keseluruhan Provinsi Riau BBPPLP 2011. Dengan demikian, penyediaan informasi yang memadai mengenai sebaran potensi kebakaran hutan dan lahan
melalui sebaran hotspot menjadi hal yang terpenting dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan, khususnya untuk lahan gambut di Provinsi Riau.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengidentifikasi sebaran hotspot sebagai indikator kebakaran di lahan gambut di Provinsi Riau.
1.3 Manfaat Penelitian
Identifikasi hotspot bermanfaat memberikan informasigambaran fluktuasi sebaran hotspot di Provinsi Riau. Informasi tersebut dapat digunakan dalam
penentuan daerah rawan kebakaran yang berguna dalam kegiatan manajemen kebakaran hutan di Provinsi Riau.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan
2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak terkendali. Syaufina 2008 mengemukakan
bahwa kebakaran hutan adalah suatu kejadian di mana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan
tidak terkendali. Vegetasi menjadi bahan bakar utama dalam terjadinya kebakaran hutan
dan lahan. Bahan bakar tersebut merupakan hasil fotosintesis vegetasi hutan. Sehingga kebakaran hutan tidak lain adalah pelepasan panas secara cepat pada
vegetasi dengan kapasitas besar. Hubungan fotosintesis dan pembakaran vegetasi adalah terjadinya reaksi kimia antara CO
2
dan H
2
O yang dibantu oleh energi cahaya. Hasil dari reaksi kimia tersebut adalah C
6
H
12
O
6
, O
2
, dan H
2
O. Pembakaran adalah terjadinya reaksi kimia antara CO
2
dan C
6
H
12
O
6
dengan adanya suhu penyalaan yang cukup sehingga menghasilkan CO
2
, H
2
0 dan panas Syaufina 2008.
Reaksi kimia di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga komponen yang penting dalam terjadinya proses pembakaran, yaitu; i bahan bakar yang ditun-
jukkan oleh senyawa glukosa C
6
H
12
O
6
, ii oksigen O
2
, dan iii panas. DeBano et al. 1998 menyatakan bahwa ada tiga komponen penting yang
diperlukan agar terjadi proses pembakaran, yaitu; bahan bakar, panas, dan O
2
. Ketiga komponen tersebut digambarkan dengan segitiga api The fire triangle
Brown dan Davis 1979. Kebakaran hutan dapat dikelompokan pada tiga tipe. Pengelompokkan
tersebut didasarkan kepada bahan bakar yang mendominasi kebakaran. Tiga tipe kebakaran Syaufina 2008, yaitu :
a. Kebakaran bawah Ground Fire:
Kebakaran bawah yaitu situasi dimana api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah. Penjalaran api yang perlahan dan tidak dipengaruhi
oleh angin menyebabkan tipe kebakaran seperti ini sulit untuk dideteksi dan dikontrol. Kebakaran bawah dicirikan dengan kebakaran lahan gambut.
b. Kebakaran permukaan Surface fire
Kebakaran permukaan yaitu situasi dimana api membakar serasah, tum- buhan bawah, bekas limbah pembalakan dan bahan bakar lain yang terdapat di
lantai hutan. Kebakaran permukaan permukaan adalah tipe kebakaran yang umum terjadi di tegakan hutan.
c. Kebakaran tajuk
Kebakaran tajuk yaitu situasi dimana api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon yang lain yang saling berdekatan. Kebakaran tajuk sangat dipengaruhi
oleh kecepatan angin. Kebakaran tajuk sering terjadi di tegakan hutan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan.
2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan
Adiningsih et al. 2011 menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penyebab kebakaran hutan, yaitu aktivitas manusia dalam menggunakan api, iklim, dan
perubahan tata guna lahan. Berdasarkan ketiga faktor tersebut dapat dikatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh perilaku manusia dan kondisi
biofisik lokasi. a.
Aktivitas manusia Menurut Armi 2001 kebakaran hutan dan lahan rawa yang terjadi akibat
pembukaan lahan kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, Pertambangan dan bidang pariwisata. Kesemuanya ini bersumber dari terbatasnya pengetahuan
masyarakat akan bahayadampak yang ditimbulkan oleh kebakaran terhadap perubahan ekosistem. Di samping itu penyebab lain adalah akibat kelalaian
manusia dalam pelaksanaan kegiatan usahapembangunan di tingkat lapangan sehingga terjadi kebakaran baik hutan maupun areal rawa yang ada di Lampung
Suyanto et al. 2003. Penggunaan api oleh manusia dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu
untuk membersihkan lahan dan menjadi senjata konflik lahan. Pembersihan lahan dengan cara pembakaran dianggap sebagai cara pembersihan lahan yang murah.
Pembersihan lahan diperlukan untuk kegiatan perladangan, perkebunan dan hutan tanaman.
Masyarakat juga menggunakan api sebagai senjata dalam konflik lahan. Peluso 1992 menyatakan bahwa masyarakat seringkali membakar hutan dan
infrastruktur dalam menunjukkan perlawanan terhadap ketidaksetujuan terhadap penguasaan lahan atau sumberdaya hutan yang dilakukan oleh negara. Api
digunakan sebagai senjata perlawanan karena dianggap mudah dan dengan membakar, sumberdaya lahan dapat lebih mudah untuk dikuasai kembali.
b. Faktor cuaca kebakaran hutan dan lahan
Cuaca mempunyai peranan penting dalam kebakaran hutan dan lahan. Cuaca juga menentukan panjang dan parahnya musim kebakaran dan bahan bakar
di suatu daerah Chandler et al. 1983. Musim kebakaran erat kaitannya dengan panjang hari di suatu tempat yang berhubungan pada lama penyinaran matahari,
sehingga berdampak pada kelembaban di suatu daerah. Musim kebakaran juga mempunyai peranan dalam menentukan kadar air
bahan bakar. Semakin tinggi kadar air bahan bakar, maka semakin rendah kemudahan bahan bakar untuk terbakar. Sebaliknya semakin rendah kadar air
bahan bakar, maka semakin tinggi kemudahan bahan bakar untuk terbakar. Kadar air dapat dijadikan indikator bahaya kebakaran hutan Syaufina
2008. Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan sebagai berikut Chandler et al. 1983: i iklim
menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, ii iklim menentukan jangka waktu dan keparahan musim kebakaran, iii cuaca mengatur kadar air dan
kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, iv cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.
Cuaca terbentuk dari berbagai unsur-unsur pembentuknya, yaitu kelembaban relatif, penguapan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, dan
curah hujan. Sintesis dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca dalam jangka waktu yang panjang dan di suatu tempat itulah membentuk sebuah iklim.
1. Suhu udara
Suhu udara menjadi indikator penting dalam kebakaran hutan dan lahan. Intensitas matahari akan mempengaruhi kandungan kadar air pada bahan bakar,
yang kemudian berpengaruh pada ketersediaan bahan bakar. Tingginya suhu
udara akan mempercepat pengeringan bahan bakar dan memudahkan kebakaran terutama pada musim kemarau yang panjang.
Perbedaan suhu udara dalam satu hari dapat menentukan kecenderungan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pada siang hari suhu udara lebih
memungkinkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan dibandingkan dengan pagi hari. Menurut Sahardjo 2003, pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah
sekitar 20 C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak
berkembang sehingga terkonsentrasi pada titik. Sementara siang hari dengan suhu 30
–35 C sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah 30 membuat proses
pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.
2. Kelembaban udara
Kelembaban udara di dalam hutan mempengaruhi kadar air lingkungan, yaitu baik pada bahan bakar vegetasi maupun lingkungan abiotik. Kelembaban
udara mempengaruhi kadar air bahan bakar, sehingga dapat berpengaruh pada pengeringan dan terbakarnya bahan bakar. Fuller 1991 menyatakan bahwa
dalam hutan kelembaban udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini dikarenakan kelembaban kadar air udara
dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Semakin kecil kadar air di udara RH kecil maka semakin mudah bahan bakar mengering dan
bahan bakar lebih mudah terbakar. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi kadar air di udara RH tinggi maka semakin besar kandungan air pada bahan bakar,
akibatnya bahan bakar semakin basah dan sulit terbakar. Terdapat perbedaan kelembaban udara pada siang hari dan pagi hari. Siang
hari kelembaban udara berkisar antara 80 –85, sebaliknya pada pagi hari
kelembaban relatif tinggi yaitu sekitar 90 –95 Susanty 2009. Kondisi ini
berpengaruh pada siang hari yang membuat proses kebakaran berlangsung cepat karena kadar air bahan bakar cukup rendah.
3. Curah hujan
Curah hujan berpengaruh pada kelembaban regional hutan, khususnya terhadap bahan bakar. Semakin tinggi curah hujan, maka kelembaban bahan bakar
semakin tinggi pula, dampaknya kadar air bahan tinggi dan potensi kebakaran menjadi rendah.
Curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh pada permukaan tanah selama periode tertentu bila tidak terjadi penghilangan oleh
proses evaporasi, pengaliran dan peresapan, yang diukur dalam satuan tinggi. Curah hujan adalah unsur iklim yang berpengaruh pada terjadinya kebakaran
hutan dan lahan, terutama sebagai pembentuk kelembaban dan penentu kadar air pada bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar tinggi,
dan kadar air bahan bakarpun tinggi, sehingga menyulitkan terjadinya pembakaran Septicorini 2006.
4. Angin
Angin ialah udara yang bergerak secara horizontal dari suatu wilayah yang bertekanan tinggi menuju wilayah yang bertekanan rendah Arifin et al. 2001.
Angin muncul sebagai hasil dari pemanasan di permukaan bumi, sehingga terjadi perbedaan tekanan udara. Menurut Chandler et al. 1983 angin merupakan salah
satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin berperan dalam membantu pengeringan bahan bakar. Air yang
berada di alam bahan bakar akan dibawa oleh angin ketika terjadi proses penguapan. Dalam perilaku api angin berperan dalam menentukan kecepatan
perambatan api dari satu bahan bakar menuju ke bahan bakar yang lain.
2.1.3 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak positif maupun negatif. Menurut Adinugroho et al. 2005, dampak kebakaran hutan dan lahan yaitu
adanya degradasi lingkungan, gangguan kesehatan dan masalah sosial-ekonomi. Kebakaran yang terjadi dapat menimbulkan dampak yang sangat penting terhadap
kerusakan ekosistem seperti Armi 2001: i menurunnya kesuburan tanah yang menyebabkan tingkat produktifitas lahan menurun karena lapisan humus yang
hilang dan struktur tanah bagian atas top-soil mengalami perubahan sehingga menyebabkan terganggunya kehidupan mikroorganisme dan tanaman yang
tumbuh diatasnya, ii berkurangnyamusnahnya flora dan fauna yang berada di dalam maupun di atas lahan yang terbakar.
Kebakaran hutan dan lahan memberikan kerugian ekonomi yang besar. Kerugian tersebut meliputi sumberdaya hutan itu sendiri dan manfaat hutan tidak
langsung. Tacconi 2003 mengklasifikasikan perhitungan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan menjadi dua, yaitu biaya ekonomi akibat kebakaran,
dan biaya ekonomi akibat pencemaran.
2.1.4 Pengendalian Kebakaran Hutan
Pengendalian kebakaran hutan dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi remote sensing. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam
memantau kebakaran secara cepat, tepat dan akurat serta memperkirakan kejadian kebakaran dan pengaruhnya pada waktu mendatang. Informasi yang di dapat
dapat membantu dalam kegiatan peringatan dini early warning system dalam pencegahan kebakaran hutan.
2.2 Titik Panas Hotspot
Titik panas hotspot adalah terminologi dari satus piksel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah atau lokasi sekitar yang tertangkap
oleh sensor satelit data digital. Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan
banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution
Radiometer AVHRR yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR.
Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang 1 km. Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible
ch 1 0.66 um, near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan.
Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hotspot yaitu JICA Japan International Cooperation Agency, LAPAN Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional dan ASMC ASEAN Specialized Meteorology Center. Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas threshold
suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hotspot
fire exist. Ambang batas threshold yang menjadi acuan adalah Hidayat et al. 2003: i LAPAN menggunakan threshold suhu minimum
sebesar 322
o
K, ii JICA menggabungkan ambang batas suhu maksimum 315
o
K pada siang hari dan 310
o
K pada malam, dan iii ASMC yang memakai threshold sebesar 320
o
K pada siang hari dan 314
o
K pada malam hari.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat