Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012

(1)

TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NISWAH AFIFAH 108101000050

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2012 M/1433 H


(2)

(3)

ii

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Desember 2012

Niswah Afifah, NIM : 108101000050

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PROSES FINISHING MEUBEL KAYU DI WILAYAH CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012.

120 halaman, xvi halaman, 6 lampiran

ABSTRAKSI

Dermatitis kontak akibat kerja adalah penyakit kulit dimana pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab utama serta faktor kontributor. Penyebabnya adalah pajanan substansi dari luar tubuh, baik substansi iritan maupun substansi allergen. Pekerja proses finishing meubel kayu menggunakan bahan kimia berupa dempul, zat pewarna, sanding sealer, melamic clear, dan hidrogen peroksida yang meningkatkan risiko dermatitis kontak.

.Berdasarkan studi pendahuluan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu, didapatkan 9 orang (60%) mengalami dermatitis kontak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit) yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. Jenis penelitian ini adalah epidemiologi analitik dengan pendekatan cross sectional study. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling dengan jumlah sampel 82 orang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner, lembar pemeriksaan dokter, daily activity recall dan lembar observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 33 orang (40.2%) pekerja proses finishing meubel kayu mengalami dermatitis kontak yang berlokasi di punggung tangan, telapak tangan, sela jari tangan, dan pergelangan tangan. Analisis bivariat yang dilakukan dengan uji chi square, t-test independent, dan mann-whitney menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan dermatitis kontak adalah usia (pvalue : 0.000), masa kerja (pvalue : 0.000), riwayat atopi (pvalue : 0.009), dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04).

Untuk mengurangi risiko dermatitis kontak, disarankan bagi pengelola untuk menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene yang baik dan alat pelindung diri (sarung tangan) yang sesuai. Pekerja diharuskan untuk menggunakan sarung tangan saat bekerja dan menjaga personal hygiene dengan baik.


(4)

iii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH DEPARTMENT

OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Thesis, December 2012

Niswah Afifah, NIM : 108101000050

FACTORS RELATED TO THE INCIDENT OF CONTACT DERMATITIS ON FINISHING PROCESS WORKERS OF WOOD FURNITURE AT EAST CIPUTAT IN 2012

120 pages, xvi pages, 6 attachments

ABSTRACT

Occupational contact dermatitis is a skin disease where exposure in the workplace become a major factor as well as a contributing factor. The cause is exposure to substances from outside the body, both the irritant substance and allergen. Finishing prosses workers of wood furniture uses chemicals such as wood filler, wood stain, sanding sealer, melamic clear, and hydrogen peroxide which increases the risk of contact dermatitis. Based on the preliminary study on 15 finishing prosses workers, obtained that 9 (60%) of workers were contact dermatitis.

This study aimed to determine the factors (long-term contact, contact frequence, age, period of empolyment, history of allergy, history of atopy, and history of previous skin disease) related with the incidence of contact dermatitis on finishing process workers of wood furniture at East Ciputat in 2012. This study is a kind of analytic epidemiology with cross sectional study approach. Sampling was carried out by total sampling method with a total sample of 82 people. Instruments of this research are a questionnaire, the doctor's examination sheet, daily activity recall and observation sheet.

The results of this study indicated that 33 people (40.2%) of finishing process workers in wood furniture were suffered from contact dermatitis and most were located on the back of the hands, palms, between fingers, and wrists. Bivariate analyzes were conducted with chi square, independent t-test, and mann whitney test showed that the variables related with contact dermatitis on finishing process workers of wood furniture are age (pvalue: 0.000), period of employment (pvalue: 0.000), a history of atopy (pvalue: 0.009), and a history of previous skin disease (pvalue: 0.04).

To reduce the risk of contact dermatitis in finishing prosses workers, manager of wood furniture have to provide facilities and infrastructure of personal hygiene and suitable gloves. Then workers are suggested to use the gloves while working and maintaining a good personal hygiene.


(5)

(6)

(7)

vi

Nama : Niswah Afifah

Tempat, Tanggal, Lahir : Jakarta, 30 Juli 1990

Alamat : Jalan Warung Jati Timur 2 B No : 64 RT : 005 RW : 04 Kelurahan : Kalibata

Kecamatan : Pancoran Kotamadya : Jakata Selatan

Kode Pos : 12740

Agama : Islam

Golongan Darah : AB

No. Telepon : (021) 7981425 / 085694924393

Email : niezniswah@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1994 – 1996 : TK Darul Hikmah, Jakarta Selatan 1996 – 2002 : SDI An Nizomiyah, Jakarta Selatan

2002 – 2005 : SMP Pondok Pesantren Modern La Tansa, Lebak Banten 2005 – 2008 : SMA Pondok Pesantren Modern La Tansa, Lebak Banten 2008 – 2012 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat Banten


(8)

vii

KATA PENGANTAR

ِمي ِحَرلا

ِنمْحَرلا

ِها

ِمْسِب

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya skripsi yang berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan kelulusan program studi SI Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam pelaksanaan dan pembuatan skripsi ini, penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karenanya penulis ingin sekali mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Keluarga tercinta, Mama dan Ayah yang selalu memberikan nasihat dan semangat agar selalu menjadi orang yang mengamalkan ilmunya. Serta kakak dan adik-adikku yang senantiasa mendukung setiap kegiatan yang dilakukan. 2. Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS sebagai Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah membuka jalan pengetahuan Kesehatan Masyarakat yang luas.

4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku pembimbing pertama dan penanggung jawab peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang secara tulus dan sabar membimbing dan memberikan semangat selama penyusunan skripsi. 5. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes selaku pembimbing kedua skirpsi. Terima


(9)

viii

kesah & suka-duka selama penyusunan skripsi ini.

7. Astrianda, Sofia Septiani, Novia Zulfa Hanum, dan Riska Ferdian. Terima kasih banyak atas informasi dan dukungan yang sangat berharga selama ini. 8. Sahabat-sahabat tercinta di Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, K3 dan Gizi, semoga keberkahan selalu menyertai langkah kita.

9. Ebi Nurhardianto, terima kasih banyak atas partisipasinya dalam membantu penyusunan skripsi ini.

Jakarta, Desember 2012


(10)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum ... 9

2. Tujuan Khusus ... 9

E. ManfaatPenelitian 1. Manfaat Bagi Pengelola ... 11

2. Manfaat Bagi Peneliti ... 11

F. Ruang Lingkup ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Industri Meubel Kayu 1. Pengertian Meubel Kayu ... 13

2. Proses Produksi Industri Meubel Kayu ... 13

B. Dermatitis Kontak 1. Definisi ... 15


(11)

x

a. Dermatitis Kontak Iritan ... 18

b. Dermatitis Kontak Alergik ... 19

4. Gejala Klinis ... 20

a. Dermatitis Kontak Iritan ... 21

b. Dermatitis Kontak Alergik ... 22

5. Patofisiologi a. Anatomi Kulit ... 24

b. Mekanisme Terjadinya Dermatitis Kontak ... 29

6. Diagnosis a. Anamnesa ... 32

b. Pemeriksaan Klinis ... 33

c. Pemeriksaan Penunjang ... 33

7. Epidemiologi Dermatitis Kontak ... 36

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 1. Bahan Kimia ... 39

2. Lama Kontak ... 42

3. Frekuensi Kontak ... 43

4. Usia ... 44

5. Jenis Kelamin ... 44

6. Jenis Pekerjaan ... 45

7. Masa Kerja ... 46

8. Ras ... 46

9. Tekstur Kulit ... 47

10.Pengeluaran Keringat ... 48

11.Musim ... 48

12.Riwayat Alergi ... 49

13.Riwayat Atopi ... 50


(12)

xi

15.Suhu dan Kelembaban ... 52

16.Pemakaian APD ... 53

17.Personal Hygiene ... 54

D. KerangkaTeori ... 56

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep ... 58

B. Definisi Operasional ... 63

C. Hipotesis ... 66

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 67

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 67

C. Populasi dan Sampel ... 67

D. Instrumen Penelitian 1. Lembar Pemeriksaan Fisik ... 71

2. Daily Activity Recall ... 71

3. Self Administered Questionnaire ... 71

4. Lembar Observasi ... 72

E. Pengumpulan Data ... 73

F. Pengolahan Data 1. Data Coding ... 73

2. Data Editing ... 74

3. Data Entry ... 74

4. Data Cleaning ... 74

G. Teknik Analisa Data 1. Analisis Univariat ... 74

2. Analisis Bivariat ... 74

BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 76


(13)

xii

2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak pada Pekerja Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu

di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012 ... 78

C. Analisis Bivariat ... 82

1. Hubungan Antara Lama kontak dengan Dermatitis Kontak ... 85

2. Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak ... 85

3. Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak ... 86

4. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak ... 86

5. Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak ... 86

6. Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ... 87

7. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak ... 87

BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian ... 89

B. Kejadian Dermatitis Kontak... 90

C. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak ... 95

1. Hubungan Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak ... 95

2. Hubungan Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak ... 98

3. Hubungan Usia dengan Dermatitis Kontak ... 102

4. Hubungan Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak ... 104

5. Hubungan Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak ... 106

6. Hubungan Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ... 109

7. Hubungan Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak 111 BAB VII SIMPULAN & SARAN A. Simpulan ... 115

B. Saran ... 116


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja Yang Umum ... 40 Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 63 Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ... 70 Tabel 5.1 Gambaran Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing

Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012... 78 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Variabel Faktor-Faktor (lama kontak,

frekuensi kontak, usia, dan masa kerja) pada Pekerja Proses

Finishing Meubel Kayu ... 79 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Variabel Faktor-Faktor (Riwayat alergi,

riwayat atopi, riwayat penyakit kulit) pada Pekerja

Proses Finishing Meubel Kayu ... 79 Tabel 5.4 Hubungan Faktor – Faktor (Lama kontak dan Usia) dengan

Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing

Meubel Kayu ... 83 Tabel 5.5 Hubungan Faktor – Faktor (Frekuensi kontak dan Masa Kerja)

dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses

Finishing Meubel Kayu ... 84 Tabel 5.6 Hubungan Faktor – Faktor (Riwayat alergi, Riwayat atopi,

Riwayat penyakit kulit, dan Personal hygiene) dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses

Finishing Meubel Kayu ... 84


(15)

xiv

Gambar 2.1 Anatomi Kulit ... 25 Gambar 5.1 Pekerja proses finishing melakukan pemlituran meubel kayu ... 76 Gambar 6.1 Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel... 92


(16)

xv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 57 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 62


(17)

xvi

Lampiran 2 Lembar Observasi

Lampiran 3 Lembar Pemeriksaan Fisik Lampiran 4 Daily Activity Recall

Lampiran 5 Hasil Uji Statistik Penelitian Lampiran 6 Foto Dermatitis Kontak


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kulit akibat kerja adalah penyakit kulit yang diakibatkan oleh pajanan substansi kimiawi di lingkungan tempat kerja. Penyakit kulit akibat kerja atau yang didapat saat melakukan pekerjaan banyak penyebabnya antara lain, agen sebagai penyebab penyakit kulit tersebut yang berupa agen fisik, kimia, maupun, biologis (Roebidin, 2008). Walaupun tidak menyebabkan kematian, penyakit kulit sangat mengganggu bagi kenyamanan penderitanya. Oleh karena itu, penyakit kulit merupakan faktor yang sangat penting untuk terjadinya penurunan produktifitas kerja dan meningkatnya angka cuti sakit. Secara klinis, penyakit kulit akibat kerja dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu dermatitis kontak dan dermatitis non-ekzema (Harrianto, 2008).

Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan kulit (Occupational Contact Dermatitis in Australia, 2006). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2003). Dermatitis kontak alergik pada lingkungan kerja terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan karena hanya mengenai orang yang kulitnya hipersensitif (Sumantri dkk, 2008).


(19)

Dermatitis kontak iritan terjadi pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis kontak alergik hanya sekitar 10-20% (Keefner, 2004).

Dermatitis kontak merupakan penyakit akibat kerja yang paling sering ditemukan, kira-kira 40% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah penyakit kulit dermatitis kontak (W.J. Cunliffe dalam Harianto, 2008). Gangguan kesehatan berupa dermatitis kontak akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya akan mempengaruhi proses produksi, secara makro akan mengganggu proses pembangunan secara keseluruhan. Menurut Fregert (1988), beberapa pekerjaan yang mempunyai risiko terjadi dermatitis kontak adalah petani, industri mebel dan petukangan kayu, pekerja bangunan, tukang las dan cat, salon dan potong rambut, tukang cuci, serta industri tekstil. Kemudian referensi lain mengemukakan bahwa pekerjaan dengan risiko besar untuk terpapar bahan iritan yaitu pemborong, pekerja industri mebel, pekerja rumah sakit (perawat, cleaning services, tukang masak), penata rambut, pekerja industri kimia, pekerja logam, penanam bunga, dan pekerja di gedung (Perdoski, 2009).

Penyakit dermatitis kontak akibat kerja telah menjadi salah satu dari sepuluh besar penyakit akibat kerja (PAK) berdasarkan potensial insidens, keparahan dan kemampuan untuk dilakukan pencegahan sejak tahun 1982 (NIOSH, 1996 dalam Utomo, 2007). Di Amerika Serikat 90% klaim kesehatan yang diakibatkan oleh kelainan kulit pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak (Sumantri dkk, 2008) sama halnya dengan pernyataan


(20)

3

bahwa di negara maju, dermatitis kontak ditemukan lebih dari 90% dari seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2008). Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan (Lestari dkk, 2007). Sedangkan di Jerman, angka insiden dermatitis kontak iritan adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009). Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh S.Lan dkk, ditemukan bahwa 3.8% pekerja dari 479 pekerja industri meubel di Singapura mengalami penyakit dermatitis kontak.

Data dari balai hiperkes yang sejak tahun 2005 menjadi pusat keselamatan kerja dan hiperkes, menunjukkan hampir 90% penyakit kulit akibat kerja adalah dermatitis kontak akibat kerja (Utomo, 2007). Pada sub bagian alergi imunologi bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, insidens dermatitis kontak akibat kerja pada tahun 1996 adalah 50 kasus/tahun atau 11.9% dari seluruh dermatitis kontak (Effendi, 1997). Utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dari pekerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82% (Siregar, 1996). Lestari dkk (2007) menemukan melalui penelitiannya bahwa 48.8% (39 orang) pekerja body pressing dan chasis mobil mengalami kejadian dermatitis kontak. Kemudian berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), sebanyak 74%


(21)

(40 orang) pekerja industri otomotif yang menggunakan bahan kimia mengalami dermatitis.

Penelitian yang dilakukan pada pekerja penebang kayu di Palembang, 30% pekerja mengalami dermatitis kontak dan 11,8% pekerja perusahaan kayu lapis di Palembang menderita dermatitis kontak (Siregar, 1996). Laporan dari poliklinik perusahaan pembuatan triplek (plywood) di Kalimantan, menemukan 10% pekerjanya mengalami penyakit kulit akibat kerja. Sedangkan hasil penelitian Astono & Sudardja (2002) yang dilakukan pada pekerja industri plywood di Kalimantan Selatan, menemukan bahwa 35% (696 orang) dari 2000 sampel mengalami penyakit kulit, dan 21,3% (148 orang) diantaranya mengalami dermatitis kontak. Kejadian dermatitis kontak didukung oleh berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya (Ruhdiyat, 2006)

Menurut Larry.L.Hipp (1985), faktor-faktor penyebab dermatitis kontak yaitu bahan-bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, tekstur kulit (ketebalan), musim, personal hygiene, alergi, penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya. Sedangkan menurut Rietschel (1985) adalah bahan beracun, pigmentasi, ketebalan kulit, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, keringat, personal hygiene, musim, dan riwayat atopi. Dalam Djuanda dan Sularsito (2002) menjelaskan bahwa faktor penyebab dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi kontak, usia, jenis kelamin, tekstur kulit, ras, penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya, lingkungan (suhu & kelembaban), dan personal hygiene. Bahan kimia merupakan faktor langsung yang


(22)

5

mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985;Rietschel, 1985). Dermatitis kontak umumnya terjadi pada pekerja yang kontak dengan bahan kimia iritan ataupun allergen pada berbagai bidang pekerjaan.

Pekerja meubel kayu adalah pekerja yang menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional (Depkes, 2002). Kayu yang merupakan bagian dari struktur tumbuh-tumbuhan tersusun dari zat organik, sehingga debu kayu dapat digolongkan ke dalam debu organik. Disamping itu, beberapa golongan kayu yang digunakan dalam pembuatan meubel, mengandung substansi kimia yang dapat memberikan efek alergi dan toksik pada manusia seperti kayu johar, kayu ebony, kayu rengas, kayu kasasi, sehingga debu dan getah kayu tersebut dapat menimbulkan dermatitis, konjungtivitis, asma rinitis dan lain-lain (Purnomo, 2007 dalam Yunus, 2010). Kayu digunakan dalam pembuatan meubel melalui berbagai tahapan proses sehingga menjadi meubel yang layak.

Pada dasarnya, proses pembuatan meubel dari kayu melalui lima proses utama yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, proses penyiapan komponen, proses perakitan dan pembentukan (bending), dan proses penyelesaian akhir (Yunus, 2010). Dalam melaksanakan proses penyelesaian akhir meubel yang terdiri dari (1) pengamplasan / penghalusan permukaan meubel, (2) pendempulan lubang dan sambungan dengan dempul, (3) pemutihan meubel dengan H


(23)

(5) pengecatan dengan “wood stain” atau bahan pewarna yang lain, dan (6) pengkilapan dengan menggunakan melamic clear (Depkes, 2002), pekerja menggunakan berbagai jenis bahan kimia yang dapat menimbulkan dermatitis kontak pada pekerja. Hal tersebut diperkuat dengan pelaksanaan studi pendahuluan terlebih dahulu.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu di Kecamatan Ciputat Timur, ditemukan bahwa 9 orang (60%) pekerja meubel kayu yang melakukan keseluruhan proses finishing atau penyelesaian akhir mengalami dermatitis kontak. Dengan ciri spesifik sebagai berikut, 9 orang (60%) mengalami gatal-gatal, 5 orang (33.3%) kemerahan, 3 orang (20%) ditemukan adanya tonjolan isi air yang gatal, 4 orang (27%) perih, 3 orang (20%) kulit tangan mengelupas dan 33.3% (5 orang) ditemukan adanya bentol/tonjolan padat yang gatal. Hasil studi pendahuluan diperoleh dari wawancara yang diperkuat dengan pemeriksaan oleh dokter. Berdasarkan observasi lapangan di ketahui bahwa 15 orang (100%) pekerja proses finishing meubel kayu tidak menggunakan alat pelindung diri yang berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannnya.

Penelitian dilakukan di tempat pembuatan meubel kayu karena pada proses finishing meubel kayu digunakan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan bahaya dermatitis kontak pada pekerja. Sedangkan pemilihan wilayah penelitian di Ciputat Timur dikarenakan Ciputat Timur merupakan salah satu pusat penjualan dan importir meubel antik yang berbahan kayu yang dimulai sejak tahun 1974 (Lesmana & Anggoro, 2010). Ciputat Timur


(24)

7

merupakan kawasan yang lebih dulu terkenal sebagai pusat meubel kayu dibandingkan dengan 3 wilayah lain di Jakarta yakni Kemang, Klender, dan Pondok Pinang (Aljihad, 2012). Kemudian hasil penelitian ini akan digunakan sebagai data based pelaksanaan program intervensi di wilayah sekitar Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta dimana diketahui bahwa Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah terletak di wilayah kecamatan Ciputat Timur.

Berdasarkan latar belakang yang diperkuat dengan hasil studi pendahuluan mengenai dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak yang dialami para pekerja proses finishing meubel kayu. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dilakukannya penelitian. Sehingga peneliti bermaksud meneliti mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah kejadian dermatitis kontak pada pekerja industri meubel kayu.

B. Rumusan Masalah

Dalam melaksanakan proses produksi tahap finishing/penyelesaian akhir, pekerja proses finishing meubel kayu terpapar berbagai macam bahan kimia yang digunakan yang berpotensi menimbulkan gangguan kulit yaitu dermatitis kontak. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu di Kecamatan Ciputat Timur


(25)

ditemukan bahwa 9 pekerja (60%) proses finishing meubel kayu yang melakukan keseluruhan proses finishing/penyelesaian akhir mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan observasi lapangan di ketahui bahwa 100% (15 orang) pekerja proses finishing meubel kayu tidak menggunakan APD (sarung tangan) saat melakukan pekerjaannnya. Sehingga perlu adanya penelitian untuk mengetahui apa sajakah faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

2. Bagaimana gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya dan personal hygiene) pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

5. Apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?


(26)

9

6. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

7. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

8. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

9. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit kulit yang ada sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

b. Diketahuianya gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya


(27)

dan personal hygiene) pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

c. Diketahuinya hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

d. Diketahuinya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

e. Diketahuinya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

f. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

g. Diketahuinya hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

h. Diketahuinya hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

i. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit kulit yang ada sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.


(28)

11

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Pengelola Meubel Kayu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman pengelola meubel kayu mengenai penyakit kulit akibat kerja dermatitis kontak yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, sehingga pengelola dan pekerja dapat melakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya penyakit kulit akibat kerja yaitu dermatitis kontak. 2. Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti dan peneliti lain mengenai dermatitis kontak serta sebagai sarana dalam mengaplikasikan teori yang telah dipelajari semasa kuliah khusunya mengenai penyakit kulit akibat kerja dermatitis kontak. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai data based pelaksanaan program intervensi dermatitis kontak pada pekerja.

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Spetember 2012. Lokasi penelitian ini adalah tempat pembuatan meubel kayu yang ada di wilayah kecamatan Ciputat Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional. Sampel penelitian ini adalah 82 pekerja proses finishing meubel kayu diwilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Hal tersebut dilakukan karena berdasarkan hasil


(29)

studi pendahuluan yang dilakukan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu, ditemukan adanya kejadian dermatitis kontak pada 9 pekerja (60%). Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari kuesioner, daily activity recall, pemeriksaan oleh dokter, dan observasi.


(30)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Industri Meubel Kayu 1. Pengertian Meubel Kayu

Meubel kayu adalah istilah yang digunakan untuk perabot rumah tangga yang berfungsi sebagai tempat penyimpan barang, tempat duduk, tempat tidur, tempat mengerjakan sesuatu dalam bentuk meja atau tempat menaruh barang di permukaannya, misalnya meubel kayu sebagai tempat penyimpan biasanya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak, contoh lemari pakaian, lemari buku dan lain-lain. Meubel kayu dapat terbuat dari kayu, bambu, logam, plastik dan lain sebagainya. Meubel kayu sebagai produk artistik biasanya terbuat dari kayu pilihan dengan warna dan tekstur indah yang dikerjakan dengan penyelesaian akhir yang halus. Menurut Depkes RI (2002), industri meubel kayu adalah pekerja sektor informal yang menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional.

2. Proses Produksi Meubel Kayu

Pada dasarnya, pembuatan meubel dari kayu melalui lima proses utama yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, proses penyiapan komponen, proses perakitan dan pembentukan (bending), dan proses akhir (Depkes RI, 2002).


(31)

a. Penggergajian Kayu

Bahan baku kayu tersedia dalam bentuk kayu gelondongan sehingga masih perlu mengalami penggergajian agar ukurannya menjadi lebih kecil seperti balok atau papan. Pada umumnya, penggergajian ini menggunakan gergaji secara mekanis atau manual dan juga menimbulkan bising.

b. Penyiapan Bahan Baku

Proses ini dilakukan dengan menggunakan gergaji baik dalam bentuk manual maupun mekanis, kampak, parang, dan lain-lain. Proses ini juga menghasilkan debu terutama ukuran yang besar karena menggunakan mata gergaji atau alat yang lainnya yang relatif kasar serta suara bising. c. Penyiapan Komponen

Kayu yang sudah dipotong menjadi ukuran dasar bagian meubel, kemudian dibentuk menjadi komponen-komponen meubel sesuai yang diinginkan dengan cara memotong, meraut, mengamplas, melobang, dan mengukir, sehingga jika dirakit akan membentuk meubel yang indah dan menarik.

d. Perakitan dan Pembentukan

Komponen meubel yang sudah jadi, dipasang dan dihubungkan satu sama lain hingga menjadi meubel. Pemasangan ini dilakukan dengan menggunakan baut, sekrup, lem, paku ataupun pasak kayu yang kecil dan lain-lain untuk merekatkan hubungan antara komponen.


(32)

15

e. Finishing/Penyelesaian Akhir

Kegiatan yang dilakukan pada penyelesaian akhir ini meliputi: (1) Pengamplasan / penghalusan permukaan meubel, (2) pendempulan lubang dan sambungan, (3) pemutihan meubel dengan H

2O2, (4) pemlituran atau “sanding sealer”, (5) pengecatan dengan “wood stain” atau bahan pewarna yang lain, dan (6) pengkilapan dengan menggunakan melamic clear. Pada bagian ini menimbulkan debu kayu dan bahan kimia serta pewarna yang tersedia di udara, seperti H

2O2, sanding sealer, melamic clear, dan wood stain yang banyak menguap dan beterbangan di udara, terutama pada penyemprotan yang menggunakan sprayer.

f. Pengepakan

Proses pengepakan sebenarnya bukan lagi bagian pembuatan meubel karena sebelum masuk proses ini meubel telah selesai. Tahap ini merupakan langkah penyiapan meubel untuk dipasarkan dan hanya ditemukan terutama pada industri meubel sektor formal.

B. Dermatitis Kontak 1. Definisi

Dermatitis kontak adalah reaksi peradangan yang terjadi pada kulit akibat terpajan dengan substansi dari luar tubuh, baik oleh substansi iritan maupun substansi allergen (National Occupational Health and Safety Commision, 2006). Dermatitis merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik di masyarakat umum, terlebih


(33)

lagi pada masyarakat industri. Dalam era industrialisasi saat ini, terdapat kecendrungan untuk semakin banyak menggunakan bahan-bahan industri, yang merupakan substansi allergen dan iritan, sehingga menyebabkan kenaikan prevalensi dermatitis kontak. Di negara maju, penyakit kulit ini ditemukan lebih dari 90% dari seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2008).

Menurut Djuanda (1987), Dermatitis kontak ialah dermatitis karena kontaktan eksternal yang menimbulkan fenomen sensitisasi atau toksik. Sedangkan menurut John, SC (1998) dalam Occupational Dermatology, dermatitis kontak akibat kerja didefinisikan sebagai penyakit kulit dimana pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab yang utama serta faktor kontributor. Menurut Permana (2010), tangan merupakan lokasi tersering terkena dermatitis. Lebih dari sepertiga penyakit kulit akibat kerja berlokasi ditangan (Wilde dkk, 2008).

2. Jenis Dermatitis Kontak

Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2003).

a. Dermatitis kontak akibat iritasi

Deramtitis kontak akibat iritasi merupakan peradangan kulit akibat kontak dengan bahan yang menyebabkan iritasi. Dermatitis jenis ini merupakan hasil reaksi non-imunologis. Dermatitis kontak yang


(34)

17

disebabkan oleh substansi iritan yang kuat seperti asam dan basa konsentrasi tinggi dapat menyebabkan derma kontak iritan akut, tetapi bila disebabkan oleh substansi iritan yang lemah seperti deterjen dan air, menifestasinya sebagai dermatitis kontak irtasi kronik.

Dermatitis kontak akibat iritasi merupakan jenis yang paling umum dijumpai di antara penyakit kulit akibat kerja lainnya, meliputi kira-kira dua pertiga kasus penyakit kulit akibat kerja. Penyakit ini lebih sering terjadi di industri yang berkaitan dengan pekerjaan yang basah (berkaitan dengan air) seperti catering, penyepuhan elektrik, dan industri yang banyak menggunakan bahan deterjen (Harrianto, 2008).

b. Dermatitis kontak alergi

Dermatitis kontak alergi adalah suatu proses peradangan kulit akibat kontak dengan substansi eksternal, tetapi berbeda dengan dermatitis kontak akibat iritasi, kelainan kulit ini disebabkan oleh suatu proses imunologis. Tidak seperti dermatitis kontak akibat iritasi kelainan kulit ini tidak menyebabkan kerusakan langsung pada lapisan korneum kulit. Sebelum individu menjadi sensitive pada suatu allergen, ia harus mengalami beberapa kali kontak dengan substansi allergen tesebut terlebih dahulu. Dengan demikian reaksi alergi biasannya baru timbul setelah berulang kali kontak dengan allergen tersebut. Gejala dermatitis biasanya timbul setelah 36 jam – 48 jam kontak dengan allergen.


(35)

Manifestasinya mungkin akut, subakut, atau kronik tergantung sensitvitas individu (Harrianto, 2008).

3. Etiologi

Banyak agen yang dapat menyebabkan dermatitis kontak. Beberapa contohnya yaitu, sekret serangga, lipas, dan sebagainya serta getah tumbuh-tumbuhan dapat menimbulkan dermatitis venenata, yang berbentuk linier. Bahan kimia terdapat dalam banyak bahan. Soda dalam sabun, zat-zat detergen (misalnya lisol), desinfektan dan zat warna (untuk pakaian, sepatu) dapat mengakibatkan dermatitis. Dermatitis akibat kerja, misalnya di perusahaan batik, percetakan, pompa bensin, bengkel, studio poto, salon kecantikan, pabrik karet, pabrik plastik, dan sebagainya. Pada dermatitis akibat kerja seringkali nampak pula fisura, skuama, dan paronikia sebagai akibat iritasi kronik (Djuanda, 1987).

a. Dermatitis Kontak Iritan

Penyebab munculnya dermatitis kontak iritan adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003).


(36)

19

Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998). b. Dermatitis Kontak Alergik

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2003).

Kulit dapat mengalami suatu dermatitis alergik bila terpapar oleh bahan-bahan tertentu, misalnya alergen, yang diperlukan untuk timbulnya suatu reaksi alergi. Hapten merupakan alergen yang tidak lengkap (antigen), contohnya formaldehid, ion nikel dll. Hampir seluruh hapten memiliki berat molekul rendah, kurang dari 500-1000 Da (dalton).


(37)

Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit.

Dupuis dan Benezra membagi jenis-jenis hapten berdasarkan fungsinya yaitu:

1) Asam, misalnya asam maleat. 2) Aldehida, misalnya formaldehida.

3) Amin, misalnya etilendiamin, para-etilendiamin. 4) Diazo, misalnya bismark-coklat, kongo- merah. 5) Ester, misalnya Benzokain

6) Eter, misalnya benzil eter 7) Epoksida, misalnya epoksi resin

8) Halogenasi, misalnya DNCB, pikril klorida. 9) Quinon, misalnya primin, hidroquinon. 10)Logam, misalnya Ni2+, Co2+,Cr2+, Hg2+. 11)Komponen tak-larut, misalnya terpentin 4. Gejala Klinis

Penjelasan mengenai gejala klinis dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik akan mengacu kepada referensi menurut Djuanda dan Sularsito (2002).


(38)

21

a. Dermatitis Kontak Iritan

1) Dermatitis kontak iritan akut

Penyebabnya iritan kuat, biasanya karena kecelakaan. Kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel, atau bula. Luas kelainan umumnya sebatas daerah yang terkena, berbatas tegas. Pada umumnya, kelainan kulit muncul segera, tetapi ada sejumlah bahan kimia yang menimbulkan reaksi akut lambat, misalnya podofilin, antralin, asam fluorohidrogenat, sehingga dermatitis kontak iritan akut lambat. Kelainan kulit baru terlihat setelah 12-24 jam atau lebih. Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih pada esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sorenya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.

2) Dermatitis kontak iritan kronis

Nama lain ialah dermatitis iritan kumulatif, disebabkan oleh kontak iritan lemah yang berulang-ulang (oleh faktor fisik, misalnya gesekan, trauma, mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan, contohnya detergen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). Dermatitis kontak iritan kronis mungkin terjadi oleh karena kerja sama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari,


(39)

berminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting.

Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan. Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. Banyak pekerjaan yang berisiko tinggi yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak iritan kumulatif, misalnya: mencuci, memasak, membersihkan lantai, kerja bangunan, kerja di bengkel, dan berkebun.

b. Dermatitis Kontak Alergik

Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan


(40)

23

ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003).

Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet tertentu (phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan dermatitis purpura, dan derivatnya dapat megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum dan kosmetik (Fregert, 1998).

Gejala klinis dermatitis kontak alergik yang dijelaskan pada tiap fase (Sularsito & Subaryo, 1994 dalam Trihapsoro, 2003) :

1) Fase akut.

Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya kontak dengan bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan mungkin hanya berupa eritema dan edema, sedang pada yang berat selain eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung menyebar dan batasnya kurang jelas. Keluhan subyektif berupa gatal. 2) Fase Sub Akut

Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah tidak ada maka proses akut akan menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini akan terlihat eritema, edema ringan, vesikula, krusta dan pembentukan papul-papul.


(41)

3) Fase Kronis

Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase akut yang hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal.

5. Patofisiologi a. Anatomi Kulit

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1.5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Wasitaatmadja, 1987).


(42)

25

Gambar 2.1 Anatomi Kulit

Sumber : http://www.pustakasekolah.com/struktur-dan-anatomi-kulit.html

Kulit merupakan indera peraba. Kulit adalah alat indera kita yang mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan, tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang merupakan percabangan dendrit dari neuron sensorik yang banyak terdapat di sekitar ujung jari, ujung lidah, dahi, dll (Yusri, 2011). Kulit secara garis besar tersusun atas 3 lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan subkutis (hipodermis) dengan penjelasan sebagai berikut (Wasitaatmadja, 1987). :

1) Lapisan Epidermis

Lapisan epidermis terdiri atas : stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.


(43)

a) Stratum Korneum

Lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berupa menjadi keratin (zat tanduk).

b) Stratum Lusidum

Terdapat langsung dibawah lapisan stratum korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.

c) Stratum Granulosum

Merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki.

d) Stratum Spinosum

Disebut pula pricle cell layer terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk polygonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena mengandung banyak glikogen, dan inti terletak di tengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Diantara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan-jembatan antar sel


(44)

27

yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus bizzozero. Diantara sel-sel spinosum terdapat pula sel langerhans. Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen.

e) Stratum Basale

Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun vertikel pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu : (1) Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma

basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh jembatan antar sel.

(2) Sel pembentuk melanin atau clear cell merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosomes).

2) Lapisan Dermis

Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis yang jauh lebih tebak daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat


(45)

dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni :

a) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.

b) Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol kea rah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksilisin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis.

3) Lapisan Subkutis

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, denga inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu denga yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai cadangan makanan. Dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh


(46)

29

darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama tergantung pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.

b. Mekanisme terjadinya dermatitis kontak 1) Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis kontak iritan timbul setelah pemaparan tunggal atau pemaparan berulang pada agen yang sama. Beberapa mekanisme dapat menjadi penyebab terjadinya dermatitis kontak iritan. Pertama, bahan kimia mungkin merusak sel dermal secara langsung dengan absorpsi langsung melewati membrane sel kemudian merusak sistem sel.

Mekanisme kedua, setelah adanya sel yang mengalami kerusakan maka akan merangsang pelepasan mediator inflamasi ke daerah tersebut oleh sel T maupun sel mast secara non-spesifik. Misalnya, setelah kulit terpapar asam sulfat maka asam sulfat akan menembus ke dalam sel kulit kemudian mengakibatkan kerusakan sel sehingga memacu pelepasan asam arakidonat dari fosfolipid dengan bantuan fosfolipase. Asam arakidonat kemudian dirubah oleh siklooksigenase (menghasilkan prostaglandin, tromboksan) dan lipoosigenase (menghasilkan leukotrien). Prostaglandin dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah (sehingga terlihat kemerahan)


(47)

dan mempengaruhi saraf (sehingga terasa sakit); leukotrien meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah tersebut (sehingga meningkatkan jumlah air dan terlihat bengkak) serta berefek kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil, dan makrofag. Mediator pada inflamasi akut adalah histamine, serotonin, prostaglandin, leukotrien, sedangkan pada inflamasi kronis adalah IL1, IL2, IL3, TNFα2. Reaksi ini bukanlah akibat imun spesifik dan tidak membutuhkan pemaparan sebelumnya agar iritan menampakan reaksi.

Beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon kulit. Adanya penyakit kulit sebelumnya dapat menghasilkan dermatitis yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah memasuki dermis. Jumlah dan konsentrasi paparan bahan kimia juga penting. Iritan kimia kuat, asam dan basa tampaknya menghasilkan keparahan yang reaksi inflamasi yang sedang dan parah. Iritan yang lebih ringan, seperti detergen, sabun, pelarut mungkin membutuhkan pemaparan yang banyak untuk mengakibatkan dermatitis. Selain itu, faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban atau perekaan basah dapat berpengaruh (Crowe, M.A & James W.D, 2001, dalam Sumantri, dkk, 2008).


(48)

31

2) Dermatitis Kontak Alergik

Dermatitis Kontak Alergi merupakan reaksi inflamasi pada dermal akibat paparan allergen yang mampu mengaktifasi sel T, yang kemudian migrasi menuju tempat pemaparan. Tempat pemaparan biasanya daerah tubuh yang kurang terlindungi, namun allergen uroshiol yang terbawa dalam partikulat asap rokok mampu mempengaruhi tempat-tempat yang secara umum terlindungi. Selain itu, urosiol dapat aktif lama hingga 100 tahun, Penampakan dermatitis kontak alergik biasanya tidak langsung terlihat pada daerah tersebut sesaat setelah pemaparan karena allergen melibatkan reaksi imunologis yang membutuhkan beberapa tahap dan waktu.

Berikut adalah mekanisme reaksi imunologis tersebut, pertama pemaparan awal alergen tersebut akan mensensitisasi sistem imun. Tahap ini dikenal dengan tahap induksi. Menurut beberapa dokter, secara umum gejala belum tampak pada tahap tersebut. Walaupun demikian, gejala dermatitis tetap dapat langsung terjadi setelah pemaparan (tergantung faktor individu, allergen, dan lingkungan). Pada tahap ini, urushiol secara cepat (10 menit) masuk melewati kulit dan berikatan dengan protein permukaan sel langerhans di epidermis dan sel makrofag di dermis. Sell langerhans kemudian memberi sinyal kepada sel limfosit mengenai informasi


(49)

antigen kemudian sel limfosit berproloferasi menghasilkan sel T limfosit tersensitisasi.

Setelah sistem imun tersensitisasi, maka dengan pemaparan selanjutnya akan menginduksi hipersensitifitas tertunda tipe IV, yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh sel dan membutuhkan waktu 24-48 jam atau lebih. Dermatitis yang tertangani dan tidak tertangani, secara alami akan sembuh dalam 10-21 hari, karena adanya sistem imun (Crowe M.A & James W.D, 2001, dalam Sumantri, dkk, 2008). 6. Diagnosis

Terdapat tiga metode diagnosis yang dilakukan dalam mengidentifikasi dermatitis kontak. Metode-metode tersebut yaitu dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan juga pemeriksaan penunjang (Utomo, 2007).

a. Anamnesis

Agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan anamnesis dermatitis kontak akibat kerja perlu diperhatikan kategori-kategori sebagai berikut : 1) Penyakit ini muncul pada saat masa kerja yang terpajan oleh bahan

iritan atau setelah masa kerja dalam waktu yang tidak terlalu jauh. 2) Penyakit ini muncul pertama kali di daerah yang paling banyak

terpajan. Biasanya memberikan karakteristik tertentu.

3) Penyakit ini tidak akan muncul; kecuali jika terpajan dengan pajanan yang sama dengan hasil penyakit yang sama.


(50)

33

4) Penyakit ini akan berubah atau hilang ketika sudah tidak terpajan lagi. 5) Penyakit ini akan segera muncul kembali jika pajanan dimulai lagi. 6) Morfologi dari penyakit ini akan konsisten sesuai dengan pajanannya. 7) Rekan kerja yang terkena pajanan juga akan mengalami penyakit

yang sama.

(The Chief Adviser Factories, 1965 dalam Utomo, 2007) b. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis dilakukan untuk melihat tanda-tanda yang muncul akibat dermatitis kontak pada kulit. Pada umumnya dermatitis kontak terjadi di daerah yang terpajan, tetapi tidak menutup kemungkinan lesi meluas ke area lain yang tidak terpajan secara langsung. Sebagian dermatitis muncul di daerah tangan dan lengan yaitu sebesar 90% di tangan. Karena tangan paling sering digunakan dalam pekerjaan. Pada awalnya dermatitis menyerang pada bagian epidermis yang tipis yaitu pada dorsum manus dan sela jari. Untuk bahan iritan yang bersifat airborne (fume, vapour) dapat menyerang dan menimbulkan kelainan di wajah, dahi, telinga, dan leher (Cohen, 1999).

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan untuk mencari tahu penyebab terjadinya dermatitis kontak alergik dan juga dapat digunakan untuk membedakan dermatitis kontak alergik dan dermatitis kontak iritan.


(51)

Salah satu jenis pemeriksaan penunjang adalah dengan patch test (Firdaus, 2002).

Ketika suatu dermatitis kontak diindikasikan sebagai dermatitis kontak alergik biasanya digunakan patch test untuk mengetahui apakah penyakit itu adalah dermatitis kontak akibat kerja atau bukan. Uji berdasarkan teori yang menyatakan bahwa akan muncul eczematous dermatitis akut atau kronik jika diberikan agen sensitizing. Caranya dengan menempelkan (biasanya di punggung ataupun di lengan atas) material yang dianggap memberikan efek pada areal yang tidak terinfeksi selama 48 jam akan menyebabkan reaksi inflamasi. Jika hasil uji positif maka pekerja tersebut memilki alergi terhadap material yang diujikan (Cohen, 1999).

Patch test atau uji tempel, tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, maka harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh


(52)

35

diuji bila diduga karena penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, sendal, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet/air. Lalu ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5-10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan iritasi.

Hal yang harus diperhatikan dalam uji tempel adalah :

1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat maka dapat terjadi reaksi "angry back" atau "excited skin", reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin memburuk.

2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan, sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes kecuali karena diduga urtikaria kontak.

3) Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemuadian dibaca; pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.

4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar, karena memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga


(53)

agar punggung selalu kering, setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.

5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang mempunyai riwayat urtikaria dadakan, karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis.

6) Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal (Bantas, 2009. Materi Presentasi Mata Ajar Anatomi Fisiologi).

7. Epidemiologi Dermatitis Kontak

Di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak. Konsultasi dengan dokter kulit akibat dermatitis adalah sebesar 4-7%. Di Skandinavia yang telah lama memakai uji tempel sebagai standar, terlihat insiden dermatitis kontak lebih tinggi dari pada Amerika. Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan (Lestari dkk, 2007). Sedangkan di Jerman, angka insiden dermatitis kontak iritan adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009).

Di Indonesia laporan dari Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FK Unsrat Manado dari tahun 1988-1991 menujukkan insiden dermatitis kontak


(54)

37

sebesar 4.45%. Di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan Barat pada tahun 1991-1992 dijumpai insiden dermatitis kontak sebanyak 17.76%. Sedangkan di RS. Dr. Pirngadi Medan insiden dermatitis kontak pada tahun 1992 sebanyak 37.54% tahun 1993 sebanyak 34.74% dan tahun 1994 sebanyak 40.05%. Dari data kunjungan pasien baru di RS. Dr. Pringadi Medan, selama tahun 2000 terdapat 3897 pasien baru di poliklinik alergi dengan 1193 pasien (30.61%) dengan diagnosis dermatitis kontak (Nasution dkk, 1994 dalam Sumantri dkk, 2008).

Dari bulan Januari hingga Juni 2001 terdapat 2122 pasien alergi dengan 645 pasien (30.40%) menderita dermatitis kontak. Walaupun demikian, kasus dermatitis kontak sebenarnya diperkirakan 10-50 kali lipat dari data statistik yang terlihat karena adanya kasus yang tidak dilaporkan. Selain itu perkiraan yang lebih besar tersebut juga diakibatkan oleh semakin meningkatnya perkembangan industri (Keefner, 2004 dalam Sumantri dkk, 2008)

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis konta alergik hanya berkisar 10-20% (Keefner, 2004, dalam Sumantri dkk, 2008). Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi


(55)

ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009).

Berdasarkan jenis kelamin, dermatitis kontak iritan secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009). Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) (Trihapsoro, 2003). Angka kejadian ini sebenarnya 20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan (National Institute of Occupational Safety and Health, 2006).

Data dari balai hiperkes yang sejak tahun 2005 menjadi pusat keselamatan kerja dan hiperkes, menunjukkan hampir 90% penyakit kulit akibat kerja adalah dermatitis kontak akibat kerja (Utomo, 2007). Pada sub bagian alergi imunologi bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, insidens dermatitis kontak akibat kerja pada tahun 1996 adalah 50 kasus/tahun atau 11.9% dari seluruh dermatitis kontak (Effendi, 1997). Utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dari pekerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82% (Siregar, 1996). Lestari dkk (2007) menemukan melalui penelitiannya bahwa 48.8% (39 orang) pekerja body pressing dan chasis mobil mengalami kejadian dermatitis kontak. Kemudian berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), sebanyak 74%


(56)

39

(40 orang) pekerja industri otomotif yang menggunakan bahan kimia mengalami dermatitis.

Penelitian yang dilakukan pada pekerja penebang kayu di Palembang, 30% pekerja mengalami dermatitis kontak dan 11,8% pekerja perusahaan kayu lapis di Palembang menderita dermatitis kontak (Siregar, 1996). Laporan dari poliklinik perusahaan pembuatan triplek (plywood) di Kalimantan, menemukan 10% pekerjanya mengalami penyakit kulit akibat kerja. Sedangkan hasil penelitian Astono & Sudardja (2002) yang dilakukan pada pekerja industri plywood di Kalimantan Selatan, menemukan bahwa 35% (696 orang) dari 2000 sampel mengalami penyakit kulit, dan 21,3%(148 orang) diantaranya mengalami dermatitis kontak.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 1. Bahan Kimia

Saat ini sudah lebih dari 400 juta ton bahan kimia yang diproduksi tiap tahunnya dan lebih dari 1000 bahan kimia baru diproduksi setiap tahunnya. Penggunaan bahan kimia ini selain membawa dampak yang positif bagi kemajuan dunia industri juga memiliki dampak negatif terutama bagi kesehatan pekerja, salah satunya adalah dermatitis (Lestari dkk, 2007). Menurut Hipp (1985) dalam Utomo (2007), bahan kimia merupakan faktor langsung penyebab dermatitis kontak. Paparan bahan kimia ditentukan oleh banyak faktor termasuk lama kontak, frekuensi kontak, konsentrasi bahan, dll (Agius R, 2006).


(57)

Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja yang Umum Iritan Pekerja (n=310) Prosentase (%) Allergen Pekerja (n=215) Prosentase (%) Cairan Pendingin/minyak yang larut

20 Kromat 49,3

Semen 17,4 Bahan kimia karet 16,3

Pelarut 17,1 Nikel 12,6

Minyak/Lemak 16,2 Kobalt 13

Sabun/Detergen/Air 11,9 Damar 6

Cairan Patri 7,8 Makanan 2,3

Damar 4,8 Cairan Patri 1,4

Lain-lain 4,8 - -

Sumber : Goh CL, 1987

Bahaya bahan kimia adalah korosif dan racun. Bahan kimia dapat menyebabkan jaringan kulit iritas sampai cedera atau korosi pada permukaan logam, namun sering terjadi adalah cedera korosi yang merusak jaringan lunak baik kulit maupun mata. Iritasi kulit merupakan derajat cedera korosif dengan derajat ringan. Menurut Cohen & Rice (2004) dalam Ruhdiat (2006), bahan kimia selalu dan merupakan penyebab terbesar terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.

Pada proses finishing meubel kayu, bahan kimia yang umum digunakan adalah sebagai berikut (Joyce, 1987):

a. Wood Filler

Wood Filler adalah bahan yang digunakan untuk meratakan pori kayu, celah, dan bolong pada permukaan kayu (dempul). Umumnya wood filler mengandung resin yang kemudian diaplikasikan dengan campuran thinner. Pengamplasan dilakukan untuk mengangkat wood filler pada meubel.


(58)

41

b. Wood Stain

Fungsi utama Wood Stain adalah mewarnai kayu sesuai dengan warna natural kayunya. Kandungan dalam wood stain adalah solven dan zat pewarna. Alkohol dan acetone base juga terkandung didalamnya sebagai bahan yang tahan terhadap sinar uv.

c. Cat Dasar

Cat dasar atau sering disebut Sanding Sealer merupakan satu tahapan aplikasi untuk melindung lapisan pewarnaan kayu oleh stain. Formulanya adalah acrilic Solvent Base yang biasanya diaplikasikan dengan campuran thinner.

Selain itu, pada proses pemutihan meubel lama yang akan dilakukan finishing ulang, bahan yang digunakan umumnya adalah hidrogen peroksida ataupun soda api. Kedua bahan tersebut jika terkena kulit dapat menimbulkan iritasi begitu pula dengan pelarut yang ada dikandungan cat-cat yang digunakan. Kemudian pada proses pengkilapan digunakan sanding melamic clear yang mengandung resin.

Pelarut organik misalnya thinner yang sering digunakan sebagai bahan campuran dalam finishing meubel kayu terdiri atas campuran alkohol, keton, dan terkadang toluene dan dipentene (bahan pemeka). Pelarut aromatic khususnya dapat mengiritasi kulit. Pelarut yang belum hilang seluruhnya misalnya pada pakaian kerja yang dibersihkan dengan sedikit air dapat mengiritasi kulit pada tungkai, pergelangan tangan dan leher. Semua pelarut


(59)

dapat menyebabkan dermatitis yang merusak pelindung alamiah kulit. Pelarut menutupi permukaan lemak, lemak pada stratum korneum dan fraksi lemak pada membran sel. Pelarut juga dapat menyebabkan kerusakan stratum korneum (RH. Adam, 1993 dalam Cholis, 1995).

Serbuk kayu yang dihasilkan oleh kayu juga merupakan pencetus timbulnya dermatitis kontak, karena serbuk kayu merupakan salah satu bahan iritan yang dapat menyebabkan kejadian dermatitis kontak (Strait, 2001; Djuanda, 2003). Adanya kandungan substansi kimia dari getah tumbuh-tumbuhan yang ada dalam serbuk kayu dapat menyebabkan dermatitis kontak (Djuanda, 1987).

Kontak dengan bahan kimia, selain menyebabkan iritasi juga dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit yang merugikan dengan sensitisasi sistem kekebalan tubuh yang dihasilkan dari kontak bahan kimia atau struktur bahan kimia yang serupa sebelumnya. Contoh bahan yang menyebabkan reaksi alergi yaitu formaldehid, kromium, nikel, dan fenoliat. 2. Lama Kontak

Lama kontak adalah kurun waktu kontak pekerja dengan bahan kimia yang ditangani. Semakin lama kontak dengan bahan kimia akan menyebabkan rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin sering berkontak maka semakin rusaknya sel kulit lapisan yang lebih dalam (Cohenn, 1999). Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit (Nuraga, 2008) karena


(60)

43

semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit maka akan semakin luas dan dalam penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit, yang akan mencetuskan reaksi peradangan/iritasi kulit yang lebih luas dan berat (Agius R, 2004; Cohen dan Rice R.H, 2004).

Berdasaran penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam adalah 73.1%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak <8 jam adalah sebesar 22.2%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama kontak maka semakin besar pula resiko kejadian dermatitis yang dialami pekerja.

3. Frekuensi Kontak

Frekuensi kontak adalah jumlah berapa kalinya kontak dengan bahan kimia. Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Oleh karena itu upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja adalah dengan menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia (Cohen, 1999 dalam Nuraga dkk, 2008).

Berdasarkan penelitian Ruhdiat (2006), proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≥5 kali/hari sebesar 96.3%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak


(61)

dengan frekuensi kontak <5 kali/hari adalah sebesar 79.4% dengan nilai pvalue 0.004. Dan hasil penelitian Nuraga, dkk (2008) menemukan bahwa Kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15x terjadi pada dermatitis kontak akut sebanyak 14 responden (100%), sub akut 17 responden (81%) dan kronis 4 responden (80%) dengan nilai p= 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak.

4. Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah terjadinya dermatitis kontak. Pekerja dengan usia tua memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi terkena dermatitis kontak dibanding pekerja yang lebih muda. Hal ini terkait dengan kondisi kulit mereka (Cohen, 1999). Pada pekerja yang lebih tua terjadi peningkatan kerentanan terhadap bahan iritan dan kegagalan dalam pengobatan, sehingga timbul dermatitis kontak (Cronin, 1980). Pada pekerja dengan usia yang lebih tua, ketebalan kulit pun semakin berkurang, sehingga lapisan kulit menipis dan menyebabkan mudahnya bahan kimia masuk ke dalam lapisan kulit yang lebih dalam lagi.

5. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam hal penyakit kulit perempuan dikatakan lebih beresiko mendapat penyakit kulit dibandingkan dengan pria (Djuanda & Sularsito, 2002). Berdasarkan Aesthetic Surgery


(62)

45

Journal dalam Suryani (2011), terdapat perbedaan antara kulit pria dan wanita, perbedaan tersebut dilihat dari jumla folikel rambut, kelenjar sebaceous atau kelenjar keringat dan hormone. Kulit pria mempunyai hormon yang dominan yaitu androgen yang dapat menyebabkan kulit pria lebih banyak berkeringat dan ditumbuhi banyak bulu, sedangkan kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria sehingga lebih rentan terkena penyakit kulit.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Trihapsoro (2003), pada pasien rawat jalan RSUP H. Adam Malik Medan, ditemukan bahwa proporsi pasien perempuan yang menderita dermatitis kontak sebesar 72.5% sedangkan pria hanya sebesar 27.5%. Hal tersebut menujukkan bahwa perempuan lebih beresiko tekena dermatitis kontak disbanding laki-laki. 6. Jenis Pekerjaan

Dalam mempengaruhi kejadian dermatitis kontak, jenis pekerjaan terkait dengan bahan kimia yang digunakan pada suatu jenis pekerjaan tersebut. Karena pada dasarnya bahan yang digunakan pada suatu jenis pekerjaan berbeda dengan jenis pekerjaan lainnya. Dermatitis kontak akan muncul pada permukaan kulit jika zat kimia tersebut memiliki jumlah, konsentrasi dan durasi (lama pajanan) yang cukup. Dengan kata lain semakin lama besar jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Cohen 1999 dalam Lestari 2007).


(63)

Berdasarkan penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa pada dua jenis proses kerja yaitu proses realisasi dan proses pendukung memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak. Pada proses realisasi terlihat bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak sebesar 60.4%, sedangkan pekerja proses pendukung, pekerjanya lebih banyak tidak terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (68,8%) dari total pekerja 32 orang.

7. Masa Kerja

Masa kerja adalah kurun waktu atau lamanya pekerja bekerja disuatu tempat tertentu. Masa kerja juga dapat mempengaruhi terhadap terjadinya penyakit dermatitis. Hal ini berhubungan dengan lama kontak dan frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia, sehingga pekerja yang lebih lama bekerja lebih risiko terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang masih baru. Menurut Djuanda dan Sularsito (2007), semakin sering pekerja menglami kontak dengan bahan kimia, maka semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan keparahan penyakitnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa pekerja dengan masa kerja yang lebih lama cenderung lebih sering kontak dengan bahan kimia.

8. Ras

Ras berhubungan dengan dermatitis terlihat dari warna kulit. Setiap individu memiliki warna kulit yang berbeda-beda tergantung ras nya


(64)

masing-47

masing. Kulit putih lebih rentan terhadap dermatitis dibandingkan dengan orang kulit hitam. Orang kulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri karena kulinya kaya akan melanin. Mereka jarang terkena tumor kulit akibat radiasi ultra violet, kurang peka terhadap debu kimia, dan bahan pelarut alkali (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008).

9. Tekstur Kulit

Kulit merupakan indera peraba. Kulit adalah alat indera kita yang mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan, tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang merupakan percabangan dendrit dari neuron sensorik yang banyak terdapat di sekitar ujung jari, ujung lidah, dahi, dll (Bantas, 2009. Materi Presentasi Mata Ajar Anatomi Fisiologi). Kulit merupakan bagian terluar yang melapisi manusia dimana berfungsi untuk melindungi organ-organ internal. Kulitlah yang pertama kali terkena eksposur dari luar seperti sinar matahari, udara, minyak, sabun, cat, dan sejenisnya. Oleh karena itu kulit sangat riskan mengalami inflamasi dan kerusakan akibat pengaruh zat yang mengenainya (Permana, 2010).

Perbedaan ketebalan kulit menyebabkan perbedaan permeabilitas (Djuanda & Sularsito, 2002), sehingga kulit dengan lapisan yang lebih tebal lebih sulit dimasuki oleh bahan kimia hal tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan jumlah pori. Lapisan kulit yang tebal lebih memproteksi dibandingkan dengan lapisan kulit yang tipis.


(65)

10.Pengeluaran Keringat

Keringat adalah air yang dikeluarkan oleh kelenjar keringat pada kulit manusia. Kandungan utama dalam keringat adalah natrium klorida (bahan utama garam dapur) selain bahan lain (yang mengeluarkan aroma) seperti 2-metilfenol (o-kresol) dan 4-2-metilfenol (p-kresol). Pada manusia, keringat dikeluarkan untuk mengatur suhu tubuh (detikhealth.com, 2012).

Keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan menghanyutkan bahan iritan. Keringat dapat pula mengubah bahan-bahan yang larut dalam air menjad bentuk lain dan mempermudah absorpsi melalui pori-pori kulit (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008). Kulit yang tidak tidak berketingat cenderung memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi terhadap dermatitis kontak karena kulit yang tidak berkeringat cenderung kering. Kekeringan pada kulit memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit lebih mudah kena dermatitis (Cohen 1999). Vichy (2004) dalam Ruhdiat (2006) juga menyatakan bahwa kulit yang lebih kering akan lebih rentan terkena dermatitis kontak.

11.Musim

Dermatitis akibat kerja banyak dijumpai pada waktu musim panas berhubungan dengan pengeluaran keringat pada pekerja. Sehingga pekerja lebih cenderung menggunakan pakaian lengan pendek ataupun celana lengan pendek yang memudahkannya kontak langsung dengan bahan kimia. Sedangkan cuaca dingin menyebabkan pekerja malas mencuci


(66)

49

diri/membersihkan diri dengan air setelah kontak dengan bahan kimia (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008).

12.Riwayat Alergi

Riwayat alergi adalah reaksi tubuh manusia yang berlebihan terhadap benda asing tertentu atau bahan yang bersifat allergen. Pengertian lain adalah reaksi terhadap berbagai rangsangan/zat dari luar tubuh misalnya seperti debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja. Dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dsengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan, sejarah alergi (misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu),dan riwayat lain yang berhubungan dengan dermatitis (Putro, 1985 dalam Utomo, 2007). Reaksi sensitifitas allergen sangat bervariasi tergantung pada faktor genetik seseorang. Demikian pula sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda-beda (Dewan K3 Nasional, 1982).

Dalam penelitian Utomo (2007) didapatkan bahwa, proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat alergi adalah sebesar 57.7% (15 orang) dari 26 pekerja, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat alergi adalah sebesar 44.4% (24 orang) dari 54 pekerja dengan nilai pvalue 0.383. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat alergi lebih banyak mengalami dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang tidak mengalaminya alergi.


(67)

13.Riwayat Atopi

Atopik merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat didalam lingkungan kehidupan manusia (Harijono, 2006). Menurut Djuanda, 2002 atopik merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang cenderung diturunkan atau familial. Sindrom atopik disini meliputi dermatitis atopik (DA), rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2002). Pengertian lain menyebutkan bahwa atopi adalah reaksi seseorang terhadap allergen sangat bervariasi tergantung factor genetik, demikian pula sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda (Cohen, 1999).

Hasil penelitian Ruhdiat (2006) menyebutkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat atopi sebesar 94%, sedangkan yang tidak memiliki riwayat atopi sebesar 79%. Nuraga dkk (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan memilki riwayat atopi adalah sebesar 79%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat atopi adalah sebesar 71.4%. Hal tersebut menujukkan bahwa pekerja denga riwayat atopi lebih beresiko terkena dermatitis kontak.

14.Riwayat Penyakit Kulit sebelumnya

Pekerja yang sebelumnya pernah menderita dermatitis akibat kerja lebih rentan terhadap kerjadian dermatitis kontak akibat kerja. Penyakit kulit


(68)

51

yang pekerja derita sebelumnya dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pekerja menderita dermatitis kontak kembali (riwayat berulang) (Lestari dan Utomo, 2007). Di Indonesia, umunya pekerja telah bekerja pada lebih dari satu tempat kerja. Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan bahwa pekerja yang telah mengalami dermatitis pada pekerjaan sebelumnya terbawa ke tempat kerja yang baru. Menurut Cahyawati dan Budiono (2011), riwayat penyakit digunakan sebagai salah satu dasar penentuan apakah suatu penyakit terjadi akibat penyakit terdahulu, sehingga riwayat penyakit sangat penting dalam proses penyembuhan seseorang. Sedangkan menurut Jeyaratnam & Koh (1996) pekerja yang pernah mengalami riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan meninggalkan bekas seperti kulit yang mengelupas, lecet, atau tergores dapat menjadi faktor predisposisi dermatitis kontak.

Berdasarkan penelitia Utomo (2007), proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 81.8%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 43.5%. Hal tersebut menujukkan bahwa pekerja dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya lebih berisiko terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakt kulit sebelumnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa pekerja dengan riwayat dermatitis kronik maka pekerja tersebut lebih rentan untuk terkena dermatitis bila


(69)

bekerja pada tempat tertentu dikarenakan reaksi iritan ataupun sensitivasi (Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, 1982).

15.Suhu dan Kelembaban

Pengalaman yang disepakati oleh para ahli di Indonesia menyatakan bahwa daerah cuaca nyaman seperti itu adalah 24 – 26 0C suhu kering. Juga perbedaan di antara suhu di dalam dan di luar ruangan sebaiknya tidak melebihi 5 0C ( Suma’mur,1989 ). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No 1405 tahun 2002, suhu ruangan lingkungan kerja adalah sekitar 180C-280C, sedangkan kelembabannya adalah 40% - 60%.

Menurut Sedarmayanti (1996), bahwa temperatur yang terlampau dingin akan mengakibatkan gairah kerja menurun. Sedangkan temperatur yang terlampau panas, dapat mengakibatkan timbulnya kelelahan tubuh yang lebih cepat dan dalam bekerja cenderung membuat banyak kesalahan. Berdasarkan beberapa penelitian, suhu dan kelembaban berpengaruh dalam kejadian dermatitis kontak, karena semakin rendahnya suhu dan kelembaban lingkungan kerja maka semakin berpotensi menyebabkan dermatitis kontak selain didukung oleh faktor lain.

Hasil penelitian Ruhdiat (2006), menemukan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan suhu lingkungan 230C adalah 100%, dengan suhu lingkungan 250C sebesar 87%, dengan suhu lingkungan 260C sebesar 80%, dan dengan suhu 290C adalah sebesar 81%. Sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan kelembaban


(1)

FOTO DERMATITIS KONTAK


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Di Kelurahan Merdeka Kota Medan Tahun 2015

6 71 101

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu Di Wilayah Kecamatan Ciputat Dan Ciputat Timur Tahun 2012

0 45 183

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012

1 22 165

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012

13 89 171

Perbedaan Pengetahuan Antara Sebelum Dan Sesudah Intervensi Penyuluhan Menggunakan Media Leaflet Tentang Penyebab Dermatitis Dan Pencegahannya Pada Pekerja Proses Finishing Mebel Kayu Di Ciputat Timur Tahun 2013

1 33 160

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Dermatitis Kontak Pada Stylist Dan Kapster Di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012

0 18 202

Faktor-faktor yang berhubungan dengan heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014

9 78 112

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA INDUSTRI TAHU DAERAH PLOSO KECAMATAN JATI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2015

0 1 72

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR DI WILAYAH KOTA KENDARI TAHUN 2016

0 0 8

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BENGKEL KELURAHAN MERDEKA KOTA MEDAN TAHUN 2015

0 1 17