Analisis Tata Niaga Bawang Merah di Kabupaten Samosir

(1)

ANALISIS TATA NIAGA BAWANG MERAH

DI KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI

OLEH :

DEASY M. N. SITANGGANG 070304038

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS TATA NIAGA BAWANG MERAH

DI KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI

OLEH :

DEASY M.N.SITANGGANG 070304038

Skripsi Diajukan kepada Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat –

Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Pertanian

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

H.M.Mozart B Darus, MSc Ir. Luhut Sihombing, MP

NIP. 195711151986011001 NIP. 196510081992031001

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Deasy Maria Natalia Sitanggang (070304038) dengan judul skripsi ” Analisis Tata Niaga Bawang Merah di Kabupaten Samosir “. Penelitian ini

dibimbing oleh Bapak H.M.Mozart B Darus, MSc dan Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP.

Penelitian dilaksanakan pada Agustus – September 2011 dengan metode penentuan daerah dilakukan secara purposive. Pengambilan sampel dilakukan secara Simple Random Sampling dengan sampel petani sebanyak 75 sampel. Untuk lembaga tata niaga yang terlibat ditentukan dengan metode penelusuran dimana 5 sampel pedagang pengumpul, 5 sampel pedagang besar, dan 8 sampel pedagang pengecer. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk menganalisis harga jual petani dan harga beli konsumen, analisis elastisitas transmisi harga,analisis margin tata niaga, dan analisis efisiensi tata niaga. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat tiga saluran tata niaga di daerah penelitian : petani – pedagang pengumpul – pedagang besar propinsi, petani – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen, petani – konsumen. Struktur pasar di daerah penelitian adalah bukan pasar persaingan dengan nilai elastisitas transmisi harga sebesar 0,681 ( Etr < 1 ). Saluran tata niaga di daerah penelitian sudah efisien dimana nilai e yang diperoleh sebesar 1,275 dan 1,019 ( e > 1 ).


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Analisis Tata Niaga Bawang Merah di Kabupaten Samosir ” di Program

Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak H.M.Mozart B Darus, MSc selaku ketua komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP selaku anggota komisi pembimbing, yang

telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Seluruh staf pengajar dan pegawai tata usaha di Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara.

4. Rekan –rekan jurusan Agribisnis 2007.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Desember 2011


(5)

RIWAYAT HIDUP

Deasy Maria Natalia Sitanggang, lahir pada tanggal 21 Desember 1988 di

Deli Tua sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Drs. R. Sitanggang dan M. Situmorang.

Pendidikan yang pernah ditempuh adalah sebagai berikut :

1. Sekolah Dasar RK Deli Murni Deli Tua tamat tahun 2001.

2. Sekolah Menengah Pertama RK Deli Murni Deli Tua tamat tahun 2004. 3. Sekolah Menengah Atas Santa Maria Medan tamat tahun 2007.

4. Masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur UMPTN tahun 2007 di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Melakukan Praktek Kerja Lapangan ( PKL ) bulan Juni – Juli tahun 2011 di Desa Suka Ramai Kecamatan Air Putih Kabupaten Batu Bara.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka ... 7

2.2 Landasan Teori ... 12

2.3 Kerangka Pemikiran ... 16

2.4 Hipotesis Penelitian ... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 20

3.2 Metode Penentuan Sampel ... 21

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 23

3.4 Metode Analisis Data ... 23


(7)

BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 28

4.2 Karakteristik Sampel ... 38

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Saluran Tata Niaga Bawang Merah ... 43

5.2 Fungsi Tata Niaga ... 45

5.3 Margin Tata Niaga ... 46

5.4 Elastisitas Transmisi Harga ... 51

5.5 Efisiensi Tata Niaga ... 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 53

6.2 Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Bawang Merah

menurut Kecamatan Tahun 2010 ... 20

2 Jumlah Populasi dan Sampel ... 22

3 Penggunaan Lahan di Desa Simanindo Sangkal Tahun 2010 ... 29

4 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Simanindo Sangkal Tahun 2010 ... 30

5 Prasarana Perhubungan di Desa Simanindo Sangkal Tahun 2010 ... 31

6 Penggunaan Lahan di Desa Dosroha Tahun 2010 ... 32

7 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Dosroha Tahun 2010 ... 33

8 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Palipi Tahun 2010... 34

9 Prasarana Perhubungan di Desa Palipi Tahun 2010 ... 35

10 Luas Lahan Menurut Peruntukkan di Desa Palipi Tahun 2010 ... 36

11 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Gorat Parlombuan Tahun 2010 ... 37

12 Sarana dan Prasarana Desa Gorat Parlombuan Tahun 2010 ... 38

13 Karakteristik Petani Sampel Bawang Merah ... 39

14 Karakteristik Pedagang Pengumpul di Daerah Penelitian ... 40

15 Karakteristik Pedagang Besar di Daerah Penelitian ... 41

16 Karakteristik Pedagang Pengecer di Daerah Penelitian ... 42

17 Distribusi Petani Bawang Merah Berdasarkan Saluran Tata Niaga ... 44

18 Fungsi Tata Niaga yang Dilakukan oleh Lembaga Tata Niaga Bawang Merah di Daerah Penelitian ... 46


(9)

21 Distribusi Margin Tata Niaga pada Saluran Tata Niaga III ... 50 22 Efisiensi Tata Niaga Bawang Merah di Daerah Penelitian ... 52


(10)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman 1 Skema Kerangka Pemikiran Analisis Tata Niaga Bawang Merah ... 18 2 Saluran Tata Niaga Bawang Merah di Daerah Penelitian ... 43


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No Uraian 1 Karakteristik Petani Bawang Merah di Kabupaten Samosir Tahun 2011

2 Karakteristik Pedagang Pengumpul Bawang Merah di Kabupaten Samosir Tahun 2011

3 Karakteristik Pedagang Besar Bawang Merah di Kabupaten Samosir Tahun 2011

4 Karakteristik Pedagang Pengecer Bawang Merah di Kabupaten Samosir Tahun 2011

5 Biaya Penggunaan Bibit Bawang Merah per Petani di Kabupaten Samosir Selama Satu Musim Tanam pada Tahun 2011

6 Biaya Penggunaan Pupuk pada Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Samosir Selama Satu Musim Tanam pada Tahun 2011

7 Biaya Penggunaan Pestisida pada Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Samosir Selama Satu Musim Tanam pada Tahun 2011

8 Biaya Sarana Produksi Usahatani Bawang Merah Selama Satu Musim Tanam di Daerah Penelitian

9 Curahan dan Biaya Tenaga Kerja Usahatani Bawang Merah Selama Satu Musim Tanam di Daerah Penelitian

10 Biaya Penyusutan Peralatan Usahatani Bawang Merah Selama Satu Musim Tanam di Daerah Penelitian

11 Biaya Produksi Petani Usahatani Bawang Merah Selama Satu Musim Tanam di Daerah Penelitian

12 Pendapatan Usahatani Bawang Merah Selama satu Musim Tanam di Daerah Penelitian

13 Analisis Usahatani Bawang Merah Selama Satu Musim Tanam di Daerah Penelitian


(12)

14 Volume Pembelian dan Biaya Tata Niaga Pedagang Pengumpul Bawang Merah di Daerah Penelitian

15 Volume Pembelian dan Biaya Tata Niaga Pedagang Besar Bawang Merah di Daerah Penelitian

16 Biaya Petani dalam Menyampaikan Bawang Merah ke Pedagang Besar di Pasar Kabupaten

17 Volume Pembelian dan Biaya Tata Niaga Pedagang Pengecer Bawang Merah di Daerah Penelitian

18 Biaya Tata Niaga Petani Bawang Merah di Daerah Penelitian

19 Hasil Korelasi dan Regresi antara Harga Bawang Merah Tingkat Petani dengan Harga Tingkat Konsumen


(13)

ABSTRAK

Deasy Maria Natalia Sitanggang (070304038) dengan judul skripsi ” Analisis Tata Niaga Bawang Merah di Kabupaten Samosir “. Penelitian ini

dibimbing oleh Bapak H.M.Mozart B Darus, MSc dan Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP.

Penelitian dilaksanakan pada Agustus – September 2011 dengan metode penentuan daerah dilakukan secara purposive. Pengambilan sampel dilakukan secara Simple Random Sampling dengan sampel petani sebanyak 75 sampel. Untuk lembaga tata niaga yang terlibat ditentukan dengan metode penelusuran dimana 5 sampel pedagang pengumpul, 5 sampel pedagang besar, dan 8 sampel pedagang pengecer. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk menganalisis harga jual petani dan harga beli konsumen, analisis elastisitas transmisi harga,analisis margin tata niaga, dan analisis efisiensi tata niaga. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat tiga saluran tata niaga di daerah penelitian : petani – pedagang pengumpul – pedagang besar propinsi, petani – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen, petani – konsumen. Struktur pasar di daerah penelitian adalah bukan pasar persaingan dengan nilai elastisitas transmisi harga sebesar 0,681 ( Etr < 1 ). Saluran tata niaga di daerah penelitian sudah efisien dimana nilai e yang diperoleh sebesar 1,275 dan 1,019 ( e > 1 ).


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah bawang merah ( Allium ascalonicum ). Banyaknya manfaat yang dapat diambil dari bawang merah dan tingginya nilai ekonomi yang dimiliki sayuran ini, membuat para petani di berbagai daerah tertarik membudidayakannya untuk mendapatkan keuntungan besar dari potensi bisnis tersebut.

Budidaya bawang merah memang memberikan keuntungan cukup besar bagi para petaninya. Mengingat saat ini kebutuhan pasar akan bawang merah semakin meningkat tajam seiring dengan meningkatnya jumlah pelaku bisnis makanan yang tersebar di berbagai daerah. Kondisi ini terjadi karena bawang merah sering dimanfaatkan masyarakat untuk bahan baku pembuatan bumbu masakan dan menjadi bahan utama dalam proses produksi bawang goreng yang sering digunakan sebagai pelengkap berbagai menu kuliner.

Usahatani bawang merah hingga kini masih menjadi pilihan dalam usaha agribisnis di bidang hortikultura. Keunggulan bawang merah dibanding dengan komoditas pertanian lain adalah mempunyai daya simpan lebih lama. Konsumsi dalam negeri yang belum bisa dicukupi dan keuntungan yang memberikan peluang membuat usaha ini banyak digeluti para petani.


(15)

Bawang merah, seperti komoditas hortikultura lainnya, mempunyai fluktuasi harga yang cukup tajam karena produksi bersifat musiman dan komoditas bersifat mudah rusak dan tidak tahan lama. Di samping itu, harus disadari bahwa petani kurang mampu mengupayakan penganekaragaman produk menjadi barang jadi. Petani terpaksa menjual hasil dalam bentuk mentah atau tidak diproses lebih lanjut, walaupun petani telah melakukan cara penangan lepas

panen dengan baik, misalnya pengeringan dan penyimpanan ( Tim Penyusun, 1998 ).

Mengingat kebutuhan terhadap bawang merah yang kian terus meningkat, maka pengusahaannya memberikan prospek yang cerah. Prospek tersebut tidak hanya bagi petani dan pedagang saja, tetapi juga bagi semua pihak yang ikut terlibat dalam kegiatan usahanya mulai dari penanaman sampai ke pemasaran.

Dalam rangka peningkatan taraf hidup dan pendapatan petani maka usaha – usaha peningkatan produksi saja tidaklah cukup, akan tetapi harus diimbangi dengan usaha perbaikan dan penyempurnaan di bidang pemasaran hasil. Hal ini disebabkan peningkatan produksi tanpa diiringi oleh sistem pemasaran hasil yang efisien menyebabkan rendahnya harga yang diterima petani mengakibatkan berkurangnya pendapatan petani.

Upaya peningkatan produksi sayur – mayur ( seperti bawang merah ) sangat berkaitan erat dengan aspek – aspek pemasaran karena usahatani sayur – mayur pada umumnya adalah usahatani komersial yang sebagian besar hasil produksinya untuk dijual ke pasar. Produksi dan pemasaran mempunyai hubungan ketergantungan yang sangat erat. Produksi yang meningkat tanpa


(16)

didukung oleh sistem pemasaran yang dapat menampung hasil dengan tingkat harga yang layak tidak akan berlangsung lama, malah pada waktunya ia akan menurun karena pertimbangan untung rugi usahatani ( Ginting, 2006 ).

Adapun sistem tataniaga bawang merah, tidak terlepas dari peranan – peranan lembaga tataniaga. Lembaga – lembaga ini dalam menyampaikan komoditi dari produsen ke konsumen, berhubungan satu dengan yang lain membentuk saluran pemasaran. Arus pemasaran yang terbentuk dalam proses pemasaran ini beragam sekali atau terdapat beberapa saluran pemasaran di dalamnya, misalnya produsen berhubungan langsung dengan konsumen akhir atau produsen terlebih dahulu berhubungan dengan tengkulak, pedagang pengumpul, ataupun pedagang besar ( Sudiyono, 2004 ).

Hasil produksi bawang merah tidak dapat disimpan terlalu lama sehingga petani segera memasarkannya. Kesempatan ini digunakan oleh para pedagang membeli harga semurah – murahnya dari petani kemudian memanfaatkan kesempatan menjualnya dengan harga yang tinggi. Maka timbul banyak saluran tata niaga bawang merah sehingga petani berusaha memilih saluran tata niaga yang paling menguntungkan usahataninya. Dengan pemilihan ini maka tingkat keuntungan petani berbeda – beda pula.

Dalam banyak kenyataan, kelemahan dalam sistem pertanian di Indonesia adalah kurangnya perhatian dalam bidang pemasaran. Fungsi – fungsi pemasaran seperti pembelian, sortir ( grading ), penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran sering tidak berjalan seperti yang diharapkan. Sementara keterampilan dalam mempraktekkan unsur –


(17)

unsur manajemen memang terbatas. Belum lagi dari segi kurangnya penguasaan informasi pasar sehingga kesempatan – kesempatan ekonomi menjadi sulit untuk dicapai. Lemahnya manajemen pemasaran disebabkan karena tidak mempunyai pelaku – pelaku pasar dalam menekan biaya pemasaran ( Soekartawi, 2002 ).

Semua proses mulai dari penampungan dari produsen sampai penyaluran komoditi jelas membutuhkan biaya yang masing – masing tidak sama. Bila jarak antara produsen dengan konsumen pendek, maka biaya pengangkutan bisa diperkecil. Semakin panjang jarak dan semakin banyak perantara yang terlibat dalam pemasaran, maka biaya pemasaran semakin tinggi dan margin pemasaran juga semakin besar.

Pemasaran merupakan hal yang sangat penting setelah selesainya proses produksi pertanian. Bila pemasaran tidak baik, mungkin disebabkan oleh karena daerah produsen terisolasi, tidak ada pasar, rantai pemasaran terlalu panjang, atau hanya ada satu pembeli dan lain sebagainya, kondisi ini sudah pasti merugikan pihak petani. Sementara si petani harus berjuang dengan penuh resiko memelihara tanamannya sekian lama, sedangkan si pedagang memperoleh hasil hanya dalam waktu singkat saja. Sehingga pantas dikatakan bahwa efisiensi di bidang pemasaran masih rendah ( Daniel, 2002 ).

Di Indonesia, daerah yang merupakan sentra produksi bawang merah yang terkenal adalah Cirebon, Brebes, Tegal, Kuningan, Wates, Lombok Timur, dan Samosir ( Sunarjono dan Prasodjo Soedomo, 1989 ).


(18)

Menurut Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara ( 2008 ), Kabupaten Samosir menempati urutan kedua setelah Kabupaten Simalungun sebagai sentra produksi bawang merah di Sumatera Utara pada tahun 2008 dengan luas panen sebesar 208 Ha, produktivitas sebesar 43,13 kuintal/Ha, dan produksi sebesar 897 ton.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dapat diidentifikasikan beberapa masalah dalam penelitian ini :

1) Bagaimana saluran tata niaga bawang merah yang ada di daerah penelitian ? 2) Apa saja fungsi tata niaga yang dilakukan oleh lembaga – lembaga yang

terlibat dalam tata niaga bawang merah di daerah penelitian ?

3) Bagaimana perbedaan margin tata niaga dan distribusinya pada masing – masing lembaga tata niaga bawang merah di daerah penelitian ?

4) Berapa koefisien elastisitas transmisi harga bawang merah di daerah penelitian ?

5) Bagaimana efisiensi tata niaga untuk setiap saluran tata niaga di daerah penelitian ?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui saluran tata niaga bawang merah di daerah penelitian. 2) Untuk mengetahui fungsi – fungsi tata niaga yang dilakukan oleh lembaga –


(19)

3) Untuk mengetahui besar margin dan distribusinya pada masing – masing lembaga tata niaga bawang merah di daerah penelitian.

4) Untuk mengetahui koefisien elastisitas transmisi harga bawang merah di daerah penelitian.

5) Untuk mengetahui efisiensi untuk setiap saluran tata niaga di daerah penelitian.

1.4Kegunaan Penelitian

1) Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2) Sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan untuk perkembangan agribisnis bawang merah.

3) Sebagai bahan informasi bagi pihak yang memerlukan.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,

DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tinjauan Agronomi Bawang Merah

Tanaman bawang merah diyakini berasal dari daerah Asia Tengah, yakni sekitar Bangladesh, India, dan Pakistan. Bawang merah dapat dikatakan sudah dikenal oleh masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu, pada zaman Mesir Kuno sudah banyak orang menggunakan bawang merah untuk pengobatan.

Di dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Class : Monocotyledonae Ordo : Liliales / Liliflorae Famili : Liliaceae

Genus : Allium

Species : Allium ascalonicum atau

Allium cepa var. ascalonicum

( Rahayu dan Nur Berlian, 1999 ).

Bawang merah mempunyai akar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15 – 30 cm di dalam tanah. Bawang merah memiliki batang sejati disebut discus yang bentuknya seperti cakram, tipis, dan pendek, sebagai tempat melekatnya perakaran dan titik tumbuh. Di


(21)

bagian atas discus terbentuk batang semu yang tersusun dari pelepah – pelepah daun. Batang semu yang berada di dalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis ( bulbus ).

Bentuk daun bawang merah seperti pipa, yakni bulat kecil memanjang antara 50 – 70 cm, berlubang, bagian ujungnya meruncing, berwarna hijau muda sampai hijau tua, dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relatif pendek. Tangkai daun keluar dari titik tumbuh dan di ujungnya terdapat 50 – 200 kuntum bunga yang tersusun seolah – olah berbentuk payung. Buah berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji berjumlah 2 – 3 butir. Bentuk biji agak pipih, sewaktu masih muda berwarna bening atau putih, tetapi setelah tua menjadi hitam. Biji – biji bawang merah dapat dipergunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif.

Umbi lapis bawang merah sangat bervariasi. Bentuknya ada yang bulat, bundar, sampai pipih, sedangkan ukuran umbi meliputi besar, sedang, dan kecil. Warna kulit umbi ada yang putih, kuning, merah muda sampai merah tua. Umbi bawang merah sudah umum digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara vegetatif ( Rukmana, 1994 ).

Pemilihan lahan untuk tanaman bawang merah harus memperhatikan syarat tumbuh tanaman. Syarat tumbuh tanaman bawang merah yang paling penting adalah iklim dan tanah. Tanaman bawang merah membutuhkan tempat yang beriklim kering dengan suhu yang cukup panas antara 250 – 300 C. Curah hujan yang cocok untuk tanaman bawang merah adalah 300 – 2500 mm per tahun. Tanaman ini sangat rentan terhadap curah hujan yang tinggi. Angin kencang


(22)

yang berhembus terus – menerus secara langsung dapat merobohkan tanaman karena sistem perakaran tanaman yang dangkal.

Jenis tanah yang cocok untuk tanaman bawang merah adalah tanah liat yang mengandung pasir, banyak mengandung bahan organik atau humus, gembur, solumnya dalam, sirkulasi udara dan drainase dalam tanah baik. Tanaman bawang merah dapat tumbuh optimal di tanah dengan pH antara 5,8 – 7, tetapi masih toleran terhadap tanah dengan pH 5,5. pH tanah berpengaruh terhadap kegiatan organisme tanah terutama dalam penguraian bahan organik menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman ( Tim Bina Karya Tani, 2008 ).

Umur tanaman bawang merah siap panen bervariasi antara 60 – 90 hari tergantung varietasnya. Ciri – ciri tanaman bawang merah yang siap panen adalah umbi tampak besar dan beberapa daun berwarna kecoklatan. Keadaan tanah pada saat panen diusahakan kering untuk mencegah terjadinya pembusukan umbi ( Sudarmanto, 2009 ).

Kualitas bawang merah yang disukai pasar adalah berwarna merah atau kuning mengilap, bentuknya padat, aromanya harum saat digoreng, dan tahan lama. Beberapa varietas unggul tanaman bawang merah yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut : bawang merah bima brebes, bawang merah sumenep, bawang merah ampenan, bawang merah bali, bawang merah medan, bawang merah kramat 1 dan 2, bawang merah australia, bawang merah bangkok, dan bawang merah filipina ( Sudarmanto, 2009 ).


(23)

2.1.2 Tinjauan Ekonomi Bawang Merah

Selama periode 1977 hingga 2007 terjadi peningkatan produksi dan produktivitas yang sangat mengesankan namun perkembangan tersebut tidak diikuti oleh areal tanamnya. Akan tetapi selama periode tersebut terjadi kecenderungan penurunan pertumbuhan produksi maupun produktivitasnya. Produksi bawang merah yang pada periode 1977 – 1987 rata – rata tumbuh 12,16 % mengalami penurunan menjadi 5,18 % ( periode 1987 – 1997 ) dan terus menurun hingga 2,01 % pada periode 1997 – 2007. Selaras dengan itu, pertumbuhan produktivitasnya juga mengalami penurunan dari 4,74 % pada

periode 1977 – 1987 menjadi 2,31 % dan 1,10 % pada periode 1997 – 2007 ( Wibowo, 2009 ).

Produksi bawang merah sampai saat ini masih terpusat di beberapa kabupaten di Jawa, yaitu Kuningan, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bantul, Nganjuk, dan Probolinggo. Berdasarkan data dari Ditjen Hortikultura Departemen Pertanian, permintaan bawang merah secara nasional dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Begitu pula produksi bawang merah cenderung meningkat. Pada tahun 2007, permintaan bawang merah sebesar 909.853 ton sedangkan pada tahun 2008, permintaan bawang merah meningkat menjadi 934.301 ton. Produksi bawang merah dalam negeri tahun 2007 sebesar 807.000 ton dan tahun 2008 sebesar 855.000 ton.

Data tersebut menunjukkan bahwa ternyata pasokan bawang merah dari dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan secara nasional. Bahkan di Brebes yang dikenal sebagai sentra produksi bawang merah nasional masih dapat


(24)

dijumpai importir bawang merah. Hal ini berarti bahwa bawang merah mempunyai prospek yang baik untuk dibudidayakan. Setiap hasil produksi bawang merah akan mampu diserap pasar. Keadaan seperti itu akan membuat harga bawang merah cenderung stabil, kecuali ada pengaruh dari faktor lain

seperti impor yang berlebihan, keadaan sosial, ekonomi, dan politik ( Sudarmanto, 2009 ).

Musim kemarau merupakan bulan – bulan yang baik untuk menghasilkan bawang. Dari satu kilogram bibit bisa menghasilkan panen sebanyak lima belas kilogram bawang merah. Hal inilah yang mengakibatkan pada bulan – bulan seperti Mei sampai September panen bawang meningkat. Lain halnya pada bulan – bulan Oktober sampai dengan Maret yaitu pada musim penghujan merupakan bulan – bulan yang tidak baik dalam produksi bawang merah. Dari satu kilogram bibit hanya bisa menghasilkan panen sekitar lima kilogram bawang merah dengan ukuran yang kecil ( Tim Bina Karya Tani, 2008 ).

Usahatani bawang merah layak diusahakan dan menguntungkan. Keuntungan yang didapat pun termasuk tinggi yaitu sekitar 45 % dari total biaya, berarti setiap pengeluaran biaya Rp 1.000,00 akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 450,00 ( Sudarmanto, 2009 ).

Menurut Roszandi dalam Tempo ( 2011 ), harga jual bawang merah asal Kabupaten Brebes, Jawa Tengah anjlok. Petani bawang Brebes menuding masuknya bawang impor secara besar-besaran membuat harga jual hasil panennya anjlok hingga Rp 7.000,00 / kg. Padahal sebelumnya harga jual bawang merah dari petani di atas Rp 15.000,00 / kg. Harga jual hasil panen ini


(25)

tidak seimbang dengan biaya produksi bawang merah yang nilainya lebih dari Rp 10 juta per hektarnya. Saat ini hasil petani bawang merah kian menipis. Saat ini rata-rata hasil panen bawang mencapai 12 ton per hektarnya. Hasil tersebut tidak akan menutupi biaya produksi apabila harga jual bawang merah kurang dari Rp 10.000,00 / kg . Itu belum termasuk pembelian bibit bawang saat ini yang mencapai Rp 25.000,00 / kg.

Sedangkan menurut Sijabat dalam Medan Bisnis ( 2011 ), harga jual tanaman bawang merah di Kabupaten Samosir semakin menjanjikan. Harga bawang merah di tingkat petani kini mencapai Rp 12.000,00/kg dan rata – rata produksi petani di Kabupaten Samosir dapat mencapai 500 kg per rantai.

2.2 Landasan Teori

Istilah tata niaga di negara kita diartikan sama dengan pemasaran yaitu semacam kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Disebut tata niaga karena niaga berarti dagang, sehingga tata niaga berarti segala sesuatu yang menyangkut “ aturan permainan “ dalam hal perdagangan barang – barang. Karena perdagangan itu biasanya dijalankan melalui pasar maka tata niaga juga disebut pemasaran ( terjemahan dari perkataan marketing ) ( Mubyarto, 1989 ).

Pasar pada awalnya mengacu pada suatu geografis tempat transaksi berlangsung. Pada perkembangan selanjutnya mungkin definisi ini sudah tidak sesuai lagi, terutama dengan berkembangnya teknologi informasi yang memungkinkan transaksi dapat dilakukan tanpa melalui kontak langsung antara


(26)

penjual dengan pembeli. Dengan demikian pasar dapat didefinisikan sebagai tempat ataupun terjadinya pemenuhan kebutuhan atau keinginan dengan menggunakan alat pemuas yang berupa barang ataupun jasa dimana terjadi pemindahan hak milik antara penjual dan pembeli ( Sudiyono, 2004 ).

Sebagai proses produksi yang komersial maka tata niaga pertanian merupakan syarat mutlak yang diperlukan dalam pembangunan pertanian yang memberikan nilai tambah yang dapat dianggap sebagai kegiatan produktif. Pemasaran pertanian adalah proses aliran komoditi yang disertai dengan perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat, dan guna bentuk yang dilakukan oleh lembaga – lembaga pemasaran dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi – fungsi pemasaran ( Sudiyono, 2004 ).

Lembaga tata niaga adalah badan atau usaha atau individu yang menyelenggarakan tata niaga, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Lembaga tata niaga ini timbul karena adanya keinginan konsumen untuk dapat memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat, dan bentuk keinginan konsumen. Lembaga – lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran produk –produk pertanian sangat beragam sekali tergantung dari jenis komoditi yang dipasarkan. Lembaga – lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1) tengkulak, yaitu lembaga pemasaran yang secara langsung berhubungan

dengan petani,


(27)

3) pedagang besar, lembaga yang melakukan proses konsentrasi (pengumpulan) komoditi dari pedagang – pedagang pengumpul, melakukan proses distribusi ke agen penjualan atau pengecer,

4) agen penjualan, lembaga yang membeli komoditi yang dimiliki pedagang dalam jumlah banyak dengan harga yang relatif murah dibanding pengecer, 5) pengecer, lembaga yang berhadapan langsung dengan konsumen.

Tugas lembaga pemasaran ini adalah menjalankan fungsi – fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen

memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran ini berupa margin pemasaran ( Sudiyono, 2004 ).

Margin tata niaga adalah selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Margin ini akan diterima oleh lembaga tata niaga yang terlibat dalam proses tata niaga tersebut. Semakin panjang pemasaran ( semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat ) maka semakin besar margin pemasaran ( Daniel, 2002 ).

Margin pemasaran terdiri dari biaya – biaya untuk melakukan fungsi – fungsi pemasaran dan keuntungan lembaga – lembaga pemasaran. Setiap lembaga pemasaran biasanya melaksanakan fungsi – fungsi pemasaran yang berbeda sehingga share margin yang diperoleh pada masing – masing lembaga pemasaran yang terlibat akan berbeda pula ( Sudiyono, 2004 ).


(28)

Kegiatan pemasaran meliputi berbagai macam fungsi berupa :

1) fungsi pertukaran ( exchange function ). Fungsi ini merupakan bentuk dari kegiatan jual beli yang terjadi antara penjual dan pembelinya. Fungsi ini merupakan fungsi yang paling penting dalam proses pemasaran karena tanpa kegiatan ini, fungsi yang lain tidak akan ada artinya.

2) fungsi penyediaan fisik atau logistik. Fungsi ini meliputi kegiatan pengangkutan atau transportasi, pergudangan atau penyimpanan, serta kegiatan pendistribusian. Termasuk pula dalam fungsi ini adalah usaha untuk menempatkan barang – barang di rak supermarket atau toko sehingga mudah dijangkau oleh pembeli.

3) fungsi pemberian fasilitas ( facilitating function ). Fasilitas tersebut berupa penerapan standardisasi produk, penyediaan dana (financing), penanggungan resiko, serta penyediaan informasi pasar ( Gitosudarmo, 2000 ).

Elastisitas transmisi harga adalah perbandingan persentase perubahan harga di tingkat konsumen dengan persentase perubahan harga di tingkat produsen. Analisis transmisi ini memberikan gambaran bagaimana harga yang dibayar konsumen akhir ditransmisikan kepada petani produsen. Pada umumnya nilai elastisitas transmisi ini lebih kecil dari 1 ( satu ), artinya pada volume dan harga input konstan maka perubahan nisbi harga di tingkat petani pengecer tidak akan melebihi perubahan nisbi harga di tingkat petani ( Sudiyono, 2004 ).

Mubyarto ( 1987 ) dalam Ginting ( 2006 ) berpendapat bahwa ada dua syarat suatu sistem pemasaran dapat dikatakan efisien yaitu ( 1 ) mampu menyampaikan produk dari produsen ke konsumen dengan biaya semurah –


(29)

murahnya dan ( 2 ) mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan pemasaran produk tersebut. Untuk mencapai tingkat efisiensi pemasaran tersebut perlu ditekan biaya pemasaran terutama dengan mengurangi keuntungan – keuntungan yang tidak wajar dari pedagang perantara.

Pasar yang tidak efisien akan terjadi jika biaya pemasaran semakin besar dengan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar. Sedangkan efisiensi pemasaran terjadi jika :

1) harga pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran lebih tinggi, 2) persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak

terlalu tinggi,

3) adanya kompetisi pasar yang sehat ( Soekartawi, 2002 ).

2.3 Kerangka Pemikiran

Dalam jalur tata niaga bawang merah terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu petani sebagai penyedia komoditi, pedagang perantara, dan konsumen akhir. Ada beberapa saluran pemasaran produk pertanian yang ditujukan untuk segmen pasar konsumen, demikian juga dengan bawang merah. Beberapa petani atau produsen menjual langsung hasil panennya kepada konsumen. Ada juga produsen yang menjual hasil panennya kepada pedagang perantara. Panjang – pendeknya saluran pemasaran ini dilihat dari banyaknya jumlah pedagang perantara yang terlibat dalam saluran tersebut.


(30)

Pedagang perantara yang terlibat mungkin menjalankan lebih dari satu fungsi pemasaran. Fungsi – fungsi pemasaran tersebut meliputi : fungsi pembelian, penjualan, pengangkutan atau transportasi, pergudangan atau penyimpanan serta

kegiatan pendistribusian, penerapan standardisasi produk, penyediaan dana ( financing ), penanggungan resiko, serta penyediaan informasi pasar.

Dalam menjalankan fungsi – fungsi pemasaran, pedagang perantara memperoleh balas jasa berupa margin pemasaran yaitu selisih harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima produsen. Margin pemasaran ini oleh pedagang perantara dialokasikan di antaranya untuk biaya – biaya yang diperlukan lembaga pemasaran untuk melaksanakan fungsi pemasaran yang disebut biaya pemasaran atau biaya fugsional dan keuntungan lembaga yang terlibat di dalam penyampaiannya. Margin pemasaran ini akan mempengaruhi efisiensi pemasaran, dalam banyak hal semakin tinggi biaya pemasaran maka saluran pemasaran tersebut akan semakin tidak efisien.

Elastisitas transmisi digunakan untuk menjelaskan perbandingan persentase perubahan harga di tingkat pengecer dengan persentase perubahan harga di tingkat produsen. Analisis elastisitas transmisi ini memberikan gambaran bagaimana harga yang dibayar konsumen akhir ditransmisikan kepada petani produsen. Secara sistematis, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :


(31)

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Tata Niaga Bawang Merah

Petani Lembaga Tata Niaga Konsumen

Fungsi Tata Niaga

Margin Tata Niaga Harga di tingkat konsumen

Harga di tingkat petani

Efisiensi Tata Niaga


(32)

2.4 Hipotesis Penelitian

Sesuai dengan landasan teori yang telah disusun, diperoleh hipotesis penelitian sebagai berikut :

1)Nilai koefisien elastisitas transmisi harga bawang merah lebih kecil dari 1 ( satu ).


(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive sampling ( sampling dengan maksud tertentu ), yaitu pemilihan sampel bertitik tolak pada penilaian pribadi peneliti yang menyatakan bahwa sampel yang dipilih benar – benar representatif ( Sugiarto, dkk., 2001 ).

Tabel 1. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Bawang Merah menurut Kecamatan Tahun 2010

No Kecamatan Luas Panen

( Ha )

Produksi ( Ton )

Produktivitas ( Kw / Ha )

1 Sianjur Mulamula 12 72 60

2 Harian 5 28 56

3 Sitiotio 58 325 56

4 Onanrunggu 24 132 55

5 Nainggolan 15 83 55

6 Palipi 98 539 55

7 Ronggurnihuta - - -

8 Pangururan 5 29 57

Simanindo 202 1212 60

Jumlah 419 2.419 56,8

Sumber : Dinas Pertanian, Perikanan, dan Peternakan Kab. Samosir 2011

Daerah penelitian dipilih secara sengaja yaitu Kecamatan Simanindo dan Kecamatan Palipi dengan pertimbangan bahwa kedua kecamatan ini merupakan daerah dengan luas panen terbesar untuk komoditi bawang merah di Kabupaten Samosir. Kecamatan Simanindo dan Kecamatan Palipi masing – masing menyumbang sebesar 50,10% dan 22,28% dari total produksi tanaman bawang merah di Kabupaten Samosir.


(34)

3.2 Metode Penentuan Sampel 3.2.1 Produsen

Populasi dalam penelitian ini adalah petani bawang merah di Kecamatan Simanindo dan Kecamatan Palipi yang diwakili oleh masing – masing dua desa yang dipilih secara purposive dengan alasan bahwa desa – desa tersebut mempunyai luas panen terbesar. Dari hasil pra survei yang dilakukan peneliti, diperoleh data desa – desa tersebut yaitu Desa Simanindo Sangkal dengan 180 KK dan Dosroha dengan 90 KK dari Kecamatan Simanindo sedangkan Desa Palipi dengan 10 KK dan Gorat Pallombuan dengan 35 KK dari Kecamatan Palipi, sehingga diketahui jumlah populasi adalah sebesar 315 KK. Untuk mendapatkan jumlah sampel yang dapat menggambarkan populasi maka dalam penentuan sampel penelitian ini digunakan rumus Slovin sebagai berikut :

N

n =

1 + Ne2 Keterangan :

n = besar sampel

N = besar populasi e = nilai kritis ( batas ketelitian ) yang diinginkan ( % )

( Sevilla, dkk., 1993 ).

Dengan taraf keyakinan 90 % atau tingkat ketidaktelitian sebesar 10 % , maka dengan menggunakan rumus di atas diperoleh sampel sebesar :

315

n = = 75 KK 1 + 315 ( 0,10 )2


(35)

Tabel 2. Jumlah Populasi dan Sampel

Kecamatan Desa Populasi

( KK )

Sampel ( KK )

Simanindo Simanindo Sangkal 180 43

Dosroha 90 22

Palipi Palipi 10 2

Gorat Pallombuan 35 8

Jumlah 315 75

Sumber : Badan Penyuluh Pertanian Kecamatan Simanindo dan Palipi Tahun 2011

Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode Simple Random Sampling yakni pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara

acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu ( Sugiyono, 2010 ).

3.2.2 Pedagang Perantara

Sampel pedagang perantara adalah orang – orang atau lembaga – lembaga yang terlibat dalam memasarkan bawang merah dari produsen hingga ke konsumen. Teknik penentuan sampel pedagang perantara ini adalah secara snowball sampling, yaitu teknik penentuan sampel yang mula – mula jumlahnya kecil, kemudian membesar ( Sugiyono, 2010 ).

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari petani dan pedagang dengan wawancara dan bantuan kuesioner. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari lembaga serta instansi yang terkait seperti Biro Pusat Statistik,


(36)

Dinas Pertanian, Badan Penyuluh Pertanian Kecamatan Simanindo dan Palipi, serta instansi lain yang berkaitan dengan penelitian.

3.4 Metode Analisis Data

Untuk menyelesaikan masalah 1) dan 2), digunakan analisis deskriptif ( dengan cara menggambarkan ) yaitu dengan menganalisis :

1) saluran tata niaga yang dilalui mulai dari produsen ( petani bawang merah ) hingga ke konsumen di daerah penelitian,

2) fungsi – fungsi tata niaga yang dilakukan oleh pedagang perantara dalam tata niaga bawang merah di daerah penelitian.

Untuk menghitung margin tata niaga dan distribusinya pada masing – masing lembaga perantara pada masalah 3), digunakan rumus :

:

Keterangan :

MP = Margin Tata Niaga Pr = Harga di tingkat pengecer

Pf = Harga di tingkat petani / produsen

Share biaya ( SBi ) masing – masing lembaga perantara menggunakan model : SBi =


(37)

Share keuntungan ( SKi ) masing – masing lembaga perantara menggunakan model :

SKi =

Share petani produsen ( Sf ) masing – masing lembaga perantara menggunakan model :

Sf =

Untuk analisis nisbah margin keuntungan, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

Keterangan :

I = keuntungan masing – masing lembaga tata niaga

bti = biaya tata niaga masing – masing lembaga ( Sihombing, 2011 ).

Untuk menghitung koefisien elastisitas transmisi harga bawang merah pada masalah 4) digunakan rumus :

E

tr

=

Keterangan :

Etr = Elastisitas Transmisi Harga b = Koefisien regresi

Pf = Harga di tingkat petani

Pr = Harga di tingkat pengecer ( Sihombing, 2011 ).


(38)

Untuk mengetahui tingkat efisiensi saluran tata niaga pada masalah 5) digunakan rumus :

Keterangan :

e = efisiensi tata niaga

Z = keuntungan pedagang perantara ( Rp ) Zm = keuntungan petani ( Rp )

C = biaya tata niaga ( Rp ) Cm = biaya produksi ( Rp )

Saluran tata niaga dikatakan efisien jika : e > 1 : efisien

e ≤ 1 : tidak efisien ( Mustafid, 2002 ).

3.5 Definisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan dalam penelitian ini maka dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut :

Definisi

1) Petani bawang merah adalah petani yang mengusahakan tanaman bawang merah baik secara komersial maupun sebagai sampingan.

2) Tata niaga bawang merah adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan penyampaian produksi fisik tanaman bawang merah dari produsen ke konsumen.


(39)

3) Lembaga tata niaga adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya.

4) Pedagang pengecer adalah pedagang yang berhadapan langsung dengan konsumen.

5) Pedagang pengumpul adalah pedagang yang menjual bawang merah ke pedagang besar dan membelinya dari petani.

6) Pedagang besar adalah pedagang yang menjual bawang merah kepada pedagang pengecer dan membelinya dari pengumpul.

7) Fungsi tata niaga adalah serangkaian kegiatan fungsional yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tata niaga, baik aktivitas proses fisik maupun aktivitas jasa yang ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.

8) Biaya tata niaga adalah biaya yang dikeluarkan oleh setiap pedagang perantara dalam menyalurkan bawang merah dari produsen hingga ke konsumen.

9) Margin tata niaga adalah perbedaan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen.

10) Elastisitas transmisi harga adalah persentase perubahan harga di tingkat konsumen dengan persentase perubahan harga di tingkat produsen.


(40)

Batasan Operasional

1) Sampel adalah petani bawang merah dan pedagang yang berperan menyampaikan hasil produksi ke konsumen akhir.

2) Daerah penelitian adalah Desa Palipi dan Desa Gorat Pallombuan di Kecamatan Palipi serta Desa Simanindo Sangkal dan Desa Dosroha di Kecamatan Simanindo.


(41)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK SAMPEL

4.1Deskripsi Daerah Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Simanindo Sangkal dan Desa Dosroha di Kecamatan Simanindo serta di Desa Palipi dan Desa Gorat Pallombuan di Kecamatan Palipi.

4.1.1 Kecamatan Simanindo Desa Simanindo Sangkal

Desa Simanindo Sangkal memiliki luas wilayah 425 Ha, yang terbagi atas tiga dusun, berjarak ± 15 km arah barat dari kantor camat Simanindo, dengan batas – batas sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Danau Toba, Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Maduma,

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Martoba, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cinta Damai.

Desa Simanindo Sangkal berada pada ketinggian antara 800 – 1000 m di atas permukaan laut, terletak di jalur lalu lintas Tomok – Pangururan.

Sebagian besar lahan yang ada di Desa Simanindo Sangkal dimanfaatkan oleh penduduk untuk kegiatan pertanian dan pemukiman. Secara rinci pemanfaatan lahan di Desa Simanindo Sangkal dapat terlihat pada Tabel 3 berikut.


(42)

Tabel 3. Penggunaan Lahan di Desa Simanindo Sangkal Tahun 2010

No Peruntukan Lahan Luas ( Ha ) Persentase

1 Lahan kering / perladangan 185 43,3

2 Perkebunan 50 11,8

3 Perumahan / permukiman 35 8,2

4 Perkantoran / sarana sosial:

- Poskesdes 0,1 0,02

- 5 unit gereja 2,0 0,4

- 3 unit SD 0,8 0,2

- Pasar desa 0,6 0,1

- Jalan umum/ jalan dusun 2,0 0,4

- pelabuhan fery 0,3 0,05

- Pelabuhan kapal motor 0,2 0,03

5 Hutan pinus rakyat 50 11,8

6 Lahan tidur 100 23,7

Total 425 100

Sumber : Data Monografi Desa Simanindo Sangkal Tahun 2011

Tabel di atas memperlihatkan bahwa sebahagian besar penggunaan lahan

di Desa Simanindo Sangkal adalah untuk pertanian berupa perladangan ( 43,3% ) dan perkebunan ( 11,8% ). Keadaan tanah di desa ini cocok

untuk lahan pertanian pangan seperti palawija dan hortikultura. Sebahagian tanah lebih dominan tergolong kawasan yang berbukit dan banyak aliran sungainya sehingga kondisi ini cocok dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan seperti kemiri, kako, kopi, dan lain – lain.

Status kepemilikan lahan di Desa Simanindo Sangkal terbagi dalam dua bagian yaitu lahan milik rakyat seluas 422,8 Ha dan lahan milik pemerintah seluas 2,2 Ha.


(43)

Desa Simanindo Sangkal dihuni oleh 1884 jiwa yang terbagi atas 445 Kepala Keluarga ( KK ). Tabel 4 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak ( 51,22% ) jika dibanding dengan penduduk berjenis kelamin laki – laki ( 48,78% ).

Tabel 4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Simanindo Sangkal Tahun 2010

Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Laki – laki 919 48,78

Perempuan 965 51,22

Total 1884 100

Sumber : Data Monografi Desa Simanindo Sangkal Tahun 2011

Dari jumlah 445 KK yang ada, lebih kurang 311 KK (70%) adalah petani. Selebihnya 134 KK ( 30% ) terdiri dari PNS, pedagang, nelayan, buruh dan lain-lain.

Desa ini telah terhubung dengan daerah lain melalui jalan desa. Keadaan jalan desa secara umum cukup baik, namun apabila musim hujan tiba di beberapa tempat mengalami kerusakan jalan. Jalan beraspal sudah ada di desa ini.


(44)

Tabel 5. Prasarana Perhubungan di Desa Simanindo Sangkal Tahun 2010

No Jenis Prasarana Kuantitas Keterangan

1. Jalan Propinsi 3 km Dari dusun1 s/d dusun 3. 2. Jalan Desa 2,5 km Diaspal / mulai berlobang.

3. Jalan Dusun 8 km 1 km sudah diaspal dan 7

km belum diaspal.

4. Jembatan 6 unit 3 unit baik, 3 unit rusak.

Sumber : Data Monografi Desa Simanindo Sangkal Tahun 2011

Sarana transportasi yang paling banyak digunakan warga masyarakat adalah sepeda motor, sarana transportasi umum seperti angkutan umum, kapal motor.

Jaringan listrik dari PLN sudah tersedia di desa ini, sehingga hampir semua rumah tangga menggunakan tenaga listrik untuk memenuhi keperluan penerangan dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Beberapa rumah tangga semakin banyak yang menggunakan pompa listrik untuk mengambil air sumur bor.

Di seluruh wilayah desa, air bersih dapat diperoleh dari sumur gali (sumur bor). Namun masih lebih banyak masyarakat memanfaatkan air Danau Toba untuk memenuhi konsumsi sehari - hari.

Desa Dosroha

Desa Dosroha berjarak ± 20 km dari kantor camat Simanindo, memiliki batas – batas administratif sebagai berikut :


(45)

Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pangururan, Sebelah barat berbatasan dengan Danau Toba,

Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sihusapi.

Luas wilayah dan penggunaan lahan di Desa Dosroha diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Penggunaan Lahan Desa Dosroha Tahun 2010

Sumber : Data Monografi Desa Dosroha Tahun 2011

Tabel 6 memperlihatkan bahwa sebahagian besar penggunaan lahan di Desa Dosroha adalah berupa lahan kering yaitu selusa 300 ha ( 75,95% ). Luas lahan untuk perkebunan sebesar 8,86 %, luas lahan berupa hutan rakyat sebesar 10,13%, dan luas lahan untuk permukiman dan bangunan adalah sebesar 5,06%.

Desa Dosroha dihuni oleh 1322 jiwa. Jumlah penduduk berjenis kelamin laki – laki adalah sebesar 694 jiwa ( 52,50% ) dan jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan adalah sebesar 628 jiwa ( 47,50% ). Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 7 berikut.

No Peruntukan Lahan Luas (Ha) Persentase

1 Lahan kering/ Perladangan 300 75,95

2 Perkebunan 35 8,86

3 Hutan Rakyat 40 10,13

4 Permukiman dan bangunan 20 5,06


(46)

Tabel 7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Dosroha Tahun 2010

Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Laki – laki 694 52,50

Perempuan 628 47,50

Total 1322 100

Sumber : Data Monografi Desa Dosroha Tahun 2011

Umumnya penduduk Desa Dosroha bermatapencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 1242 ( 93,95% ) jiwa dan selebihnya bermatapencaharian sebagai guru sebanyak 11 jiwa, tenaga kesehatan sebanyak 3 jiwa, pegawai tetap lainnya sebanyak 1 jiwa, pedagang sebanyak 10 jiwa, dan pengrajin sebanyak 55 jiwa. Sarana dan prasarana sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan masyarakat. Semakin lengkap sarana dan prasarana maka akan semakin mempercepat laju pembangunan.

Sarana transportasi yang paling banyak digunakan warga masyarakat adalah sepeda motor, sarana transportasi umum seperti angkutan umum, kapal motor.

Jaringan listrik dari PLN sudah tersedia di desa ini, sehingga hampir semua rumah tangga menggunakan tenaga listrik untuk memenuhi keperluan penerangan dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Di seluruh wilayah desa, air bersih dapat diperoleh dari sumur gali (sumur bor). Namun masih lebih banyak masyarakat memanfaatkan air Danau Toba untuk memenuhi konsumsi sehari - hari.


(47)

4.1.2 Kecamatan Palipi Desa Palipi

Desa Palipi terbentuk dari 3 Dusun, memiliki luas wilayah 500 Ha, berjarak ± 1 km arah Barat dari Kantor Camat Palipi. Desa Palipi berada pada ketinggian antara 4500 - 7000 m di atas permukaan laut dengan batas sebagai berikut : Sebelah Utara berbatas dengan Desa Pardomuan Nauli dan Desa Urat II, Sebelah Selatan berbatas dengan Danau Toba,

Sebelah Timur berbatas dengan Desa Urat II dan Desa Gopal, Sebelah Barat berbatas dengan Desa Hatoguan.

Jumlah penduduk Desa Palipi sebanyak 2117 jiwa. Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Palipi Tahun 2010

Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Laki – laki 1028 48,56

Perempuan 1089 51,44

Total 2117 100

Sumber : Data Monografi Desa Palipi Tahun 2011

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk berjenis kelamin laki – laki adalah sebanyak 1028 jiwa atau 48,56% dan jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan adalah sebesar 1089 jiwa ( 51,44% ).

Dihitung berdasarkan jumlah Kepala Keluarga (KK), Desa Palipi dihuni oleh 468 Kepala Keluarga. Desa Palipi merupakan desa pertanian. Maka hasil ekonomi warga dan mata pencaharian warga sebagian besar adalah petani. Dari


(48)

468 KK yang ada, lebih kurang 397 KK ( 84,83%) adalah petani. Selebihnya 58 KK ( 12,39 % ) adalah PNS, 13 KK ( 2,78 % ) adalah pedagang.

Di desa ini telah terhubung dengan daerah lain melalui jalan desa. Keadaan jalan desa secara umum cukup baik, namun apabila musim hujan tiba di beberapa tempat mengalami kerusakan jalan. Jalan beraspal sudah ada di desa ini.

Tabel 9. Prasarana Perhubungan di Desa Palipi Tahun 2010

Sumber : Data Monografi Desa Palipi Tahun 2011

Sarana transportasi yang paling banyak digunakan warga masyarakat adalah sepeda motor. Di desa ini belum ada sarana transportasi umum, seperti bus, mikrolet atau sejenisnya.

Sebagian besar lahan yang ada di Desa Palipi dimanfaatkan oleh penduduk untuk kegiatan pertanian dan pemukiman. Secara rinci pemanfaatan lahan di Desa Palipi dapat terlihat pada Tabel 10 berikut.

No Jenis Prasarana Kuantitas/ Panjang Keterangan

1. Jalan Propinsi 2,00 Km Baik

2. Jalan Kabupaten 5,00 Km Rusak

3. Jalan Desa 4,00 Km Belum diaspal

4. Jalan Dusun 5,00 Km Sebagian belum diaspal


(49)

Tabel 10. Luas Lahan menurut Peruntukkan di Desa Palipi Tahun 2010

No Peruntukkan Lahan Luas Presentase

1 Persawahan 150 Ha 30%

2 Tegalan/ Perladangan 200 Ha 40%

3 Kebun Rakyat 30 Ha 6 %

4 Lahan tidur 80 Ha 16%

5 Perumahan/ Pemukiman 20,52Ha 4,10 %

6 Perkantoran/ Sarana Sosial

- 2 unit Posyandu

- 6 Unit Gereja

- 3 Unit SD

- Jalan Umum/ Jalan Dusun

- Saluran Irigasi

- Sungai

0,08 Ha 0,5 Ha 0,5 Ha 8,8 Ha 1,6 Ha 8 Ha

0,016 % 0,1 % 0,1 % 1,76 % 0,32 % 1,6 %

Total 500 Ha 100 %

Sumber : Data Monografi Desa Palipi Tahun 2011

Tabel di atas memperlihatkan bahwa perladangan mendominasi penggunaan lahan di Desa Palipi yaitu mencapai 40% sedangkan persawahan di Desa Palipi hanya mencapai 30%. Luas lahan untuk permukiman hanya sebesar 4,10%. Masih terdapat lahan tidur di desa ini yaitu sebesar 16%.

Status kepemilikan lahan di Desa Palipi terbagi dalam tiga bagian yaitu milik rakyat seluas 481,28 Ha,milik desa seluas 0,02 Ha, dan milik pemerintah seluas 18,7 Ha.


(50)

Desa Gorat Parlombuan

Desa Gorat Parlombuan memiliki wilayah seluas 390 Ha, berada pada ketinggian 910 m dari permukaan laut, berjarak ± 1,5 km dari kantor camat Palipi dengan batas-batas sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Palipi, Sebelah Selatan berbatasan dengan Danau Toba, Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Palipi, Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Urat II.

Desa Gorat Parlombuan dihuni oleh 320 Kepala Keluarga ( KK ). Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel.

Tabel 11. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Gorat Parlombuan Tahun 2010

Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Laki – laki 706 48,89

Perempuan 738 51,11

Total 1444 100

Sumber : Data Monografi Desa Gorat Parlombuan Tahun 2011

Mata pencaharian penduduk umumnya adalah sebagai petani yaitu sebanyak 1018 jiwa, wiraswasta sebanyak 56 jiwa, karyawan sebanyak 30 jiwa, pertukangan sebanyak 76 jiwa, nelayan sebanyak 50 jiwa, dan jasa sebanyak 113 jiwa. Sarana dan prasarana yang terdapat di desa ini diperlihatkan pada Tabel 12.


(51)

Tabel 12. Sarana dan Prasarana Desa Gorat Parlombuan Tahun 2010

Sumber : Data Monografi Desa Gorat Parlombuan Tahun 2011

Sarana transportasi yang paling banyak digunakan warga masyarakat adalah sepeda motor, sarana transportasi umum seperti angkutan umum, kapal motor. Jaringan listrik dari PLN sudah tersedia di desa ini, sehingga hampir semua rumah tangga menggunakan tenaga listrik untuk memenuhi keperluan penerangan dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Di seluruh wilayah desa, air bersih dapat diperoleh dari sumur gali (sumur bor). Namun masih lebih banyak masyarakat memanfaatkan air Danau Toba untuk memenuhi konsumsi sehari - hari.

4.2 Karakteristik Sampel Petani

Adapun karakteristik petani yang diteliti dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan, dan luas lahan.

No Sarana dan Prasarana Kuantitas Satuan

1 Gedung Sekolah TK

SD SLTP SLTA

1 2 1 1

Unit Unit Unit Unit

2 Jalan 3 Jenis

3 Jembatan 4 Unit


(52)

Tabel 13. Karakteristik Petani Sampel Bawang Merah di Daerah Penelitian

No Uraian Rentang Rataan

1 Desa Simanindo Sangkal

Umur ( tahun ) 27 – 66 44

Lama pendidikan ( tahun ) 6 – 15 9

Pengalaman bertani ( tahun ) 2 – 40 15

Jumlah tanggungan ( jiwa ) 1 – 7 4

Luas lahan ( m2 ) 400 - 5200 1500

2 Desa Dosroha

Umur ( tahun ) 23 – 60 43

Lama pendidikan ( tahun ) 6 – 13 9

Pengalaman bertani ( tahun ) 1 – 30 12

Jumlah tanggungan ( jiwa ) 0 – 7 4

Luas lahan ( m2 ) 200 – 2800 970

3 Desa Gorat Parlombuan

Umur ( tahun ) 29 – 63 41

Lama pendidikan ( tahun ) 6 – 12 9

Pengalaman bertani ( tahun ) 4 – 20 11

Jumlah tanggungan ( jiwa ) 1 – 6 3

Luas lahan ( m2 ) 200 – 1200 600

4 Desa Palipi

Umur ( tahun ) 38 – 51 45

Lama pendidikan ( tahun ) 6 – 9 6

Pengalaman bertani ( tahun ) 12 – 15 13

Jumlah tanggungan ( jiwa ) 2 – 5 3

Luas lahan ( m2 ) 800 – 1200 1000

Sumber : Data Diolah dari Lampiran 1

Dari Tabel 13 di atas, dapat dikatakan bahwa rata – rata umur petani menunjukkan bahwa petani tergolong dalam usia produktif sehingga petani masih potensial dalam mengusahakan usahatani bawang merah. Tingkat pendidikan petani masih tergolong rendah. Petani memiliki pengalaman yang sudah cukup lama dalam hal berusahatani bawang merah yaitu rata – rata mencapai lima belas tahun.


(53)

Pedagang Pengumpul

Pedagang pengumpul adalah mereka yang membeli dan mengumpulkan komoditi dari produsen dan menjualnya ke pedagang perantara berikutnya. Karakteristik pedagang pengumpul yang dibahas dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, dan lama berdagang.

Tabel 14. Karakteristik Pedagang Pengumpul di Daerah Penelitian

No Uraian Satuan Rentang Rataan

1 Umur Tahun 28 – 58 45

2 Lama pendidikan Tahun 6 – 12 6

3 Lama berdagang Tahun 5 – 25 16

Sumber : Data Diolah dari Lampiran 2

Berdasarkan Tabel 14 di atas, dapat dilihat bahwa rata – rata umur pedagang pengumpul adalah 45 tahun yang tergolong dalam umur produktif dengan rata – rata tingkat pendidikan yang masih rendah yaitu hanya 6 tahun, dan lama berdagang mencapai 16 tahun.

Pedagang Besar

Pedagang besar adalah mereka yang menjual komoditi mereka kepada pedagang pengecer. Karakteristik pedagang besar yang dibahas dalam penelitian ini adalah umur, lama pendidikan, dan lama berdagang. Karakteristik pedagang besar di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.


(54)

Tabel 15. Karakteristik Pedagang Besar di Daerah Penelitian

No Uraian Satuan Rentang Rataan

1 Umur Tahun 32 – 51 39

2 Lama pendidikan Tahun 6 – 12 12

3 Lama berdagang Tahun 3 – 25 11

Sumber : Data Diolah dari Lampiran 3

Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa rata – rata umur pedagang besar adalah 39 tahun dengan interval 32 – 51 tahun yang tergolong dalam usia produktif. Tingkat pendidikan rata – rata pedagang besar adalah 12 tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan rata – rata tingkat pendidikan pendagang pengumpul dan pedagang pengecer. Rata – rata pengalaman sebagai pedagang besar sudah mencapai 11 tahun. Umumnya pedagang besar ini berdomisili di luar Kabupaten Samosir. Pedagang besar di daerah penelitian membeli bawang merah langsung dari petani dan menjualnya kepada pedagang pengecer.

Pedagang Pengecer

Pedagang pengecer adalah pedagang yang berhadapan langsung dengan konsumen. Adapun karakteristik pedagang pengecer yang dibahas dalam penelitian ini adalah umur, lama pendidikan, dan lama berdagang. Karakteristik pedagang pengecer di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.


(55)

Tabel 16. Karakteristik Pedagang Pengecer di Daerah Penelitian

No Uraian Satuan Rentang Rataan

1 Umur Tahun 21 – 62 46

2 Lama pendidikan Tahun 6 – 12 6

3 Lama berdagang Tahun 5 – 35 17

Sumber : Data Diolah dari Lampiran 4

Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa rata – rata umur pedagang pengecer adalah 46 tahun dan masih tergolong usia produktif dengan tingkat pendidikan yang masih rendah yaitu hanya 6 tahun, dan rata – rata pengalaman berdagang sudah mencapai 17 tahun.


(56)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Saluran Tata Niaga Bawang Merah

Banyak saluran yang digunakan petani dan lembaga tata niaga dalam memasarkan bawang merah. Berdasarkan hasil penelitian terdapat tiga tipe saluran tata niaga bawang merah yang terbentuk di daerah penelitian yaitu : 1. Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Propinsi

2. Petani – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen 3. Petani – Konsumen.

I

III

II

Gambar 2. Saluran Tata Niaga Bawang Merah di Daerah Penelitian Petani

Pengecer Pedagang Besar

Konsumen

Pengumpul

Pedagang Besar Propinsi


(57)

Pada saluran tata niaga 1, petani berhubungan dengan pedagang pengumpul yang berdomisili di desa tersebut. Pedagang pengumpul yang mengambil hasil panen dapat berbeda – beda setiap panennya. Pedagang pengumpul ini akan membawa bawang merah tersebut ke kota – kota di luar Samosir seperti ke kota Medan, kota Siantar dan lain sebagainya.

Pada saluran tata niaga 2, petani menjual hasil panen mereka kepada pedagang besar yang berkedudukan di pasar kabupaten. Pedagang besar akan mendistribusikan bawang merah tersebut ke pedagang pengecer. Pada saluran tata niaga 3, petani berhubungan langsung dengan konsumen tanpa melibatkan perantara. Petani membawa komoditi tersebut ke tiap – tiap pasar untuk menjualnya.

Berdasarkan wawancara terhadap 75 petani bawang merah dengan total volume penjualan sebesar 46,3 ton, diketahui bahwa saluran tata niaga yang paling banyak ditempuh petani adalah saluran tata niaga 1 dengan volume jual sebanyak 30,05 ton bawang merah. Lokasi pasar yang jauh dari desa menyebabkan para petani lebih banyak menempuh saluran 1. Sebesar 14,88 ton bawang merah melalui saluran tata niaga 2, dan sebesar 1,37 ton melalui saluran tata niaga 3.

Tabel 17. Distribusi Petani Bawang Merah Berdasarkan Saluran Tata Niaga

Jenis Saluran Volume ( ton ) Persentase ( % )

Saluran 1 30,05 64,90

Saluran 2 14,88 32,14

Saluran 3 1,37 2,96

Jumlah 46,3 100


(58)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ternyata sebagian besar pemasaran bawang merah adalah ke kota – kota di luar Kabupaten Samosir, antara lain Kota Siantar, Kota Medan, dan lain sebagainya.

Dengan adanya perbedaan saluran dan panjang pendeknya saluran tata niaga ini akan mempengaruhi tingkat harga, bagian keuntungan dan biaya, serta margin pemasaran yang diterima setiap pelaku tata niaga bawang merah.

Di tingkat petani, sebagian petani mencari informasi harga kepada petani lain yang telah melakukan penjualan atau kepada pedagang pengumpul lainnya yang bukan menjadi langganannya. Tetapi sebagian besar petani hanya menerima informasi harga dari pedagang langganannya karena adanya faktor kepercayaan. Kondisi tersebut tentunya tidak menguntungkan bagi petani karena pedagang pada umumnya memberikan informasi harga yang memberikan keuntungan baginya.

5.2 Fungsi Tata Niaga

Fungsi tata niaga adalah serangkaian kegiatan fungsional yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tata niaga, baik aktivitas proses fisik maupun aktivitas jasa yang ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada konsumen. Fungsi tata niaga dilakukan oleh masing – masing pelaku tata niaga untuk memperlancar penyampaian hasil usahatani dari produsen hingga ke konsumen akhir. Akan tetapi, konsekuensi dari pelaksanaan fungsi tata niaga ini adalah semakin besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pedagang perantara akibatnya harga


(59)

komoditi akan menjadi lebih tinggi. Fungsi tata niaga bawang merah yang dilakukan masing – masing lembaga tata niaga dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 18. Fungsi Tata Niaga yang Dilakukan oleh Lembaga Tata Niaga Bawang Merah di Daerah Penelitian

No Fungsi Tata Niaga Produsen Pengumpul Pedagang Besar

Pengecer

1

Fungsi Pertukaran :

- Pembelian √ √ √ √

- Penjualan √ √ √ √

2

Fungsi Fisik :

- Transportasi √ √ √ √

- Penyimpanan √ √ √ √

- Pendistribusian √ √ √ √

3

Fungsi Fasilitas :

- Resiko √ √ √ √

- Sortasi - - - -

- Penyediaan dana √ √ √ √

- Informasi pasar √ √ √ √

Sumber : Diolah dari Analisis Data Primer

Tabel 18 menunjukkan bahwa pelaku pasar melakukan fungsi pemasaran yang sama, tidak ada pelaku tata niaga yang melakukan keseluruhan fungsi tata niaga. Dari tabel dapat dilihat bahwa para pelaku tata niaga tidak melakukan fungsi sortasi. Fungsi informasi pasar dilakukan oleh petani dengan cara sebagian petani mencari informasi harga kepada petani lain yang telah melakukan penjualan atau kepada pedagang pengumpul lainnya yang bukan menjadi langganannya dan sebagian besar petani hanya menerima informasi harga dari pedagang langganannya karena adanya faktor kepercayaan. Fungsi pertukaran meliputi pembelian dan penjualan merupakan fungsi dominan yang dilaksanakan oleh seluruh pelaku pasar.


(60)

5.3 Margin Tata Niaga

Analisis margin tata niaga dapat digunakan untuk mengetahui distribusi margin pemasaran yang terdiri dari biaya dan keuntungan dari setiap aktivitas lembaga tata niaga yang berperan aktif, serta untuk mengetahui bagian harga ( farmer share ) yang diterima petani. Adapun distribusi margin tata niaga pada saluran I dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Distribusi Margin Tata Niaga pada Saluran Tata Niaga I

No Uraian Rp / kg %

1 Harga jual petani 9.200 75,41

Biaya Produksi 5.257,18

Margin Keuntungan 3.942,82

Nisbah margin keuntungan 0,75 2 Harga beli pedagang pengumpul 9.200 3 Harga jual pedagang pengumpul 12.200

Biaya : 320,01

- Bongkar muat 68,42 0,56

- Transportasi 210,53 1,73

- Kemasan 36,85 0,30

- Retribusi 4,21 0,03

Margin Keuntungan 2.679,99 21,97

Nisbah Margin Keuntungan 8,37

4 Harga Beli Pedagang Propinsi 12.200 100

Sumber : Data Diolah dari Lampiran 13

Saluran tata niaga 1 merupakan saluran yang paling banyak diminati oleh para petani yaitu sebesar 64,90% produksi bawang merah melalui saluran tata niaga 1. Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa nilai tunai yang diperoleh petani adalah sebesar Rp 9.200,00 ( 75,41% ). Biaya produksi rata – rata yang dikeluarkan petani adalah Rp 5.257,18 dengan demikian share petani adalah sebesar Rp 3.942,82/kg. Margin yang terjadi antara petani dengan pedagang pengumpul adalah sebesar Rp 3.000,00 yang mana sebesar Rp 320,01 teralokasikan untuk biaya tata niaga pedagang pengumpul. Biaya transportasi sebesar Rp 210,53


(61)

merupakan biaya terbesar yang harus ditanggung oleh pedagang pengumpul karena menempuh jarak yang jauh di luar kabupaten. Dengan demikian sebesar Rp 2.679,99 ( 21,97% ) merupakan keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul tersebut. Adapun sebaran harga pada saluran tata niaga 2 dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Distribusi Margin Tata Niaga pada Saluran Tata Niaga II

No Uraian Rp / kg %

1 Harga jual petani 10.800 65,45

Biaya produksi 5.257,18

Biaya : 256,03

- Transportasi 58,46

- Upah Timbang 10,08

- Retribusi 6,04

- Penyusutan 181,45

Margin Keuntungan 5.286,79 Nisbah Margin Keuntungan 0,95 2 Harga beli pedagang besar 10.800

Harga jual pedagang besar 13.400

Biaya : 559,81

- Bongkar muat 106,55 0,64

- Transportasi 278,68 1,69

- Kemasan 37,70 0,23

- Retribusi 2,46 0,02

- Penyusutan 134,42 0,82

Margin Keuntungan 2.040,19 12,36

Nisbah margin keuntungan 3,64

3 Harga beli pengecer 13.400

Harga jual pengecer 16.500

Biaya : 1.177,75

- Penyusutan 1.029,62 6,24

- Transportasi 88,88 0,54

- Kemasan 59,25 0,36

Margin Keuntungan 1.922,25 11,65

Nisbah margin keuntungan 1,63

4 Harga beli konsumen 16.500 100

Sumber : Data Diolah dari Lampiran 14 - 16

Pada saluran tata niaga 2, nilai tunai rata – rata yang diterima oleh petani adalah Rp 10.800,00/kg, lebih besar dibandingkan dengan nilai tunai yang diterima oleh


(62)

petani pada saluran tata niaga 1 yang hanya sebesar Rp 9.200,00/kg. Namun pada saluran tata niaga 2, petani menjumpai pedagang besar yang berada di pasar kabupaten, hal ini mengakibatkan petani harus mengeluarkan biaya tambahan di luar biaya produksi.

Pada saluran tata niaga 2, margin tata niaga yang terbentuk adalah sebesar Rp 5.700,00/kg dimana harga bawang merah di tingkat petani adalah sebesar

Rp 10.800,00/kg sedangkan harga jual di tingkat pengecer sebesar Rp 16.500,00/kg. Sudiyono ( 2004 ) menyatakan bahwa margin pemasaran yang

tinggi tidak selalu mengindikasikan keuntungan yang tinggi, tergantung berapa besar biaya – biaya yang harus dikeluarkan lembaga – lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi – fungsi pemasaran.

Biaya produksi rata – rata yang dikeluarkan petani adalah sebesar Rp 5.257,18/kg namun petani juga harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 256,03/kg untuk menyampaikan komoditi mereka ke pedagang besar sehingga total biaya yang dikeluarkan petani pada saluran 2 adalah Rp 5.513,21 dengan demikian

share petani adalah sebesar Rp 5.286,79/kg atau sebesar 32,04 % dari harga konsumen.

Total share seluruh pedagang adalah sebesar Rp 3.962,44 atau sebesar 24,01 % dari harga konsumen akhir. Pedagang besar memperoleh share yang lebih tinggi yaitu Rp 2.040,19/kg ( 12,36% ) sedangkan pengecer hanya memperoleh share


(63)

Biaya tata niaga terbesar ditanggung oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 1.177,75/kg dengan biaya penyusutan sebesar Rp 1.029,62 /kg dan

merupakan biaya terbesar yang harus ditanggung oleh pengecer. Sedangkan biaya tata niaga yang harus ditanggung oleh pedagang besar adalah sebesar Rp 559,81/ kg dimana biaya transportasi merupakan komponen terbesar yang harus ditanggung oleh pedagang besar yaitu sebesar Rp 278,68/ kg.

Pada saluran tata niaga 3, petani sekaligus berperan sebagai pedagang dimana petani berhubungan langsung kepada konsumen. Adapun distribusi margin tata niaga pada saluran tata niaga pola 3 dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Distribusi Margin Tata Niaga pada Saluran Tata Niaga III

No Uraian Rp / kg %

1 Harga Jual Petani 15.700

Biaya Poduksi 5.257,18 33,49

Biaya : 2.518,49 16,04

- Transportasi 817,89 5,21

- Kemasan 32,85 0,21

- Retribusi 174,75 1,11

- Penyusutan 1493 9,51

Margin Keuntungan 7.924,33 50,47

Nisbah Margin Keuntungan 1,019

2 Harga Beli Konsumen 15.700 100

Sumber : Data Diolah dari Lampiran 17

Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa nilai tunai yang diterima petani adalah sebesar

Rp 15.700/kg dengan total biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah sebesar Rp 7.775,67/kg ( 49,53% ) sedangkan share yang diterima oleh petani adalah

sebesar Rp 7.924,33/kg atau sebesar 50,47% dari harga konsumen akhir. Nilai yang diterima petani pada saluran tata niaga 3 lebih tinggi daripada nilai yang diterima petani pada saluran tata niaga 1 dan 2. Biaya penyusutan merupakan biaya yang paling banyak ditanggung oleh petani dalam memasarkan komoditi


(64)

bawang merah tersebut yaitu mencapai Rp 1.493,00/kg atau sebesar 9,51% dari harga konsumen akhir.

5.4 Elastisitas Transmisi Harga

Analisis elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui persentase perubahan harga di tingkat produsen akibat perubahan harga di tingkat konsumen. Selain menunjukkan besarnya perubahan harga di tingkat petani dan pengecer, nilai elastisitas transmisi harga juga dapat menyatakan tingkat kompetisi suatu pasar, penampakan atau struktur pasar yang terbentuk.

Dari hasil analisis regresi sederhana diperoleh koefisien regresi b1 adalah sebesar 0,681 ( perhitungan terlampir ), nilai koefisien regresi b1 ini menunjukkan nilai elastisitas transmisi harga dan diperoleh nilai elastisitas transmisi harga lebih kecil dari satu ( Etr < 1 ).

Dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1 % di tingkat konsumen akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 0,681 % di tingkat petani atau dapat juga diartikan bahwa perubahan harga yang dibayar konsumen sebesar Rp 1.000,00 akan menyebabkan perubahan harga sebesar Rp 681,00 di tingkat petani.

Nilai elastisitas transmisi harga sebesar 0,681 ( Etr < 1 ) mengindikasikan bahwa transmisi harga yang terbentuk antara pasar petani dengan pasar konsumen lemah sehingga struktur pasar yang terbentuk bukan pasar persaingan.


(65)

5.5 Efisiensi Tata Niaga

Penentuan efisiensi tata niaga pada penelitian ini dilakukan dengan membandingkan besarnya keuntungan petani dan seluruh pedagang perantara yang terlibat dengan seluruh biaya produksi serta ongkos tata niaga yang dikeluarkan oleh petani dan ongkos tata niaga yang dikeluarkan oleh seluruh pedagang perantara. Tingkat efisiensi tata niaga bawang merah di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 22. Efisiensi Tata Niaga Bawang Merah di Daerah Penelitian

Saluran

Keuntungan petani

( Rp )

Keuntungan Pedagang Perantara

( Rp )

Biaya Produksi

dan Ongkos

Petani ( Rp )

Ongkos Tataniaga

( Rp )

Efisiensi Tata Niaga

II 5.286,79 3.962,44 5.513,21 1.737,56 1,275

III 7.924,33 - 7.775,67 - 1,019

Tabel 22 menunjukkan bahwa kedua saluran tata niaga bawang merah sudah efisien ( e > 1 ). Saluran tata niaga 2 dapat dikatakan lebih efisien jika dibandingkan dengan saluran tata niaga 3. Saluran tata niaga 2 dapat memberikan keuntungan sebesar Rp 1.275,00 dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 1000,00 sedangkan saluran tata niaga 3 hanya menghasilkan keuntungan sebesar Rp 1.019,00 jika mengeluarkan biaya sebesar Rp 1.000,00.


(66)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Saluran tata niaga bawang merah di Kabupaten Samosir terdiri dari tiga saluran tata niaga yaitu Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar Propinsi sebanyak 64,90 %, Petani – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen sebanyak 32,14 %, dan Petani – Konsumen sebanyak 2,96 %. 2. Fungsi tata niaga yang dilakukan pelaku tata niaga dalam tata niaga bawang

merah meliputi fungsi pertukaran ( pembelian dan penjualan ), fungsi fisik ( transportasi, penyimpanan, pendistribusian ), dan fungsi fasilitas ( resiko,

penyediaan dana, informasi pasar ). Fungsi fasilitas berupa fungsi sortasi tidak dilaksanakan oleh para pelaku tata niaga bawang merah di daerah penelitian.

3. Margin tata niaga pada saluran tata niaga 1 sebesar Rp 3.000,00 dimana

sebesar Rp 320,01 merupakan biaya tata niaga dan sisanya sebesar Rp 2.679,99 merupakan keuntungan lembaga tata niaga. Pada saluran tata

niaga 2 terdapat margin sebesar Rp 5.700,00 dimana pedagang besar memperoleh share tertinggi yaitu Rp 2.040,19 dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 559,81 sedangkan pedagang pengecer memperoleh

share sebesar Rp 1.922,25 dengan korbanan sebesar Rp 1.177,75. Pada saluran 3, petani bertindak sebagai pedagang, dimana nilai tunai yang diperoleh sebesar Rp 15.700 dengan share yang diterima sebesar Rp 7.924,33 ( 50,47 % ).


(67)

4. Koefisien elastisitas transmisi harga bawang merah di Kabupaten Samosir adalah sebesar 0,681 ( Etr < 1 ).

5. Nilai efisiensi tata niaga bawang merah untuk saluran 2 dan 3 adalah lebih besar daripada 1 ( e > 1 ), masing – masing sebesar 1,275 dan 1,019 maka saluran tata niaga bawang merah di Kabupaten Samosir digolongkan efisien.

6.2 Saran

1. Petani dan lembaga tata niaga lainnya sebaiknya melakukan fungsi sortasi dalam tata niaga bawang merah dengan demikian akan menambah keuntungan bagi pelaku tata niaga tersebut.

2. Untuk memperkuat posisi tawar petani, disarankan agar para petani membentuk kelompok tani atau lembaga lainnya seperti KUD dalam urusan administrasi tata niaga bawang merah.


(68)

DAFTAR PUSTAKA

Daniel. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : Bumi Aksara. Ginting, Paham. 2006. Pemasaran Produk Pertanian. Medan : USU Press.

Gitosudarmo, H. Indriyo. 2000. Manajemen Pemasaran. Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES.

Mustafid, 2002. Analisis Efektifitas dan Efisiensi Tata Niaga Kopi Biji di Propinsi Lampung. Lampung : UNILA.

Rahayu, Estu dan Nur Berlian V. A. 1999. Bawang Merah. Jakarta : Penebar Swadaya.

Roszandi, Dasril. 2011. “Terdesak Bawang Impor, Harga Bawang Merah Lokal Anjlok”. Dalam Tempo ( Maret ). Brebes.

Rukmana, Rahmat. 1994. Bawang Merah, Budidaya dan Pengolahan Pascapanen. Yogyakarta : Kanisius.

Sevilla, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : UI Press. Sihombing, Luhut. 2010. Tata Niaga Hasil Pertanian. Medan : USU Press. Sijabat, Tumpal. 2011. “Petani Bawang Merah di Samosir Mulai Bersemangat“.

Dalam Medan Bisnis, 13 September 2011. Samosir.

Soekartawi. 2002. Manajemen Pemasaran Hasil – Hasil Pertanian. Cetakan Ketiga. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sudarmanto. 2009. Bawang Merah. Surakarta : Delta Media.

Sudiyono, Armand. 2004. Pemasaran Pertanian. Malang : UMM Press. Sugiarto, dkk. 2001. Teknik Sampling. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta.

Sunarjono, H. Hendro dan Prasodjo Soedomo. 1989. Budidaya Bawang Merah ( Allium ascalonicum L. ). Cetakan Kedua. Bandung : Sinar Baru.

Tim Bina Karya Tani. 2008. Pedoman Bertanam Bawang Merah. Bandung : Yrama Widya.


(1)

Lampiran 13. Analisis Usahatani Bawang Merah Selama Satu Musim Tanam di Daerah Penelitian

No Uraian Satuan Volume Harga

Satuan (Rp)

Total (Rp)

1 Sewa lahan m2 1200 31.000

2 Pajak lahan m2 1200 4.400

3 Bibit Kg 72 14.800 1.025.000

4 Pupuk

Pupuk kandang Karung 7,3 103.000

NPK Kg 18 113.500

Urea Kg 0,5 1.500

TSP Kg 5 32.000

ZA Kg 5 10.000

Pupuk Daun Kg 0,6 15.000

5 Pestisida

Antracol Gram 505 61.000

Curacron Ml 248 55.800

Dithane M Gram 266 23.800

Score Botol 0,6 21.500

Agrimec Botol 0,7 45.000

Sherpa Botol 0,4 21.000

Bion M Gram 180 41.400

6 Tenaga Kerja HKO 26,5 53.500 1.417.750

7 Biaya Penyusutan

Cangkul Unit 3 17.860

Garpu Unit 1 4.100

Pompa gendong Unit 1 13.700

Mesin compressor Unit 0,4 32.900

Selang Meter 98 31.100

Karung plastik Unit 26 13.000

8 Biaya

Pengangkutan

111.000

9 Total biaya 3.246.310

Biaya / kg 5.257,18

10 Penerimaan Kg 617,5 10.000 6.175.000


(2)

Lampiran 14. Volume Pembelian dan Biaya Tata Niaga Pedagang Pengumpul Bawang Merah di Daerah Penelitian Nomor Sampel Sumber Pembelian Tujuan Penjualan Volume Pembelian

( kg )

Harga Beli ( Rp / kg )

Volume Penjualan

( kg )

Harga Jual ( Rp/kg )

Bongkar Muat ( Rp )

Transportasi ( Rp )

Kemasan ( Rp )

Retribusi ( Rp )

1 Petani Luar kota 1000 10.000 1000 13.000 40.000 200.000 32.500 4.000

2 Petani Luar kota 1200 10.000 1200 12.000 100.000 300.000 50.000 5.000

3 Petani Luar kota 1500 8.000 1500 12.000 100.000 200.000 55.000 5.000

4 Petani Luar kota 1000 10.000 1000 12.000 50.000 200.000 35.000 5.000

5 Petani Luar kota 1000 8.000 1000 12.000 100.000 300.000 37.500 5.000

Total 5700 46.000 5700 61.000 390.000 1.200.000 210.000 24.000

Rataan 1140 9.200 1140 12.200 78.000 240.000 42.000 4.800

Rataan / kg 68,42 210,53 36,85 4,21

Lampiran 15. Volume Pembelian dan Biaya Tata Niaga Pedagang Besar Bawang Merah di Daerah Penelitian

Nomor Sampel Sumber Pembelian Tujuan Penjualan Volume Pembelian

( kg )

Harga Beli ( Rp / kg )

Volume Penjualan

( kg )

Harga Jual ( Rp / kg )

Bongkar Muat ( Rp )

Transportasi ( Rp )

Kemasan ( Rp )

Retribusi ( Rp )

Penyusutan ( Rp )

1 Petani Pengecer 1200 10.000 1200 13.000 100.000 300.000 50.000 3.000 150.000

2 Petani Pengecer 1200 10.000 1200 13.000 100.000 400.000 40.000 3.000 200.000

3 Petani Pengecer 1300 12.000 1300 14.000 200.000 300.000 50.000 3.000 200.000

4 Petani Pengecer 1200 10.000 1200 13.000 150.000 300.000 40.000 3.000 150.000

5 Petani Pengecer 1200 12.000 1200 14.000 100.000 400.000 50.000 3.000 120.000

Total 6100 54.000 6100 67.000 650.000 1.700.000 230.000 15.000 820.000

Rataan 1220 10.800 1220 13.400 130.000 340.000 46.000 3.000 164.000


(3)

Lampiran 16. Biaya Petani dalam Menyampaikan Bawang Merah ke Pedagang Besar di Pasar Kabupaten Volume Penjualan Rata – Rata

( kg )

Transportasi ( Rp )

Upah Timbang ( Rp )

Retribusi ( Rp )

Penyusutan ( Rp )

496 29.000 5.000 3.000 90.000

Rataan / kg 58,46 10,08 6,04 181,45

Lampiran 17. Volume Pembelian dan Biaya Tata Niaga Pedagang Pengecer Bawang Merah di Daerah Penelitian Nomor

Sampel

Sumber Pembelian

Tujuan Penjualan

Volume Pembelian

( kg )

Harga Beli ( Rp / kg )

Volume Penjualan

( kg )

Harga Jual ( Rp / kg )

Penyusutan ( Rp )

Transportasi ( Rp )

Kemasan ( Rp )

1 P. Besar Konsumen 10 13.000 10 16.000 13.000 2.000 1.000

2 P. Besar Konsumen 20 13.000 20 16.000 13.000 2.000 1.000

3 P. Besar Konsumen 5 14.000 5 18.000 7.000 - 1.000

4 P. Besar Konsumen 20 13.000 20 16.000 26.000 2.000 1.000

5 P. Besar Konsumen 30 13.000 30 16.000 26.000 2.000 1.000

6 P. Besar Konsumen 10 14.000 10 18.000 13.000 - 1.000

7 P. Besar Konsumen 20 14.000 20 16.000 28.000 2.000 1.000

8 P. Besar Konsumen 20 13.000 20 16.000 13.000 2.000 1.000

Total 135 107.000 135 132.000 139.000 12.000 8.000

Rataan 16,875 13.375 16,875 16.500 17.375 1.500 1.000

Rataan / kg 1.029,62 88,88 59,25


(4)

Lampiran 18. Biaya Tata Niaga Petani Bawang Merah di Daerah Penelitian

No Volume Penjualan ( kg )

Harga Jual ( Rp /kg )

Transportasi ( Rp )

Kemasan ( Rp )

Retribusi ( Rp )

Penyusutan ( Rp )

1 100 16.000 100.000 5.000 20.000 160.000

2 200 16.000 130.000 5.000 30.000 280.000

3 200 15.000 150.000 5.000 30.000 270.000

4 300 16.000 180.000 5.000 30.000 480.000

5 200 16.000 140.000 5.000 30.000 320.000

6 80 16.000 50.000 5.000 20.000 120.000

7 100 15.000 150.000 5.000 30.000 150.000

8 70 15.000 100.000 5.000 20.000 105.000

9 120 16.000 120.000 5.000 30.000 160.000

Total 1370 141.000 1.120.000 45.000 240.000 2.045.000

Rataan 152,22 15.700 124.500 5.000 26.600 227.222


(5)

Lampiran 19. Hasil Korelasi dan Regresi antara Harga Bawang Merah di Tingkat Petani dan Tingkat Konsumen

Correlations

harga petani

harga konsu

men

Pearson Correlation harga petani 1.000 .765

harga konsumen .765 1.000

Sig. (1-tailed) harga petani . .000

harga konsumen .000 .

N harga petani 30 30

harga konsumen 30 30

Model Summaryb Mod

e

l R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimat

e

1 .765a .585 .570 728.96835

a. Predictors: (Constant), harga konsumen b. Dependent Variable: harga petani


(6)

ANOVAb

Model

Sum of Square

s Df Mean Square F Sig.

1 Regression 2.099E7 1 2.099E7 39.495 .000a

Residual 1.488E7 28 531394.859

Total 3.587E7 29

a. Predictors: (Constant), harga konsumen b. Dependent Variable: harga petani

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coeffici ents

T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -1244.838 1804.810 -.690 .496

harga konsumen .681 .108 .765 6.285 .000