Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012

(1)

TAHUN 2012

SKRIPSI

OLEH : ASTRIANDA NIM : 108101000054

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1434 H / 2012 M


(2)

DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH : ASTRIANDA NIM : 108101000054

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1434 H / 2012


(3)

(4)

(5)

(6)

Nama : Astrianda

Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 26 Oktober 1991

Alamat : Jalan M. Tadjir Rt: 04 Rw: 06 No.7 Kelurahan: Serua

Kecamatan: Bojongsari Kota: Depok

Kode Pos : 16517

Agama : Islam

Golongan Darah : A

No. Telepon : (021) 7430415 / 085710556254 Email : ananda_as3@yahoo.com

Riwayat Pendidikan:

1996 – 2002 : SDN Serua 03, Depok 2002 – 2005 : SMP Al-Hasra, Depok 2005 – 2008 : SMA Al-Hasra, Depok

2008 – 2013 : S1 – Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


(7)

i   

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Oktober 2012

Astrianda, NIM : 108101000054

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012

xii+116 Halaman, 11 Tabel, 4 gambar, 3 Lampiran ABSTRAK

Dermatitis kontak merupakan salah satu jenis dari penyakit kulit akibat kerja. Salah satu pekerja yang berisiko untuk mengalami dermatitis kontak adalah pekerja bengkel motor, yang diakibatkan dari paparan penggunaan air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis kontak.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Disain studi penelitian ini yaitu cross sectional. Sampel penelitian ini adalah seluruh total populasi yaitu sebanyak 101 pekerja bengkel. Analisis data yang digunakan yaitu uji Chi Square, uji t-independent dan uji Mann-Whitney. Variabel yang diteliti yaitu lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene.

Pekerja bengkel motor yang mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 37,6%, sedangkan pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 62,4%. Ada dua faktor yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak yaitu riwayat penyakit kulit (P value 0,000) dan riwayat alergi (P value 0,018).

Untuk mengantisipasi risiko dermatitis kontak, sebaiknya pemilik bengkel menyediakan fasilitas cuci tangan yang memadai, mengawasi personal hygiene pekerja dan menyediakan APD bagi pekerja terutama sarung tangan. Sedangkan untuk pekerja, meningkatkan personal hygiene dan menggunakan sarung tangan selama bekerja. Daftar Bacaan : 42 (1996-2012)


(8)

ii   

OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Thesis, October 2012

Astrianda, NIM : 108101000054

Related Factors of Contact Dermatitis Incident on Motorcycle Repair Workers at East Ciputat Region in 2012

xii + 116 pages, 11 table, 4 image, 3 attachment ABSTRACT

Contact dermatitis is one type of occupational skin disease. One of the workers at risk for contact dermatitis is motorcycle repair workers, caused of exposure to use battery acid (sulfuric acid), petroleum products such as degreasers, lubricants, oil, petrol, and cooling system fluid. Based on the results of a preliminary study at East Ciputat region in 2012, there are 7 (70%) of the 10 motorcycle repair workers with contact dermatitis.

The purpose of this study was to find out the factors related to contact dermatitis on motorcycle repair workers at East Ciputat region in 2012. The design of this study was cross sectional. Sample of this study is the total population of as many as 101 repair workers. Data analysis is used by the chi-square test, t-independent test and Mann-Whitney test. The variables studied is prolonged of contact, frequency of contact, working period, age, history of atopy, history of skin disease, history of allergy, and personal hygiene.

Motorcycle repair workers with contact dermatitis are 37,6%, and workers who did not have contact dermatitis are 62.4%. There are two factors that have a significant relationship with contact dermatitis, that is a history of skin disease (P value 0.000) and history of allergy (P value 0.018).

To anticipate the risk of contact dermatitis, workshop owners should provide an adequate hand washing facilities, oversee the personal hygiene of workers, and provide of PPE for workers, especially gloves. As for the workers, improving personal hygiene and use of gloves during work.


(9)

iii   

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga membuat penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012”.

Adapun penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam Kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapkan terimakasih kepada : 1. Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan ridha-Nya kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.

2. Prof. Dr (Hc). dr. MK. Tadjudin, SP.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat.

4. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat.

5. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku penanggung jawab peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sekaligus sebagai pembimbing pertama yang telah memberikan ilmunya, dan banyak membantu dalam memberi masukan dan dukungan kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai.

6. Ibu Raihana Nadra Alkaff, MMA selaku pembimbing kedua yang telah banyak membantu dalam memberi masukan dan dukungan kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai.


(10)

iv   

8. Semua dosen pada Program Studi Kesehatan Masyarakat. Terimakasih atas ilmu-ilmu yang kalian berikan selama penulis kuliah di UIN Jakarta.

9. Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan semangat, do’a dan dukungan, serta kakaku Mareny dan abangku Reggy terimakasih atas do’a dan support kalian semua.

10.Keluarga dan juga sahabatku dirumah Sarah, Ayu, & Gita. Terimakasih atas semangat dan dukungan yang diberikan.

11.Team penelitian DK yaitu Sofia, Riska, Via yang juga merupakan sahabat terbaik, serta Niswah sahabat terbaik juga yang selalu bersama-sama berjuang dengan penulis selama mengerjakan skripsi dan turun lapangan penelitian, terimakasih atas semangat, dukungan, dan bantuan akomodasinya.

12.Rahmi, Aresh, Nadya, Dea dan semua teman Kesmas UIN Jakarta angkatan 2008 (Stoopelth) khususnya peminatan K3, terimakasih atas semangat dan support kalian semua.

13.Terimakasih kepada bapak Gozali selaku Adm. pada prodi Kesmas, dan untuk semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.

14.Dan juga terimakasih kepada someone special “M” yang turut membantu penulis dalam hal waktu, tenaga dan meteril serta tidak pernah bosan memberikan nasihat, saran, support dan semangatnya kepada penulis.

Penulis menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, namun semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Oktober, 2012


(11)

v   

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ……….. i

KATA PENGANTAR ……… iii

DAFTAR ISI ………. . v

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Rumusan Masalah ……….. 8

1.3 Pertanyaan Penelitian ………. 9

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum ……… 10

1.4.2 Tujuan Khusus ………... 10

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Pekerja Bengkel. ... 11

1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ... 12

1.5.3 Bagi Peneliti ... ... 12

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ………. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Pekerjaan Bengkel Motor ……….. 14

2.1.1 Bahaya Keselamatan Kerja ………... 14


(12)

vi   

2.2.2.1 Anamnesis ……….. 18

2.2.2.2 Pemeriksaan Klinis ………. 19

2.2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium ………. 19

2.2.2.4 Uji Tempel/Patch Test ………. 20

2.3Dermatitis Kontak . ... 21

2.3.1 Anatomi Kulit ……… 21

2.3.1.1 Epidermis ……… 22

2.3.1.2 Dermis ………. 22

2.3.1.3 Lapisan Subkutis ………. 23

2.3.2 Fungsi Kulit ………... 24

2.3.3 Dermatitis Kontak Akibat Kerja ……… 24

2.3.3.1 Dermatitis Kontak Iritan ………. 26

2.3.3.1.1 Patogenesis ………. 27

2.3.3.1.2 Manifestasi Klinis ……….. 28

2.3.3.2 Dermatitis Kontak Alergik ……….. 29

2.3.3.2.1 Patogenesis ………. 30

2.3.3.2.2 Manifestasi Klinis ……….. 31

2.4Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 2.4.1 Lama Kontak ………. 32

2.4.2 Frekuensi Kontak ……….. 33

2.4.3 Bahan Kimia ………. 34

2.4.4 Masa Kerja ……….. . 35

2.4.5 Usia ……… 37

2.4.6 Jenis Kelamin ……… 37


(13)

vii   

2.4.11 Musim ………. 42

2.4.12 Tipe Kulit ……… 42

2.4.13 Pengeluaran Keringat ……….. 43

2.4.14 Jenis Proses Pekerjaan ……….. 43

2.4.15 Suhu dan Kelembaban ……… 44

2.4.16 Personal Hygiene ……… 44

2.4.17 Pemakaian APD ……….. 46

2.5Kerangka Teori . ... 47

BAB III KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep ... 49

3.2 Definisi Operasional ... 55

3.3 Hipotesis ………... 58

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Disain Penelitian ... 59

4.2Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 59

4.3 Populasi dan Sampel ……… 59

4.4 Instrumen Penelitian 4.4.1 Lembar Pemeriksaan Fisik Dermatitis Kontak ……… 64

4.4.2 Kuesioner ………. 64

4.4.3 Lembar Observasi ……… 64

4.5 Pengumpulan Data ……… 65

4.6 Pengolahan Data 4.6.1 Coding ………. 65


(14)

viii   

4.7 Analisis Data

4.7.1 Analisis Univariat ……… 67

4.7.2 Analisis Bivariat ……….. 67

BAB V HASIL 5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ……… 69

5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak ………. 72

5.2.2 Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak ……….. 72

5.2.2.1 Lama Kontak ……….. 73

5.2.2.2 Frekuensi Kontak ……… 73

5.2.2.3 Masa Kerja ……….. 74

5.2.2.4 Usia ………. 74

5.2.2.5 Riwayat Atopi ………. 75

5.2.2.6 Riwayat Penyakit Kulit ……….. 76

5.2.2.7 Riwayat Alergi ……… 76

5.2.2.8 Personal Hygiene ………. 76

5.3 Analisis Bivariat ……….. 77

5.3.1 Hubungan Antara Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 78

5.3.2 Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 79


(15)

ix   

5.3.4 Hubungan Antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah

Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ………. 80 5.3.5 Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Kejadian

Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor

di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 82 5.3.6 Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian

Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor

di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 82 5.3.7 Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Kejadian

Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor

di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 83

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian ………... 84 6.2 Kejadian Dermatitis Kontak ……… 85 6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis

Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan

Ciputat Timur Tahun 2012 ……….. 92 6.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan

Kejadian Dermatitis Kontak ………. 92 6.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan

Kejadian Dermatitis Kontak ………. 95 6.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian


(16)

x   

Dermatitis Kontak ………. 105 6.3.6 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan

Kejadian Dermatitis Kontak ……….. 108 6.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian

Dermatitis Kontak ……….. 110

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan ……… 114

7.2 Saran ……….. 115

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

xi   

Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi ……….. 25 Tabel 2.2 Jenis Iritan yang Umum Terdapat di Tempat Kerja ……… 27 Tabel 2.3 Jenis Alergen yang Umum Terdapat di Tempat Kerja …. …….. 30 Tabel 3.1 Definisi Operasional ……… 55 Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ……… 63 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Dermatitis Kontak

pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan

Ciputat Timur Tahun 2012 ……….. 72 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak,

Usia dan Masa Kerja) Pada Pekerja Bengkel Motor

di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……… 73 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit Kulit,

Riwayat Alergi, dan personal hygiene) Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……… 75 Tabel 5.4 Analisis Hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak

dan masa kerja) dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah

Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ………... 78 Tabel 5.5 Analisis Hubungan Antara Usia dengan Kejadian

Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor

di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……… 80 Tabel 5.6 Analisis Hubungan Antara (riwayat atopi, riwayat penyakit

kulit, riwayat alergi) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motordi Wilayah Kecamatan


(18)

xii   

Gambar 2.1 Anatomi Kulit ………. 21

Bagan 2.1 Kerangka Teori ……… 48

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ……… 54


(19)

1   

1.1 Latar Belakang

Sebagai sistem organ tubuh yang paling luas, kulit tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia. Kulit membangun sebuah barrier yang memisahkan organ-organ internal dengan lingkungan luar, dan turut berpartisipasi dalam banyak fungsi tubuh yang vital. Kulit merupakan cerminan dari keadaan umum pasien, banyak kondisi sistemik dapat disertai dengan manifestasi dermatologik (Smeltzer & Bare, 2001). Masalah pada kulit merupakan salah satu penyakit yang termasuk kedalam penyakit akibat kerja.

Terjadinya penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan penyakit akibat kerja sering terjadi pada pekerja, terutama pada kelompok pekerja sektor informal. Penelitian WHO pada pekerja tentang penyakit kerja di 5 (lima) benua tahun 1999, memperlihatkan bahwa penyakit gangguan otot rangka (Musculo Skeletal Disease) pada urutan pertama 48 %, kemudian gangguan jiwa 10-30 %, penyakit paru obstruksi kronis 11 %, penyakit kulit (Dermatosis) akibat kerja 10 %, gangguan pendengaran 9 %, keracunan pestisida 3 %, cedera dan lain-lain. Berdasarkan data tersebut, penyakit kulit akibat kerja menempati urutan ke-empat dalam penyakit akibat kerja (Lestari, 2008).

Dermatosis akibat kerja/penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada waktu melakukan pekerjaan dan


(20)

pengaruh-pengaruh yang terdapat dalam lingkungan kerja. Gangguan kesehatan berupa dermatosis akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya akan mempengaruhi proses produksi, secara makro akan mengganggu proses pembangunan secara keseluruhan. Di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi (Siregar, 1996). Penyakit kulit akibat kerja merupakan salah satu kelompok utama penyakit akibat kerja dalam hal prevalensi. Meskipun penyakit kulit akibat kerja tidak mengancam jiwa, dampak ekonominya sangat besar. Dermatitis kontak merupakan salah satu bentuk dari dermatosis akibat kerja sekaligus bagian terbesar yang paling sering terjadi dari kelompok penyakit kulit (Ket & Leok, 2001).

Insiden dari penyakit kulit akibat kerja di beberapa negara adalah sama, yaitu 50- 70 kasus per 100.000 pekerja pertahun (Fathiya, 2011). Health and Safety Executive/HSE dalam Budiyanto (2010) menyatakan bahwa antara tahun 2001 sampai 2002 terdapat sekitar 39.000 orang di Inggris terkena penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau sekitar 80% dari seluruh penyakit akibat kerja. Menurut Trihapsoro (2003), di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak. Konsultasi ke dokter kulit sebesar 4-7% diakibatkan oleh dermatitis kontak. Dermatitis tangan mengenai 2% dari populasi dan 20% wanita akan terkena setidaknya sekali seumur hidupnya. Anak-anak dengan dermatitis kontak 60% akan positif hasil uji tempelnya.


(21)

Sedangkan untuk prevalensi dari dermatitis kontak tidak diketahui secara pasti, tetapi dari hasil survai sebelumnya menunjukkan proporsi yang bermakna penyakit terkait-pekerjaan (hampir 50%) disebabkan oleh cedera akibat kerja, dan yang paling sering terkena adalah tangan. Dermatitis kontak memberikan beban ekonomik yang bermakna. Pada tahun 1975, survai di California menunjukkan bahwa 95% dari semua penyakit kulit terkait kerja adalah dermatitis kontak, yang pada gilirannya merupakan hampir dari 50% klaim pekerjaan pada tahun itu (Isselbacher et al, 1999). Dari seluruh penderita dermatitis kontak, 80% disebabkan karena dermatitis kontak iritan, sedangkan 10-20% disebabkan karena dermatitis kontak alergik. Berdasarkan laporan dari bagian Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, dari tahun 1988-1991 insiden dermatitis kontak di Indonesia tercatat sebesar 4,45% (Sumantri dkk, 2008).

Di Indonesia banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan dermatitis kontak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo (2007) dari 80 responden pada industri otomotif terdapat sebanyak 48,8% pekerja mengalami dermatitis kontak. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Nuraga, dkk (2008) pada industri otomotif dan didapatkan hasil bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 74% dari 54 responden.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut Schnuch & Carlsen (2011), diantaranya yaitu dermatitis atopik/riwayat atopik, jenis kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya, serta tipe kulit. Sedangkan menurut Djuanda dan Sularsito (2002), faktor yang mempengaruhi yaitu lama kontak,


(22)

frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi (dermatitis atopi). Berdasarkan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2007), ada 4 faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya dermatitis kontak pada pekerja yaitu, jenis pekerjaan, usia, lama bekerja, dan riwayat dermatitis akibat pekerjaan sebelumnya. Sedangkan menurut Nuraga dkk (2008), ada faktor lain yang memiliki hubungan paling berpengaruh yaitu pemakaian APD terhadap pekerja yang mengalami dermatitis kontak.

Terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada umumnya dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor kimiawi, faktor mekanis/fisik, faktor biologis (Siregar, 1996). Dari faktor-faktor tersebut, faktor yang paling banyak disebabkan karena faktor kimiawi. Berdasarkan penelitian di United Kingdom (UK), ditemukan bahwa agen dengan jumlah tertinggi untuk kasus dermatitis kontak alergi adalah karet (23,4% kasus alergi dilaporkan oleh ahli kulit), nikel (18,2%), epoxies dan resin lainnya (15,6%), amina aromatik (8.6%), krom dan kromat (8.1%), pewangi dan kosmetik (8.0%), dan pengawet (7.3%). Sedangkan sabun (22,0% kasus), pekerjaan basah (19,8%), produk minyak bumi (8,7%), pelarut/solvent (8.0%), dan cutting oil dan pendingin (7.8%) adalah agen yang paling sering ditemukan dalam kasus dermatitis iritan (Meyer et al, 2000). Kebanyakan iritan langsung merusak kulit dengan cara mengubah pH nya, bereaksi dengan protein-proteinnya (denaturasi), mengekstraksi lemak dari lapisan luarnya,


(23)

atau merendahkan daya tahan kulit. Sedangkan reaksi yang menimbulkan alergi kulit umumnya adalah hipersensitivitas tipe lambat (Anies, 2005).

Motor sebagai alat transportasi yang murah dan cepat merupakan pilihan utama kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Jumlah kendaraan di wilayah Polda Metro Jaya yang membawahi wilayah Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang, tiap harinya bertambah 890 unit sehingga pada bulan September 2010 jumlahnya sudah mencapai 8,3 juta unit (Prambudi, 2010). Berdasarkan data dari AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia) (2012), penjualan sepeda motor pada tahun 2011 tercatat mecapai 8 juta unit. Jumlah kepemilikan sepeda motor yang besar ini dapat memunculkan banyaknya layanan berbagai kebutuhan otomotif ataupun usaha bengkel perbaikan sepeda motor. Hal tersebut juga dapat memberikan peluang kepada orang lain yang juga ahli dalam menangani motor untuk bekerja sebagai mekanik dibengkel motor yang telah didirikan.

Pekerja di bengkel motor merupakan salah satu pekerja yang memiliki risiko besar untuk terpapar dengan bahan kimia. Bahaya dan risiko yang ada harus diantisipasi oleh para pekerja bengkel motor yang bergerak pada sektor informal karena tidak adanya perhatian khusus dalam menangani masalah kesehatan yang terjadi. Salah satu penyakit yang bisa menjadi masalah untuk kesehatan pekerja bengkel motor adalah masalah yang terjadi pada kulit yaitu dermatitis kontak akibat kerja. Dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor diakibatkan oleh paparan penggunaan air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin.


(24)

Accu zuur (H2SO4 pekat) merupakan salah satu contoh bahan kimia yang dapat menimbulkan dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor. Berdasarkan data yang diperoleh dari dermatologis di UK, dari bulan Februari 1993 sampai bulan Januari 1999 terdapat 152 kasus dermatitis kontak pada mekanik motor dengan insiden rate 12,7/100.000 pekerja. Agen penyebab tertinggi kejadian dermatitis kontak pada pekerja mekanik motor yaitu dari produk minyak bumi sebesar 35,6% (Meyer et al, 2000). Penelitian di Indonesia menunjukkan angka prevalensi dermatitis kontak iritan (DKI) sebesar 2% dan prevalensi yang pernah mengalami riwayat DKI subjektif sebesar 64% pada pekerja bengkel mobil di Jakarta. Didapatkan perbedaan bermakna riwayat DKI subjektif antara pekerja yang kebersihan dirinya tidak baik dengan pekerja yang kebersihan dirinya baik (Lestari, 2009).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurzakky (2011) pada pekerja bengkel motor didapatkan hasil bahwa sebesar 65,7% pekerja bengkel motor menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang menderita dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk. Pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk memiliki risiko untuk mengalami dermatitis kontak akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni 2012 terhadap pekerja bengkel motor di Kecamatan Ciputat Timur Tangerang Selatan, terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis


(25)

kontak setelah mereka terpapar atau kontak dengan bahan kimia. Dari 7 pekerja tersebut 85,7% merasakan gatal, 71,4% merasakan panas pada kulit, 14,3% kulit memerah, dan 14,3% kulit mengelupas. Seluruh pekerja bengkel tidak memakai APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannya.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciputat Timur karena Ciputat Timur merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk yang tertinggi berdasarkan data BPS Kota Tangerang Selatan tahun 2011 mencapai 11.589 jiwa/Km2 dengan penduduk berjumlah 178.818 jiwa. Dan sebagian besar usaha di Ciputat Timur terkonsentrasi pada pelayanan jasa. Berdasarkan hal tersebut memungkinkan banyaknya kepemilikan kendaraan bermotor di Ciputat Timur dan memunculkan banyaknya berbagai layanan service motor (bengkel). Pada observasi awal diketahui bahwa di Kecamatan Ciputat Timur terdapat 43 bengkel motor informal. Selain itu, UIN Syarif Hidayatullah terletak pada Kecamatan Ciputat Timur, sehingga hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base pelaksanaan program intervensi khususnya untuk pekerja sektor informal di wilayah terdekat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Dengan dilakukannya penelitian tersebut diharapkan dapat menemukan langkah-langkah upaya pencegahan dan pengendalian, agar kesehatan para pekerja bengkel motor terutama untuk kesehatan kulit dapat terjamin dan bisa bekerja dengan lebih produktif.


(26)

1.2 Rumusan Masalah

Kejadian dermatitis kontak dapat disebabkan oleh beberapa faktor menurut Schnuch & Carlsen (2011), Djuanda dan Sularsito (2002), Lestari dan Utomo (2007), dan Nuraga, dkk (2008) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, riwayat alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, masa kerja, jenis pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni 2012 terhadap pekerja bengkel motor di Kecamatan Ciputat Timur Tangerang Selatan, terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis kontak. Dari 7 pekerja tersebut 85,7% merasakan gatal, 71,4% merasakan panas pada kulit, 14,3% kulit memerah, dan 14,3% kulit mengelupas. Seluruh pekerja bengkel tidak memakai APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannya. Pekerjaan yang dilakukan oleh mekanik motor pada bengkel informal di Ciputat Timur terbatas pada pelayanan servis kendaraan roda dua, mulai dari servis ringan, tune-up, Spare parts, sampai servis besar (turun mesin). Jenis paparan bahan kimia yang ada di bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur.


(27)

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?

2. Bagaimana gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?

3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis

kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?

5. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 6. Apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 7. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak

pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 8. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis

kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?

9. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?


(28)

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.

2. Diketahuinya gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.

3. Diketahuinya hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.

4. Diketahuinya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.

5. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.


(29)

6. Diketahuinya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 7. Diketahuinya hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis

kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.

8. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.

9. Diketahuinya hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Pekerja Bengkel

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pekerja bengkel mengenai gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel, selain itu dapat diketahui juga bagaimana upaya pencegahan dan pengendaliannya agar masalah kesehatan tersebut dapat teratasi sehingga membuat pekerja bengkel dapat bekerja dengan lebih baik dan produktif.


(30)

1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base pelaksanaan program intervensi khususnya untuk pekerja sektor informal di wilayah terdekat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi keilmuan K3, khususnya mengenai dermatitis kontak pada pekerja. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai informasi penelitian dan menambah referensi hasil penelitian untuk mahasiswa keselamatan dan kesehatan kerja.

1.5.3 Bagi Peneliti

Dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dan pengalaman dalam melakukan penelitian bidang keselamatan dan kesehatan kerja, khusunya terkait dengan dermatitis kontak. Selain itu dapat menambah wawasan keilmuan mengenai dermatitis kontak dan faktor penyebab serta faktor yang mempengaruhinya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa semester VIII peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012 untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah


(31)

Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan disain studi cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur dengan jumlah sampel 101 pekerja. Data penelitian didapatkan dengan cara pengambilan data primer melalui kuesioner, observasi, dan pemeriksaan fisik. Data tersebut kemudian dianalisis dengan uji univariat untuk memperoleh frekuensi jumlah dan persentase, dan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square, uji t-independent, dan uji Mann-Whitney.


(32)

14   

2.1 Pekerjaan Bengkel Motor

Pekerjaan bengkel dapat dibagi menjadi tiga kategori, berdasarkan jenis mesin atau peralatan yang digunakan dan jumlah pekerja yang dipekerjakan. Misalnya, beberapa bengkel yang berada dalam satu perusahaan dengan 100 atau lebih karyawan, sementara bengkel lainnya sangat kecil, terutama yang terlibat dalam menjual bahan bakar dan membuat perbaikan kecil dan mempekerjakan satu atau dua pekerja. Ada juga bengkel yang dijalankan oleh pekerja keluarga saja. Selain dari perusahaan, ada juga bengkel yang bergerak pada sektor informal (Ghebreyohannes, 2005).

Bengkel motor yang berskala kecil atau bengkel motor informal merupakan bengkel yang melayani melayani servis kendaraan roda dua, mulai dari servis ringan, tune-up, spare parts, sampai servis besar (turun mesin). Selain itu juga melayani reparasi hingga penggantian bahan pelumas/oli.

2.1.1 Bahaya Keselamatan Kerja

Bahaya keselamatan didefinisikan sebagai zat (bahan baku), mesin atau peralatan yang bisa menyebabkan luka sederhana atau serius yang berpengaruh untuk ketidakhadiran kerja yang berlangsung setidaknya 24 jam. Jenis-jenis kecelakaan yang biasa terjadi adalah luka bakar pada


(33)

tangan dan kaki karena asam dehidrasi berat, kelelahan, amputasi, injeksi, pemotongan, abrasi, patah tangan atau endapan dan cedera mata (karena benda terbang).

2.1.2 Bahaya Kesehatan Kerja

Bahaya kesehatan kerja didefinisikan sebagai kondisi patologis, apakah disebabkan oleh fisik, kimia atau biologis agen, yang muncul sebagai konsekuensi dari pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan atau lingkungan tempat dia bekerja. Bahaya kesehatan kerja di bengkel diantaranya yaitu pelarut organik dan anorganik, bahan kimia yang digunakan dalam membersihkan atau mencuci bagian mesin, dari pengisian baterai, lead yang digunakan dalam pengelasan, lead filler dan molten lead cair yang digunakan untuk mengisi keretakan dan penyok. Kejadian dermatitis sensitisasi telah dilaporkan dari penggunaan primer kromat seng dalam mereparasi bagian logam.

Dermatitis kontak merupakan salah satu bahaya kesehatan yang terdapat pada pekerja bengkel. Jenis paparan bahan kimia yang ada di bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin (Frosh & John, 2011).


(34)

2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja

Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada waktu melakukan pekerjaan serta pengaruh-pengaruh yang terdapat di dalam lingkungan kerja (Siregar, 1996). Penyakit kulit dapat ditandai dengan ruam yang memiliki kesamaan letak yang terbatas ke daerah serangan eksternal. Menggaruk ruam karena gatal dapat menyebabkan perluasan daerah yang terpapar. Penggunaan berbagai salep dalam kombinasi dapat memperburuk daripada mengurangi gejala. Penggunaan sarung tangan dapat melindungi terhadap kontak dengan bahan kimia penyebab, tetapi penggunaan sarung tangan yang tidak tepat dapat menyebabkan bahan kimia dapat masuk diantara sarung tangan dan kulit tangan. Hal ini dapat memperburuk dermatitis kontak. Beberapa orang juga alergi terhadap lateks dan komponen lain dalam sarung tangan (Gardiner & Harrington, 2007). Di negara-negara industri, sekitar 90% dari semua bentuk penyakit kulit akibat kerja terbatas pada tangan dan lengan bawah, terkadang juga terdapat pada wajah, serta bagian tubuh lainnya juga kadang-kadang dapat mengalami dermatitis kontak. Kebanyakan kasus didiagnosis sebagai eksim atau dermatitis kontak (Waldron & Edling, 2004).

Jenis penyakit kulit akibat kerja adalah sebagai berikut (Waldron & Edling, 2004):

 Subtipe eksim / dermatitis kontak  Acne kontak dan folikulitis


(35)

 Depigmentasi dan hyperpigmentasi  Infeksi

 tumor jinak dan ganas - berbagai penyakit misalnya lichenoid reaksi.

2.2.1 Penyebab penyakit kulit akibat kerja

Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor (Siregar, 1996):

1. Faktor kimiawi, dapat berupa iritasi primer, allergen atau karsinogen. 2. Faktor mekanis/fisik, seperti getaran, gesekan, tekanan, trauma, panas,

dingin, kelembaban udara, sinar radioaktif.

3. Faktor biologis, seperti jasad renik (mikroorganisme) hewan dan

produknya, jamur, parasit dan virus.

4. Faktor psikologis (kejiwaan), ketidakcocokan pengelolaan perusahaan

sering menghambat konflik diantara pegawai dan dapat menimbulkan gangguan pada kulit seperti neurodermatitis.

Sebenarnya kulit mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri dari serangan/rangsangan luar. Epidermis berfungsi menghambat penguapan air yang berlebihan dari tubuh, menghambat penyerapan berlebihan dari luar. Pigmen didalam kulit melindungi tubuh dari pengaruh sinar matahari. Selain itu kulit mengandung kelenjar keringat dan pembuluh darah yang berfungsi sebagai alat penjaga keseimbangan cairan tubuh, mempermudah timbulnya kelainan kulit.


(36)

2.2.2 Diagnosis Penyakit Kulit Akibat Kerja

Untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit kulit akibat kerja, sebagaimana penyakit lain, dilakukan (Siregar, 1996):

a. Anamnesis

b. Pemeriksaan klinis c. Pemeriksaan laboratorik d. Percobaan temple/uji temple

2.2.2.1 Anamnesis

Yang perlu ditanyakan antara lain ialah:

 Apakah sudah ada penyakit kulit sebelum masuk kerja di perusahaan

yang sekarang.

 Jenis pekerjaan penderita.

 Pengaruh libur/istirahat terhadap penyakitnya.

 Apakah ada karyawan lain menderita penyakit yang sama.

 Riwayat alergi penderita atau keluarganya.

 Proses produksi di tempat kerja dan bahan-bahan yang digunakan di

tempat pekerjaan.

 Apakah kelainan terjadi di tempat-tempat yang terpajan.

 Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi yang


(37)

 Lingkungan pekerjaan, tempat kerja terutama mengenai kebersihan dan temperatur.

 Kebiasaan atau hobi penderita yang mendorong timbulnya penyakit,

dan lain-lain.

2.2.2.2 Pemeriksaan Klinis

Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan kontak bahan yang dicurigai, yang tersering ialah daerah yang terpajan, misalnya tangan, lengan, muka atau anggota gerak. Kemudian tentukan ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa eritem, vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan kulit yang kronis berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, kering dan skuamasi. Bila ada infeksi terlihat pustulasi. Bila ada pertumbuhan tampak tumor, eksudasi, lesi verukosa atau ulkus.

2.2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah, urin, tinja hendaknya dilakukan secara lengkap. Bila ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan selanjutnya dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan kulit dengan KOH 10% dan selanjutnya dibiak dalam media Sabouraud agar. Pemeriksaan biopsy kulit kadang-kadang perlu dilakukan.


(38)

2.2.2.4 Uji Tempel/ Patch Test

Karena penyakit kulit akibat kerja sebagian besar berbentuk dermatitis kontak alergik (80%), maka uji tempel perlu dikerjakan untuk

memastikan penyebab alergennya. Bahan tersangka dilarutkan dalam

pelarut tertentu dengan konsentrasi tertentu. Sekarang sudah ada bahan tes tempel yang sudah standard an disebut unit uji tempel. Unit ini terdiri atas filter paper disc, yang dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji. Bahan yang akan diuji diteteskan diatas unit uji tempel, kemudian ditutup dengan bahan impermeabel, selanjutnya ditutup lagi dengan plester yang hipoalergis. Pembacaan dilakukan setelah 48, 72 dan 96 jam. Setelah penutup dibuka, ditunggu dahulu 15-30 menit untuk menghilangkan efek plester.

Hasil 0 : bila tidak ada reaksi

+ : bila hanya ada eritema

++ : bila ada eritema dan papul

+++ : bila ada eritema, papul, dan vesikel ++++ : bila ada edema, vesikel

Dalam penilaian ini harus dapat dibedakan antara reaksi iritasi dan reaksi alergi, reaksi negatif semu dan reaksi positif semu, untuk itu diperlukan pengalaman dan penilaian khusus.


(39)

2.3 Dermatitis Kontak 2.3.1 Anatomi Kulit

Kulit adalah massa jaringan terbesar di tubuh. Kulit bekerja melindungi dan enginsulasi struktur-struktur dibawahnya dan berfungsi sebagai cadangan kalori. Kulit mencerminkan emosi dan stress yang kita alami, dan berdampak pada penghargaan orang lain merespon kita. Selama hidup, kulit dapat teriris, tergigit, mengalami iritasi, terbakar, atau terinfeksi. Kulit memiliki kapasitas dan daya tahan yang luar biasa untuk pulih. Kulit terdiri atas tiga lapisan, yang masing-masing tersusun dari berbagai jenis sel dan fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut afalah epidermis, dermis, dan subkutis (Corwin, 2009).

Sumber : Craecker, 2008


(40)

2.3.1.1 Epidermis

Epidermis adalah lapisan kulit terluar. Sel-sel epidermis terus menerus mengalami mitosis, dan diganti sel baru sekurang-kurangnya setiap 30 hari. Epidermis mengandung reseptor sensorik untuk sentuhan, suhu, getaran, dan nyeri. Komponen utama epidermis adalah protein keratin, yang dihasilkan oleh sel keratinosit. Keratin mencegah hilangnya air tubuh dan melindungi epidermis dari iritan dan mikroorganisme penyebab infeksi. Melanosit (sel pigmen) terdapat dibagian dasar epidermis. Melanosit mensintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respon terhadap rangsangan hormon hipifisis anterior. Sel-sel imun, yang disebut sel Langerhans, terdapat diseluruh epidermis. Sel langerhans mengenali partikel asing atau mikroorganisme yang masuk ke kulit, dan member sinyal pada limfosit T atas keberadaan partikel atau mikroorganisme tersebut untuk memulai suatu serangan imun (Corwin, 2009).

2.3.1.2 Dermis

Dermis terletak tepat dibawah epidermis. Jaringan ini dianggap jaringan ikat longgar dan terdiri atas sel-sel fibroblast yang mengeluarkan protein kolagen dan elastin. Diseluruh dermis dijumpai pembuluh darah, saraf sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar keringan dan palit (sebasea). Sel mast, yang mengeluarkan histamine selama cedera atau peradangan, dan makrofag, yang memfagositosis sel-sel mati dan


(41)

mikroorganisme, juga terdapat di dermis. Pembuluh darah di dermis menyuplai makanan dan oksigen dermis dan epidermis, dan membuang produk-produk sisa. Aliran darah dermis memungkinkan tubuh mengontrol temperaturnya (Corwin, 2009).

Dermis membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan kekuatan dan struktur pada kulit. Lapisan ini tersusun dari dua lapisan yaitu papilaris dan retikularis. Lapisan papilaris dermis berada langsung dibawah epidermis dan tersusun terutama dari sel-sel fibroblast yang dapat menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu komponen dari jaringan ikat. Lapisan retikularis terletak dibawah lapisan papilaris dan juga memproduksi kolagen serta berkas-berkas serabut elastic. Dermis sering disebut sebagai “kulit sejati” (Smeltzer & Bare, 2001).

2.3.1.3 Lapisan Subkutis

Lapisan subkutis kulit terletak dibawah dermis. Lapisan ini terdiri atas lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan insulator panas. Lapisan subkutis adalah tempat penyimpanan kalori selain lemak, dan dapat dipecah menjadi sumber energy jika diperlukan (Corwin, 2009). Lapisan subkutis/jaringan subkutan ini terutama berupa jaringan adiposa yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan penyekatan panas tubuh (Smeltzer & Bare, 2001).


(42)

2.3.2 Fungsi Kulit

Fungsi kulit menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu diantaranya sebagai perlindungan, sensibilitas, keseimbangan air, pengaturan suhu, produksi vitamin, dan fungsi respon imun.

2.3.3 Dermatitis Kontak Akibat Kerja

Dermatitis kontak akibat kerja menyumbang 90% dari semua kasus gangguan kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dapat dibagi ke dalam dermatitis kontak iritan, yang terjadi pada 80% kasus, dan dermatitis kontak alergi. Dalam kebanyakan kasus, kedua jenis akan hadir sebagai lesi eczematous pada bagian tubuh yang terkena, terutama tangan (Sasseville, 2008).

Smeltzer & Bare (2001) juga mengatakan dermatitis kontak merupakan reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia, atau biologi. Epidermis mengalami kerusakan akibat iritasi fisik dan kimia yang berulang-ulang. Dermatitis kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana reaksi non-alergik terjadi akibat pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe alergi (dermatitis kontak alergik) yang disebabkan oleh pajanan orang yang sensitive terhadap allergen kontak. Reaksi pertama dari dermatitis kontak mencakup rasa gatal, terbakar, eritema yang segera diikuti oleh gejala edema, papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret. Sedangkan pada fase subakut, perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah menjadi pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura serta pengelupasan kulit. Jika terjadi reaksi yang berulang-ulang atau bila pasien


(43)

terus-menerus menggaruk kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi (perubahan warna) akan terjadi.

Ada dua tipe dermatitis kontak akibat kerja yaitu: 1. Dermatitis kontak iritan

2. Dermatitis kontak alergik

Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi

Dematitis kontak iritan Dermatitis Kontak Alergik

Patogenesis Efek sitotoksik langsung Reaksi imun yang diperantai sel

T Individu yang

terkena

Semua orang Hanya orang yang alergik

Onset Langsung atau setelah paparan

berulang terhadap iritasi lemah

12-48 jam

Tanda Subakut atau kronis ekzema

dengan

deskuamasi, fisura

Akut hingga subakut ekzema dengan vesiculation

Gejala Nyeri atau rasa kulit terbakar gatal

Konsentrasi kontaktan

tinggi rendah

Pemeriksaan Tidak ada Tes patch atau prick


(44)

2.3.3.1 Dermatitis Kontak Iritan

Dalam Partogi (2008) dermatitis kontak iritan (DKI) adalah suatu proses inflamasi lokal pada kulit jika berkontak dengan zat yang bersifat iritan. Secara umum terdapat dua macam DKI yang bergantung dari jenis bahan iritannya, yaitu DKI akut dan kumulatif. Pada DKI akut, kerusakan kulit oleh bahan iritan terjadi hanya dalam satu kali pajanan. Zat yang menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan untuk menyebabkan kerusakan kulit bahkan dalam satu pajanan. Mencakup didalamnya adalah asam pekat, basa pekat, cairan pelarut kuat, zat oksidator dan reduktor kuat.

Sedangkan pada DKI kumulatif, kerusakan terjadi setelah beberapa kali pajanan pada lokasi kulit yang sama, yaitu terhadap zat-zat iritan lemah seperti: air, deterjen, zat-zat pelarut lemah, minyak dan pelumas. Zat-zat ini tidak cukup toksik untuk menimbulkan kerusakan kulit pada satu kali pajanan, melainkan secara perlahan-lahan hingga pada suatu saat kerusakannya mampu menimbulkan inflamasi. Penyebab DKI kumulatif biasanya bersifat multifaktorial.


(45)

Tabel 2.2 Jenis Iritan yang Umum Terdapat di Tempat Kerja

No Iritan

1 Asam dan Basa (Alkali)

2 Pelarut

Alifatik : Minyak bumi, Minyak tanah, Bensin Aromatik : Benzena, Toluena, Xylene/Xilena

Halogenasi : Kloroform, Trikloroetilen, Metil klorida

Beberapa macam lainnya : Air, Alkohol, Keton, Glikol, Terpentin

3 Sabun dan Deterjen

4 Plastik dan Resin

Epoxy, Fenolik dan Akrilik monomer Amina katalis

Styrene, Benzoil peroksida 5 Logam

Nikel, Kromium, Kobalt, Platina, Arsenik 6 Tanaman

Bulu, Duri

Kalsium oksalat : Dieffenbachia, Philodendron, Daffodil, Agave Fototoksik psoralen : Apiaceae, Rutaceae

7 Partikel

Pasir, Serbuk gergaji, Fiberglass, Kikiran logam, dan lain-lain. Sumber : Sasseville (2008)

2.3.3.1.1 Patogenesis

Mekanisme patogenesis DKI kumulatif dapat terjadi melalui dua cara yaitu melalui mekanisme kerusakan fungsi sawar kulit yang diperankan oleh stratum korneum dan pelepasan mediator akibat kerusakan keratinosit. Stratum korneum memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah sebagai lapisan sawar pelindung yang mencegah pelepasan cairan berlebih dari kulit. Fungsi integritas kulit bergantung pada kadar kelembaban stratum korneum.


(46)

Kerusakan akibat pajanan zat iritan dimulai dengan kerusakan lapisan lipid dan Natural Moisturizing Factor (NMF) sehingga terjadi kekeringan kulit, kemudian kelainan stratum korneum ini akan mengakibatkan kulit kehilangan fungsi sawarnya. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya pajanan langsung sel kulit yang masih hidup terhadap zat iritan tersebut. Jika zat iritan telah dapat mencapai membrane lipid keratinosit, maka zat tersebut dapat berdifusi melalui membrane untuk masuk lisosom, mitokondria, atau komponen inti.

2.3.3.1.2 Manifestasi Klinis

Penyebab kerusakan stratum korneum pada DKI kumulatif adalah penurunan ambang kulit terhadap kerusakan berulang yang terjadi lebih cepat daripada waktu untuk penyembuhan sempurna fungsi sawar kulit. Gejala klinis baru terlihat jika kerusakan yang terjadi melebihi “ambang manifestasi” tertentu, yang akan berbeda untuk setiap individu. Nilai ambang bukan angka yang tetap bagi individu, tetapi dapat menurun jika ada suatu penyakit.

Dikatakan bahwa sebelum efek inflamasi dan kulit kering terlihat oleh mata, secara histopatologik pada kulit sudah terjadi kerusakan. Karena DKI kumulatif disebabkan oleh zat kimia lemah, maka kelainan kulit yang diakibatkannya bersifat kronis. Efek iritasi yang terjadi dapat merupakan gejala yang dapat diobservasi oleh penglihatan dan berupa keluhan subjektif. Lesi kulitnya berupa


(47)

eritematosa, likenifikasi, ekskoriasi, skuama, hyperkeratosis, dan kulit pecah dengan batas yang tidak tegas. Sedangkan keluhan yang timbul dapat berupa gatal, panas, dan nyeri akibat pecahnya kulit yang hiperkeratotik. Lokasi kulit dimana saja dapat terkena, akan tetapi yang terbanyak adalah tangan.

2.3.3.2 Dermatitis Kontak Alergik

Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergika merupakan suatu fenomenan imunologi yang membutuhkan Antigen Presenting Cells (APC) dan Anti gen Processing Cells tanpa mempersoalkan keadaan pertahanan stratum korneum, sehingga meskipun stratum korneum intak, tidak dapat mencegah terjadinya dermatitis kontak alergi pada individu yang sensitif (Hakim, 2004).


(48)

Tabel 2.3 Jenis Alergens yang Umum Terdapat di Tempat Kerja

No Alergen

1 Logam

Nikel, Kromium, Kobalt, Merkuri, Emas, Platinum

2 Karet Aditif

Akselerator : Merkaptobenzotiazol, Karbamat, Thiurams, Tiourea

Antioksidan : N-fenil-N-isopropil-paraphenylenediamine, dan lain-lain

3 Plastik dan Resin

Epoxy, Fenolik dan Akrilik monomer Amina, Anhidrida, dan Katalis peroksida Colophony, Terpentin, Katekol

4 Biosida

Formalin dan Formaldehid releasers Glutaraldehid Isothiazolinones Methyldibromoglutaronitrile Iodopropynyl butylcarbamate 5 Kosmetik Paraphenylenediamine Gliseril thioglycolate Cocamidopropylbetaine

Paraben dan pengawet lainnya (lihat biosida) Wewangian dan minyak esensial

6 Tanaman

Penta-dan Heptadecylcatehols Seskuiterpen lakton

Sumber : Sasseville (2008)

2.3.3.2.1 Patogenesis

Di sini yang berperan adalah reaksi tipe IV (Gell dan Coombs). Reaksi ini di bagi dalam dua fase yaitu, fase sensitisasi dan fase elisitasi. Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen biasanya mempunyai berat molekul kecil, larut dalam lemak dan ini di


(49)

sebut sebagai hapten. Hapten akan berpenetrasi menembus lapisan korneum sampai mencapai lapisan bawah epidermis. Hapten ini akan difagosit oleh sel Langerhans, kemudian hapten akan di ubah oleh enzim lisosom dan sitosolik yang kemudian berikatan dengan HLA-DR membentuk anti gen. HLA-DR dan anti gen ini akan di perkenalkan kepada sel limfosit T melalui CD4 (cluster of differentiation-4) yang akan mengenal HLA-DR dan CD3 (cluster of differentiation-3) yang akan mengenal anti gen tersebut. Sedangkan fase elisitasi di mulai ketika anti gen yang serupa, setelah difagosit oleh sel Langerhans dengan cepat akan di kenal oleh sel memori sehingga sel memori akan mengeluarkan IFN-g (interferon gamma) yang akan merangsang keratinosit yang akan menampakkan ICAM-1 dan HLA-DR pada permukaan keratinosit. ICAM-1 akan memungkinkan keratinosit berikatan dengan sel lekosit yang pada permukaannya terdapat LFA-1 (lymphocyte associated-1).

2.3.3.2.2 Manifestasi Klinis

Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut di mulai dengan bercak eritea berbatas jelas, kemudian di ikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada kronis terlihat kulit kering berskuama, papul likenifikasi dan mungkin juga fisura, batas tidak jelas.


(50)

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak

Faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak yaitu lama kontak, frekuensi kontak dan bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, tipe/jenis kulit, riwayat alergi, riwayat pekerjaan, masa kerja, jenis pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.

2.4.1 Lama Kontak

Lama kontak dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak

akibat kerja (Djuanda dan Sularsito 2002). Lama kontak dengan bahan kimia yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian risiko, yaitu dengan cara membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi perlu dilakukan (Nuraga, 2008).

Berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan dengan bahan kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa pekerja dengan lama kontak 8 jam//hari lebih banyak menderita dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja dengan lama kontak < 8 jam/hari. Dari penelitian Ruhdiat (2006) juga didapatkan bahwa perjalanan dermatitis kontak akut, subakut, maupun kronis sering terjadi pada orang yang


(51)

mempunyai kontak selama 8 jam, dan lama kontak merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian dermatitis kontak.

Menurut Cohen (1999), lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka akan semakin merusak sel kulit hingga ke lapisan yang lebih dalam dan risiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi. Agius (2004) juga mengatakan bahwa semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit, maka penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit akan semakin luas dan dalam hingga menyebabkan reaksi peradangan/iritasi yang lebih berat.

2.4.2 Frekuensi Kontak

Frekuensi kontak juga merupakan faktor yang mempengaruhi

kejadian dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda dan Sularsito, 2002). Menururt Cohen (1999), dermatitis kontak alergi dapat disebabkan karena adanya frekuensi yang terus-menerus dan berulang khususnya untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak alergi, dimana dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional biasanya disebabkan oleh bahan kimia dengan jumlah sedikit. Menurut Nuraga dkk (2008), upaya menurunkan frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia merupakan salah satu upaya yang baik dilakukan untuk menurunkan kejadian dermatitis kontak.


(52)

Dalam penelitian Ruhdiat (2006), dermatitis kontak akut terbanyak terjadi pada pekerja yang mempunyai frekuensi kontak dengan bahan kimia sebanyak 5 kali/hari. Sedangkan dermatitis kontak sub akut banyak terjadi pada pekerja sebanyak 3 dan 5 kali kontak bahan kimia/ hari. Untuk dermatitis kontak kronik terjadi pada pekerja yang mempunyai kontak bahan kimia diatas 6 kali, yaitu 7 dan 8 kali kontak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia, maka berpotensi untuk terjadinya dermatitis kontak hingga kronik. Pada penelitian itu disebutkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak.

2.4.3 Bahan Kimia

Bahan kimia dapat bergabung dengan protein kulit dan menyebabkan kerusakan kulit (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Linins dalam Ruhdiat (2006) mengatakan bahwa bahaya bahan kimia adalah korosif (iritan) dan racun. Bahan kimia dapat menyebabkan langsung jaringan kulit iritasi sampai cedera atau korosi pada permukaan logam, namun yang sering terjadi adalah cedera korosi yang merusak jaringan lunak baik kulit maupun mata, iritasi kulit merupakan derajat cedera korosif dengan derajat ringan. Bahan kimia korosif cairan basa merusak jaringan lunak lebih kuat dari pada asam anorganik. Bahan ini merusak lebih dalam pada jaringan lunak kulit dengan menimbulkan proses perlemakan dalam hitungan minggu, rasa nyeri


(53)

yang hebat dan melemahkan lapisan epidermis sehingga kulit menjadi lebih rentan terhadap bahan kimia lain. Namun pada saat permulaan terpapar justru tidak timbul rasa sakit.

Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa, yang mana asam menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses perusakan jaringan lunak. Asam bereaksi sangat cepat dengan lapisan pelindung. Pelarut organik dapat menyebabkan iritasi berat pada kulit dan membran mukosa dengan merusak jaringan lunak yang menyebabkan jalan masuk untuk terjadinya infeksi sekunder (Linins dalam Ruhdiat, 2006).

2.4.4 Masa Kerja

Masa kerja merupakan lamanya pekerja bekerja pada suatu tempat. Analisis hubungan antara lama bekerja dengan kejadian dermatitis kontak menunjukan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Pekerja yang

memiliki lama bekerja ≤2 tahun lebih banyak yang terkena dermatitis

dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja > 2 tahun. Hasil analisis

juga menunjukkan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤2 tahun memiliki

peluang 3,5 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja

yang telah bekerja selama >2 tahun (Lestari dan Utomo, 2007).

Cohen (1999) mengatakan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤


(54)

pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan

pekerjaannya. Jika pekerja ini masih sering ditemui melakukan kesalahan

dalam prosedur penggunaan bahan kimia, maka hal ini berpotensi

meningkatkan angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama

bekerja ≤ 2 tahun. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati

sehingga kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit.

Masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang dalam menguasai pekerjaannya. Hal ini dimungkinkan bahwa para pekerja yang telah bekerja lebih dari dua tahun telah memiliki resistensi terhadap bahan iritan maupun alergen, sehingga penderita dermatitis kontak pada kelompok ini cenderung sedikit ditemukan. Pekerja dengan lama kerja kurang atau sama dengan 2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang mengindikasikan bahwa pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan pekerjaanya (Cahyawati dan Budiono, 2011).

Sama dengan yang dikatakan oleh Utomo (2007) bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat kimia. pada pekerja dengan lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resistensi ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terus-menerus.


(55)

2.4.5 Usia

Pada beberapa literatur menyatakan bahwa kulit manusia

mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini

memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi

lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Usia pekerja yang lebih tua menjadi lebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis kronik (Cronin dalam Lestari dan Utomo, 2007).

Dapat dikatakan bahwa dermatitis kontak akan lebih mudah

menyerang pada pekerja dengan usia yang lebih tua. Berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007), pekerja dengan usia yang

lebih muda justru lebih banyak yang terkena dermatitis kontak. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa dermatitis kontak lebih banyak terjadi pada pekerja dengan usia ≤ 30 tahun yaitu sebesar 60,5%, sedangkan pada usia > 30 tahun kejadian dermatitis kontak sebesar 35,1%.

2.4.6 Jenis Kelamin

Dermatitis kontak sering terjadi pada perempuan (Wigger dalam Avivah, 2005). Studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan di antara pasien dengan iritasi eksim pada tangan tingkatnya lebih tinggi pada wanita, tetapi kebanyakan penelitian eksperimental tidak dapat memastikan adanya


(56)

perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam hal akut atau reaktivitas kumulatif iritan. Persepsi umumnya, wanita memiliki kulit yang lebih sensitif dibandingkan dengan pria. Dalam studi yang lebih baru, pria bereaksi terhadap paparan iritan yang lebih besar tingkatnya daripada wanita (Schnuch & Carlsen, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Trihapsoro (2003), Dari 40 pasien yang diuji tempel bahwa ternyata jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%) dibandingkan dengan laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%).

2.4.7 Ras

Variasi antar etnis dalam reaksi iritan telah dinilai antara orang Asia dan Kaukasia, kulit hitam dan kulit putih, serta Hispanik dan Kaukasia. Beberapa studi telah dilakukan dengan tujuan untuk menyelidiki perbedaan reaktivitas iritan antara kulit hitam dan kulit putih. Studi dasar penilaian visual, telah dilaporkan penurunan reaktivitas pada kulit hitam, sedangkan studi dasar pada parameter obyektif telah menghasilkan peningkatan reaktivitas, kesamaan reaktivitas, ataupun penurunan reaktivitas, tetapi untuk sebagian besar penurunan reaktivitas pada kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih. Lapisan korneum memainkan peran utama dalam perbedaan antar etnis yang diamati. Mungkin ada perbedaan struktural dalam stratum korneum antara kulit hitam dan kulit putih. Jumlah lapisan sel dan kohesi interseluler dari stratum korneum dilaporkan lebih besar pada kulit Hitam,


(57)

tetapi ketebalan stratum korneum sama. Lipid interseluler juga tampaknya lebih besar pada kulit Hitam. Jadi dapat dikatakan, kulit putih lebih rentan untuk terjadinya dermatitis (Schnuch & Carlsen, 2011).

2.4.8 Riwayat Atopi

Riwayat atopi adalah sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat keadaan kepekaan dalam keluarganya, missal dermatitis atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2007). Ada pengaruh yang signifikan antara riwayat atopik dengan timbulnya dermatitis kontak iritan. Dari hasil penelitian yang dilakukan Sulistyani dkk (2010), didapatkan bahwa orang dengan riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatistis kontak iritan dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopi. Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan 41 orang (58,6%) menderita dermatitis kontak iritan (DKI) dan 29 orang ( 41,4%) tidak menderita DKI. Dari 41 orang yang menderita DKI, sebanyak 29 orang (41,4%) mempunyai latar belakang riwayat atopi dan sebanyak 12 orang (17,1%) tidak mempunyai latar belakang riwayat atopi. Dari hasil penelitian tersebut juga dikatakan bahwa orang yang memiliki riwayat atopik memiliki peluang yang lebih besar yaitu sebesar 5,37 kali dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik.

Sularsito (2007) menyatakan bahwa seseorang yang telah memiliki riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatitis kontak iritan


(58)

dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik. Schnuch & Carlsen (2011) juga mengatakan bahwa pasien dengan riwayat dermatitis atopi tetapi tidak ada lesi aktif tidak menunjukkan reaktivitas meningkat dibandingkan dengan pasien dengan dermatitis atopi aktif. Hiperreaktivitas yang diamati pada pasien dermatitis atopi mungkin juga berkorelasi positif dengan keparahan penyakit. Kerentanan tinggi terhadap reaksi iritasi pada orang yang memiliki riwayat/dermatitis atopi mungkin sebagian dikarenakan oleh permeabilitas barrier kulit yang lebih tinggi dan oleh respon inflamasi yang lebih besar.

2.4.9 Riwayat Penyakit Kulit

Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit

dermatitis, merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal ini karena kulit pekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia. Jika terjadi inflamasi maka zat kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Dari hasil penelitian Cahyawati dan Budiono (2011), menyatakan bahwa faktor riwayat penyakit kulit ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan

kejadian dermatitis. Sebagian besar responden yang memiliki riwayat

penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Sumantri dkk (2008) memgatakan bahwa beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon kulit. Adanya penyakit kulit sebelumnya dapat


(59)

menghasilkan dermatitis yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah memasuki dermis.

2.4.10 Riwayat Alergi

Riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007). Riwayat alergi dapat menjadikan kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Analisis hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat alergi yang terkena dermatitis

sebanyak 15 orang (57,7%) dari 26 orang yang memiliki riwayat alergi.

Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terkena dermatitis

sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar 44,4% dari 54 orang pekerja (Lestari dan Utomo 2007).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyawati dan Budiono (2011) sebagian besar responden yang tidak menderita dermatitis tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya. Dari data sebanyak 17 responden (85%) responden yang tidak menderita dermatitis tidak memiliki alergi sebelumnya, sebaliknya 10 responden (50%) yang menderita dermatitis memiliki riwayat alergi sebelumnya.


(60)

2.4.11 Musim

Menurut Hipp (1985) dalam Utomo (2007), faktor musim dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Menururt Gilles L et al (1990) dalam Situmeang (2008), musim panas dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran keringat oleh pekerja, selain itu dapat membuat pekerja menghindari pemakaian APD dan memakai pakaian kerja yang minim sehingga memungkinkan kontak langsung dengan bahan kimia secara mudah. Pada cuaca yang dingin, pekerja biasanya lebih malas untuk membersihkan diri dengan air setelah kontak dengan bahan kimia.

2.4.12 Tipe kulit

Kulit manusia dapat berbeda berdasarkan pada status pigmentasi dan kemampuan dalam penyamakan respon terhadap sinar matahari. Tidak ada perbedaan nilai ambang respon dalam iritan akut yang telah dicatat antara individu sesuai dengan jenis kulit mereka, tetapi pengukuran dosis eritema minimal tampaknya berkorelasi terbalik dengan tingkat reaksi terhadap paparan iritan (Schnuch & Carlsen, 2011). Ketebalan kulit juga dapat mempengaruhi ketahanan terhadap paparan bahan kimia. Selain itu, kulit yang berminyak lebih tahan terhadap at-zat yang larut dalam air, dibandingkan dengan kulit kering yang kurang tahan terhadap bahan-bahan yang bersifat asam atau basa (Gilles L et al (1990) dalam Situmeang, 2008).


(61)

2.4.13 Pengeluaran Keringat

Tingkat efek dermatitis kontak tergantung dari beberapa faktor, salah satunya adalah berkeringat (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Gilles L et al (1990) dalam Situmeang (2008) mengatakan bahwa bahan-bahan iritan dapat diencerkan dan dihanyutkan oleh keringat yang keluar dari kulit, dan akan memudahkan absorbs melalui pori-pori kulit.

2.4.14 Jenis Proses Pekerjaan

Jenis proses pekerjaan merupakan berbagai macam tahap pekerjaan yang dilakukan pada suatu tempat pekerjaan yang sama. Jenis proses pekerjaan dapat mempengaruhi dermatitis kontak karena diantara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya memungkinkan adanya paparan bahan kimia yang berbeda jumlah konsentrasi dan lama paparannya. Semakin besar

jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan

pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Priatna dalam Lestari dan Utomo, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo (2007), ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian dermatitis kontak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang bekerja pada proses realisasi lebih banyak yang mengalami dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang bekerja pada proses pendukung. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pekerja pada proses realisasi memiliki


(62)

peluang 3,358 (3,4) kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja di proses pendukung.

2.4.15 Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor fisik udara di lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak (Djuanda & Sularsito, 2002). NIOSH dalam Ruhdiat (2006) merekomendasikan tentang kriteria untuk nyaman, suhu udara dalam ruang yang dapat diterima adalah

berkisar antara 20-240C untuk musim dingin dan 23-260C untuk musim

panas pada kelembaban 35-65%. Mc Beath dalam Ruhdiat (2006) mengatakan semua bahan penyebab dermatitis kontak iritan seperti basa kuat dan asam kuat, sabun, dan detergen dan banyak bahan kimia organik diperberat dengan faktor turunnya kelembaban dan naiknya suhu lingkungan kerja. Hasil penelitian yang dilakukan Ruhdiat (2006), menunjukkan bahwa dermatitis kontak banyak terjadi pada pekerja yang bekerja didalam ruang yang memiliki suhu 25 dan 260C dan pada kelembaban < 65%.

2.4.16 Personal Hygiene

Personal hygiene juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007). Menurut Lestari dan Utomo (2007), salah satu faktor yang dapat mencegah terjadinya

dermatitis kontak adalah personal hygiene. Dari hasil penelitiannya


(63)

dermatitis dengan personal hygiene yang baik dengan pekerja yang

mengalami dermatitis kontak pada pekerja yang personal hygiene-nya

kurang baik. Dermatitis kontak lebih banyak terjadi pada pekerja yang memiliki personal hygiene kurang baik. Dalam hal ini, yang dimungkinkan menjadi penyebabnya personal hygiene kurang baik adalah masalah mencuci tangan. Kebiasaan mencuci tangan seharusnya dapat mengurangi potensi

penyebab dermatitis akibat bahan kimia yang menempel setelah bekerja,

tetapi nyatanya pekerja masih bisa berpotensi untuk mengalami dermatitis meski sudah melakukan kebiasaan mencuci tangan. Hal tersebut bisa disebabkan karena adanya kesalahan dalam mencuci tangan (kurang bersih dalam mencuci tangan).

Dalam penelitian Cahyawati dan Budiono (2011) juga

menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor personal hygiene dengan

kejadian dermatitis kontak. Ada kecenderungan bahwa responden yang

menderita dermatitis karena memiliki personal hygiene yang buruk,

sebaliknya responden yang tidak menderita dermatitis sebagian besar memiliki personal hygiene baik.

Menurut hasil penelitian Nurzakky (2011) sebesar 65,7% pekerja bengkel motor menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang menderita dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk memiliki risiko untuk mengalami dermatitis


(64)

kontak akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik.

2.4.17 Pemakaian APD

Sebaiknya para pekerja diperlengkapi dengan alat penyelamat atau pelindung yang bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang sifatnya dapat mengiritasi, merangsang atau karsinogen. Alat pelindung yang dapat dipergunakan misalnya baju pelindung, sarung tangan, topi, kaca mata pelindung, sepatu, krim pelindung dan lain-lain (Siregar, 1996).

Pekerja yang selalu menggunakan sarung tangan dengan tepat

akan menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah

maupun lama perjalanan dermatitis kontak. Besarnya risiko kelompok

pekerja yang kadang-kadang menggunakan APD dibandingkan dengan

kelompok pekerja yang menggunakan APD terhadap kejadian dermatitis

kontak (positif) adalah 8,556. Artinya pekerjayang kadang-kadang memakai

APD mempunyai risikomengalamai dermatitis kontak 8,556 kali lebih besar

dari pekerja yang selalu menggunakan APD (Nuraga dkk, 2008).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cahyawati dan Budiono (2011) membuktikan bahwa ada hubungan antara pemakaian APD dengan kejadian dermatitis kontak. Pekerja yang cenderung memakai APD secara lebih baik, hasilnya rendah untuk berisiko mengalami dermatitis kontak.


(65)

Pemakaian alat pelindung diri, maka akan menghindarkan seseorang kontak langsung dengan agen-agen fisik, kimia maupun biologi.

Kesesuaian APD juga perlu untuk diperhatikan. APD yang baik seharusnya dapat mengurangi potensi pekerja untuk terkena dermatitis kontak. Jika pekerja masih merasakan adanya kontak dengan bahan kimia walaupun telah mengenakan APD, hal ini menunjukan bahwa APD yang digunakan tidak sesuai untuk melindungi kulit dari material bahan kimia (Lestari dan Utomo, 2007).

2.5 Kerangka Teori

Berdasarkan teori yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka, ada beberapa faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut Djuanda dan Sularsito (2002) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi. Menurut Schnuch & Carlsen (2011), faktor yang mempengaruhi diantaranya yaitu dermatitis atopi/riwayat atopi, jenis kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya, serta tipe kulit. Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi seperti masa kerja dan jenis proses pekerjaan (Cohen, 1999), pemakaian APD (Siregar, 1996), riwayat alergi, musim dan personal hygiene (Hipp dalam Utomo, 2007), serta bahan kimia dan pengeluaran keringat (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Hal tersebut dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini:


(66)

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Djuanda dan Sularsito (2002), Cohen (1999), Gardiner Aw & Harrington (2007), Schnuch & Carlsen (2011), Siregar (1996), serta Hipp dalam Utomo (2007)

1. Lama Kontak

2. Frekuensi Kontak

3. Bahan Kimia

4. Masa Kerja

5. Usia

6. Jenis Kelamin

7. Ras

8. Riwayat Atopi

9. Riwayat Penyakit Kulit 10.Riwayat Alergi

11.Musim

12.Tipe Kulit

13.Pengeluaran Keringat 14.Jenis Proses Pekerjaan 15.Suhu

16.Kelembaban

17. Personal Hygiene

18.Pemakaian APD


(67)

49   

3.1 Kerangka Konsep

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Berdasarkan teori, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia, masa kerja, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, riwayat alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, jenis proses pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban. Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu dermatitis kontak. Sedangkan variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Lama Kontak

Lama kontak dengan bahan kimia dapat meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Kontak yang lama dengan bahan kimia dapat menyebabkan kulit lapisan luar mengalami peradangan, dan jika kontak dengan bahan kimia semakin lama, akan semakin memungkinkan terjadinya peradangan pada kulit lapisan dalam.

2. Frekuensi Kontak

Fekuensi kontak merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Semakin banyaknya frekuensi paparan bahan kimia


(68)

terhadap kulit akan menyebabkan terjadinya kerusakan kulit dari lapisan yang paling luar hingga dalam.

3. Masa Kerja

Masa kerja merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang dalam menguasai pekerjaannya. Selain itu, pekerja yang lebih lama telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia, sehingga kulitnya lebih tahan. Maka dari itu, pekerja yang belum lama bekerja memungkinkan untuk mengalami kejadian dermatitis kontak.

4. Usia

Kejadian dermatitis kontak akan lebih mudah terjadi pada pekerja yang lebih tua, karena kulitnya lebih rentan. Semakin bertambahnya usia maka kulit manusia akan mengalami degenerasi. Kulit akan menipis dan kehilangan lapisan lemak sehingga menjadi lebih kering. Hal tersebut menyebabkan kulit lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak.

5. Riwayat Atopi

Riwayat atopi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Adanya riwayat atopi menjadikan kerentanan pekerja terhadap rekasi iritasi. Pada orang yang memiliki riwayat atopi akan dapat memperparah penyakit. Selain itu orang yang pernah memiliki dermatitis atopi disebabkan karena permeabilitas barrier dan respon kulit yang lebih besar, sehingga memudahkan terjadinya dermatitis.


(69)

6. Riwayat Penyakit Kulit

Pekerja yang sebelumnya pernah menderita penyakit kulit merupakan hal yang utama untuk dapat terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Hal tersebut dikarenakan kulit pekerja menjadi sensitif, khususnya terhadap bahan kimia. Bahan kimia akan lebih mudah mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah mengalami dermatitis.

7. Riwayat Alergi

Riwayat alergi juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak akibat kerja. Riwayat alergi dapat menjadikan kulit lebih rentan, sehingga dermatitis kontak akan lebih mudah terjadi pada orang yang memiliki riwayat alergi.

8. Personal Hygiene

Personal hygiene juga dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Dermatitis kontak lebih mudah dialami oleh pekerja yang memiliki personal hygiene yang tidak baik, khususnya dalam hal kebiasaan mencuci tangan setelah kontak dengan bahan kimia.

Variabel independen yang tidak diteliti dalam penelitian ini yaitu: 1. Bahan Kimia

Bahan kimia tidak menjadi variabel penelitian karena paparan bahan kimia disetiap bengkel motor jenisnya sama. Konsentrasi dari bahan kimia itu sendiri sulit untuk diteliti, karena dalam satu bengkel tidak hanya menggunakan


(70)

satu bahan kimia. Jenis paparan bahan kimia yang ada di bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), minyak, minyak pelumas, bensin, serta cairan pendingin. Kemudian kejadian dermatitis kontak itu sendiri ada yang bersifat kronik, sehingga tidak dapat dipastikan jenis dan konsentrasi paparan bahan kimia yang menyebabkan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel. Selain itu, pekerja bengkel motor selalu kontak dengan bahan kimia selama menangani motor, yang mana bahan kimia tersebut dapat menyebabkan dermatitis kontak. Maka dari itu bahan kimia tidak dijadikan variabel penelitian.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin tidak diteliti karena jenis kelamin pekerja bengkel motor adalah seluruhnya laki-laki.

3. Ras

Ras tidak diteliti karena pekerja bengkel di Kecamatan Ciputat Timur memiliki ras yang sama.

4. Musim

Faktor musim tidak diteliti karena homogen. Musim yang terjadi di Kecamatan Ciputat Timur sama.

5. Tipe Kulit

Tipe kulit tidak diteliti karena penentuan tipe kulit sulit untuk dilakukan. Penentuan tipe kulit tidak cukup hanya secara subyektif berdasarkan pemeriksaan fisik oleh dokter, namun harus dilakukan uji laboratorium.


(71)

6. Pengeluaran Keringat

Pengeluaran keringat tidak diteliti karena pada pekerja bengkel dimana tangannya selalu basah saat bekerja akibat paparan dengan minyak atau bensin pada alat bengkel akan sulit untuk menentukan kulit yang berkeringat secara subyektif. Hal tersebut dikhawatirkan hasilnya terdapat bias/rancu.

7. Jenis Proses Pekerjaan

Jenis proses pekerjaan tidak diteliti karena dibengkel motor tidak ada pembagian kerja atau spesifikasi kerja, artinya satu pekerja mengerjakan semua pekerjaan. Jadi hasilnya akan homogen.

8. Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban tidak dijadikan variabel penelitian karena suhu dan kelembaban lingkungan di bengkel motor homogen, karena semua bengkel motor terletak di out door.

9. Pemakaian APD

Variabel pemakaian APD tidak diteliti karena semua pekerja bengkel tidak menggunakan APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaan.


(72)

               

         

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Dermatitis Kontak

1. Lama Kontak

2. Frekuensi Kontak 3. Masa Kerja 4. Usia

5. Riwayat Atopi

6. Riwayat Penyakit Kulit 7. Riwayat Alergi


(73)

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

1 Dermatitis Kontak Peradangan pada kulit akibat paparan bahan kimia selama melakukan pekerjaan, dengan gejala berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit kering, mengelupas, kulit bersisik, dan terjadi penebalan pada kulit. Lembar pemeriksaan fisik Anamnesis dan Pemeriksaan fisik 0. Dermatitis 1. Tidak Dermatitis Ordinal

2 Lama Kontak  Lama waktu responden kontak dengan bahan kimia di tempat kerja dalam satu hari kerja

Kuesioner Pengisian Kuesioner & Self Administered

Jam/hari Rasio

3 Frekuensi Kontak  Jumlah kontak pekerja dengan bahan kimia dalam satu hari kerja

Kuesioner Pengisian Kuesioner & Self Administered

x/hari Rasio

4 Masa Kerja  Kurun waktu atau lamanya responden bekerja sebagai pekerja bengkel motor sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung

Kuesioner Pengisian Kuesioner & Self Administered


(1)

Select Cases Usia

1.

Usia < 28,91 & DK = 0

Statistics Riwayat penyakit

kulit Riwayat Alergi

N Valid 19 19

Missing 0 0

Mean .11 .74

Median .00 1.00

Minimum 0 0

Maximum 1 1

Riwayat penyakit kulit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Berisiko jika ada riwayat

penyakit kulit 17 89.5 89.5 89.5

Tidak berisiko jika tidak ada

riwayat penyakit kulit 2 10.5 10.5 100.0

Total 19 100.0 100.0

Riwayat Alergi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Berisiko jika ada alergi 5 26.3 26.3 26.3

Tidak berisiko jika tidak ada

alergi 14 73.7 73.7 100.0

Total 19 100.0 100.0

2.

Usia < 28,91 & DK = 1

Statistics Riwayat penyakit

kulit Riwayat Alergi

N Valid 33 33

Missing 0 0

Mean .58 .88

Median 1.00 1.00

Minimum 0 0

Maximum 1 1

Riwayat penyakit kulit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Berisiko jika ada riwayat

penyakit kulit 14 42.4 42.4 42.4

Tidak berisiko jika tidak ada

riwayat penyakit kulit 19 57.6 57.6 100.0


(2)

Riwayat Alergi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Berisiko jika ada alergi 4 12.1 12.1 12.1

Tidak berisiko jika tidak ada

alergi 29 87.9 87.9 100.0

Total 33 100.0 100.0

Select Cases Riwayat Atopi

1.

Atopi = 1 & DK = 0

Statistics Riwayat penyakit

kulit Riwayat Alergi

N Valid 28 28

Missing 0 0

Mean .11 .68

Median .00 1.00

Minimum 0 0

Maximum 1 1

Riwayat Alergi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Berisiko jika ada alergi 9 32.1 32.1 32.1

Tidak berisiko jika tidak ada

alergi 19 67.9 67.9 100.0

Total 28 100.0 100.0

Riwayat penyakit kulit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Berisiko jika ada riwayat

penyakit kulit 25 89.3 89.3 89.3

Tidak berisiko jika tidak ada

riwayat penyakit kulit 3 10.7 10.7 100.0


(3)

2.

Atopi = 1 & DK = 1

Statistics Riwayat penyakit

kulit Riwayat Alergi

N Valid 51 51

Missing 0 0

Mean .51 .82

Median 1.00 1.00

Minimum 0 0

Maximum 1 1

Riwayat penyakit kulit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Berisiko jika ada riwayat

penyakit kulit 25 49.0 49.0 49.0

Tidak berisiko jika tidak ada

riwayat penyakit kulit 26 51.0 51.0 100.0

Total 51 100.0 100.0

Riwayat Alergi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Berisiko jika ada alergi 9 17.6 17.6 17.6

Tidak berisiko jika tidak ada

alergi 42 82.4 82.4 100.0


(4)

(5)

(6)