BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan industri di Indonesia, terjadi perubahan pola penyakit atau kasus penyakit akibat kerja. Penyakit kulit akibat kerja menduduki
tempat kedua tertinggi diantara penyakit-penyakit akibat kerja, setelah kelainan saluran nafas akibat kerja Health and Safety Executive, 2000.
Prevalensi penyakit kulit akibat kerja ini di dunia mencapai 68,2 Bock, et al., 2003. Sedangkan di Indonesia berdasarkan hasil penelitian D. Savitri dan H.
Sukanto pada tahun 1997-2001 prevalensinya mancapai 67,7. Di Sumatera Utara prevalensinya mencapai 27,50 Trihapsoro, 2003. National Institute of
Occupational Safety Hazards NIOSH dalam survei tahunan 2006 memperkirakan angka kejadian dermatitis akibat kerja yang sebenarnya adalah
20-50 kali lebih tinggi dari kasus yang dilaporkan. Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa dermatitis dan urtikaria. Dermatitis
kontak akibat kerja mencapai 90 dari dermatosis akibat kerja DAK. Dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan
disebut dermatitis kontak alergik akibat kerja DKAAK yang mencapai 25 dari seluruh dermatitis kontak akibat kerja DKAK Trihapsoro, 2003.
Di banyak industri saat ini, prevalensi DKAK meningkat sejalan dengan peningkatan penggunaan bahan kimia di industri tersebut. Prevalensi DKAK
berbeda-beda di tiap industri tergantung macam serta derajat industrialisasinya. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak
pada pekerja, diantaranya perilaku pekerja, umur, jenis kelamin, riwayat atopi, kondisi lingkungan kerja, lama, dan frekuensi kontak dengan zat kimia, dan
penggunaan alat pelindung diri Health and Safety Executive, 2000. Penelitian oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia Program Studi Magister menyatakan bahwa pekerja yang kontak
Universitas Sumatera Utara
dengan bahan kimia potassium dichromat, p-phenilenediamine, serbuk semen, asam hidroklorida, segel lapisan karet, termasuk logam, 74 40 pekerja
mengalami dermatitis kontak akibat kerja: 26 14 pekerja akut, 39 21 pekerja sub akut, dan 9 5 pekerja kronik. Berdasarkan analisis statistik
multivariat terdapat dua faktor yang sangat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak ini, yaitu lama kontak p=0,029 dan kebiasaan menggunakan alat
pelindung diri APD p=0,063. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat insidensi laju 65 per seratus pekerja, dan prevalensi 74 per seratus pekerja
Lestari et al., 2008. Penelitian lain yang dilakukan pada pekerja pencuci botol di PT X Medan
tahun 2008 menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan dermatitis kontak dengan nilai p value = 0,710 0,05, dan
ada hubungan yang bermakna antara tindakan dengan dermatitis kontak dengan nilai p value = 0,001 0,05 Situmeang, 2008.
Hasil penelitian pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri oleh Fatma Lestari dan Hari Suryo Utomo pada tahun 2007 menyatakan terdapat hubungan
yang bermakna antara dermatitis kontak dengan jenis pekerjaan p value 0,02 dan odds ratio 3,4, usia p value 0,042 dan odds ratio 2,8, lama bekerja p value
0,014 dan odds ratio 3,5, dan riwayat dermatitis akibat pekerjaan sebelumnya p value 0,042 dan odds ratio 5,9.
Dari hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa DKAK merupakan salah satu penyakit kelainan kulit yang sering timbul pada pekerja yang kontak dengan
bahan kimia industri. DKAK dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penderita sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan terhadap penyakit ini.
Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan proses pencegahan dapat lebih mudah dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut
penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja di Perusahaan Invar Sin Kawasan Industri Medan.
1.2. Rumusan Masalah