BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian sudah lazim dipergunakan dalam lalu lintas hidup masyarakat.Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu
contracts.Sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst perjanjian maupun “persetujuan”.
6
Mengenai istilah perjanjian dan persetujuan ini menurut ahli ada pendapat yang berbeda. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono
Prodjodikoro, SH., perjanjian dan persetujuan adalah berbeda. Beliau mengatakan persetujuan
dalam perundang-undangan Hindia Belanda dinamakan “overeenkomst”, yaitu suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai
harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak, sedangkan perjanjian menurut beliau adalah suatu perhubungan hukum mengenai
harta benda kekayaan antar dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan
perjanjian itu.
7
Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, sumber perikatan yang
lain adalah undang-undang. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu Bandung: Sumur Bandung, 1981, hal. 11.
7
A. Qirom Syamsudin Meilala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya Yogyakarta: Liberty, 1985, hal. 8.
Perdata Pasal 1313, disebutkan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
8
K.R.M.T Tirtodiningrat memberikan defenisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.
9
Subekti memberikan defenisi perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.
10
Berdasarkan pengertian perjanjian diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal yang diperjanjikan adalah :
11
a. Perjanjian memberi atau menyerahkan sesuatu barang misalnya: jual-beli,
tukar-menukar, sewa-menyewa, hibah dan lain-lain b.
Perjanjian berbuat sesuatu misalnya: perjanjian perburuhan dan lain-lain c.
Perjanjian tidak berbuat sesuatu misalnya: tidak membuat tembok yang tinggi-tinggi, dan lain sebagainya.
Prof. Agus Yudha Hernoko SH, MH., dalam bukunya Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak yang mengutip pendapat Setiawan, yang
menyatakan rumusan Pasal 1313 KUHPerdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Dikatakan tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja
dan dikatakan sangat luas karena dengan digunakannya perkataan “perbuatan”
8
I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Bekasi Timur: Kesaint Blanc, 2008, hal. 21.
9
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 15.
10
Ibid. hal. 16.
11
Lukman santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, Yogyakarta : Cakrawala, 2012, hal. 12.
tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.
12
Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai
defenisi tersebut, ialah:
13
a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu
perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum b.
Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata
c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum,
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Selain itu, terhadap defenisi perjanjian yang tecantum pada Pasal 1313 KUHPerdata ini dianggap kurang begitu memuaskan karena memiliki kelemahan.
Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :
14
a. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini dapat disimak dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.Kata “mengikatkan”
merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak berasal dari kedua pihak.Sedang maksud perjanjian itu adalah para
pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampaklah kekurangannya.Seharusnya pengertian perjanjian itu ditambah dengan
rumusan “saling mengikatkan diri”.
12
Agus Yudha Hernoko. Op. Cit, hal. 16.
13
Ibid.
14
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 88.
b. Kata perbuatan mencakup juga kata consensuskesepakatan
Pengertian kata “perbuatan” berarti termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain zaakwaarneming dan perbuatan melawan hukum
onrechtmatige daad. Hal ini menunjukkan makna kata “perbuatan” itu sangatlah luas dan dapat menimbulkan akibat hukum.Seharusnya dalam
kalimat tersebut dipakai kata “persetujuan”. c.
Pengertian perjanjian terlalu luas Perjanjian yang dikehendaki dalam Buku Ketiga KUHPerdata adalah
perjanjian yang bersifat kebendaan, bukanlah perjanjian yang bersifat personal.Sementara itu, pengertian perjanjian dalam pasal tersebut
dianggap terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang dimana hal ini diatur dalam lapangan hukum keluarga.
d. Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tersebut dianggap
tidak jelas tujuannya saling mengikatkan diri. Pengertian perjanjian diatas memiliki kelemahan-kelemahan, sehingga
atas dasar tersebut perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian tersebut. Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli diatas
melengkapi kekurangan defenisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
15
B. Unsur-unsur Perjanjian