Close-Range Photogrammetry Geometri dan Pengambilan Citra Foto Digital

5 Jika koordinat titik P = [X,Y,Z] T pada sistem koordinat Wekternal dan p = [x,y,z] T pada sistem koordinat Ckamera dan karena sumbu optik tegak lurus dengan bidang foto, maka dengan mempertimbangkan  O c po dan  O c PO ’ c adalah sebangun sehingga z = f pada sistem koordinat kamera X c ,Y c ,Z c , selanjutnya akan diperoleh persamaan berikut : Gambar 2.1 Pin-hole Model dari sudut pandang kamera dengan dua sistem koordinat W eksternal dan C kamera Cyganek dan Siebert,2009 Beberapa bagian penting dari Gambar 2.1 adalah : a Titik O c , disebut titik pusat dari titik fokus focal point, bersamaan dengan sumbu X c ,Y c ,Z c menentukan suatu sistem koordinat kamera. b Bidang citra foto dinotasikan dengan  c Principal Point dari koordinat lokal bidang foto ditulis dengan oo x ,o y . d Jarak antara bidang foto dan titik O c disebut panjang fokus focal length . e Nilai h x dan h y menentukan ukuran sebuah piksel 2.1 Keterangan :  : koordinat titik dalam sistem koordinat kamera  X,Y,Z : koordinat titik dalam sistem koordinat bumi  : panjang fokus lensa kamera 6 Persamaan 2.1 merupakan dasar dari sebuah Pin-hole Camera Model yang dapat didefinisikan jika diketahui dua set parameter, yaitu : 1. Parameter ekstrinsik, adalah semua parameter geometris yang diperlukan untuk menghubungkan sistem koordinat luar dengan sistem koordinat kamera yang terdiri atas matriks rotasi R dan translasi T. 2. Parameter intrinsik, adalah parameter yang terkait dengan sistem kamera yang terdiri atas panjang fokus f, parameter yang memetakan sistem koordinat kamera ke dalam sistem koordinat foto yang terdiri atas oo x ,o y , h x dan h y , serta parameter terkait distorsi geometrik yang disebabkan oleh komponen optik dari kamera. Pada saat foto diambil oleh kamera, maka berkas sinar dari objek akan menjalar berupa garis lurus menuju pusat lensa kamera hingga mencapai sensor digital. Kondisi yang ditunjukkan oleh Gambar 2.1 yaitu titik objek pada dunia nyata Ground Point P, titik objek pada foto titik p dan titik pusat proyeksi O terletak pada satu garis dalam ruang dinamakan kondisi kesegarisan. Pada fotogrametri, posisi dari sebuah objek pada ruang didefinisikan pada sistem koordinat kartesian 3D. Sedangkan objek pada foto didefinisikan pada sistem koordinat berkas foto. Oleh karena itu perlu dilakukan transformasi koordinat dari sistem berkas ke sistem 3D atau sistem tanah. Pusat dari sistem koordinat berkas merupakan pusat dari lensa kamera. Menurut Atkinson 1996 persamaan kesegarisan sesuai Gambar 2.1 adalah : 2.2 Keterangan :  f : principal distance panjang fokus  , : koordinat titik p pada sistem koordinat foto  : posisi titik pusat kamera dalam sistem koordinat bumi  : posisi titik p dalam sistem koordinat bumi  r ii : elemen matriks rotasi yang merupakan fungsi rotasi terhadap sumbu X,Y,Z 7 Untuk melakukan rekonstruksi model 3D maka kondisi kesegarisan harus dibangun menggunakan minimal dua foto yang bertampalan, oleh karena itu persamaan kesegarisan 2.2 di atas dikembangkan menjadi Atkinson, 1996 : 2.3 Jika terdapat sejumlah j foto dan terdapat i titik pada setiap foto maka berlaku persamaan kesegarisan di atas. Gambar 2.2 menunjukkan konsep space intersection atau interseksi pada ruang, yaitu perpotongan beberapa berkas sinar pada objek yang sama di dunia nyata. Oleh karena itu, jika ada sebuah titik P di lapangan yang dapat diamati pada 2dua atau lebih foto yang berbeda, maka setiap foto akan mendapatkan bayangan titik tersebut. Apabila posisi kamera dan arah sumbu optiknya diketahui, maka perpotongan sinar garis dari foto 1, foto 2 dan foto ke n akan dapat menentukan posisi koordinat titik P tersebut Wolf, 1993. Gambar 2.2 Perpotongan berkas sinar dari banyak foto Atkinson, 1996 8

2.3 Epipolar Geometry

Epipolar Geometry adalah suatu kondisi model matematik yang harus dipenuhi oleh sepasang foto yang bertampalan untuk dapat membangun hubungan suatu titik objek di dunia nyata dengan titik foto, sehingga visualisasi model yang berkoordinat 3D dapat ditentukan dengan perhitungan matematik. Gambar 2.3 merupakan ilustrasi yang memperlihatkan hubungan geometrik dari sebuah sistem pengambilan foto untuk menghasilkan model stereo. Gambar tersebut terdiri atas dua pin-hole camera, kiri l dan kananr. Gambar 2.3 menunjukkan adanya suatu epipolar constraint, yaitu : setiap titik p i pada foto yang merupakan objek dari titik P pada ruang nyata akan terletak pada bidang foto hanya pada sebuah garis epipolar tertentu yang bersesuaian. Vektor P l = [X l ,Y l ,Z l ] T dan P r = [X r ,Y r ,Z r ] T merupakan vektor yang menunjuk pada titik yang sama pada ruang 3D, yaitu titik P. Selain itu pada masing-masing bidang foto terdapat vektor p l = [x l ,y l ,z l ] T dan p r = [x r ,y r ,z r ] T yang merupakan letak titik P. Tambahannya dapat dicatat bahwa z l = f l , z r = f r dan f l adalah panjang fokus kamera kiri dan f r adalah panjang fokus kamera kanan. Telah diuraikan di atas bahwa setiap kamera akan mempunyai nilai-nilai parameter masing-masing. Parameter tersebut menentukan posisi dari masing- masing kamera pada sistem koordinat luar. Selanjutnya hubungan antara dua sistem koordinat kamera dapat dilakukan dengan melakukan translasi T = O r - O l dan rotasi yang ditentukan oleh sebuah matriks orthogonal R, oleh karena itu, menurut Cyganek dan Siebert 2009 berlaku persamaan-persamaan berikut : 2.4 Gambar 2.3 Epipolar Geometry Cyganek dan Siebert,2009 Keterangan gambar :  O l O r : baseline   e : epipolar plane bidang epipolar   l ,  r : bidang proyeksi dari foto 9 Bidang epipolar  e dalam sistem koordinat foto kiri berkaitan dengan dua vektor T dan P l , dengan demikian P l – T juga termasuk pada bidang tersebut. Hal ini berarti berlaku : 2.5

2.4 Resolusi Kedalaman dalam Pengaturan Stereo

Gambar 2.4 menjelaskan suatu fenomena dari berkurangnya akurasi pengukuran kedalaman dengan semakin bertambahnya jarak objek dari kamera. Hal ini adalah suatu kondisi yang terjadi akibat keterbatasan geometris karena secara khusus tergantung pada parameter geometris dari sistem stereo. Akurasi kedalaman juga tergantung pada resolusi kamera dan jarak ke objek yang digambarkan dengan melakukan analisis terhadap Gambar 2.5. ABC sebangun dengan ADF, begitu juga dengan AEF sebangun dengan AHG, dengan demikian diperoleh hubungan : ̅̅̅̅ ̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅ Gambar 2.4 Fenomena keterbatasan ketelitian dari pengukuran kedalaman karena bertambahnya jarak objek dari kamera Cyganek dan Siebert, 2009