c. Nutrisi mineral. Pemberian fosfat ke tumbuhan budi daya legum meningkatkan jumlah bintil pada perakaran dan juga meningkatkan
pertumbuhan dan kandungan nitrogen tanaman. d. Zat tumbuh. Asam indol asetat IAA dan giberelin dapat dideteksi dalam
bintil akar. Pengaruh zat tumbuh terhadap perbintilan, bervariasi. Zat tumbuh dapat merangsang pembentukan bintil dan ada juga yang menghambat,
tergantung pada konsentrasi zat kimia yang digunakan. Kandungan IAA yang rendah kondusif untuk awal pembentukan bintil sedangkan dosis IAA yang
lebih tinggi mengakibatkan pengkerdilan dan pengaruh morfogenik lain pada akar. Vitamin B, tiamin, piridoksin, biotin dan riboflavin tidak memiliki
pengaruh dalam merangsang pembentukan bintil akar. e. Genetik. Varietas yang berbeda dari legum yang sama diketahui berbeda
responnya terhadap Rhizobium tertentu, terutama dalam hal jumlah bintil yang terbentuk padanya. Perakaran tanaman yang tahan terhadap infeksi dapat
merangsang perkembangbiakan Rhizobium dalam daerah perakaran diikuti penggulungan rambut akar, walaupun rambutnya tidak mengandung benang
infeksi di dalamnya. f.
Ekologis. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman dan beberapa senyawa kimia mempengaruhi perkembangan mikroba
dalam tanah. Dilihat dari hasil analisis media tumbuh Lampiran 21 menunjukkan
bahwa pH media sangat rendah 4.50 sampai dengan 4.90, pada pH tersebut bintil akar akan sulit berkembang terutama pada sengon karena sengon hidup pada pH
netral hingga basa. Menurut Atmosuseno 1998 sengon menyukai pH tanah yang netral hingga basa. Kesukaan sengon terhadap pH netral karena pada keadaan pH
tersebut unsur hara mudah diserap oleh tanaman dan mudah larut dalam air.
4.2.2 Pengaruh ekstrak rebung bambu betung terhadap pertumbuhan semai sengon
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa perlakuan dosis ekstrak rebung bambu betung berpengaruh nyata terhadap tinggi dan diameter
semai serta pada berat basah pucuk walaupun pada bintil akar berpengaruh
negatif. Pertumbuhan semai sengon pada minggu pertama sampai dengan minggu ke delapan belum menunjukkan perbedaan yang nyata pada masing-masing dosis
yang diberikan untuk semai sengon apabila dibandingkan dengan kontrol atau masih kurang memberikan respon yang nyata.
Tanah sub soil pada umumnya miskin hara, ketika digunakan untuk media tumbuh maka ketersediaan unsur haranya terbatas disamping itu sebagian besar
unsur haranya dalam bentuk terikat. Unsur hara yang tersedia berasal dari leaching perembesan dari atas ke bawah ketika sub soil digunakan sebagai
media tumbuh maka ada proses menunggu untuk menyediakan unsur hara secara terus menerus melalui proses biogeokimia.
Proses biologisnya dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik atau menghidupkan mikroba yang ada di dalam tanah tersebut, sedang proses
geokimianya melalui proses pelapukan untuk menyediakan unsur hara yang disediakan oleh tanaman. Untuk itu ketika sub soil digunakan untuk media
tumbuh, respon pertumbuhan tanaman yang diuji memerlukan waktu untuk tumbuh dengan baik ada jeda waktu pertumbuhan. Namun tanah sub soil sangat
baik digunakan untuk pengujian amandemen tanah antara lain pupuk, kompos, dan arang karena percobaan yang dilakukan menjadi lebih nyata responnya.
Dalam percobaan ini pertumbuhan sengon mulai membaik pada minggu ke sembilan setelah tanam, walaupun ekstrak rebung bambu telah diberikan sejak
minggu pertama. Diduga pada minggu pertama hingga minggu ke delapan penyediaan unsur hara untuk memenuhi kebutuhan tanaman belum tercukupi
walaupun telah ditambah ekstrak rebung bambu betung. Terjadinya jeda pertumbuhan tersebut juga dapat diduga disebabkan oleh adanya leaching
pencucian dari ekstrak rebung yang ditambahkan sehingga ekstrak rebung tersebut tercuci lewat, karena bentuknya yang cair bukan padatan sehingga
berbeda dengan pupuk cair yang sudah langsung dapat diserap oleh media tumbuh.
Untuk meningkatkan retensi atau daya simpan ekstrak rebung untuk pertumbuhan maka ditambahkan dengan arang sekam pada minggu ke tujuh,
diharapkan arang sekam tersebut mampu menyimpan cairan ekstrak rebung di dalam media tumbuh yang kemudian akan diserap oleh tanaman. Di sisi lain,
arang sekam dapat meningkatkan pH tanah sehingga nilai KTK nya menjadi semakin meningkat pula. pH yang meningkat untuk pertumbuhan sengon sangat
diperlukan, pada Gambar 4 menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan semai sengon menjadi lebih baik setelah penambahan arang sekam, sehingga setelah
minggu ke sembilan pertumbuhan sengon mulai meningkat. Apabila dilihat dari Nilai KTK Lampiran 21 maka nampak pada kontrol memiliki nilai KTK sebesar
16.17, sedang media yang ditambahi ekstrak rebung bambu betung memiliki nilai KTK hanya berkisar 14.17 sampai dengan 15.37.
Perbedaan tinggi mulai terlihat pada minggu kesembilan setelah tanam terutama pada perlakuan pemberian dosis ekstrak rebung bambu betung 20
mlbibit A2 sebesar 7.58 cm atau meningkat 56.93 dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian ekstrak rebung bambu
betung mampu memacu pertumbuhan semai sengon. Pada minggu ke-12 setelah tanam dosis 50 mlbibit A5 menghasilkan tinggi terbesar yaitu 21.71 cm atau
meningkat 6.89 dibandingkan dengan A2 dengan dosis 20 mlbibit sebesar 20.31 cm. Unsur kalium yang terkandung pada rebung mentah bambu betung
sebesar 533 mg merupakan pemicu pertambahan tinggi semai sengon. Hal tersebut dibuktikan pula dengan data hasil analisis kimia tanah Lampiran 21
pada unsur kalium K yang memberikan informasi bahwa semakin tinggi dosis pemberian ekstrak rebung bambu betung maka unsur K yang terdapat pada media
tanam semai sengon akan semakin besar. DIKTI 1991 menyatakan bahwa secara fisiologis fungsi kalium adalah sebagai berikut: 1 Metabolisme karbohidrat,
yakni pembentukan, pemecahan, dan translokasi pati, 2 Metabolisme nitrogen dan sintesis protein, 3 Mengawasi dan mengatur kegiatan berbagai unsur mineral
utama, 4 Netralisasi asam-asam organik penting secara fisiologis, 5 Mengaktifkan berbagai enzim, 6 Mempercepat pertumbuhan jaringan
meristematik, dan 7 Mengatur pergerakan stomata dan hal-hal yang berhubungan dengan air. Faktor ketersediaan kalium dalam tanah dipengaruhi
oleh kemasaman tanah. Menurut DIKTI 1991 pH rendah menyebabkan kalium tinggi karena fiksasi kalium relatif rendah dan ketersediaan kalium pada tanah
dengan pH asam lebih tinggi dibandingkan dengan pH basa.
Pemberian ekstrak rebung bambu betung berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter. Apabila dibandingkan dengan kontrol, dosis ekstrak
rebung bambu betung 20 mlbibit mampu meningkatkan diameter hingga 38.46, berbeda dengan pertambahan tinggi dimana dosis paling besar mampu
menghasilkan pertambahan tinggi yang besar pula, pada dosis 50 mlbibit hanya mampu memacu pertambahan diameter sebesar 0.32 cm atau hanya meningkat
32.08 dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut terjadi diduga penggunaan dosis 50 mlbibit memberikan respon yang lambat terhadap pertumbuhan
diameter, selain itu juga diduga adanya faktor penghambat pertumbuhan. Berat basah pucuk semai sengon pada Tabel 11 menunjukkan pengaruh
yang nyata. Dosis 50 mlbibit menghasilkan berat basah pucuk sebesar 5.55 gram atau meningkat 142.36 bila dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut
memberikan informasi bahwa kemampuan ekstrak rebung bambu betung mampu diserap oleh tanaman sebagai makanan atau nutrisi tambahan dalam proses
pertumbuhan semai sengon. Tanaman menyerap unsur-unsur hara dari dalam tanah dalam bentuk kation dan anion dalam bentuk yang larut dalam air. Diduga
hal tersebut terjadi karena rangsangan yang terjadi memberikan daya simpan air yang relatif kuat pada daun dan batang semai sengon dengan adanya pemberian
ekstrak rebung bambu betung. Hasil sidik ragam pemberian ekstrak rebung bambu betung terhadap
parameter yang tidak berpengaruh nyata semai sengon Tabel 1 antara lain BBA, BKP, BKA, BKT, JD, JBA dan NPA. Diantara parameter tersebut, BKT
merupakan parameter penting untuk mengetahui biomassa tanaman. Data BKT Tabel 18 menunjukkan persentase peningkatan dengan adanya pemberian
ekstrak rebung bambu betung. Diduga hal tersebut terjadi karena adanya penghambat pertumbuhan. Adapun Gardner et al. 1991 mengklasifikasikan
penghambat pertumbuhan ke dalam tiga kelompok: a. Fitohormon, yang mendorong inisiasi reaksi-reaksi biokimia dan perubahan-
perubahan komposisi kimia tumbuhan. Terpenoid seperti asam absisat. b. Penghambat alami lainnya, termasuk asam fenolat dan asam benzoat serta
lakton. Zat-zat penghambat ini merupakan hasil metabolik yang biasanya terdapat dalam jumlah yang banyak.
c. Sintetik, adanya senyawa sintetik yang menunjukkan aktifitas penghambat pertumbuhan diantaranya garam-garam amonium kuarterner dan fosfor-d,
klormequat klorida, dan morfaktin. Keragaman respon pertumbuhan semai sengon dengan pemberian zat
ekstraksi rebung bambu betung yang diketahui dengan sidik ragam Tabel 1 diduga terjadi karena ; 1 Rebung bambu betung yang digunakan untuk
penelitian, dibeli dari produsen yang secara teknis pemanenan di lapangan berasal dari induk bambu betung yang berbeda, 2 Setiap rumpun bambu betung di
daerah yang berbeda mengandung besaran bahan aktif yang berbeda pula, 3 Adanya perbedaan variasi genetik pada rebung bambu betung, menyebabkan
terjadinya fluktuasi pertumbuhan pada semai sengon, 4 Musim pemungutan rebung yang berbeda, pada minggu pertama penelitian akhir bulan Juni hingga
minggu ke delapan awal bulan Agustus adalah musim kemarau, sedangkan minggu ke sembilan tengah bulan Agustus hingga minggu ke-12 penelitian
bulan September adalah musim hujan. Pada musim hujan, rebung tumbuh dengan cepat dengan diameter sebesar paha orang dewasa dan ketersediaan
rebung di pasar sukasari Bogor relatif banyak, sehingga secara ekonomis menguntungkan konsumen karena harga rebung mentah menjadi turun yaitu
berkisar antara Rp. 7.000bh – Rp. 10.000bh. Berbeda dengan musim kemarau, pertumbuhan rebung relatif lambat sehingga harga rebung menjadi mahal berkisar
antara Rp. 20.000bh – Rp. 35.000bh tergantung pada berat atau ukuran rebung mentah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui penggunaan efektif dosis ekstrak rebung bambu betung maka dilakukan pembobotan data yang dibahas
pada sub bab mutu bibit dibawah ini.
4.2.3 Mutu bibit