Gambaran Persepsi Masyarakat Kota Medan Terhadap Pendidikan Inklusi Studi Terhadap Beberapa Kecamatan di Kota Medan

(1)

GAMBARAN PERSEPSI MASYARAKAT KOTA MEDAN

TERHADAP PENDIDIKAN INKLUSI

STUDI TERHADAP BEBERAPA KECAMATAN DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

MASTARI

081301021

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2011/2012


(2)

Gambaran Persepsi Masyarakat Kota Medan Terhadap Pendidikan Inklusi Studi Terhadap Beberapa Kecamatan di Kota Medan

Mastari dan Desvi Yanti Mukhtar

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi. Menurut Sapon-Shevin (dalam Direktori PLB, 2004) pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan mental, fisik atau sosial ekonomi, budaya, etnis dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas regular bersama-sama teman seusianya. Menurut Bennet (2003) pendidikan inklusi merupakan salah satu bentuk penerapan pendidikan multikultural yaitu suatu pendidikan yang menghargai keberagaman. Pendidikan multikultural sangat diperlukan oleh masyarakat yang mempunyai multi etnik yang ingin mengusahakan kualitas dan kesetaraan pendidikan (Bennet, 2003). Kota Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang merupakan kota multikultural yang terdiri dari banyak suku, agama, serta etnis. Dengan kondisi seperti itu, Kota Medan tentu memerlukan pendidikan multikultural salah satunya adalah pendidikan inklusi. Sayangnya, pendidikan inklusi di Kota Medan tidak berkembang begitu optimal tidak seperti di Jawa, Tercatat ada 14 sekolah inklusi di Kota Medan dan hanya beberapa saja yang aktif (BPS, 2005). Dari hasil pra penelitian, peneliti mendapatkan data bahwa ternyata masyarakat memiliki perbedaan pandangan mengenai pendidikan inklusi karena itu peneliti ingin melihat lebih jauh bagaimana gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi.

Penelitian ini menggunakan sampel 133 orang yang mewakili masyarakat Kota Medan. Teknik sampel yang digunakan adalah cluster random sampling, yaitu dari 21 Kecamatan di Kota Medan diambil 5 Kecamatan secara random, dari setiap Kecamatan yang dipilih diambil lagi 1 keluarahan secara random. Alat ukur yang digunakan berupa Skala Persepsi terhadap Pendidikan Inklusi yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan lima elemen pendidikan inklusi yang dikemukakan oleh Sapon-Shevin (dalam Direktori PLB, 2004). Uji daya beda aitem pada skala menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment dan uji reliabilitas alat ukur dilakukan dengan teknik koefisien Alpha Cronbrach dengan nilai sebesar 0,978. Hasil penelitian menyebutkan bahwa masyarakat Kota Medan yang memiliki persepsi positif terhadap pendidikan inklusi sebanyak 47,36% (63 orang), masyarakat yang memiliki persepsi yang negatif sebanyak 45,86% (61 orang) dan subjek yang tidak tergolongkan yaitu 6,76% (9 orang).


(3)

The research of Medan public’s perception of inclusive education

The research of several area in Kota Medan

Mastari dan Desvi Yanti Mukhtar ABSTRACT

This research is a descriptive research that aims to see how the image of

Medan public’s perception of inclusive education. According Sapon-Shevin (in Direktori PLB, 2004) inclusive education is system of educational system wich requires all children with special needs, as mental disabilities, physical, socioeconomic, culture and ethnic are served in regular school together peers. According Bennet (2003) inclusive education is one implementation form of multicultural education is education that respect of diversity. Multicultural education is necessary by people have multi-ethnic and want to pursue education quality and equity (Bennet, 2003). Medan is a city in Indonesia is a multicultural city that consists of many culture, religion and ethnic. Wich the condition. Medan city would require multicultural education is inclusive education. Unfortunately, inclusive education is not developed optimal in Medan not as Java. Noted there are 14 inclusion schools and only a few active of them (BPS, 2005). Pre research results showed that Medan people have view and opinion different of inclusive education, therefore author want to see further how the description of Medan

public’s perception of inclusive education.

This research used sample is 133 person representing Medan people. Sampling techniques used is cluster random sampling, is from 21 area in Medan city taked 5 area by random, from selected all area would taken again 1 village by random. Measuring instrument is a perception of inclusive education scale and was made by researcher herself based on five element of inclusion education that was put forward by Sapon-Shevin (in Direktori PLB, 2004). Test of item discrimination was conducted by using correlation coefficient of Pearson Product Moment and the test of reliability of the tool done by using coefficient technique of Alpha Cronbach with value of 0,978. The research result showed that Medan people have positive perception of inclusive education is 47,36% (63 people) and people have negative perception is 45,86% (61 people) and people can not categorized is 6,76% (9 people).


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran

persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi”. Penyusunan

skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulusnya kepada :

1. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi.

2. Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si, psikolog sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih buat ibu yang selama ini telah mengarahkan saya dan memberi dukungan, masukan, dan kritik yang memudahkan proses penyusunan skripsi ini. Saya minta maaf jika selama ini ada perbuatan maupun kata-kata saya yang kurang berkenan di hati ibu. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ibu kepada saya dan Ibu diberikan kebahagiaan dan kesehatan.

3. Ibu Fasti Rola, M.Psi, psikolog walaupun ibu hanya dosen pembimbing saya ketika seminar, ibu masih berkenan membantu saya, memberikan masukan, kritikan dan semangat untuk saya, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Saya hanya bisa berdoa ibu diberikan kesehatan dan kebahagiaan dari Allah SWT.


(5)

4. Ibu Etty Rahmawati, M.Si dan ibu Dina Nazriani, M.Si yang telah membantu saya ketika saya mengalami kesulitan dalam menganalisa data. 5. Saya mengucapkan terimakasih kepada Pak Eka Danta Jaya Ginting,

MA, psikolog yang telah bersedia untuk menjadi penguji dalam sidang skripsi saya dan Bapak juga memberikan masukan dan pengetahuan kepada saya, sehingga saya dapat memperbaiki kesalahan saya dan belajar lebih baik lagi.

6. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tua saya yang selama ini telah memberikan dukungan, semangat, pelukan dan motivasi. Kekuatan dan doa dari ayah dan mamak adalah sesuatu yang berharga dan tidak ternilai harganya bagi saya selama proses pengerjaan skripsi dan selama masa studi saya.

7. Terima kasih kepada Arfian Saputra atas kesediaannya menemani saya, mendengarkan keluh kesah saya, mengantar jemput saya dalam mengambil data dan menjadi penyemangat saya selama proses penyusunan skripsi ini.

8. Terima kasih buat Kartika Sari Anggarini, dean Mayrissa, Amelia Septyarini untuk semangat dan motivasi dari teman-teman selama saya menyusun skripsi sampai dengan skripsi ini selesai. Terima kasih juga buat teman seperjuangan di departemen pendidikan dan teman-teman stambuk 2008. Terima kasih buat saat-saat yang menyenangkan dan tidak terlupakan selama proses kuliah. Saya doakan teman-teman selalu


(6)

sukses di semua bidang yang teman-teman tekuni baik sekarang maupun di masa depan.

Akhir kata, peneliti berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Peneliti sadar akan proses belajar yang sedang dijalani. Oleh karena itu, peneliti menerima segala saran maupun kritik yang dapat membantu peneliti untuk dapat lebih baik lagi kemudian hari. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua orang. Amin.


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematikan Penelitian ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Persepsi terhadap pendidikan inklusi... 13

1. Definisi persepsi ... 13

2. Aspek persepsi ... 15

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ... 16

4. Proses terbentuknya persepsi ... 18

B. Pendidikan Inklusi ... 20

1. Definisi pendidikan inklusi ... 20

2. Konsep dalam pendidikan inklusi ... 22

3. Dimensi pendidikan inklusi ... 23


(8)

B. Masyarakat Kota Medan ... 29

1 Definisi masyarakat ... 29

2. Masyarakat kota Medan ... 30

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34

B. Definisi Operasional Variabel... 35

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 36

1. Populasi penelitian ... 36

2. Sampel dan teknik sampling ... 37

D. Metode Pengumpulan Data ... 38

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 43

1. Validitas alat ukur ... 43

2. Reliabilitas alat ukur ... 44

3. Hasil uji coba alat ukur ... 45

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 49

1. Tahap persiapan ... 49

2. Tahap pelaksanaan ... 50

G. Metode Analisa Data ... 51

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data ... 54

1. Gambaran subjek penelitian ... 54

2. Hasil penelitian utama ... 59


(9)

B. Pembahasan ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 82

1. Saran metodologis ... 83

2. Saran praktis ... 83


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan ... 31

Tabel 2. Jumlah Penduduk Dilihat dari Kecamatan ... 31

Tabel 3. Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut Jenis Pekerjaan ... 32

Tabel 4. Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut tinngkat pendidikan ... 32

Tabel 5. Blue print skala Persepsi terhadap pendidikan sebelum uji coba ... 42

Tabel 6. Distribusi Aitem Skala persepsi pendidikan inklusisetelah Diuji ... 46

Tabel 7. Distribusi Aitem pada Skala Penelitian ... 48

Tabel 8. Rumus Pengkategorisasian Persepsi Pendidikan Inklusi ... 53

Tabel 9. Rentang Kategori Persepsi Pendidikan Inklusi ... 53

Tabel 10. Penyebaran Subjek ... 54

Tabel 11. Kriteria Kategorisasi Persepsi terhadap Pendidikan Inklusi pada Masyarakat Kota Medan ... 60

Tabel 12. Kriteria kategorisasi subjek berdasarkan aitem berkebutuhan khusus ... 61

Tabel 13. Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi pada Masyarakat Kota Medan berdasarkan tempat tinggal ... 62

Tabel 14. Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi pada Masyarakat Kota Medan berdasarkan jenis kelamin ... 63

Tabel 15. Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi pada Masyarakat Kota Medan berdasarkan Usia ... 64

Tabel 16. Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi pada Masyarakat Kota Medan Berdasarkan Pekerjaan ... 65

Tabel 17. Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi pada Masyarakat Kota Medan Berdasarkan Pendidikan ... 67

Tabel 18. Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi pada Masyarakat Kota Medan Berdasarkan Agama ... 69


(11)

Tabel 19. Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi

pada Masyarakat Kota Medan Berdasarkan Suku/Etnis ... 70

Tabel 20. Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi

pada Masyarakat Kota Medan Berdasarkan Penghasilan/Uang saku ... 72 Tabel 21. Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi

pada Masyarakat Kota Medan Berdasarkan Status Pernikahan ... 74 Tabel 22.Kriteria Kategorisasi Persepsi Pendidikan Inklusi


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Uji daya beda aitem dan reliabilitas ... 102

Lampiran 2. Tabulasi Skor Skala Persepsi Masyarakat Kota Medan terhadap Pendidikan ... 108

Lampiran 3. Analisis Data Hasil Penelitian ... 114

Lampiran 4.Kategorisasi Subjek Penelitian ... 115


(13)

Gambaran Persepsi Masyarakat Kota Medan Terhadap Pendidikan Inklusi Studi Terhadap Beberapa Kecamatan di Kota Medan

Mastari dan Desvi Yanti Mukhtar

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi. Menurut Sapon-Shevin (dalam Direktori PLB, 2004) pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan mental, fisik atau sosial ekonomi, budaya, etnis dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas regular bersama-sama teman seusianya. Menurut Bennet (2003) pendidikan inklusi merupakan salah satu bentuk penerapan pendidikan multikultural yaitu suatu pendidikan yang menghargai keberagaman. Pendidikan multikultural sangat diperlukan oleh masyarakat yang mempunyai multi etnik yang ingin mengusahakan kualitas dan kesetaraan pendidikan (Bennet, 2003). Kota Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang merupakan kota multikultural yang terdiri dari banyak suku, agama, serta etnis. Dengan kondisi seperti itu, Kota Medan tentu memerlukan pendidikan multikultural salah satunya adalah pendidikan inklusi. Sayangnya, pendidikan inklusi di Kota Medan tidak berkembang begitu optimal tidak seperti di Jawa, Tercatat ada 14 sekolah inklusi di Kota Medan dan hanya beberapa saja yang aktif (BPS, 2005). Dari hasil pra penelitian, peneliti mendapatkan data bahwa ternyata masyarakat memiliki perbedaan pandangan mengenai pendidikan inklusi karena itu peneliti ingin melihat lebih jauh bagaimana gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi.

Penelitian ini menggunakan sampel 133 orang yang mewakili masyarakat Kota Medan. Teknik sampel yang digunakan adalah cluster random sampling, yaitu dari 21 Kecamatan di Kota Medan diambil 5 Kecamatan secara random, dari setiap Kecamatan yang dipilih diambil lagi 1 keluarahan secara random. Alat ukur yang digunakan berupa Skala Persepsi terhadap Pendidikan Inklusi yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan lima elemen pendidikan inklusi yang dikemukakan oleh Sapon-Shevin (dalam Direktori PLB, 2004). Uji daya beda aitem pada skala menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment dan uji reliabilitas alat ukur dilakukan dengan teknik koefisien Alpha Cronbrach dengan nilai sebesar 0,978. Hasil penelitian menyebutkan bahwa masyarakat Kota Medan yang memiliki persepsi positif terhadap pendidikan inklusi sebanyak 47,36% (63 orang), masyarakat yang memiliki persepsi yang negatif sebanyak 45,86% (61 orang) dan subjek yang tidak tergolongkan yaitu 6,76% (9 orang).


(14)

The research of Medan public’s perception of inclusive education

The research of several area in Kota Medan

Mastari dan Desvi Yanti Mukhtar ABSTRACT

This research is a descriptive research that aims to see how the image of

Medan public’s perception of inclusive education. According Sapon-Shevin (in Direktori PLB, 2004) inclusive education is system of educational system wich requires all children with special needs, as mental disabilities, physical, socioeconomic, culture and ethnic are served in regular school together peers. According Bennet (2003) inclusive education is one implementation form of multicultural education is education that respect of diversity. Multicultural education is necessary by people have multi-ethnic and want to pursue education quality and equity (Bennet, 2003). Medan is a city in Indonesia is a multicultural city that consists of many culture, religion and ethnic. Wich the condition. Medan city would require multicultural education is inclusive education. Unfortunately, inclusive education is not developed optimal in Medan not as Java. Noted there are 14 inclusion schools and only a few active of them (BPS, 2005). Pre research results showed that Medan people have view and opinion different of inclusive education, therefore author want to see further how the description of Medan

public’s perception of inclusive education.

This research used sample is 133 person representing Medan people. Sampling techniques used is cluster random sampling, is from 21 area in Medan city taked 5 area by random, from selected all area would taken again 1 village by random. Measuring instrument is a perception of inclusive education scale and was made by researcher herself based on five element of inclusion education that was put forward by Sapon-Shevin (in Direktori PLB, 2004). Test of item discrimination was conducted by using correlation coefficient of Pearson Product Moment and the test of reliability of the tool done by using coefficient technique of Alpha Cronbach with value of 0,978. The research result showed that Medan people have positive perception of inclusive education is 47,36% (63 people) and people have negative perception is 45,86% (61 people) and people can not categorized is 6,76% (9 people).


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap anak berhak mendapat pendidikan, hal ini telah tercantum dalam deklarasi universal 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan Deklarasi Jomtien pada tahun 1989 tentang hak anak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Deklarasi tersebut dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak termasuk anak-anak yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik maupun kelainan lainnya (Stubbs, 2002).

Kesetaraan pendidikan tersebut juga berfokus pada anak berkebutuhan khusus (Meyer, Jill ddk, 2005). Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Direktorat Pendidikan Luar Biasa dalam Mangunsong, 2010).

Penyimpangan yang dimaksud dalam definisi tersebut yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, lamban belajar, berbakat, tunalaras, gangguan komunikasi, ADHD, dan autisme (Mangunsong, 2009). Terdapat beberapa pendidikan anak berkebutuhan khusus yaitu, segresi, integrasi (mainstreaming)


(16)

serta inklusi. Segresi adalah salah satu bentuk sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus yang terpisah dari sistern pendidikan urnum. Integrasi atau yang sering disebut dengan mainstreaming adalah suatu sistem pendidikan yang memberikan kesempatan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya' Di dalam sistem ini, anak-anak berkebutuhan khusus tidak diberikan perlakuan khusus, melainkan harus mengikuti sistem yang berlaku di sekolah tersebut. Sedangkan inklusi merupakan pendidikan yang menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah umum dengan belajar bersama dengan anak normal dan memberikan perlakuan yang sesuai bagi anak berkebutuhan khusus (Stubbs, 2002).

Sekolah inklusi adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum (Choate, 2000). Pendidikan inklusi dianggap sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh, prinsip pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk mengembangkan potensinya melalui layanan pendidikan yang tepat (Smith, 2006).

Sementara itu Staub dan Peck (Direktori PLB, 2004) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah regular dapat menerima semua anak tanpa membedakan latar belakang


(17)

kondisinya. Tujuan dari pendidikan inklusi adalah untuk mengajarkan pada siswa agar mampu mengapresiasikan dan menghargai orang lain, bisa menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat luas, bisa menghargai perbedaan cara pandang, dan bisa menerima tugas dalam masyarakat dan lingkungan sosialnya (Meyer, Jill dkk, 2005). Dalam kaitannya dengan praktik pendidikan, Stubbs (2002) menjelaskan bahwa pendidikan Inklusi dipandang telah berhasil meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan kebutuhan khusus. Peningkatan mutu sekolah merupakan persiapan yang sangat baik untuk pendidikan inklusi, tetapi sering kali tidak cukup baik untuk benar-benar menginklusikan kelompok anak yang paling termarjinalisasi serta timbulnya pendapat bahwa anak berkebutuhan khusus tidak akan mampu menjalankan pendidikan yang sama dengan anak normal.

Dunn (dalam Smith, 2006) menambahkan bahwa memberikan label kepada anak-anak dengan menempatkan di kelas-kelas khusus akan mempengaruhi pembentukan konsep diri serta berpengaruh terhadap perasaan rendah diri dan penerimaan diri. Untuk mengantisipasi hal tersebut ditekankan agar tidak ada seorang anakpun dengan keterbelakangan mental atau berkebutuhan khusus lainnya “ditolak” dari kelas reguler dengan menempatkan di kelas khusus. Kebijakan dalam Council for Expectional Children Policies Commision, 1973 (dalam Smith, 2006) menjelaskan bahwa semua siswa yang memiliki hambatan sebaiknya menghabiskan waku di kelas regular dalam waktu yang seefektif mungkin. Undang -undang di Amerika mengenai pendidikan individu penyandang cacat (Individual with Disabilities Education Act-IDEA) menegaskan pada negara


(18)

bagian bahwa anak-anak memiliki hambatan dan anak-anak tanpa hambatan mendapatkan pendidikan yang sama.

Pendidikan inklusi merupakan pendidikan berasaskan multikultural (Bennett, 2003; Meyer, Jill dkk, 2005) dan menghargai perbedaan (Smith, 2006). Pendidikan multikultural bertujuan untuk mengembangkan kesetaraan pendidikan (Sunardi, 1995). Pendidikan multikultural bukan hanya terletak pada ras, kelas sosial, gender, orientasi seksual, tetapi juga kebutuhan kekhususan (exceptionality). Tujuan dari pendidikan multikultural adalah pemerataan kesempatan bagi semua murid, hal ini termasuk pada mempersempit kesenjangan dalam prestasi akademik antara murid kelompok utama dengan murid kelompok minoritas.

Bennett (2003) menjelaskan bahwa masyarakat yang mempunyai multi etnik yang ingin mengusahakan kualitas dan kesetaraan pendidikan memerlukan pendidikan multikultural. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik, bahkan mungkin paling pluralistis di dunia. Bangsa Indonesia terdiri dari ratusan etnis, agama, budaya, dan adat-istiadat (Koentjaningrat, 1970). Sehingga Bangsa Indonesia memerlukan pendidikan multikultural.

Indonesia telah mengusung adanya pendidikan inklusi yang bertujuan memberikan pendidikan yang baik untuk anak berkebutuhan khusus, hal ini tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 ayat 1, 2 dan 4 yang menegaskan bahwa:

(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh


(19)

pendidikan khusus, (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Penekanan pendidikan inklusi di Indonesia juga dijelaskan dalam surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003. Perihal pendidikan inklusi yaitu menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. Pendidikan inklusi juga sudah ada diterapkan di Indonesia dalam Rencana Strategis Depdiknas tahun 2005-2009 dimana pemerintah menyediakan sekolah inklusi untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan melakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusi.

Pendidikan inklusi di Indonesia sudah berkembang dengan baik khususnya di daerah Jawa, dari data statistik tahun 2005 menunjukkan pendidikan inklusi jenjang Sekolah Dasar di DKI Jakarta sekitar berjumlah 23 sekolah, Jawa Tengah berjumlah 113 sekolah, Jawa Barat berjumlah 111 sekolah, Jawa Timur berjumlah 59 sekolah, Banten berjumlah 53 Sekolah, Yogyakarta berjumlah 32 sekolah (Badan Pusat Statistik 2005).

Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang merupakan kota multikultural yang terdiri dari banyak suku, agama, serta etnis. Medan berkembang dengan baik, dengan kebudayaan yang pluralis membuat Kota Medan berjalan dengan damai (Pemko Medan 2007), tidak heran pengukuhan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di kukuhkan di Kota Medan pada tahun 2007 (Waspada 2007). Mangunsong (2010) menyatakan bahwa diperkirakan sepuluh persen dari populasi anak di dunia ini adalah anak


(20)

berkebutuhan khusus. Jumlah anak berkebutuhan khusus di Kota Medan pun terus meningkat, meski tidak dapat dipastikan. Dinas Pendidikan Luar Biasa Kota Medan mencatat terdapat 324.000 orang ABK di Indonesia. Prevalensinya yang tinggi serta kesadaran masyarakat yang semakin meningkat mengenai isu ini membuat ABK semakin mendapatkan perhatian.

Maka dari itu, Kota Medan memerlukan pendidikan multikultural salah satunya pendidikan inklusi. Seperti yang dijelaskan Bennet (2003) menjelaskan bahwa masyarakat yang mempunyai multi etnik yang ingin mengusahakan kualitas dan kesetaraan pendidikan memerlukan pendidikan multikultural yaitu pendidikan inklusi.

Tetapi pada kenyataannya pendidikan inklusi di Kota Medan belum berjalan dengan baik. Hal ini terbukti dari catatan BPS bahwa dari 14 sekolah inklusi di Kota Medan, hanya beberapa saja yang berjalan optimal (Badan Pusat Statistik, 2005). Suparno (2010) menyatakan bahwa pendidikan inklusi tidak berjalan optimal salah satunya karena masyarakat masih berpikir bahwa anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar atau hanya bersekolah di sekolah luar biasa, kebanyakan masyarakat belum mengetahui bahwa ada alternatif lain untuk anak berkebutuhan khusus untuk belajar misalnya di sekolah umum.

Hal tersebut juga dibuktikan dari wawancara kepada salah satu guru SD inklusi mengungkapkan bahwa sekolah inklusi di Sumatera Utara ini sebenarnya harus dikembangkan agar anak berkebutuhan khusus memiliki pendidikan yang baik, namun banyak kendala yang menyebabkan inklusi tidak berjalan dengan baik, seperti kurangnya pemahaman masyarakat mengenai anak ABK, pendidikan


(21)

bagi ABK, pemahaman mengenai sekolah inklusi, serta mungkin kurangnya kepedulian pemerintah terhadap pendidikan sekolah inklusi.

“sebanarnya dek, kalau kita lihat lagi sekolah inklusi sangat bagus untuk

dikembangkan, apa lagi kita lihat anak ABK ini harus punya pendidikan yang baik. Tapi ya...kita liat aja lah sekarang ini sulit nyari sekolah inklusi

apa lagi di medan ini,”

“mungkin itu karena masyarakatnya gak paham apa sebenarnya ABK itu,

gimana seharusnya memperlakukan anak ABK itu, sekolah inklusi itu apa gunanya, dampaknya bagaimana. Gak faham mereka. Pemerintahpun gak

perduli akan hal itu, buktinya gak da pergerakan apapun kan?”

(komunikasi personal kepada ibu X, 20 Desember 2011)

Masyarakat Kota Medan merupakan salah satu kota multikultural di Indonesia yang memiliki kebudayaan pluralis tidak sinkron dengan komentar mereka terhadap pendidikan inklusi. Hasil pra penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang masyarakat Kota Medan pada tanggal 28-29 Januari 2011 bahwa sebagian masyarakat belum mengetahui sepenuhnya mengenai sekolah inklusi tersebut dan menganggap anak berkebutuhan khusus tidak akan bisa bersekolah di sekolah yang sama dengan anak normal dan hanya bisa bersekolah di sekolah khusus saja, ada beberapa masyarakat yang mengetahui makna dari pendidikan inklusi, tetapi mereka menganggap pendidikan inklusi tidak dapat menyatukan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal. Bahkan masyarakat yang memiliki pendidikan yang tinggi malah berpendapat bahwa sekolah inklusi tidak dapat memberikan manfaat apapun baik untuk anak normal, ABK ataupun sekolah, walaupun mereka mengetahui makna dari pendidikan inklusi tersebut.

Hasil pra penelitian juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak ingin berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan inklusi. Sedangkan Stubbs (2002)


(22)

dan Ainscow (2005) menyatakan bahwa praktik dan partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam keberhasilan perkembangan sekolah inklusi. Hernandez (2001) menambahkan bahwa orangtua yang merupakan bagian dari masyarakat sangat berperan penting dalam perkembangan pendidikan inklusi.

Komentar masyarakat yang berbeda terhadap pendidikan inklusi tersebut merupakan persepsi mereka terhadap pendidikan inklusi. Persepsi merupakan cara individu atau kelompok dalam memandang suatu stimulus dari lingkungan dan diorganisir serta diinterpretasi oleh individu yang akan mendasari perilaku seseorang (Robbins, 2002). Menurut Tagiuri (dalam Walgito, 2003) persepsi merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui, menginterpretasi, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi tentang sifat-sifatnya, kualitasnya, dan keadaan lain yang ada dalam target yang dipersepsikan. Target atau stimulus persepsi dalam penelitian ini adalah pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi menjadi target atau stimulus yang kemudian akan dipersepsikan oleh individu yang memiliki arti bagi individu itu sendiri. Persepsi memiliki beberapa aspek yaitu kognitif bagaimana individu mengenali, memahami informasi atau stimulus yang diperoleh dari lingkungan dan aspek afektif bagaimana individu merasakan serta mengekspresikan stuimulus tersebut (McDowwell & Newel,1996).

Setiap individu memiliki persepsi yang berbeda dalam menanggapi stimulus yang datang pada dirinya. Adanya perbedaan ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi. Thoha (2007) menjelaskan bahwa persepsi akan dipengaruhi oleh psikologi individu yang mempersepsikan, keluarga, tempat tinggal, kebudayaan, agama, pendidikan, pengetahuan dan akses informasi yang


(23)

diperoleh. Rahmat (2005) juga menambahkan bahwa seseorang yang memiliki pendidikan yang baik cenderung memberikan persepsi yang baik terhadap sesuatu informasi. Hal ini tidak sejalan dengan hasil pra penelitian pada subjek yang memiliki pendidikan baik malah menganggap pendidikan inklusi tidak dapat dijalankan dan tidak bermanfaat. Maka dari itu peneltian ini akan melakukan penelitian tambahan dengan melihat aspek demografi dari subjek seperti pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, usia, penghasilan, suku, agama, status pernikahan, dan jumlah anak.

Robbins (2002) menambahkan bahwa terdapat dua kategori persepsi yaitu, persepsi positif dan negatif. Individu yang memiliki persepsi yang positif terhadap pendidikan inklusi akan memiliki pandangan dan pendapat yang lebih baik terhadap pendidikan inklusi. Sedangkan individu yang memiliki persepsi yang negatif akan memiliki pendapat dan pandangan yang buruk terhadap pendidikan inklusi.

Berdasarkan hasil pra penelitian dari 100 orang masyarakat Kota Medan yang menunjukkan adanya perbedaan pendapat dan pandangan terhadap pendidikan inklusi, membuat peneliti ingin melihat lebih jauh bagaimana gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi di Kota Medan dengan meggunakan alat ukur yang sesuai dengan teori yang dibangun di bab 2 (dua) serta menggunakan metode penelitian yang sesuai.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, dan fenomena yang diterangkan diatas. Maka pertanyaan dalam


(24)

penelitian ini adalah: Bagaimana gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi?

C. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi.

2. Mengetahui bagaimana gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi berdasarkan tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, penghasilan, pekerjaan, status pernikahan, jumlah anak, suku dan agama subjek.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu: manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu Psikologi pendidikan, khususnya mengenai pendidikan inklusi.

2. Manfaat praktis

Secara praktis, dengan mengetahui gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi seluruh praktisi pendidikan di Kota Medan dapat menggunakan data-data hasil penelitian dalam mengembangkan pendidikan


(25)

inklusi di Kota Medan serta mengembangkan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus.

E. Sistematika Penulisan

Proposal penelitian ini terdiri dari tiga bab dimulai dari bab I sampai bab III. Adapun sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah :

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas :

Latar belakang masalah yaitu melatar belakangi penelitian ini dilakukan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Merupakan landasan teori yang terdiri atas :

Teori definisi persepsi, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi, aspek-aspek persepsi dan proses terbentuknya persepsi. Bab ini juga mencakup teori definisi pendidikan inklusi, konsep dalam pendidikan inklusi, dimensi pendidikan inklusi, dan faktor penentu keberhasilan pendidikan inklusi.

BAB III Merupakan metodologi penelitian, yang terdiri atas:

Identifikasi variabel penelitian, definisi operasional penelitian, sampel dan populasi, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.


(26)

BAB IV Hasil Dan Pembahasan

Bab ini berisikan interpretasi hasil dan analisis data-data sebagai hasil penelitian sesuai dengan landasan teori serta pembahasan dari hasil analisis data.

BAB V Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan hasil penelitian dan saran-saran untuk perbaikan penelitian selanjutnya serta terhadap pihak pendidikan.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Persepsi Terhadap Pendidikan Inklusi 1. Definisi persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan pesan indera dari lingkungan dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan dengan cara mengorganisir dan menginterpretasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu (Robbins 2003). Gibson (1998) dan Sarwono (2000) menambahkan bahwa persepsi melibatkan alat indra dan proses kognisi yaitu menerima stimulus, mengorganisasi stimulus serta menafsirkan stimulus dengan proses tersebut akan mempengaruhi perilaku dan sikap individu.

Definisi yang sama juga diungkapkan Solso, dkk (2008) bahwa persepsi melibatkan kognisi dalam penginterpretasian terhadap informasi. Kejadian-kejadian atau informasi tersebut diproses sesuai pengetahuan yang dimiliki individu sebelumnya mengenai objek persepsi yang di interpretasikannya. Menurut McDowwell & Newel (1996) persepsi dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu yaitu perasaan sehingga mampu mempengaruhi persepsi individu tersebut.

Rahmat (2005) menyebutkan persepsi dibagi menjadi dua bentuk yaitu positif dan negatif, apabila objek yang dipersepsi sesuai dengan penghayatan dan dapat diterima secara rasional dan emosional maka manusia akan mempersepsikan positif atau cenderung menyukai dan menanggapi sesuai dengan objek yang dipersepsikan. Apabila tidak sesuai dengan penghayatan maka persepsinya negatif


(28)

atau cenderung menjauhi, menolak dan menanggapinya secara berlawanan terhadap objek persepsi tersebut.

Robbins (2002) menambahkan bahwa persepsi positif merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan yang positif atau sesuai dengan yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Sedangkan, persepsi negatif merupakan persepsi individu terhadap objek atau informasi tertentu dengan pandangan yang negatif, berlawanan dengan yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Penyebab munculnya persepsi negatif seseorang dapat muncul karena adanya ketidakpuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya ketidaktahuan individu serta tidak adanya pengalaman inidvidu terhadap objek yang dipersepsikan dan sebaliknya, penyebab munculnya persepsi positif seseorang karena adanya kepuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya pengetahuan individu, serta adanya pengalaman individu terhadap objek yang dipersepsikan.

Menurut Leavitt (1997) individu cenderung melihat kepada hal-hal yang mereka anggap akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan mengabaikan hal-hal yang dianggap merugikan/mengganggu. Menurut Robbins (2002) keadaan psikologis menjadi sangat berperan dalam proses intepretasi atau penafsiran terhadap stimulus, sehingga sangat mungkin persepsi seorang individu akan berbeda dengan individu lain, meskipun objek/stimulusnya sama. Davidoff (1988) menambahkan bahwa penafsiran sangat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif/kebutuhan,


(29)

kepentingan/minat, pengalaman masa lalu dan harapan. Proses persepsi melibatkan intepretasi mengakibatkan hasil persepsi antara satu orang dengan orang lain sifatnya berbeda (individualistik).

Berdasarkan defenisi yang dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan cara pandang individu terhadap stimulus yang ada di lingkungan melalui proses kognisi dan proses afeksi yang dipengaruhi oleh berbagai hal seperti pengetahuan sebelumnya, kebutuhan, suasana hati, pendidikan dan faktor lainnya sehingga memberikan makna yang berbeda dan akan mempengaruhi perilaku dan sikap individu.

2. Aspek persepsi

Aspek persepsi menurut McDowwell & Newel (1996) , yaitu: a. Kognisi

Aspek kognisi merupakan aspek yang melibatkan cara berpikir, mengenali, memaknai suatu stimulus yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Hurlock (1999) menambahkan bahwa aspek kognitif didasarkan atas konsep suatu informasi, aspek kognitif ini juga didasarkan pada pengalaman pribadi dan apa yang dipelajari.

b. Afeksi

Aspek afeksi merupakan aspek yang membangun aspek kognitif. Aspek afektif ini mencakup cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi terhadap stimulus berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian mempengaruhi persepsinya.


(30)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi.

Robbin (2003) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi. Faktor-faktor tersebut adalah :

a. Keadaan pribadi orang yang mempersepsi

Merupakan faktor yang terdapat dalam individu yang mempersepsikan. Misalnya kebutuhan, suasana hati, pendidikan, pengalaman masa lalu, sosial ekonomi dan karakteristik lain yang terdapat dalam diri individu.

b. Karakteristik target yang dipersepsi

Target tidak dilihat sebagai suatu yang terpisah, maka hubungan antar target dan latar belakang serta kedekatan/kemiripan dan hal-hal yang dipersepsi dapat mempengaruhi persepsi seseorang.

c. Konteks situasi terjadinya persepsi

Waktu dipersepsinya suatu kejadian dapat mempengaruhi persepsi, demikian pula dengan lokasi, cahaya, panas, atau faktor situasional lainnya.

Berbeda dengan Robbins, menurut Thoha (2007) persepsi dipengaruhi oleh, yaitu:

a. Psikologis

Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis.

b. Keluarga

Pengaruh yang paling besar terhadap anak adalah keluarga. Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat


(31)

kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka yang diturunkan pada anak mereka.

c. Kebudayaan

Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan dunia ini.

David Krech dan Ricard Crutcfield (dalam Rahmat, 2005) menambahkan faktor-faktor yang menentukan persepsi menjadi dua yaitu : faktor fungsional dan faktor struktural

a. Faktor Fungsional

Faktor fungsional adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, jenis kelamin dan hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Faktor fungsional yang menentukan persepsi adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.

b. Faktor Struktural

Faktor struktural adalah faktor-faktor yang berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik terhadap efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Faktor-faktor struktural yang menentukan persepsi menurut teori Gestalt bila kita ingin memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti faktor-faktor yang terpisah tetapi memandangnya dalam hubungan keseluruhan.

Rahmat (2005) menambahkan tiga faktor personal yang mempengaruhi persepsi adalah:


(32)

a. Pengalaman, seseorang yang telah mempunyai pengalaman tentang hak-hak tertentu akan mempengaruhi kecermatan seseorang dalam memperbaiki persepsi. Semakin seseorang berpengalaman dalam suatu hal semakin baik persepsinya.

b. Motivasi, motivasi individu terhadap suatu informasi akan mempengeruhi persepsinya. Seseorang yang memiliki motivasi dan harapan yang tinggi terhadap sesuatu, cenderung akan memiliki persepsi yang positif terhadap objek tersebut.

c. Kepribadian, dalam psikoanalisis dikenal sebagai proyeksi yaitu usaha untuk mengeksternalisasi pengalaman subjektif secara tidak sadar.kepribadian seseorang yang extrovert dan berhati halus cenderung akan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap sesuatu.

4. Proses terbentuknya persepsi

Proses terbentuknya persepsi tidak akan terlepas dari pengalaman penginderaan dan pemikiran. Seperti yang telah dijelaskan oleh Robbins (2003) bahwa pengalaman masa lalu akan memberikan dasar pemikiran, pemahaman, pandangan atau tanggapan individu terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya (Robbins, 2003). Myers (1992) mengemukakan bahwa persepsi terjadi dalam tiga tahapan yang berkesinambungan dan terpadu satu dan lainnya, yaitu :

a. Pemilihan

Pada saat memperhatikan sesuatu berarti individu tidak memperhatikan yang lainnya. Mengapa dan apa yang disaring biasanya berasal dari beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari enam prinsip :


(33)

1) Intensitas, intensitas atau kuatnya suatu stimulus, suara keras di dalam ruangan yang sepi atau cahaya yang sangat tajam biasanya mengarahkan perhatian.

2) Ukuran, sesuatu yang besar akan lebih menarik perhatian.

3) Kontras, sesuatu yang berlatar belakang kontras biasanya sangat menonjol.

4) Pengulangan, stimulus yang diulang lebih menarik perhatian daripada yang sesekali saja.

5) Gerakan. Perhatian individu akan lebih tertarik kepadda objek yang bergerak untuk dilihat daripada objek yang sama tapi diam.

6) Dikenal dan sesuatu yang baru. Objek baru yang berada di lingkungan yang lebih dikenal akan lebih menarik perhatian.

Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi :

1) Faktor fisiologis, individu dirangsang oleh apa yang sedang terjadi di luar dirinya melalui pengindraan seperti mata, kulit, lidah, telinga, hidung, tetapi tidak semua individu yang memiliki kekuatan indera yang sama, maka tidak setiap individu mampu mempersepsikan dengan baik.

2) Faktor psikologis, meliputi motivasi dan pengalaman belajar masa lalu. Motivasi dan pengalaman belajar masa lalu setiap individu berbeda. Sehingga individu cenderung mempersepsikan apa yang sesuai dengan kebutuhan, motivasi dan minatnya.


(34)

b. Pengorganisasian

Pengelolaan stimulus atau informasi melibatkan proses kognisi, dimana individu memahami dan memaknai stimulus yang ada. Individu yang memiliki tingkat kognisi yang baik cenderung akan memiliki persepsi yang baik terhadap objek yang dipersepsikan.

c. Interpretasi

Dalam interpretasi individu biasanya melihat konteks dari objek atau stimulus. Selain itu, interpretasi juga terjadi apa yang disebut dengan proses mengalami lingkungan, yaitu mengecek persepsi. Apakah orang lain juga melihat sama seperti yang dilihat individu melalui konsensus validitas dan perbandingan.

B.Pendidikan Inklusi

1. Definisi pendidikan inklusi

Istilah terbaru dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan ke dalam program-program sekolah adalah inklusi, bagi sebagian pendidik hal ini dilihat sebagai deskripsi yang positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realitas dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh (Smith, 2006). Ainscow & Booth (2002) menambahkan bahwa anak-anak yang dianggap sebagai anak berkebutuhan sebaiknya ditempatkan di sekolah umum yang sama dengan anak normal umumnya yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan sosial bagi anak berkebutuhan khusus maupun anak normal.


(35)

Menurut Banks (2010) penekanan pada pendidikan inklusi terketak pada perubahan pendekatan belajar mengajar agar murid dengan perbedaan gender, kultur, sosial, etnis dan bahasa bisa mendapatkan kesetaraan pendidikan dalam institusi yang ada. Banks (2010) dan Bennett (2003) menambahkan bahwa sekolah inklusi dirancang untuk menjadi sekolah yang heterogen, dan harapannya bisa menjawab semua kebutuhan individu dalam hal pendidikan dalam konteks sosial yang sama, tidak ada persyaratan khusus untuk bisa menjadi siswanya, dimana sekolah inklusi memang ditujukan agar anak berkebutuhan khusus bisa masuk sekolah biasa.

Meyer, Jill dkk (2005) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi merupakan sekolah yang mendasarkan pada asas pendidikan multikultural. Definisi tersebut dilengkapi oleh Choate (2000) bahwa sekolah inklusi merupakan sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum. Sapon-Shevin (dalam Direktori PLB, 2004) menambahkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas regular bersama-sama teman seusianya.

Sementara itu Staub dan Peck (dalam Direktori PLB, 2004) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah regular dapat menerima semua anak tanpa membedakan latar belakang kondisi. Freiberg (Direktori PLB, 2004) menambahkan bahwa melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan atau yang disebut sebagai anak berkebutuhan khusus dan


(36)

yang sering dikenal anak cacat dididik bersama-sama anak lainnya (non ABK) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Selain itu Meyer, Jill dkk (2005) menjelaskan mengenai tujuan dari pendidikan inklusi adalah untuk mengajarkan pada siswa agar bisa mengapresiasikan dan menghargai orang lain, bisa menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat luas, bisa menghargai perbedaan cara pandang, dan bisa menerima tugas perutusan dalam masyarakat dan lingkungan sosialnya.

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang mengizinkan siswa berkebutuhan khusus untuk dapat bersekolah di sekolah regular bersama dengan anak normal lainnya agar siswa berkebutuhan mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak lainya.

2. Konsep dalam pendidikan inklusi

Stubbs (2000) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa konsep-konsep utama yang terkait dengan pendidikan inklusi, yaitu:

a. Konsep-konsep tentang anak

Semua anak berhak memperoleh pendidikan di dalam komunitasnya sendiri, dapat belajar, dan siapapun dapat mengalami kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu semua anak membutuhkan dukungan untuk belajar dan pengajaran yang berfokus pada anak bermanfaat bagi semua anak.

b. Konsep-konsep tentang pendidikan dan sekolah

Konsep pendidikan lebih luas dari pada sekolah formal dengan memiliki sistem pendidikan yang fleksibel dan responsif. Inklusi menjamin lingkungan yang


(37)

ramah, melibatkan partisipasi masyarakat dan berkolaborasi untuk meningkatkan mutu sekolah dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh.

c. Konsep-konsep tentang keberagaman dan diskriminasi

Pendidikan inklusi memandang keberagaman sebagai sumber kekuatan dengan cara berusaha memberantas diskrimiansi. Pendidikan inklusi juga mempersiapkan siswa untuk menghargai dan menghormati perbedaan.

d. Konsep-konsep tentang proses untuk mempromosikan inklusi

Untuk mengembangkan pendidikan inklusi, sekolah harus mampu mengidentifikasi dan mengatasi hambatan inklusi serta meningkatkan partisipasi bagi semua orang dan menjalin kolaborasi serta kemitraan.

e. Penelitian kolaboratif

Inklusi dapat berjalan optimal dengan cara melibatkan sumber daya yang ada di lingkungan yaitu anak, orangtua, guru, kelompok termarjinalisasi untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan inklusi.

3. Lima elemen pendidikan inklusi

Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Direktorat PLB, 2007) mengemukakan lima elemen yang wajib ada di sekolah inklusi, yaitu:


(38)

a. Menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

Sekolah mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku sosial yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas.

b. Penerapan kurikulum dan pembelajaran yang kooperatif.

Pembelajaran di kelas inklusi akan bergeser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku dan mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antarsiswa dan materi belajar yang bersifat tematik.

c. Guru menerapkan pembelajaran yang interaktif.

Perubahan dalam kurikulum berkatian erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus bergeser dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar, secara aktif saling berpartisipasi serta bertanggungjawab terhadap pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi melainkan untuk saling belajar mengajar dengan yang lain.


(39)

d. Mendorong guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.

Aspek terpenting dari pendidikan inklusif adalah pengajaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan para professional, ahli bina bicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus.

e. Keterlibatan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan dan pembelajaran.

Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di rumah.

4. Faktor Penentu Keberhasilan Pendidikan Inklusi

Stubbs (2002) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi yang sukses ditentukan oleh 3 faktor penentu utama, yaitu:

a. Adanya kerangka yang kuat

Pengembangan kerangka yang kuat merupakan komponen utama pendidikan inklusi, yang akan berfungsi sebagai program. Kerangka ini harus terdiri dari: 1) Nilai-nilai dan keyakinan yang kuat


(40)

Nilai-nilai dan keyakinan orang sangatlah mendalam dan tidak mudah untuk diubah. Salah satu hambatan utama implementasi inklusi sering kali adalah sikap negatif.

2) Prinsip-prinsip dasar

Pendidikan inklusi memiliki prinsip-prinsip yang berakar pada nilai dan keyakinan dan semuanya memunculkan tindakan yang harus dilakukan agar inklusi terlaksana. Berikut ini adalah beberapa contoh topik diskusi, tetapi dalam konteksnya masing-masing, topik diskusi tersebut perlu dikembangkan secara kolaboratif.

a) Semua anak berhak untuk bersekolah di lingkungan masyarakatnya tanpa tergantung pada karakteristik anak ataupun kesukaan guru. b) Mengubah sistem agar sesuai dengan anak, bukan sebaliknya.

c) Dukungan yang tepat harus diberikan agar anak mendapat akses untuk belajar (misalnya Braile, rekaman audio, bahasa isyarat). d) Lingkungan pendidikan harus fleksibel dan ramah kepada kelompok

yang berbeda-beda.

e) Mengganggu, menghina dan mendiskriminasi anak penyandang cacat tidak akan ditoleransi, artinya anak penyandang cacat tidak seharusnya disalahkan bila tidak dapat menyesuaikan diri.

f) Sekolah menggunakan seluruh aspek pendekatan pendidikan untuk menangani semua hambatan inklusi.


(41)

g) Pemecahan masalah harus dilihat sebagai tanggung jawab bersama antara sekolah, keluarga, anak dan masyarakat, dan harus mencerminkan suatu model sosial.

3) Indikator keberhasilan

Indikator atau ukuran keberhasilan perlu dikembangkan secara partisipatif di dalam budaya dan konteks lokal. Pendekatan untuk mengembangkan indikator tersebut adalah:

a) Membentuk tim koordinasi partisipatori.

b) Menyiapkan materi untuk menstimulasi diskusi yang didasarkan pada pernyataan-pernyataan tentang inklusi dari berbagai dokumen internasional, studi kasus, dan definisi pendidikan inklusi.

c) Menggunakan pendekatan partisipatori untuk membuat daftar nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip inti yang berkaitan dengan pendidikan inklusi.

d) Mendapatkan opini dari kelompok-kelompok yang tersisihkan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang cacat, orang lanjut usia. e) Menggunakan penerapan isu kebijakan, kurikulum, pelatihan,

bangunan sekolah dengan menyesuaikan pada kondisi dan situasi yang ada.

f) Mendeskripsikan perilaku, keterampilan, pengetahuan dan perubahan konkret yang akan menunjukkan bahwa nilai-nilai, keyakinan atau prinsip-prinsip itu benar-benar dipraktikkan.


(42)

b. Implementasi berdasarkan budaya dan konteks lokal.

Masalah yang muncul dalam pendidikan inklusi dapat diatasi dengan cara menyesuaikan permasalahan yang muncul dalam budaya/konteks tertentu. Sehingga, solusi yang diekspor dari suatu budaya/konteks tidak dapat mengatasi permasalahan dalam budaya/konteks lain yang sama sekali berbeda. Maka, pendidikan inklusi mempertimbangkan hal-hal berikut:

1) Situasi praktis, jelaslah isu-isu setiap budaya akan berbeda menurut tiap budaya dan konteks.

Pendidikan inklusi akan berjalan optimal jika disesuaikan dengan budaya dan konteks lokal yang ada.

2) Sumber-sumber daya yang tersedia (orang, keuangan, materi). Banyak orang beragumen bahwa mereka tidak dapat melaksanakan pendidikan inklusi karena kita tidak memiliki sumber daya yang cukup. Padahal, pendidikan inklusi dapat berkembang optimal dengan memaksimalkan sumber daya yang ada.

3) Faktor-faktor budaya.

Sangatlah penting untuk secara sadar mempertimbangkan faktor-faktor budaya dalam merencanakan pendidikan inklusi. Dimana, budaya yang berbeda memiliki kebutuhan, pengetahuan, kondisi dan masalah yang berbeda. Setiap budaya juga memiliki faktor-faktor utama yang terkait dengan budaya lokal, baik faktor pendukung maupun faktor penghambat. Pendidikan inklusi dapat berjalan optimal jika mampu memahami dan mengidentifikasi hal tersebut.


(43)

c. Partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis

Pendidikan inklusi tidak akan berhasil jika hanya merupakan struktur yang mati. Pendidikan inklusi merupakan proses yang dinamis dan agar pendidikan inklusi terus hidup, diperlukan adanya monitoring yang melibatkan semua stakeholder. Satu prinsip inti dari pendidikan inklusi adalah harus tanggap terhadap keberagaman secara fleksibel, yang senantiasa berubah dan tidak dapat diprediksi. Jadi, pendidikan inklusi harus tetap hidup dan mengalir. Secara bersama-sama, ketiga faktor penentu utama tersebut membentuk organisme hidup yang kuat, yang dapat beradaptasi dan tumbuh dalam budaya dan konteks lokal.

C. Masyarakat Kota Medan 1. Definisi masyarakat

Menurut Koentjaraningrat (1990) istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab yaitu syaraka yag berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius, yang

berarti “kawan”. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau dengan istilah ilmiah saling berinteraksi. Pola tersebut harus bersifat menetap dan kontinyu, dengan kata lain pola tersebut harus sudah menjadi adat istiadat yang khas. Menurut Soekanto (2006) masyarakat merupakan kumpulan individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, tetapi semua perbedaan yang ada menyatu dan menciptakan kebersamaan yang berjalan harmonis dan membuat kebudayaan tersendiri.


(44)

Paul B. Horton & C. Hunt (dalam Soekanto, 2006) menambahkan bahwa masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah kumpulan manusia yang saling berinteraksi, tinggal dalam suatu wilayah dalam waktu yang lama serta melakukan kegiatan secara bersama.

2. Masyarakat kota Medan

Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara. Kota ini merupakan kota terbesar ke tiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Di samping itu, Kota Medan juga sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka. Kota Medan memiliki posisi strategi sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan (Wikipedia, 2010).

Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota yang memiliki beragam budaya, etnis, agama yang berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan munculnya Kota Medan sebagai kota metropolitan dan kota pluralistk yang berjalan dengan damai (Pemko Medan, 2007).

Keanekaragaman suku bangsa di Kota Medan terlihat dari jumlah masjid, gereja, kuil dan vihara Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh daerah.


(45)

Penduduk Kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa, yaitu suku bangsa Jawa, suku-suku dari Tapanuli (Batak, Mandailing, Karo), Melayu dan banyak pula suku bangsa keturunan India dan Tionghoa (Cipta Karya 2007).

Keanekaragaman yang ada di Kota Medan membuat Kota Medan dinobatkan menjadi kota multikultural yang damai dan berjalan harmonis (Waspada, 2007). Tidak heran, pengukuhan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dilakukan di Kota Medan pada tanggal 31 Juli 2007 periode 2007-2012. Penyebaran suku bangsa di Kota Medan dapat dilihat dalam Tabel 1:

Tabel 1

Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000

Suku bangsa Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000

Jawa 24,9% 29,41% 33,03%

Batak 10,7% 14,11% --

Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65%

Mandailing 6,43% 11,91% 9,36%

Minangkabau 7,3% 10,93% 8,6%

Melayu 7,06% 8,57% 6,59%

Karo 0,12% 3,99% 4,10%

Aceh -- 2,19% 2,78%

Sunda 1,58% 1,90% --

Lain-lain 16,62% 4,13% 3,95%

Sumber: 1930 dan 1980; 2000: BPS Sumut

Adapun jumlah penduduk Kota Medan menurut BPS tahun 2009 mencapai 2.121.05 jiwa, dibagi atas 21 kecamatan yang mencakup 151 kelurahan, dapat dilihat pada Tabel 2:


(46)

Tabel 2. Jumlah penduduk dilihat dari Kecamatan

Sumber: BPS Medan, 2009

Penduduk Kota Medan memiliki beragam pekerjaan, dapat dilihat pada Tabel 3 :

Tabel 3.

Jumlah penduduk Kota Medan menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2009

No Jenis pekerjaan Jumlah jiwa Presentase

1 Pegawai Negeri 18.670 4,88

2 Pegawai Swasta 14.570 3,81

3 TNI/ POLRI 3.562 0,93

4 Tenaga Pengajar 43.551 11,38

5 Tenaga Kesehatan 2.399 0,63

6 Lain-lain 300.000 78,37

Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009.

No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Medan Tuntungan 34 153 35 919 70 073 2. Medan Johor 57 495 58 725 116 220 3. Medan Amplas 57 127 58 029 115 156 4. Medan Denai 69 746 70 194 139 939 5. Medan Area 53 866 55 386 109 253 6. Medan Kota 41 298 42 994 84 292 7. Medan Maimun 28 212 29 646 57 859 8. Medan Polonia 26 389 27 038 53 427 9. Medan Baru 20 822 23 394 44 216 10. Medan Selayang 42 434 43 244 85 678 11. Medan Sunggal 54 452 56 216 110 667 12. Medan Helvetia 71 713 73 662 145 376 13. Medan Petisah 32 795 35 325 68 120 14. Medan Barat 38 513 40 585 79 098 15. Medan Timur 56 201 57 673 113 874 16. Medan Perjuangan 51 752 53 950 105 702 17. Medan Tembung 70 628 71 158 141 786 18. Medan Deli 75 246 74 830 150 076 19. Medan Labuhan 53 522 53 399 106 922 20. Medan Marelan 64 183 62 436 126 619 21. Medan Belawan 48 908 47 791 96 700 Kota Medan 1 049 457 1 071 596 2 121 05


(47)

Penduduk Kota Medan berdasarkan tingkat pendidikan terdiri dari tamat SD,SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Untuk mengetahui lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4.

Jumlah Penduduk Kota Medan menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 SD 412.893 21,51

2 SLTP 626.617 32,65

3 SLTA 670.597 34,94

4 Perguruan Tinggi 209.246 10,90

Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009.

Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kota Medan paling besar berada pada tingkat pendidikan menengah yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar 670.597 orang (34,94%), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebesar 626.617 orang (32,65%), Sekolah Dasar (SD) berjumlah 412.893 orang (21,51%), dan perguruan tinggi (PT) 209.246 orang (10,90%).


(48)

BAB III METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif. Menurut Suryabrata (2003) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk membuat pecandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Data yang akan dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi. Gay (dalam Sevilla, 1993) menambahkan peneltian deskriptif sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Penelitian deskriptif menentukan dan melaporkan keadaan sekarang.

Arikunto (1998) menjelaskan pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau suatu fenomena. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi. Penelitian ini akan memperoleh data berupa skor mean, dan standar error. Data tersebut akan diolah untuk mendapatkan dua kategori subjek, yaitu kategori positif dan negatif.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah persepsi masyarakat terhadap pendidikan inklusi.


(49)

B. Definisi Operasional Variabel

Persepsi masyarakat terhadap pendidikan inklusi adalah pandangan atau interpretasi masyarakat terhadap pendidikan inklusi yaitu sistem pendidikan yang mengizinkan seluruh siswa baik berkebutuhan khusus, status sosial ekonomi, ras, agama atau etnis yang berbeda untuk dapat bersekolah di sekolah regular bersama dengan anak lainnya, agar seluruh siswa mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak lainnya. Persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi terlihat dari penilain terhadap lima elemen pendidikan inklusi yaitu menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan; sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang kooperatif; pendidikan inklusi menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif; mendorong guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi; serta melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan.

Gambaran persepsi masyarakat Kota Medan terhadap pendidikan inklusi ini dapat diukur dengan menggunakan Skala Persepsi terhadap Pendidikan Inklusi yang dibuat oleh peneliti berdasarkan teori Sapon-Shevin (dalam Direktorat PLB, 2007) meliputi lima elemen pendidikan inklusi dari skala ini juga dirancang dengan mempertimbangkan kedua aspek dari persepsi dalam pembuatan aitem. Penelitian ini akan membagi subjek dalam dua kategori, yaitu positif dan negatif. Subjek yang termasuk dalam kategori positif berarti memiliki perspesi yang


(50)

positif terhadap pendidikan inklusi. Sebaliknya, subjek yang termasuk dalam kategori negatif berarti memiliki persepsi negatif terhadap pendidikan inklusi.

Pengkategorisasian ini dihasilkan dari skor yang diperoleh setiap subjek. Jika semakin tinggi skor skala persepsi pendidikan inklusi maka semakin positif persepsinya terhadap pendidikan inklusi. Sebaliknya, jika semakin rendah skor skala maka semakin negatif persepsinya terhadap pendidikan inklusi.

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi Penelitian

Dalam suatu penelitian masalah populasi dan sampel yang dipakai merupakan satu faktor penting yang harus diperhatikan (Hadi, 2004). Populasi adalah sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai sifat yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Kota Medan yang terdiri dari 21 Kecamatan, yaitu Medan Tuntungan, Medan Selayang, Medan Johor, Medan Amplas, Medan Denai, Medan Tembung, Medan Kota, Medan Area, Medan Baru, Medan Polonia, Medan Malmun, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Barat, Medan Petisah, Medan Timur, Medan Perjuangan, Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan, Medan Belawan.

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi maka peneliti hanya memilih sebagian dari populasi untuk dijadikan subjek penelitian yang dinamakan sampel (Azwar, 2001). Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi.


(51)

Sampel paling sedikitnya harus memilih satu sifat yang sama dengan populasi (Hadi, 2004).

2. Sampel dan Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu teknik cluster

random sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam

beberapa kelompok secara random. Teknik ini digunakan karena tidak memungkinkannya merandom secara langsung individu-individu dalam jumlah populasi yang besar (Longridge, 2004). Cluster random sampling ini digunakan karena populasi terbagi atas beberapa sub kelompok dan melakukan randomisasi terhadap kelompok tersebut (Azwar, 1999).

Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan melakukan beberapa tingkatan random, yaitu tahap pertama peneliti mengambil 5 Kecamatan dari dari 21 Kecamatan di Kota Medan; tahap kedua peneliti mengambil 1 kelurahan dari 5 Kecamatan yang terpilih. Dari tahap pertama terpilihlah Kecamatan Medan Labuhan, Medan Selayang, Medan Helvetia, Medan Belawan, Medan Marelan; dari tahap kedua terpilihlah Kelurahan Nelayan Indah dari Kecamatan Medan Labuhan; Kelurahan Rengas Pulau dari Kecamatan Medan Marelan; Kelurahan Belawan Bahagia dari Kecamatan Medan Belawan; Kelurahan Tanjung Sari dari Kecamatan Medan Selayang; Kelurahan Helvetia tengah dari Kecamatan Medan Helvetia.

Galtung (dalam Azwar, 1999) menyatakan suatu cara penentuan besarnya sampel dengan melibatkan banyaknya variabel yang diteliti (n) dan banyaknya kategori nilai (n) dan banyaknya kategori nilai (r) pada setiap variabel, dengan


(52)

rumus r pangkat n di kali 20. Penelitian ini hanya melibatkan 1 (satu) variabel, yaitu persepsi terhadap pendidikan inklusi dengan 2 (tiga) kategori nilai: positif dan negatif. Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel dalam penelitian ini minimal 40 orang, yang diharapkan sudah mewakili populasi yang ada.

Berbeda dengan Galtung, Gay (dalam Sevilla, 1996) menyatakan bahwa untuk penelitian deskriptif, jumlah sampel yang diambil yaitu sebesar 10 (sepuluh)% dari populasi dan untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 (dua puluh)%. Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30 (tiga puluh), walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 (seratus) merupakan jumlah yang minimum. Menurut Azwar (1999), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 (enam puluh) subjek sudah cukup banyak. Namun, sesungguhnya tidak ada angka yang dapat dikatakan dengan pasti. Oleh karena itu, berdasarkan beberapa pendapat di atas maka jumlah mahasiswa yang menjadi sampel penelitian ini adalah sebanyak 150 (seratus lima puluh) orang.

D. Metode Pengumpulan Data

Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan skala atau disebut metode skala. Skala yaitu suatu metode pengumpulan data yang merupakan sutu daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi, 2004).


(53)

Metode skala memepunyai kebaikan-kebaikan yang dijelaskan Hadi (2004) dengan alasan sebagai berikut :

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya

2. Apa yang dinyatakan subjek pada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya

3. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan dengan peneliti.

Azwar (1999) juga menjelaskan bahwa metode skala mempunyai kebaikan-kebaikan dengan alasan sebagai berikut :

1. Pernyataan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subjek yang tidak disadari

2. Digunakan untuk mengungkapkan suatu atribut

3. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan.

Metode skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Likert (Azwar, 2001). Setiap item meliputi lima pilihan jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

Prosedur penskalaan dengan metode likert didasari dua asumsi yaitu : 1. Setiap pernyataan sikap yang disepakati termasuk pernyataan yang


(54)

2. Jawaban dari individu yang mempunyai sikap positif harus dioberi bobot (nilai) yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negaitif.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Persepsi Masyarakat terhadap Pendidikan Inklusi ini berfungsi untuk mengungkap aspek persepsi terhadap pendidikan inklusi. Skala tersebut terdiri dari 70 item pernyataan yang bersifat positif (favorable) dan bersifat negatif (Unfavorable). Butir-butir pernyataan disusun berdasarkan aspek-aspek dari persepsi yaitu aspek kognitif dan afektif yang dikaitkan dengan lima elemen pendidikan inklusi dari Sapon-Shevin (dalam Direktorat PLB, 2007), yaitu:

a. Menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

Sekolah mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku sosial yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas.

b. Penerapan kurikulum dan pembelajaran yang kooperatif.

Pembelajaran di kelas inklusi akan bergerser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku dan mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antarsiswa dan materi belajar yang bersifat tematik.


(55)

c. Guru menerapkan pembelajaran yang interaktif.

Perubahan dalam kurikulum berkatian erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus bergeser dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar, secara aktif saling berpartisipasi serta bertanggungjawab terhadap pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi melainkan untuk saling belajar mengajar dengan yang lain.

d. Mendorong guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.

Aspek terpenting dari pendidikan inklusif adalah pengajaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan para professional, ahli bina bicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus.

e. Keterlibatan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan dan pembelajaran.

Keberhasilan pendidikan inklusif sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di rumah.


(56)

Skor nilai bergerak dari 5 sampai 1 dengan melihat apakah aitem tersebut favorable atau unfavorable. Untuk aitem favorable, jawaban SS diberi skor 5, demikian seterusnya skor 1 untuk STS. Sedangkan unfavorable, jawaban STS diberi skor 5, dan seterusnya skor 1 untuk SS (Azwar, 2001).

Tabel 5.

Blue print skala Persepsi masyarakat terhadap pendidikan sebelum uji coba

Aspek Persepsi

Elemen Pendidikan Inklusi

Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

Kognitif Menciptakan dan

menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

1,2,3,4 8,9,10 7

Penerapan kurikulum dan pembelajaran yang kooperatif

15,16,19,20 22,23,24,25 8

Guru menerapkan pembelajaran yang interaktif

31,32,33,34 38,39,41,44 8

Mendorong guru dan kelasnya secara terus menerus dan

penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi

45,46,47,48,59 52,53,54,55,58 10

Keterlibatan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan dan pembelajaran


(57)

Tabel 5.

Blue print skala Persepsi masyarakat terhadap pendidikan sebelum uji coba

Aspek Persepsi

Elemen Pendidikan Inklusi

Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

Afektif Menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima

keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

5,6,7 11,12,13,14 7

Penerapan kurikulum dan pembelajaran yang kooperatif

17,18,21 26,27 5

Guru menerapkan pembelajaran yang interaktif

28,29,35,36,37 30,40,42,43 9

Mendorong guru dan kelasnya secara terus menerus dan

penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi

49,50,51 56,57 5

Keterlibatan orang tua secara bermakna dalam proses

perencanaan dan pembelajaran

62,64,65 67,69 5

Jumlah 70

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur

Suatu alat ukur dapat dikatakan baik apabila alat ukur tersebut valid dan reliabel. Validitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur betul-betul mengukur apa yang hendak diukur (Azwar, 1999). Alat ukur yang dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat ukur tersebut dapat memberikan hasil yang sesuai dengan kecilnya gejala atau bagian yang diukur


(1)

No. PERNYATAAN SS S N TS STS

13 Menurut saya, berdiskusi

hanya membuang-buang

waktu saja.

SS S N TS STS

14. Menurut saya, diskusi

hanya membuat anak

bermain dan mengganggu temannya.

SS S N TS STS

15. Menurut saya, sekolah tidak

perlu mengkaitkan satu

pelajaran dengan pelajaran lain.

SS S N TS STS

16. Menurut saya, guru tidak

perlu memberikan

pengetahuan mengenai

kebudayaan yang ada di Indonesia.

SS S N TS STS

17. Saya suka jika guru lebih

menekankan pada

pemberian pelajaran

daripada pembentukan

kepribadian.

SS S N TS STS

18. Saya lebih suka jika sekolah

mengunakan kurikulum

yang sudah baku, tanpa

menyesuaikannya dengan

budaya lokal.


(2)

No. PERNYATAAN SS S N TS STS

19. Menurut saya, sebaiknya guru mendorong siswa yang

pandai agar membantu

mengajarkan temannya

yang tidak paham terhadap materi tertentu.

SS S N TS STS

20. Saya senang, jika guru

memberi tugas yang

memungkinkan siswa

belajar secara mandiri.

SS S N TS STS

21. Saya suka jika guru

mengajarkan siswa untuk

berlomba menjadi yang

terbaik dengan tetap saling memotivasi.

SS S N TS STS

22. Saya senang, jika dalam kerja kelompok, guru dapat memastikan semua siswa

terlibat dalam proses

belajar.

SS S N TS STS

23. Menurut saya, guru yang menyuruh siswa presentasi di kelas adalah guru yang malas.

SS S N TS STS

24. Menurut saya, guru tidak

perlu mendorong siswa

normal untuk belajar

sesuatu dari siswa

berkebutuhan khusus.


(3)

No. PERNYATAAN SS S N TS STS

25. Saya tidak suka jika siswa

disuruh mencari materi

pelajaran di rumah karena

hanya membuang biaya

saja.

SS S N TS STS

26. Saya tidak suka jika guru mengevaluasi secara rutin prestasi anak saya.

SS S N TS STS

27. Saya setuju, jika guru tidak terbuka menerima pendapat dari siswa.

SS S N TS STS

28. Menurut saya, sebaiknya

sekolah bekerja sama

dengan profesional untuk melihat kondisi siswa agar dapat diberikan pendidikan dan perlakuan yang sesuai.

SS S N TS STS

29. Menurut saya, guru perlu diberikan pelatihan untuk

dapat mengajar dengan

baik.

SS S N TS STS

30. Menurut saya, sekolah

sebaiknya membuat suatu tim khusus penyusun materi belajar.

SS S N TS STS

31. Menurut saya, sebaiknya kepala sekolah membuat aturan kepada seluruh staff untuk ikut berpartisipasi


(4)

dalam memperhatikan perkembangan siswa.

No.

PERNYATAAN SS S N TS STS

32. Saya tidak setuju jika

membuat perencanaan

pengajaran saja harus

berdiskusi dengan psikolog

atau professional lain

karena hanya buang waktu saja.

SS S N TS STS

33. Dalam membuat evaluasi belajar, sekolah tidak perlu

berunding dengan ahli

pendidikan atau psikolog.

SS S N TS STS

34. Menurut saya, masalah

siswa hanya menjadi

tanggung jawab guru

kelasnya.

SS S N TS STS

35. Saya tidak setuju, jika

sekolah mendatangkan

tenaga profesional ke

sekolah karena pasti banyak biaya yang dikeluarkan.

SS S N TS STS

36. Saya khawatir, untuk

berdiskusi mengenai

kurikulum, sekolah akan mengambil banyak dana

bantuan siswa untuk


(5)

membayar ahli pendidikan.

37. Saya tidak suka, jika

sekolah melakukan studi banding ke sekolah lain karena itu tidak penting.

SS S N TS STS

38. Saya tidak setuju kalau

sekolah mengajak

masyarakat untuk

berdiskusi tentang program belajar siswa karena itu urusan sekolah saja.

SS S N TS STS

39. Menurut saya, sekolah

seharusnya aktif melibatkan orangtua dalam memantau proses belajar anak.

SS S N TS STS

40. Saya senang jika

pemerintah, sekolah dan

orangtua bekerja sama

dalam mengawasi

pemberian pendidikan pada setiap anak.

SS S N TS STS

41. Saya suka, jika sekolah menyampaikan secara rutin perkembangan anak saya.

SS S N TS STS

No. PERNYATAAN SS S N TS STS

42. Saya senang, sekolah

membuat forum yang

memungkinkan orangtua

mengetahui prestasi dan prilaku anaknya di sekolah.


(6)

43. Saya tidak suka kalau saya

harus ikut berkumpul

dengan orangtua siswa yang lain dan guru karena hanya buang-buang waktu saja.

SS S N TS STS

44. Menurut saya, sekolah

bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan siswa.

SS S N TS STS

45. Saya takut, jika orangtua terlibat dalam memantau perkembangan anak, maka guru akan sulit objektif dalam memberi penilaian.

SS S N TS STS

46. Menurut saya, orangtua

tidak perlu diikutsertakan

dalam ceremonial

(perayaan) di sekolah.

SS S N TS STS

Periksa kembali jawaban Anda, pastikan tidak ada pernyataan yang terlewatkan.