ini. Joan Cunnane adalah seorang


(11)

10 shopaholic yang berasal dari London. Koleksi belanjaannya yang banyaknya hingga setinggi atap baru ketahuan setelah dia meninggal dunia secara wajar di bawah gunungan pakaian dan barang-barang lainnya. Bungalow Joan di Heaton Mersey, dekat Manchester, Inggris, dijejali belanjaan aneka barang. Hal itu membutuhkan waktu berkunjung ke rumah itu hingga 5 kali untuk menemukan Joan yang ternyata telah meninggal dunia. Demikian dilansir Sydney Morning Herald, Kamis (30/7/2009).

Teman Joan, Roy Moran, mengaku terakhir melihat perempuan 77 tahun itu saat mereka makan siang bersama pada Hari Natal 2008. Dalam sidang pemeriksaan kematian, Roy menyatakan bahwa dia berkunjung ke rumah Joan empat hari kemudian. Dia melihat pintu rumah Joan terbuka sedikit dan terlihatlah barang-barang berserakan dari lantai hingga atap. Roy bertandang ke rumah Joan hingga 3 kali tanpa menemukan nenek itu. Polisi lalu dikontak pada 6 Januari. Detektif Kevin Dolan dalam pernyataan tertulisnya di sidang menyatakan, pencarian kali pertama di rumah Joan tidak berhasil karena "banyaknya barang-barang pribadi dan kertas-kertas di dalamnya". Sehari kemudian polisi balik lagi untuk membersihkan rumah Joan dan melakukan pencarian kembali. Di situlah Joan telah tergeletak tanpa nyawa di atas tempat tidur "di bawah gunungan pakaian dan barang-barang lainnya," kata Kevin. Ahli patologi Philip Lumb menyatakan Joan meninggal karena pneumonia dan juga dia mengidap kanker. "Saya duga di pingsan lalu aneka barang-barang menimpanya," ujarnya. "Tidak ada bukti bahwa barang-barang itu menyebabkan kematiannya," imbuhnya. Bicara di luar sidang, Roy menyatakan bahwa rumah sahabatnya itu tak mampu menampung tumpukan barang. Hobi belanja Joan baru diketahui setelah


(12)

11 kematiannya karena selama ini Joan enggan menerima tamu. Roy yakin sifat obsesif Joan pada belanja dimulai sejak 16 tahun lalu. Joan biasa meninggalkan rumah pagi-pagi dan pulang larut malam karena dia takut pada gerombolan anak muda yang biasa berkeliaran di kawasan itu yang pernah melempari rumahnya dengan batu dan merusak perkakas berkebunnya. "Itu sungguh tak bisa dipercaya, barang-barang membumbung hingga atap,"katanya.

Tidak semua orang yang suka berbelanja atau pergi ke mall dapat dikatakan shopaholic. Menurut Klinik Servo (2007), seseorang dapat dikatakan mengalami shopaholic jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut :

1. Suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.

2. Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya.

3. Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.

4. Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dan lain-lain yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.

5. Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.

6. Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.

7. Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya.


(13)

12 8. Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.

Shopaholic dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan, yaitu: 1. Sering mengalami kehabisan uang padahal masih awal bulan.

2. Dapat mengakibatkan seseorang memiliki hutang dalam jumlah yang besar karena untuk memenuhi pikiran-pikiran obsesi untuk berbelanja dan berbelanja.

3. Dapat mengakibatkan seseorang dipecat dari pekerjaannya karena melakukan pemborosan dengan menggunakan uang perusahaan.

4. Memicu seseorang untuk melakukan tindak kriminal (seperti mencuri, memeras, korupsi, dan lain-lain) hanya karena ingin mendapatkan uang demi memenuhi dorongan untuk belanja yang terus-menerus dalam dirinya.

5. Dapat mengakibatkan perceraian karena pasangan dari si penderita shopaholic merasa tersiksa dengan uang yang selalu dihabiskan pasangannya hanya untuk berbelanja dan berbelanja.

6. Dapat mengakibatkan pertengkaran karena pemborosan yang dilakukan oleh penderita shopaholic.

7. Dapat mengakibatkan seseorang bunuh diri karena dalam dirinya selalu muncul pikiran-pikiran obsesi untuk berbelanja dan berbelanja dan si penderita merasa tersiksa jika tidak melakukan pikiran-pikiran obsesinya tersebut.

Dampak dari shopaholic memang sangat merugikan bagi kehidupan seseorang bahkan dapat mengancam keselamatan dirinya sendiri dan orang lain. Menurut Klinikservo (2007), ada beberapa penyebab seseorang mengalami shopaholic, yaitu :


(14)

13 1. Seseorang menganut gaya hidup hedonis (materialis) dan mempersepsi bahwa

manusia adalah human having. Human having adalah seseorang yang cenderung mempersepsi orang lain berdasarkan apa yang dimiliki (seperti punya mobil, rumah, jabatan). Human having ini akan mengakibatkan seseorang merasa terus kekurangan, selalu diliputi kecemasan, tidak akan termotivasi untuk mengejar kebutuhan pada tingkat yang lebih.

2. Kecemasan yang berlebihan karena mengalami trauma di masa lalu.

3. Iklan-iklan yang ditampilkan diberbagai media yang menggambarkan bahwa pola hidup konsumtif dan hedonis merupakan sarana untuk melepaskan diri dari stres. 4. Adanya pikiran-pikiran obsesi yang tidak rasional.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah dampak gaya hidup perempuan shopaholic terhadap kondisi sosial ekonomi keluarga?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana dampak dari shopaholic tersebut bagi kondisi sosial ekonomi keluarga.


(15)

14 1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini nantinya dapat dimanfaatkan sebagai referensi tentang gaya hidup dari teori kebutuhan untuk perkembangan ilmu sosiologi.

2. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

3. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh institusi-institusi sosial ekonomi dalam melihat realita kehidupan perempuan shopaholic, sehingga dapat diambil tindakan guna mencegah semakin meluasnya shopaholic yang berlebihan.

4. Data yang diperoleh nantinya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam membuat program-program yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang shopaholic, misalnya lembaga pendidikan.

1.5. Definisi Konsep

Berdasarkan uraian di atas dan berdasarkan topik permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka dapat diambil batasan dalam konseptual, yaitu sebagai berikut :


(16)

15 1. Shopaholic

Shopaholic adalah kata yang berasal dari shop yang berarti belanja, dan aholic yang menandakan bahwa kebiasaan ini adalah suatu ketergantungan terhadap hal yang dilakukan dengan sadar atau tidak. Jadi, shopaholic adalah sebutan umum dari setiap orang yang mempunyai kebiasaan belanja secara kontinu (terus menerus). Seorang shopaholic biasanya melakukan kebiasaan ini tanpa disadarinya. Dia akan mengaku suka dan pengkoleksi barang-barang yang sama, namun sebenarnya ini adalah gejala awal dari seorang pecandu belanja.

2. Perempuan shopaholic adalah perempuan yang mempunyai uang berlebih dan menghabiskan uangnya untuk berbelanja (gila belanja) sebagai bentuk kepuasan ataupun hobi. Dalam penelitian ini perempuan shopaholic difokuskan pada perempuan yang gila belanja kebutuhan sandang seperti pakaian, tas dan sepatu di butik terkenal yang ada di Sun Plaza.

3. Konsumtivisme

Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Oleh karena itu, arti kata konsumtif (consumtive) adalah boros atau perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam artian luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.


(17)

16 4. Fenomena

Fenomena sosial di mana manusia menganggap segala sesuatu yang dialaminya adalah sebuah sebuah kebenaran absolut. Padahal hal itu sebenarnya adalah kebenaran semu (bukan objek) yang dibuat melalui simulasi simbol-simbol, kode-kode yang dicitrakan sedemikian dari sebuah objek yang benar.


(18)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsumsi dan Gaya Hidup

Konsumsi dipandang dalam sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia tetapi berkaitan pada aspek-aspek sosial budaya. Konsumsi berhubungan dengan dengan masalah selera identitas atau gaya hidup. Sosiologi memandang selera sebagai sesuatu yang dapat berubah, difokuskan pada kualitas simbolik dari barang dan ketergantungan pada persepsi tentang selera dari orang lain. Selera merupakan pengikat kelompok dalam (in group). Aktor-aktor kolektif atau kelompok status berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber-sumber budaya, akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok dalam (Weber dalam Damzar, 2002:136).

Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan dari kelompok status yang dibedakan dari kelas yang landasan penjenjangannya adalah hubungan terhadap produksi dan perolehan barang-barang. Situasi kelas ditentukan secara murni ekonomi sedangkan situasi status ditentukan oleh penghargaan sosial terhadap kehormatan.

2. Teori Labeling

Dewasa ini perkembangan pemberian label yang dikemukakan masyarakat semakin meningkat. Biasanya label yang dikemukakan masyarakat adalah label yang


(19)

18 negatif dan sasarannya adalah individu yang dianggap menyimpang. Individu yang rentan terhadap label adalah remaja, dimana pada masa remaja adalah masa pencarian identitas dan pada masa ini remaja harus bisa melewati krisisnya agar tidak terjadi kebingungan identitas. Salah satu penyebab kebingungan identitas remaja adalah labeling.

Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku. Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran


(20)

19 tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.

Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.

Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak


(21)

20 dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya. Bagi remaja sangat penting untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon orang-orang disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar si anak tersebut, tidak dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon-respon negatif seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya. Terutama dalam pembentukan identitas si anak tersebut.

3. Kondisi Status Sosial Ekonomi Masyarakat

Setiap individu yang masih bayi dilahirkan dalam status sosial yang dimiliki orangtuanya. Jika ia tidak mau menerima kedudukan sosial yang diwariskan dan mau mencari kedudukan yang lebih tinggi harus memperhitungkan dua hal, yaitu bakat kemampuannya dan jalan yang sesuai dengan bakatnya untuk ditempuh melewati jenjang-jenjang sosial (vertikal) menuju pada strata kedudukan sosial yang lebih tinggi. Kenyataan membuktikan bahwa tidak sedikit anak yang berhasil meraih kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada kedudukan orangtuanya. Apa yang dicapai inilah berkat apa yang disebut dengan prestasi individu.


(22)

21 Kedudukan (status) seseorang atau kedudukan yang melekat padanya dapat terlihat pada kehidupan sehari-harinya melalui ciri-ciri tertentu yang dinamakan prestise simbol (status simbol). Cirri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi bagian hidupnya yang telah institutionalized atau bahkan internalized. Ada beberapa cirri-ciri tertentu yang dianggap sebagai status simbol, seperti cara berpakaian, pergaulan, cara mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal, cara dan corak menghias rumah kediaman dan seterusnya (Soekanto, 2001:267).

Kehidupan manusia secara wajar telah dilihat dari segi tingkat pendapatannya serta besar jumlah uang yang dikonsumsi juga tidak terlepas dari posisi di dalam pergaulan hidup dan di dalam lingkungan. Dalam hidup manusia memiliki seperangkat nilai yang telah tertanam di dalam dirinya. Suatu nilai adalah suatu konsep abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan apa yang dianggap buruk. Yang baik akan dianutnya sedangkan yang buruk akan dihindarinya. Sistem nilai-nilai akan timbul atas dasar pengalaman-pengalaman manusia di dalam berinteraksi yang kemudian membentuk pergaulan hidup, oleh karena :

1. Nilai-nilai abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi seseorang. 2. Nilai-nilai tersebut senantiasa diisi dan bersifat dinamis.

3. Nilai-nilai merupakan kriteria untuk mencapai tujuan hidup yang terwujud dalam perikelakuan (Soekanto, 2001).

4. Teori Kebutuhan

Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa setiap orang memiliki ketertarikan terhadap sesuatu yang berbeda-beda, mengapa ada


(23)

22 orang yang memiliki cita-cita sangat tinggi, sedangkan ada juga yang hanya menjadi orang yang biasa-biasa saja. Ada yang sudah puas menjadi ibu rumah tangga, tetapi di sisi lain ada juga yang ingin menjadi presiden. Apa yang membuat mereka termotivasi, dan apa yang membuat mereka tidak termotivasi. Pertanyaan-pertanya semacam itu sudah ada sejak beberapa puluh tahun silam, dan salah satu orang mencoba menjawab pertanyaan tersebut adalah Abraham Maslow. Abraham Maslow sudah pernah mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam karyanya yang dipublikasikan dengan judul, “Theory of Human Motivation” pada tahun 1943.

Pada karyanya tersebut, Abraham Maslow memperkenalkan pemikirannya mengenai motivasi dihubungkan dengan kebutuhan manusa. Ia menjelaskan mengenai hirarki kebutuhan manusia dengan konsep, “Piramid Kebutuhan Maslow”. Dengan model ini, Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan manusia bertingkat, mulai dari kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi pada bagian bawah piramid, dan kebutuhan manusia meningkat terus ke atas apabila jenis kebutuhan yang dasar sudah terpenuhi. Mulai dari kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis, kemudian berlanjut ke kebutuhan akan keamanana (safety), kebutuhan dicintai (Love/belonging), kebutuhan untuk rasa percaya diri (Esteem), dan kebutuhan puncak, yaitu aktualisasi diri (self-actualization).

4.1 Kebutuhan Fisiologis

Pada dasarnya, manusia harus memenuhi kebutuhan fisiologisnya untuk dapat bertahan hidup. Pada hirarki yang paling bawah ini, manusia harus memenuhi kebutuhan makanan, tidur, minum, seks, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan fisik badan. Bila kebutuhan dasar ini belum terpenuhi, maka manusia akan


(24)

23 mengalami kesulitan untuk berfungsi secara normal. Misalnya, seseorang mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan, sehingga ia menderita kelaparan, maka ia tidak akan mungkin mampu untuk memikirkan kebutuhan akan keamanannya ataupun kebutuhan aktualisasi diri. Logika sederhananya: bagaimana seseorang dapat memikirkan prestasi atau aktualisasi diri, bila dirinya terus menerus dihantui rasa ketakutan akan kelaparan?

4.2 Kebutuhan Keamanan (Safety)

Pada hirarki tingkat kedua, manusia membutuhkan rasa keamanan dalam dirinya. Baik keamanan secara harfiah (keamanan dari perampok, orang jahat, dan lain-lain), maupun keamanan secara finansial ataupun hal lainnya. Dengan memenuhi kebutuhan keamanan tersebut, dapat dipastikan bahwa kebutuhan manusia dapat berlanjut ke tahap berikutnya, yaitu kebutuhan kasih sayang dan sosial.

4.3 Kebutuhan Kasih Sayang / Sosial (Love / Belonging)

Setelah memenuhi 2 kebutuhan yang bersifat individu, kini manusia menapaki kebutuhan untuk diterima secara sosial. Emosi menjadi “pemain” utama dalam hirarki ketiga ini. Perasaan menyenangkan yang dimiliki pada saat kita memiliki sahabat, seseorang untuk berbagi cerita, hubungan dekat dengan keluarga adalah tujuan utama dari memenuhi kebutuhan sosial ini.

4.4Kebutuhan Percaya Diri (Esteem)

Semua orang pasti ingin dihormati dan ingin merasa berguna bagi orang lain. Kebutuhan semacam ini tertuang pada hirarki pada tahap keempat dalam piramid


(25)

24 Abraham Maslow. Kebutuhan untuk percaya diri ini biasanya muncul setelah ketiga kebutuhan yang lebih mendasar sudah terpenuhi, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan semacam ini dapat muncul tanpa harus memenuhi ketiga kebutuhan yang lebih mendasar.

4.5Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization)

Umumnya, kebutuhan ini akan muncul bila seseorang merasa seluruh kebutuhan mendasarnya sudah terpenuhi. Pada hirarki ini, biasanya seseorang akan berhadapan dengan ambisi untuk menjadi seseorang memiliki kemampuan lebih. Seperti mengaktualisasikan diri untuk menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu tertentu, atau hasrat untuk mengetahui serta memenuhi ketertarikannya akan suatu hal.

Abraham Maslow menemukan model piramid kebutuhan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap beberapa orang yang dianggapnya mencapai tahap aktualisasi diri tersebut, seperti Albert Einstein. Ia beranggapan bahwa tidak semua orang dapat mencapai tahap yang tertinggi, karena dalam hidup, pasti ada banyak hal yang menyebabkan tahapan kebutuhan dalam piramid Maslow tidak dapat tercapai.

Kebutuhan menciptakan keinginan, dan keinginan mendasari motivasi seseorang untuk mencapai sesuatu. Bukan rahasia bila motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu muncul dari kebutuhannya yang tidak dapat dicapainya. Nicolas Sarkozy pernah berkata, “Apa yang menjadikan aku sekarang, mungkin adalah masa kecilku.” Dan menilik pada masa kecil Nicolas Sarkozy, ia adalah seseorang yang berukuran tubuh kecil dan seringkali ia merasakan perlakuan tidak menyenangkan


(26)

25 dan tidak dihormati oleh teman-temannya. Namun kini, dengan segala kerja keras yang ia lakukan demi mencapai posisi tertinggi di Negeri Perancis, ia mendapatkan apa yang tidak didapatkan olehnya selama masa mudanya.


(27)

26 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Nawawi, 1994 : 2004). Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh), misalnya tentang perilaku, motivasi, tindakan, dan sebagainya (Moleong, 2005:4). Studi kasus adalah suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetil, dan komprehensif. Studi kasus dapat juga didefenisikan sebagai suatu metode yang dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial, memberikan penekanan pada pengumpulan data mengenai sebagian atau seluruh unsur kehidupan seseorang atau suatu kelompok, maupun hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam situasi sosial atau kebudayaan tertentu (Yin, 2003 : 1).

3.2. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian peneliti yaitu di Kota Medan. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut adalah :

1. Karena Kota Medan merupakan kota metropolitan yang pada umumnya terdapat pusat-pusat perbelanjaan.


(28)

27 2. Arus informasi, baik dari media elektronik dan media cetak sangat mudah diakses sehingga hal ini dapat memungkinkan menjadi penyebab perempuan shopaholic. 3. Lokasi penelitian merupakan tempat peneliti berdomisili sehingga memudahkan

dalam mengakses data yang diperlukan.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 2005:132). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah kaum shopaholic.

3.3.2 Informan

Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah : 1. Informan Kunci

a . Perempuan Shopaholic

Yang memiliki karakter, yaitu perempuan berusia 20-50 tahun, yaitu mereka yang memiliki hobby belanja ke butik terkenal yang ada di Sun Plaza yang menghabiskan uang secara berlebih untuk membeli kebutuhan sandang seperti tas, pakaian dan sepatu demi menyalurkan kepuasan ataupun hobi belanja mereka.


(29)

28 b. Keluarga

Yaitu orang-orang yang merupakan bagian dari kekeluargaan informan kunci baik suami maupun orangtua akan memperoleh dampak shopaholic anak perempuan dan persepsi nilai-nilai sosial ekonomi yang ada dalam keluarga.

2. Informan Biasa

Adapun yang menjadi informan yang biasa adalah : a. Masyarakat Umum

Informan yang ingin diperoleh dari informan ini berupa pengetahuan mereka tentang shopaholic, pandangan mereka tentang shopaholic, persepsi mereka tentang shopaholic.

Adapun kriteria dari informan ini adalah :

1) Hidup berdampingan (bersama) dengan shopaholic.

2) Telah tinggal di Kota Medan dalam jangka waktu minimal 10 tahun. Hal ini dimaksudkan agar informan tersebut mengetahui secara pasti tentang shopaholic.

3) Berusia minimal 17 tahun. Hal ini dimaksudkan agar peneliti mudah melakukan wawancara, karena pada usia tersebut seseorang sudah dapat memberikan informasi yang akurat dalam penelitian ini.


(30)

29 b. Toko (Store)

Informasi yang ingin diperoleh dalam penelitian ini berupa data-data yang berhubungan dengan jumlah pengunjung, data-data mengenai eksistensi shopaholic dan sebagainya.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui pengumpulan data primer dan sekunder.

1. Data primer, diperoleh melalui : a. Observasi

Observasi merupakan suatu bentuk pengamatan dari objek penelitian dimana peneliti hanya menjadi pengamat yang pasif. Disini peneliti akan mengamati secara langsung bagaimana shopaholic menghabiskan uangnya ke store, selain itu peneliti juga mengamati seperti apa bentuk mereka menghabiskan uangnya hanya untuk belanja.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan dan sebagainya, yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara dan yang diwawancarai. Sedangkan wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, denngan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti (Bungin, 2001: 110). Di sini peneliti akan berusaha untuk


(31)

30 menggali informasi yang sebanyak-banyaknya dari informan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Hal-hal yang akan diwawancarai berupa pergeseran yang terjadi dalam kehidupan shopaholic, bagaimana realita kehidupan shopaholic. Dan dalam proses wawancara tersebut peneliti akan menggunakan catatan lapangan untuk mencatat data-data yang nantinya diperoleh, selain itu juga menggunakan tape recorder sebagai alat perekam yang dapat untuk mengumpulkan data selama proses wawancara berlangsung.

2. Data sekuder, diperoleh melalui :

a. Studi kepustakaan, yaitu menggunakan buku-buku atau referensi lainnya yang dapat mendukung penelitian ini.

b. Dokumentasi, seperti arsip-arsip yang dimiliki oleh informan dalam penelitian ini yang dapat mendukung kelengkapan data penelitian.

3.5. Intepretasi Data

Data-data yang diperoleh dari lapangan akan diatur, diurutkan, dikelompokkan kedalam kategori, pola atau uraian tertentu. Disini peneliti mengelompokan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan sebagainya yang selanjutnya akan dipelajari dan ditelaah secara seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang baik. Selain itu data yang diperoleh akan dibuat ke dalam bentuk matriks agar dapat dilihat berbagai data sebagai indikator untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.


(32)

31 3.6. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian yang dialami oleh peneliti ketika berada di lapangan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

1. Peneliti harus mengeluarkan biaya yang cukup besar selama melakukan penelitian di lapangan dikarenakan harus mewawancarai informan di tempat mereka berbelanja dan tentunya untuk melakukan wawancara yang membutuhkan waktu yang banyak tentu dalam bertanya masalah informasi yang dibutuhkan peneliti harus mengajak mereka untuk sekedar bersantai di foodcourt agar informan mau untuk meluangkan waktu mereka yang pastinya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan wawancara dari informan yang satu dan informan yang lainnya.

2. Peneliti harus meluangkan waktu yang tidak sedikit untuk ingin melakukan wawancara kepada informan karena tidak sedikit informan yang mau terganggu waktunya dalam melakukan kegiatan yang mereka sangan sukat tersebut. Oleh karena itu peneliti juga terkadang harus masuk dari satu outlet ke outet lainnya untuk menemui informan yang mau untuk diwawancarai dan tidak jarang peneliti juga melakukan wawancara disaat para informan sedang berbelanja dan mengikuti kemana mereka pergi dikarenakan mereka yang tidak ingin untuk melewatkan waktu berbelanja mereka.


(33)

32

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL INFORMAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Medan Sebagai Kota Metropolitan

Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada tahun resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang bumiputra, dan seorang Tionghoa Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan oran ta sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong


(34)

33 untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi

Sejak tahun 1.853 ha menjadi 26.510 ha pada tahun tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat. Pemerintahan Kota Medan dipimpin oleh seorang Saat ini, jabatan wali kota Medan dijabat oleh wakil wali kota dijabat oleh Dzulmi Eldin. Wilayah Kota Medan dibagi menjadi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.


(35)

34

Peta Kecamatan di Kota Medan

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut.


(36)

35 Secara administratif, batas wilayah Medan adalah sebagai berikut :

Utara : Selat Malaka

Barat : Kabupaten Deli Serdang Selatan : Kabupaten Deli Serdang Timur : Kabupaten Deli Serdang

Secara geografis Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

Sungai

Sedikitnya ada sembilan

1.

2.


(37)

36

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Selain itu, untuk mencegah banjir yang terus melanda beberapa wilayah Medan, pemerintah telah membuat sebuah proyek kanal besar yang lebih dikenal dengan nama Medan Kanal Timur.

Berdasarkan data kependudukan tahun 2005, penduduk Medan diperkirakan telah mencapai 2.036.018 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.010.174 jiwa > 995.968 jiwa). Jumlah penduduk tersebut diketahui merupakan penduduk tetap, sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 500.000 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar. Berdasarkan Medan terdiri atas 1.040.680 laki-laki dan 1.068.659 perempuan. Mayoritas penduduk kota Medan sekarang ialah dari keturuna populasi orang Tionghoa cukup banyak.


(38)

37 4.1.2 Sun Plaza ”SURGA” bagi Perempuan Shopaholic Kota Medan

Sun Plaza merupakan pusat perbelanjaan menengah ke atas di kawasan komersial strategis kota selesai mulai sejak pada tanggal bangunan 6 lantai (termasuk Lower Ground dan Ground Floor) yang dirancang dengan konse

Sun Plaza pembukaan publik diresmikan mulai sejak pada tanggal diadakannya pembukaan. Sun Plaza menjadi lokasi favorit anak muda dan wisatawan luar negeri karena kenyamanan dan lengkapnya barang-barang yang tersedia. Sun Plaza sering menjadi tempat diadakannya berbagai acara penting dari konser artis-artis ibukota yang sebelumnya pernah diadakan di

Letaknya yang sangat strategis membuat pusat perbelanjaan ini ramai dikunjungi oleh pelajar, mahasiswa, serta para wisatawan dalam negeri maupun luar negeri. Sun Plaza juga berdekatan dengan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Mesjid Agung Medan (mesjid terbesar di Sumatera), SMA Negeri 1 Medan, dan Apartemen Cambridge. Di pusat perbelanjaan ini terdapatdepartment store

Sun Plaza dibuka sejak awal tahun bahkan sebelum mal ini dibuka secara resmi. Mal ini dibangun tidak jauh dari berbagai fasilitas publik, mulai dari kantor pemerintah (Kantor Gubernur Sumatera Utara), sekolah (SMA Negeri 1 Medan), rumah ibadah


(39)

38 Mesjid terbesar di Medan), hingga hunian (Apartemen Cambridge). Lokasi strategis membuat mal ini mudah dijangkau serta banyak dikunjungi berbagai kalangan, tak terkecuali wisatawan baik dalam maupun luar negeri seperti maupun internasional di antaranya lain sebagainya.

Salah satu Mal terbesar di Medan adalah Sun Plaza. Mal ini terletak di kawasan yang strategis, dekat dengan kantor Gubernur Medan, Masjid Agung Medan, SMA Negeri 1 Medan, dan Apartemen Cambridge. Mal ini mulai berdiri sejak tanggal 1 Januari 2003, terdiri dari 6 lantai yang dirancang dengan konsep mal untuk belanja keluarga. Sun Plaza diresmikan tanggal 1 Januari 2004 oleh Gubernur Medan, dan telah banyak dikunjungi oleh warga sekitar. Di area Sun Plaza juga sering diadakan hiburan-hiburan seperti konser musik, pameran, atraksi-atraksi dan lain-lain.

Sebagai tempat perbelanjaan, Sun Plaza menyediakan berbagai macam barang yang sesuai dengankebutuhan anda, mulai dari anak kecil hingga dewasa ada disini. Tidak kalah menarik adalah terdapat sebuah bioskop bernama Sun 21, Anda dan keluarga dapat menikmati film-film yang ditayangkan disini. Tak heran jika mal ini selalu ramai pengunjung, apalagi saat weekend tiba, jalanan di sekitar mal akan macet parah, saking ramainya. Bagi anda pecinta kuliner, di Sun Plaza tersedia beberapa Food Court, dan masakan yang ditawarkan berbeda-beda, mulai dari chinese food, western food, dan masakan asli indonesia. Disini juga ada Soho, dalam bahasa


(40)

39 Indonesia artinya toko serba ada atau departement store. Terdapat aneka macam barang yang tersedia di Soho, mulai dari pakaian, perlengkapan bayi, makanan kemasan, makanan hewan, tas, sepatu, dan lain-lain.

Sun Plaza juga sebagai pusat hiburan dan arena games. Seperti mal-mal besar lainnya, Sun Plaza menyediakan kids station, yang merupakan tempat bermain anak-anak, dan game station, tempat bagi gamers yang senang berburu game-game baru. Banyak produk game station yang dijual disini, seperti PSP, Playstation, Nintendo, X-Boox, dan lain-lain. Bagi yang gemar berburu gadget, Sun Plaza menyediakan beberapa stand gadget, mulai dari ipad, i-phone, smart phone, notebook, tablet, hingga PC tersedia disini. Tak jarang banyak wisatawan yang gemar berbelanja mengunjungi tempat ini, mereka membawa keluarga mereka. Namun harga barang-barang disini memang mahal, karena memang konsep mal ini didirikan untuk masyarakat menengah keatas. Jadi jangan heran, bila banyak orang berdasi dan pengusaha-pengusaha kaya yang mengunjungi tempat ini.


(41)

40

Namun bagi mereka yang mempunyai bujet minim, juga dapat berjalan-jalan, sekedar melepas penat, tanpa harus membeli apapun di sini. Mereka juga dapat menjelajahi mal yang super luas ini, dari lantai ground hingga lantai 6, atau hanya sekedar melihat-lihat barang-barang dengan kualitas tinggi, dan harga yang tinggi pula.

4.2 Profil Informan 4.2.1 Resty (24 tahun)

Saat berbelanja, mahasiswi jurusan psikologi di salah satu universitas swasta di Medan ini paling sedikit menghabiskan Rp. 500.000. Biasanya dalam sebulan budget yang dihabiskan untuk berbelanja Rp. 1.000.000 sampai Rp. 2.000.000. Barang-barang yang dibelinya di antaranya sepatu, tas dan baju yang bermerek Zara atau Charles & Keith. Untuk memenuhi hasratnya berbelanja, Resty menggunakan


(42)

41 uang bulanan dari orangtuanya. Dia juga kerap bekerja paruh waktu. Meski begitu, Resty termasuk orang yang tidak pernah menetapkan budget khusus untuk belanja. Pernah dalam sekali belanja di sebuah toko buku, dia sampai membeli 30 novel. Kalau sedang tidak punya uang, Resty akan menggunakan kartu kredit.

4.2.2 Mia Karina (26 Tahun)

Wanita yang bekerja sebagai seorang pegawai bank swasta di kawasan Jalan Zainul Arifin ini tidak bisa menahan hasratnya untuk berbelanja ketika melihat produk kosmetik dan sepatu. Ketika melihat sebuah sepatu yang dianggapnya bagus, dan saat dicoba pas di kaki, dia bisa langsung membelinya. Kantornya yang dekat dengan mal membuatnya dengan mudah mendatangi pusat belanja. Setiap bulan dia bisa menghabiskan uang Rp. 1.000.000 sampai Rp. 2.000.000. Setiap belanja, paling sedikit uang yang dikeluarkannya Rp. 300.000. Kalau sedang tidak ada uang untuk belanja, padahal saat itu ada barang yang ingin dibelinya, itu bisa sangat mempengaruhi moodnya. Mia bisa jadi sangat bad mood seharian. Dalam urusan belanja, dia juga pantang menyerah. Pernah suatu hari Mia ingin membeli baju di sebuah mal, tapi ternyata uangnya kurang sedikit. Dia pun menawar mati-matian pada si penjaga toko. Sementara ada pembeli lain yang berminat membeli baju tersebut. Gara-gara kengototannya membeli, dia sampai dimarahi oleh pembeli yang lain itu. Untungnya baju tersebut berhasil didapatnya.


(43)

42 4.2.3 Sartika Anjeline (26 tahun)

Sartika mengaku mendapatkan kesenangan tersendiri ketika membelanjakan uangnya. Kebiasaan belanjanya ini semakin menjadi-jadi ketika dia sudah bekerja dan punya uang sendiri. Tidak ada budget khusus untuk memenuhi hobi belanjanya. Tapi jika dikira-kira dalam sebulan dia bisa menghabiskan Rp. 7.000.000 atau lebih. Sebagai kolektor sepatu, dia paling tidak tahan godaan ketika masuk ke toko favoritnya Guess dan Nine West. Dalam sekali beli, pernah langsung tujuh pasang sepatu dibelinya. Sartika juga merasa akan ada yang kurang jika datang ke mal, tidak membeli sepatu. Hal ini seperti yang dikatakan oleh informan kepada peneliti :

"Kayanya ada aja yang kurang kalo pulangnya nggak bawa apa-apa. Aku merasakan kesenangan tersendiri ketika membuka sepatu dari kantungnya pas di rumah."

(Hasil wawancara dengan informan, Desember 2012)

Wanita berusia 26 tahun ini bisa langsung bad mood kalau ketinggalan event sale yang sedang berlangsung di mal. Sebagai kolektor sepatu, koleksi sepatunya tidak hanya dibeli di Indonesia tetapi juga sampai ke luar negeri, seperti yang dikatakan oleh informan kepada peneliti :

"Pernah di Malaysia lagi diskon Vincci, aku panik ngambil-ngambilin sepatu udah banyak banget terus pas udah mau bayar dikasir, aku lihat ada sepatu lagi di ujung rak yang bagus banget, langsung aku ambil sebelum diambil orang tapi ternyata dompetku


(44)

43 ketinggalan dikasir dengan keadaan terbuka, untungnya ada yang

kasih tau."

(Hasil wawancara dengan informan, Desember 2012)

4.2.4 Arnie Widjaya (23 tahun)

Mahasiswi tingkat akhir berikut ini mengaku tidak mempunyai budget khusus dalam berbelanja, dia membeli apa yang dia suka biasanya di situs belanja internasional seperti ebay, asos.com dan lainnya. Dalam sebulan paling banyak dia menghabiskan US$ 200 sampai 500 atau sekitar Rp. 1.000.000 sampai Rp 5.000.000 perbulan. Arnie termasuk orang yang mengikuti fashion terkini, jadi tidak heran biasanya dia membeli barang-barang branded seperti Marc Jacobs, Nudie, Marie Claire dan lainnya. Tidak hanya barang-barang fashion, dia juga hobi membeli gadget seperti handphone dan lainnya. Dari semua benda yang pernah dibelinya, ia paling puas saat berhasil membeli jaket Alexander Mcqueen. Jaket tersebut dibelinya di eBay seharga US$ 500. Bagi Arnie, eBay memang tempat belanja yang menyenangkan. Saat berbelanja di situs tersebut, dia harus menunggu sampai detik-detik limit waktu yang ditetapkan untuk 'beat' terakhir. Melalui kegemarannya belanja di eBay itu, Arnie bisa mendapatkan uang tambahan. Dia menjalankan bisnis dengan mencari barang-barang di situs belanja tersebut yang kiranya laku di pasaran dan kemudian menjualnya kembali. Menurutnya ada kepuasan tersendiri ketika membeli dan mendapatkan barang-barang yang disukai.


(45)

44 4.2.5 Susan Widjaja (22 tahun)

Susan termasuk 'impulsive buyer' yang tidak bisa menahan diri untuk membeli ketika melihat sesuatu yang benar-benar dia sukai. Mahasiswi yang juga berprofesi sebagai model ini sangat menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan fashion. Dia pun kerap mengincar barang-barang bermerek. Barang bermerek favoritnya adalah koleksi dari perancang terkenal seperti Stella Mccartney dan tas Marc Jacobs. Untuk urusan tas biasanya dia beli langsung di luar negeri karena lebih valid keasliannya dibanding kalau beli di Indonesia. Selain itu, ia juga mengoleksi sepatu-sepatu dari Linea, Ferragamo, Pedder Red. Susan pun mengoleksi produk fashion produksi dalam negeri. Biasanya dia akan datang ke event seperti Brightspot untuk menemukan produk unik dari desainer Indonesia seperti Nikicio, Cotton Ink, dan brand-brand lainnya dari Goods Dept. Dalam berbelanja, Susan tidak pernah memiliki budget khusus. Dalam sebulan biasanya dia bisa menghabiskan Rp. 7.000.000. Dia juga termasuk tipe orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Pernah dalam suatu kesempatan dia sampai meminjam uang ke teman-temannya untuk sebuah tas Furla.

4.2.6 Ruth (48 Tahun)

Ruth, wanita paruh baya yang sangat senang belanja. Bahkan, dia rela menghabiskan uang hingga Rp. 5.000.000 sampai Rp. 10.000.000 perbulan hanya untuk memenuhi keinginannya, seperti yang disampaikan oleh informan kepada peneliti :


(46)

45 "Sebulannya aku tuh bias ngabisin uang Rp. 5.000.000 sampai Rp.

10.000.000 cuma buat beli sepatu dan baju doang." (Hasil wawancara dengan informan, Januari 2013)

Ibu dari dua anak ini sangat suka memakai sepatu dari merek Yves Saint Laurent (YSL). Dia begitu cinta dengan merek tersebut karena haknya di atas 12 cm. Sepatu dengan heels memang benar-benar disukainya. Saking sukanya, Ruth termasuk wanita yang tidak pernah memakai sepatu flat atau sandal, meski di rumah sekalipun. Bahkan, ketika memasak pun dia memakai high heels. Hal ini seperti yang disampaikan oleh wanita yang hobi membaca Alkitab, memasak dan fitness itu kepada peneliti :

"Terkadang, waktu masak saja aku pakai high heels lho karena aku senang pakai sepatunya."

(Hasil wawancara dengan informan, Januari 2013)

Koleksi Ruth tidak hanya sebatas sepatu Louboutin dan YSL. Ada berbagai merek ternama yang juga dimiliki olehnya, seperti Chanel, Hermes, Prada, Louis Vuitton, Roberto Cavalli, Karen Millen, Diane von Furstenberg (DVF), Herve Leger, dan Dolce & Gabbana (D&G).

Ruth mengaku pernah membeli gaun merek Mango seharga Rp. 2.000.000 per gaun dan dia membelinya hingga empat potong gaun, seperti yang disampaikan oleh informan kepada peneliti :


(47)

46 "Karena aku suka banget sama gaunnya, ya aku beli aja sampai

empat potong. Jadi semua harganya delapan jutaan gitu.” (Hasil wawancara dengan informan, Januari 2013)

Ketika berbelanja, Ruth memang tidak tanggung-tanggung. Bila sudah suka dengan baju atau sepatu, dia akan membeli semua warna dengan tipe yang sama. Ruth pasti setiap minggu mengajak keluarganya untuk pergi berbelanja ke Sun Plaza. Ruth juga tidak jarang pergi ke Singapura hanya untuk memuaskan nafsu belanjanya dan memburu barang-barang yang sangat diinginkannya. Ruth juga menurunkan perilaku shopaholicnya kepada kedua anak perempuannya, Jemima Lavie dan Daniella Clary. Dia juga mengajarkan kedua buah hatinya agar tidak menggunakan kartu kredit saat belanja, lebih baik tunai atau debit untuk mendispilinkan diri. Sifat gila belanja Ruth itu pun rupanya menurun dari ibu kandungnya. Namun, dia baru mulai cinta belanja ketika duduk di bangku kuliah, seperti yang disampaikan oleh istri pengusaha kelapa sawit ini kepada peneliti :

"Dari mulai kuliah aku sudah senang belanja, apa yang kupakai suka dibeli sama temen, jadi sudah kebiasaan dari kuliah. Apa yang kupakai jadi ikon diri sendiri dan jadi trendsetter di kalangan mahasiswi di kampusku,hahaha."

(Hasil wawancara dengan informan, Januari 2013)


(48)

47 Ruth tidak pernah kapok belanja walaupun sudah sering dimarahi oleh suami. Walaupun dimarahi, ternyata sifat belanja Ruth bisa menjadi investasi, seperti tas Hermesnya yang ditawar oleh seseorang lebih mahal dari harga belinya padahal dia membelinya dengan harga yang lebih murah dari penawaran si pembeli. Hal tersebut cukup menguntungkan meskipun tas itu tidak jadi dijual karena permintaan dua anak kesayangannya. Kini, Ruth sedang suka mengoleksi kosmetik dan produk anti-aging, seperti Mac, Bobbi Brown dan Chanel. Untuk membeli kosmetik tersebut, dia harus mengeluarkan uang hingga Rp. 10.000.000. Disamping itu, dia pun baru saja membeli mutiara bertahtakan berlian seharga Rp. 25.000.000.


(49)

48

BAB V

INTERPRETASI DATA

5.1 Shopaholic

Shopaholic adalah sebutan umum dari setiap orang yang mempunyai kebiasaan belanja secara kontiniu (terus-menerus). Seorang shopaholic biasanya melakukan kebiasaan ini tanpa disadarinya. Dia akan mengaku suka dan pengkoleksi barang-barang yang sama, namun sebenarnya ini adalah gejala awal dari seorang pecandu belanja.

Meskipun para ahli mengatakan bahwa 90 persen dari shopaholic adalah wanita, tetapi sebenarnya pria juga bisa “terjangkit” penyakit ini. Sebagian besar dari lelaki tidak mau mengakui, tetapi mereka berdalih kebiasaan berbelanja hanya sebagai hobi untuk dikoleksi. Misalnya, belanja telepon genggam, laptop, MP3 player, barang otomotif dan lainnya.

Bagi wanita yang kecanduan belanja, mereka menggunakan inisiatif melakukan kegiatan berbelanja untuk melupakan kesedihan atau menghilangkan rasa suntuk. Tetapi cara itu hanya penyembuhan jangka pendek dan justru semakin membuat para perempuan tersebut tertekan. Apalagi berbelanja dengan menggunakan kartu kredit akan membuat wanita gila belanja semakin menumpukkan hutangnya.


(50)

49 Beberapa tahun terakhir ini, shopaholic atau compulsive shopper telah menjadi perhatian berbagai program televisi dan majalah perempuan. Mereka juga telah menjadi topik perbincangan. Tidak diragukan lagi, kita hidup dalam masyarakat yang sangat “gemar belanja”. Kita hidup berdasarkan pada kekayaan yang kita miliki dan banyak dari kita yang hidup dalam belitan hutang. Banyak orang, berapapun penghasilannya, memandang belanja sebagai sebuah hobi. Mereka menghabiskan akhir pekan dengan berbelanja, menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak mereka miliki dan sering menyesali perbuatannya di kemudian hari.

Seorang shopaholic belanja di luar kendali. Mereka akan terus-menerus belanja meskipun telah jauh terbenam dalam hutang. Mereka akan belanja saat tertekan secara emosional dan menggunakan belanja sebagai mekanisme bertahan hidup. Mereka tidak berhenti belanja karena mereka sungguh-sungguh menemukan kenikmatan dalam belanja. Mereka membeli barang-barang karena mereka merasa “harus”. Seorang shopaholic adalah seseorang yang lepas kendali.

Perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang suka berbelanja atau pergi ke mal dapat dikatakan shopaholic. Seseorang dapat dikatakan mengalami shopaholic jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut :

1. Suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.


(51)

50 2. Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya.

3. Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.

4. Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dan lain-lain yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.

5. Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.

6. Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.

7. Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya.

8. Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.

Shopaholic biasanya digolongkan sebagai perilaku obsesif-kompulsif, namun eksternal (situasional-sosial-kultural) bisa memberi muatan yang makin mengintensifkan kemungkinan munculnya shopaholic ini. Dari berbagai sumber teridentifikasi beberapa penyebabnya antara lain maraknya gaya hidup konsumerisme hedonistik, iklim kehidupan dan pola relasi sosial yang kian impersonal (lebih menekankan fungsi, tidak begitu peduli pada kebutuhan empati dan afeksi), tempo kerja yang semakin cepat sehingga banyak orang mengalami keterasinsgan (alienasi) di tengah lingkungan hidupnya.


(52)

51 Maraknya gaya hidup konsumerisme hedonistik menimbulkan tekanan bagi banyak orang untuk mengubah dan mengupayakan sekuat tenaga bagi tercapainya pemenuhan standar nilai kehidupan baru yang harus serba berkelas, bergengsi dalam pengertian penampilan fisik dan pemilikan terhadap hal-hal yang sifatnya materialistis. Iklim kehidupan yang kian impersonal menggusur kebutuhan empati dan afeksi menjadi sekedar komoditas yang bisa dibeli dengan uang atau digantikan dengan barang yang terukur nilai tukarnya. Rasa terasing (alienasi) akibat ritme hidup dan ritme kerja yang serba cepat, juga rasa cemas yang menggangu zona internal psikologis sebagai efek komplikatif dari beban hidup, ketatnya persaingan untuk merebut terbatasnya kesempatan, deraan trauma masa lalu yang dibayangi lumuran sugesti negatif akibat rasa khawatir yang terus dipelihara sebagai spirit untuk bertahan hidup, secara serempak memberikan andil bagi suburnya wabah shopaholic dalam kehidupan sebagian orang yang tidak mampu dan sempat menyadari situasi serta kondisi kehidupan aktualnya.

5.2Perilaku Konsumen

Rupanya perilaku konsumen juga mempunyai dua buah teori. Nah, sebelum membaca tentang teori perilaku konsumen, apa sih perilaku konsumen itu? Perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan oleh masing-masing individu untuk evaluasi, pendapatan, penggunaan atau mengatur barang dan jasa. Teori perilaku konsumen disebut juga sebagi teori nilai guna yang dibagi menjadi 2, yaitu:


(53)

52

1. Teori Nilai Guna Kardinal

Bertitik tolak pada anggapan bahwa kepuasan setiap konsumen dapat diukur dengan apapun (sama seperti dalam hukum Gossen), artinya tinggi rendahnya nilai suatu barang tergantung pada tiap penilaian.

2. Teori Nilai Guna Ordinal

Pengukuran kepuasan setiap konsumen diurutkan dalam tingkatan-tingkatan tertentu (misalnya tinggi, sedang, rendah).

5.2.1 Budaya Konsumen

Budaya Konsumen dapat diartikan sebagai budaya-budaya yang dilakukan oleh seorang konsumen. Adapun budaya konsumen menggunakan image, tanda-tanda dan benda-benda, simbolik yang mengumpulkan mimpi-mimpi, keinginan dan fantasi yang menegaskan keauntentikan romantik dan pemenuhan emosional dalam hal menyenangkan diri sendiri bukan orang lain; secara narsistik. Budaya konsumen biasanya dilakukan oleh kelompok menengah, hal ini dikarenakan mereka lebih memiliki banyak waktu luang dan mereka juga memiliki cukup uang untuk mengisi waktu luangan, seperti berfoya-foya.

Gaya hidup adalah bentuk khusus pengelompokan status modern, gaya hidup biasanya diasumsikan berdasarkan organisasi sosial konsumsi dan menekankan


(54)

53 keterkaitan pandangan-pandangan normatif, daripada oraganisasi sosial produksi yang secara klasik menjadi basis struktur kelas. Konsumsi dalam arti luas mengacu pada seluruh tipe aktivitas sosial yang orang lakukan sehingga bisa kita pakai untuk mencirikan dan mengenali mereka, selain apa yang mungkin “lakukan” untuk hidup.

Konsumsi memiliki jangkauan lebih luas dibandingkan struktur sosial produksi. Untuk satu hal, ia melibatkan mereka yang tidak bekerja, seperti para pemuda, orang tua, pengangguran, dan juga paling penting adalah para perempuan yang dalam ekonomi modern umumnya tidak di harapkan menjadi produsen ekonomi. Konsumsi seperti yang di pahami ini perlu memasukkan pola-pola waktu luang masyarakat, yang di cirikan sebagai ekspektasi baru untuk pengendalian dan penggunaan waktu dengan cara-cara yang bermakna secara pribadi. Bocock menandaskan bahwa “konsumsi adalah suatu proses perubahan yang secara historis di konstruksi secara sosial. Konsumsi telah menjadi fokus utama kehidupan sosial dan nilai-nilai cultural mendasari gagasan lebih umum dari budaya konsumen.

Perubahan sosial di eropa modern awal sangat tergantung dan terlihat pada sejumlah perubahan yang terjadi secara bersamaan seperti perkembangan pasar internasional, pertumbuhan dalam perdagangan benda-benda seni dan barang-barang mewah, dan pertumbuhan kelas sosial urban yang baru menggantikan struktur sosial feudal. Perubahan tersebutdisebabkan oleh cara-cara baru dalam produksi dan tidak bisa dipisahkan dari disintegrasi budaya religious continental yang menjadi wilayah-wilayah ekonomi baru, selain itu juga bergantung pada perkembangan sikap positif dalam menilai barang-barang yang menjadi tren.


(55)

54 McKendrick menulis mengenai inggris abad ke-18 yang menjadi saksi lahirnya suatu masyarakat konsumen dan memfasilitasi suatu revolusi konsumen, dalam proses mengatasi hambatan-hambatan yang “menuntut perubahan sikap dan pemikiran, perubahan dalam kemakmuran dan standar kehidupan, perubahan dalam tekhnik komersial dan keahlian-keahlian promosi, atau bahkan terkadang perubahan hukum itu sendiri”. Inggris memunculkan presden dalam revolusi ini, karena di sana ada penyebaran yang relative sempit struktur sosial kontemporer. Pabrik-pebrik baru yang menghasilkan barang-barang konsumsi pada mulanya menjadikan kalangan elit sebagai sasaran, dan dukungan mereka amat penting bagi kreasi fashion popular, tetapi keuntungan yang sangat besar yang diperoleh sesudah itu adalah dengan memasarkan dan mendistribusikan tiruan-tiruan barang tersebut kepada khalayak umum.

McKendrick menyebutkan metode-metode baru pameran (display), manipulasi fashion melalui keusangan arti fisial (artificial obsolescence), pembangunan tempat-tempat dan agen-agen baru penjualan dan bagaimana “memanipulasi persaingan sosial membuat manusia memburu kemewahan (luxxuris) padahal mereka sebelumnya membeli kepantasan (decencies), padahal mereka sebelumnya telah membeli kebutuhan atau (necessities). Permainan dan perayaan-perayaan komunal pada awal masa eropa modern berangsur-angsur ditinggalkan dengan tersedianya secara komersial, musik, dansa, olah raga, dan sebagainya. Pada awal abad ke-18 budaya dan sportsedikit demi sedikit mulai beralih dari yang sebelumnya cenderung elitis dan privasi menjadi sesuatu yang sngat umum. Suatu


(56)

55 proses komersialisasi waktu luang terus menerus tumbuh pada abad ke-19, yang sangat penting sekali untuk ditekankan pada aspek domestic dari periklanan barang konsumsi sebagaimana dicontohkan Plums tentang komersialisasi anak-anak sebagai objek waktu luang dan kemewahan yang baru untuk kegemara orang tua yang merupakan bagian penting dari munculnya budaya konsumen.

Pemikiran ulang dinamika modernisasi melibatkan pergeseran dari pandangan pentingnya penekanan bahwa modernitas melibatkan “pergantian dunia modern awal dan eropa abad pertengahan yang didominasi pandangan mengenai takdir Tuhan oleh perkembangan kemajuan dunia pengetahuan dan sain mengenai pengungkapan rahasia alam dan eksplorasi rasional. Logika moderitas adalah fashion bukanlah eksploitasi irasional melainkan merupakan suatu pencarian eksistensial untuk berbeda dalam budaya sekuler secara mendalam.

Konsumerisme telah menjadi pusat dari perkembangan sosial modernitas dan merupakan inovasi yang lebih mutakhir. Kekuatan gagasan mengenai budaya konsumen tergantung pada kemungkinan pemasaran masa beriring dengan periklanan masa. Pemasaran konsumen pada abad ke 18 harus mengabaikan perbedaan status yang telah terbangun dan justru akan memperkecil perbedaan sosial. Melengkapi dan mengintensifkan proses yang sama, pemasaran pada masa akhir abad ke 19 “mengikis” daerah perdalaman yang memiliki pasokan-pasokan yang dapat dimanfaatkan seperti pembangunan jaringan, kereta api yang cepat dan efisien , peningkatan angkatan darat dan laut. Pasar dari masyarakat konsumen ini adalah suatu entitas yang abstrak yang melebihi pasar khusus para pedagang kecil. Potensi


(57)

56 abstrak dari kegemaran konsumen terbentuk melalui pembangunan pusat-pusat kota sebagi pusat-pusat hiburan yang berlebihan-fantasi taman kenikmatan abad ke 18 diubah kembali menjadi dunia ilusi yang lebih wah. Pada era budaya konsumen ditandai dan dilembagakan denganlahirnya pusat-pusat perbelanjaan. Istana yang selalu berlimpah barang ini menawarkan kebebasan baru dan kesempatan untuk kegemaran.

Dalam anonimitas impersonal para pembelaja sama sekali bebas untuk mengembara seperti dan sebagaimana yang mereka harapkan serta memanfaatkan fasilitas-fasilitas tanpa batas untuk memenuhi cita rasa pribadi dan merancang program-program perjalanan pribadi. Pusat-pusat perbelanjaan merupakan unsur yang paling nyata dalam tranformasi pusat-pusat metropoloitan, yang menawarkan kesempatan baru bagi para pelanggan manapun baik secara langsung maupun melalui kiriman untuk menjarah benda-benda duniawi. Selanjutnya, toko-toko yang juga bagian dari hiruk pikuk metropolitan yang melalui impian, imajinasi, imperialis, menganggap dunia diluar moderitas diciptakan untuk dieksploitasi.

Bentuk sosial baru dari gaya hidup diwarnai oleh beberapa narasi yang lebih luas mengenai bentuk-bentuk budaya konsumerisme. Pemasaran massa seperti halnya bentuk-bentuk lain dari demokrasi massa, menwarkan ilusi-ilusi partisipasi yang sama, dan bahkan sekalipun kejayaan kebudayaan nasional kehilangan kekuatan subtantifnya. Dalam kombinasinya, narasi-narasi tersebut memperkuat dan mengembangkan arti fisialitas pemasaran umum. Sehingga dapat dengan mudah di ambil alih oleh beberapa bentuk teori kritis mengenai konsumerisme.


(58)

57 Kritik moral terhadap konsumerisme seperti yang diperkenalkan sebagai atau kebutuhan yang “tidak autentik”. Pada saat yang sama diakui adanya kebutuhan dan ambivalensi kutural yang lebih luas mengenai perubahan sosial konsumerisme. Implikasi konsumerisme dengan menegaskan bahawa sebagai mana gaya hidup memamerkan sensibilitas normative maka mereka akan mengekspresikan respon yang sangat berbeda terhadap nilai-nilai konsumerisme. Asumsi bahwa perempuan merupakan pelanggan utama budaya konsumen, boleh jadi sudah ketinggalan jaman pada tahun-tahun terakhir, tetapi secra tradional sebenarnya berakar pada pembedaan antara produksi dan konsumsi. Pembedaan antara ruang-ruang tersebut secra fisik ditandai oleh perbedaan antara rumah dan pekerjaan, suatu pembedaan yang semakin jelas dengan adnya pembangunan pemukiman pinggiran kota karena pemisahan yang tegas antara sektor pekerjaan dan rumah tangga.

Ada hubungan simbiosis antara karakter feminim perkotaan dan titik berat feminine terhadap konsumerisme sutau kesaling ketergantungan komplementer dan juga diungkapkan dalam aspek kedua perkembangan budaya konsumen. Pemukiman daerah pinggiran kota adalah bentuk fisik yang sempurna bagi warga konsumerisme masa. Secara individu berbeda atau setengah terpisah, mereka menganjurkan investasi swasta untuk meraih kehormatan walaupun sebenarnya menjamin penyimpangan hukum yang mencolok (bell, 1958). Denagn kemudahan akses mereka untuk msuk kelokasi-lokasi hiburan konsumen yang spektakuler, mereka memenuhi janji akses demokratis dan saat yang sama memperkuat serangkaian mitos mengenai bahaya kepadatan kota yang kontras dengan keleluasaan privasi di perumahan pinggiran kota.


(59)

58 Pemasaran konsumen terutama sering kali diarahkan pada para pelanggan perempuan dan sekalipun begitu belum tepat mengatakan bahwa perempuan telah atau saat ini tengah berada dibarisan terdepan inovasi gaya hidup. Kendala sosial tradisional dan alamiah dalam hal perdangan adalah diacuhkannya rayuan terhadap pelanggan perorangan. Karakteristik lahirnya budaya konsumen mengabaikan hal yang bersamaan dengan perkembangan industry waktu luang kecuali konteks waktu luang sebagai salah satu benda dalam budaya konsumen. Komersialisasi waktu luang merupakan pergeseran dari bentuk-bentuk permainan dan perayaan komunal menjadi jenis-jenis hiburan komersial yang di sediakan para pengusaha, yang merupakan tahapan penting dalam perkembangan budaya kelas menengah yang unik. Hal yang penting bahwa usaha-usaha komersial yang baru di bidang hiburan terutama akan di tujukan kepada para khalayak kelas menengah karena memiliki sumber budaya untuk menyediakan waktu dan uang untuk menikmati hiburan-hiburan tersebut. Dan tentu saja hiburan yang telah terlembaga sebagai bentuk budaya. Penting juga mengakui bahwa dunia kelas pekerja industry perkotaan yang baru juga memiliki karakter yang khas dengan tersedianya hiburan waktu luang dari sejak awal. Peningkatan secara cepat kota-kota pantai inggris dan spa-spa tertentu yang digunakan sebagai tempat peristirahatan untuk hari raya selama lebih 200 tahun terakhir.

Sejarah sosial dan budaya perkembangan investasi waktu luang pada abad ke-20 sebagian besar di tandai dengan pembukaan industry-industri baru hiburan massa. Industry waktu luang ini jelaslah penting artinya bagi setiap penjelasan mengenai gaya hidup tidak hanya karena ia mengisi sebagian waktu luang para khalayak, tapi


(60)

59 juga karena bidang ini memperkejakan sejumlah besar orang dalam produksi dan presentasi dan mereka membutuhkan investasi modal yang besar untuk mempertahankan pasar mereka. Industri waktu luang sama saja dengan bentuk-bentuk benda konsumsi lainnya karena mereka memainkan karakteristik structural yang sama seperti yang telah kita catat sebelumnya dalam hal persyaratan standarisasi metropolitan yang dilengkapi dengan konsumsi terprivatisasi pasar domestik.

5.2.2 Dampak dari Budaya Konsumen

Dampak dari budaya konsumen ini adalah :

1. Hedonisme atau memuja kesenangan sesaat 2. Konsumerisme

3. Kapitalisme

Contoh dampak dari budaya konsumen, misalnya senang dengan budaya-budaya atau kegiatan yang tidak memiliki banyak manfaat, seperti nonton film di bioskop, asyik nonton televisi dan mengalihkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting, membeli tas-tas yang memiliki merk-merk tertentu.

5.2.3 Macam-macam Perilaku Konsumen

Selain teori, perilaku konsumen juga dibagi menjadi 2, yaitu :


(61)

60 Artinya, konsumen mampu memilih barang yang hendak dikonsumsi secara matang dalam penggunaan dan harga serta terkadang kualitas/keawetan barang.

2. Perilaku Irrasional

Artinya, konsumen tidak mampu memilih barang yang henda dikonsumsi dan membeli barang akibat pengaruh dari luar atau hanya untuk prestise sehingga konsumen irrasional juga terkadang diartikan (bagi beberapa orang) sebagai shopaholic.

5.2.4 Perilaku Konsumsi Perempuan

Perilaku konsumsi manusia mengalami pergeseran lagi hingga sampai pada zaman modern dan postmodern seperti yang terjadi saat ini. Konsumsi telah menjadi suatu budaya dalam masyarakat modern, kegiatan itu dilakukan tidak lagi hanya pada pemenuhan kebutuhan-kebutuan dasar dan fungsional manusia. Masyarakat modern tidak dapat melepaskan diri dari informasi-informasi yang berurusan dengan kegiatan konsumsi. Fenomena seperti itu selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat (di sepanjang jalan, tempat-tempat public, dan lain-lain) melalui beragam media seperti televisi, poster-poster, majalah maupun koran-koran harian yang selalu memuat informasi dan iklan-iklan suatu produk. Perkembangan tersebut dinilai sebagai pertanda positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat karena peningkatan kegiatan konsumsi dipandang sebagai efek dari naiknya penghasilan dan taraf hidup masyarakat. Di sisi lain, justru dipandang sebagai kemunduran rasionalitas


(1)

73 5.4 Teorisasi Gaya Hidup

Dengan kualitasnya yang menjadi alat tukar umum, uang muncul sebagai sebuah alat universal yang ditujukan untuk semua pemakaian. Uang membuka berbagai kemungkinan tindakan baru, dan memungkinkan masing-masing orang merealisasikan tujuan akhir yang khas. Pemakaian uang akan memberi masalah pada makna mendalam seperti yang kita berikan kepada kehidupan. Uang ikut berpartisipasi dalam pembentukan “gaya hidup” masyarakat yang oleh George Simmel diberikan tiga buah konsep, yaitu jarak, ritme dan simetri. Karakter uang yang bersifat mobile dan impersonal cenderung mendukung terjadinya asosiasi yang berjarak dan berada dalam kepentingan yang sangat terbatas. Uang memungkinkan terjadinya koeksistensi daerah-daerah aglomerasi yang besar, dimana orang tidak perlu melibatkan seluruh personalitasnya dalam pertukaran-pertukaran sosial. Di sisi lain uang cenderung mempercepat dan mengatur ritme masyarakat, terutama dalam masalah ekonomi karena pembentukan sistem moneter akan mempercepat terjadinya pertukaran. Selanjutnya dengan homogenisasi pasar kerena penurunan harga barang mewah, berarti uang ikut berpartisipasi dalam memperbandingkan kelas-kelas sosial, menumbuhkan fenomena-fenomena peniruan (imitasi) dan membedakan serta menekankan pengaruh cara tipikal masyarakat-masyarakat urban.

5.5 Pertukaran Simbolik

Baudrillard memandang objek konsumsi sebagai sesuatu “yang diorganisir oleh tatanan produksi” atau dalam arti lain kebutuhan dan konsumsi adalah perluasan kekuatan produktif yang diorganisir. Dia memandang sistem objek konsumen dan


(2)

74 sistem komunikasi pada dasar periklanan sebagai pembentuk “sebuah kode signifikansi” yang mengontrol objek dan individu di tengah masyarakat. Seperti yang dipahami Genosko (Ritzer, 2010), “klaim sentral Baudrillard adalah bahwa objek menjadi tanda (sign) dan nilainya ditentukan oleh sebuah aturan kode. Ketika kita mengonsumsi objek, maka kita mengonsumsi tanda, dan dalam prosesnya kita mendefinisikan diri kita.

Sama halnya dengan gaya hidup yang menjadi sebuah simbol dari masyarakat. Kaum kapitalis menciptakan sebuah ruang belanja serba guna (mal) dimana bangunan ini memberi tanda pada orang di dalamnya. Shopaholic, hedonis, instant, elit adalah nilai-nilai yang dikonstruk oleh tanda. Etalase merek (seperti Matahari dan Gosh) membedakan kelas konsumennya, dilihat dari varian produk, nama, model, harga dan interior ruang.

Baudrillard menyelidiki dunia fashion sebagai sebuah paradigma dominasi kode. Dalam fashion, semua yang kita lihat adalah “permainan sederhana penanda-penanada”. Fashion diciptakan tidak “menurut determinasinya sendiri”, melainkan dari model itu sendiri. Itulah sebabnya ia tidak pernah diciptakan, tetapi selalu dan serta merta direproduksi. Fashion menciptakan apa yang disebut postmodern “pastiche”. Modernitas adalah sebuah kode, dan fashion adalah lambangnya.


(3)

75

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian ini yang diawali dengan pengumpulan data di lapangan melalui data primer, yaitu observasi dan wawancara mendalam, serta dilanjutkan dengan menginterpretasi data ke dalam laporan hasil penelitian, maka peneliti menarik beberapa kesimpulan, seperti yang dipaparkan oleh peneliti di bawah ini :

1. Shopaholic adalah sebutan umum dari setiap orang yang mempunyai kebiasaan belanja secara kontiniu (terus-menerus). Seorang shopaholic biasanya melakukan kebiasaan ini tanpa disadarinya. Dia akan mengaku suka dan pengkoleksi barang-barang yang sama, namun sebenarnya ini adalah gejala awal dari seorang pecandu belanja.

2. Seseorang dapat dikatakan mengalami shopaholic jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut :

a. Suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.

b. Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya.


(4)

76 c. Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya

tersebut.

d. Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dan lain-lain yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.

e. Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.

f. Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.

g. Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya.

h. Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.

3. Perilaku konsumtif pada mayoritas perempuan merupakan bentukan lingkungan globalisasi. Perilaku konsumtif juga dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya karena faktor atau pengaruh dari lingkungan seperti lingkungan keluarga, lingkungan tempat ia bekerja, sekolah atau lingkungan peer groupnya, kendali diri yang rendah, konsep diri dan faktor situasional.

4. Fashion menjadi daya tarik bagi perempuan pada umumnya, karena fashion berhubungan dengan penampilan dan mode. Perempuan menyadari penampilan fisik yang menarik sangat membantu statusnya dalam bidang bisnis maupun dalam perkawinan. Karena itu tidak mengherankan jika bagi beberapa perempuan, fashion menjadi sangat penting bagi penampilan mereka.

5. Kelas sosial sangat mempengaruhi gaya hidup perempuan shopaholic. Ada dua unsur pokok dalam sistem sosial pembagian kelas dalam masyarakat, yaitu


(5)

77 kedudukan dan peran. Hierarki kelas sosial masyarakat menentukan pilihan gaya hidup.

6.2 Saran

Adapun yang menjadi saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Peneliti mengharapkan agar para pembaca sekalian mampu mengontrol diri pada

saat berbelanja dan dapat melakukan perencanaan pengeluaran ketika akan pergi ke mal sehingga hal dapat mengontrol perilaku belanja yang tidak terkontrol dapat dilakukan.

2. Peneliti juga mengharapkan agar pembaca memiliki komitmen hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan bukan karena godaan sesaat. Selain itu, perlu pembukukan pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan dan mencatat barang-barang kebutuhan pokok apa saja yang memang perlu untuk dibeli sehingga pembaca dapat mengontrol perilaku belanja.

3. Peneliti mengharapkan agar hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti-peneliti lainnya yang ingin mengkaji masalah mengenai fenomena perempuan shopaholic.


(6)

78

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2005. Manajemen Penelitian (Edisi Revisi). Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Basrowi, M. S. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor : Ghalia Indonesia.

Bungin, Burgin. 2001. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana.

Chaney, David. 2009. Lifestyle atau Lifestyle : Sebuah Pengantar Komprehensif. Terj. Nuraeni. Yogyakarta : Jalasutra.

Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Kencana.

Douglas, J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prenada Media, Kencana.

Giddens, Anthony. 2008. La Sociologie : Histoire et Idees atau Sosiologi : Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Terj. Ninik Rochani Sjams. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Kinsella, Sophie. 2010. Mini Shopaholic. Jakarta : Gramedia.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Ritzer, George. 2010. The Posmodern Social Theory atau Teori Sosial Postmodern. Terj. Muhammad Taufik. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Schiffman dan Kanuk. 2008. Perilaku Konsumen. Jakarta : Indeks. Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : UI-Press.

Sunarto, K. 2004. Pengantar Sosiologi. (edisi revisi). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sunarto, K. 2007. Sosiologi suatu pendekatan membumi. (Jilid 1). Jakarta : Erlangga, PT. Gelora Aksara Pratama.