Pengaruh Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air dengan Senter Light Emitting Diode pada Reaksi Fototaksis Ikan di Perairan Kepulauan Seribu

(1)

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA LAMPU BAWAH AIR

DENGAN SENTER

LIGHT EMITTING DIODE

PADA REAKSI

FOTOTAKSIS IKAN DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

MARTUA EDISON SIHOMBING

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

ABSTRAK

MARTUA EDISON SIHOMBING. Pengaruh Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air dengan Senter Light Emitting Diode pada Reaksi Fototaksis Ikan di Perairan Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh Dr. Ir. IRZAMAN, M. Si dan HERIYANTO SYAFUTRA, S. Si, M. Si.

Permasalahan penangkapan ikan dengan bagan apung adalah kurang terfokusnya ikan pada areal jaring. Penelitian ini dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut dengan membuat lampu bawah air yang dapat menarik ikan untuk mendekati areal jaring. Lampu bawah air dengan senter LED telah berhasil dibuat dengan menggunakan senter Toyasaki TL-300. Lampu bawah air dirancang agar kedap air. Dilakukan pengujian terhadap lampu bawah air, yaitu mengukur intensitas cahaya di udara (Iu) dan intensitas cahaya di air (Ia) dengan jarak 0.1-1 m dari

sumber cahaya. Hasil yang diperoleh digunakan untuk mencari koefisien pemudaran air (k). Nilai

k yang diperoleh diambil dari nilai krata-rata yaitu sebesar 0,123 m-1. Nilai k digunakan untuk mencari nilai Ia kontrol, dimana nilai Iu kontrol telah dicari terlebih dahulu dari sumber cahaya

lampu Philips tipe PLC-26 W. Melalui perbandingan antara nilai Ia lampu bawah air dengan

Ia kontrol, ditentukan jarak lampu bawah air dari permukaan laut pada operasi penangkapan ikan.

Penggunaan lampu pada operasi penangkapan ikan dilakukan dengan 0 lampu, 2 lampu dan 4 lampu. Jarak lampu bawah air dari permukaan adalah 0.3 m. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa hasil tangkapan dengan 4 lampu lebih banyak dibandingkan dengan 0 lampu dan 2 lampu. Hasil tangkapan dengan 0 lampu dan 2 lampu hanya memiliki sedikit perbedaan. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai intensitas lampu bawah air dengan 4 lampu dapat membuat reaksi fototaksis ikan menjadi positif, sehingga hasil tangkapan bagan apung semakin tinggi.

Kata Kunci: bagan apung, lampu bawah air, intensitas cahaya, koefisien pemudaran air, reaksi fototaksis, hasil tangkapan


(3)

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA LAMPU BAWAH AIR

DENGAN SENTER

LIGHT EMITTING DIODE

PADA REAKSI

FOTOTAKSIS IKAN DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

MARTUA EDISON SIHOMBING

G74070001

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

Judul Skripsi :Pengaruh Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air dengan Senter Light Emitting Diode pada Reaksi Fototaksis Ikan di Perairan Kepulauan Seribu

Nama : Martua Edison Sihombing NIM : G74070001

Disetujui,

Dr. Ir. Irzaman, M. Si Heriyanto Syafutra, S. Si, M. Si Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui,

Dr. Akhiruddin Maddu Ketua Departemen Fisika


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih dan karunia-Nya kepada kita semua. Hanya dengan izin dan kemudahan yang diberikan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Pengaruh Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air dengan Senter Light Emitting Diode pada Reaksi Fototaksis Ikan di Perairan Kepulauan Seribu. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Ir. Irzaman, M.Si sebagai pembimbing I dan Heriyanto Syafutra, S.Si, M.Si sebagai pembimbing II, yang telah memberikan pengarahan, ilmu, motivasi dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak, Mama, bang Erick, bang Jack dan de’ Tika atas kasih sayang, doa dan dukungan yang selalu diberikan.

3. Bapak Yunus dan para ABK yang telah memperbolehkan dan membantu dalam penelitian pada bagan apung di Kepulauan Seribu.

4. Dosen fisika IPB yang telah memberikan masukan dan motivasi. Bapak Nur Indro atas masukan yang diberikan dalam penulisan tugas akhir ini.

5. Staf dan pegawai Departemen Fisika IPB atas bantuan dan kerjasamanya. 6. Chirtine Mahardika atas doa, motivasi dan kebersamaan yang diberikan.

7. Keluarga “ Baskom ”(Eko, Tuan, Sauqi Briwik, Rendra, Blayz, Ika, Winda “Nci”, Loris, Andreuw, Dion, Egha, dll) atas sukacita, keceriaan dan kebersamaan yang tak terlupakan selama ini.

8. Teman-teman fisika 44 (Irvan, Johan, Ade, Ridwan, Dani, Habibi, Adam, Dede H, Hilal, Vero, Ninknink, Caul, Nice dll) atas bantuan, kerjasama dan kebersamaannya.

9. Teman-teman fisika 43 (Wance, Wandi, Pandu, Rudi, dll), fisika 45 (Irvan, Andri, Maman, dll), fisika 46 (Criss, Vino, Anu, dll) atas kerjasamanya.

10. UKM Sepak bola IPB.

11. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari dalam tugas akhir ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis berbesar hati menerima saran dan kritik yang membangun. Semoga tugas akhir ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serbalawan, Kabupaten

Simalungun, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 21 Maret

1989 dari pasangan Bapak P. Sihombing dan Ibu R. Sinaga.

Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Dolok Ilir selama

satu tahun, kemudian melanjutkan ke SDN 1 Dolok Batu

Nanggar selama enam tahun, kemudian melanjutkan ke

SLTPN 1 Dolok Batu Nanggar selama tiga tahun dan melanjutkan pendidikan ke jenjang

menengah atas di SMAN 1 Dolok Batu Nanggar sampai dengan tahun 2007. Pada tahun

yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana strata satu di Departemen Fisika,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor

(IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama mengikuti

perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Eksperimen Fisika I (2010).

Penulis aktif dalam beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di IPB, seperti UKM

Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB pada Komisi Kesenian dan UKM Sepak

Bola IPB. Penulis aktif juga dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa FMIPA IPB

dan seminar-seminar di dalam kampus.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 1

1.3 Perumusan Masalah ... 1

1.4 Hipotesis ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 Bagan Apung (bagang) ... 2

2.2 LED (Light Emitting Diode) ... 2

2.3 Cahaya ... 3

2.4 Sensitifitas Ikan Terhadap Cahaya ... 4

2.5 Reaksi Ikan Terhadap Cahaya ... 4

2.6 Pemanfaatan Cahaya dalam Operasi Penangkapan Ikan ... 5

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 6

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 6

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 6

3.3 Prosedur Penelitian ... 6

3.3.1 Pembuatan lampu bawah air ... 6

3.3.2 Uji intesitas cahaya lampu bawah air ... 7

3.3.3 Penggunaan lampu bawah air pada operasi penangkapan ... 7

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

4.1 Pembuatan Lampu Bawah Air ... 8

4.2 Uji Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air ... 8

4.3 Penggunaan Lampu Bawah Air pada Operasi Penangkapan Ikan ... 12

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 14

5.1 Kesimpulan... 14

5.2 Saran ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 15


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Warna dan panjang gelombang cahaya ...3

Tabel 2.2 Hubungan kedalaman dan warna air dengan penggunaan alat bantu cahaya ... 6

Tabel 4.1 Hasil pengukuran Iu lampu ... 9

Tabel 4.2 Hasil pengukuran Ia lampu ... 9

Tabel 4.3 Hasil perhitungan nilai koefisien pemudaran air (k) ... 10

Tabel 4.4 Hasil pengukuran Iu kontrol (samping) ... 10

Tabel 4.5 Hasil perhitungan nilai Ia kontrol (samping) ... 11

Tabel 4.6 Hasil pengukuran Iu kontrol (bawah) ... 11

Tabel 4.7 Hasil perhitungan Ia kontrol (bawah) ... 11


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Bagan apung ... 2

Gambar 2.2 Skema bagian bawah bagan apung ... 2

Gambar 2.3 LED ... 3

Gambar 2.4 Perbandingan kepekaan warna antara mata manusia dan ikan ... 4

Gambar 3.1 Rancangan awal lampu bawah air ... 6

Gambar 3.2 Tahap akhir lampu bawah air ... 7

Gambar 3.3 Sketsa penggunaan lampu bawah air pada bagang ... 8

Gambar 4.1 Kurva hubungan antara Iu dengan jarak (x) ... 9

Gambar 4.2 Kurva hubungan antara Ia dengan jarak (x) ... 9

Gambar 4.3 Hasil uji spektroskopi lampu bawah air ... 10

Gambar 4.4 Kurva hubungan antara Iu kontrol (samping) dengan jarak (x) ... 10

Gambar 4.5 Kurva hubungan antara Ia kontrol (samping) dengan jarak (x) ... 11

Gambar 4.6 Kurva hubungan antara Iu kontrol (bawah) dengan jarak (x) ... 11


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Diagram Alir ... 18

Lampiran 2. Konversi nilai satuan lux menjadi W/m2 ... 19

Lampiran 3. Perhitungan untuk mencari nilai koefisien pemudaran air (k) ... 21

Lampiran 4. Perhitungan untuk mencari nilai Ia lampu kontrol ... 22


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagan adalah alat penangkap ikan yang digolongkan ke dalam kelompok jaring angkat.1 Bagian utama alat ini terdiri atas jaring bagan dan alat bantu berupa cahaya. Pengoperasiannya dilakukan dengan cara menurunkan jaring, selanjutnya diterangi oleh cahaya. Penerangan tersebut bertujuan untuk menarik ikan-ikan yang bersifat fototaksis positif agar berkumpul di atas jaring. Jika diperkirakan jumlah ikan cukup banyak, maka jaring diangkat. Sasaran penangkapannya berupa jenis ikan-ikan pelagis kecil.

Banyak sumber cahaya yang biasa digunakan pada perikanan bagan. Misalnya petromaks, lampu bohlam dan lampu neon. Ketiga sumber cahaya ini sebenarnya merupakan alat penerangan yang dialihfungsikan sebagai alat bantu penangkapan ikan. Dari ketiga jenis lampu tersebut, nelayan umumnya lebih menyukai petromaks.2 Hal ini karena harganya murah, awet, mudah pengoperasiannya, mudah perawatannya dan mudah didapat. Adapun jenis lampu yang benar-benar dikhususkan sebagai alat bantu penangkapan ikan dengan bagan sebenarnya telah diproduksi. Lampu tersebut dinamakan Lacuba (Lampu celup bawah air). Walaupun telah terbukti mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan hingga 2-3 kali lipat dibanding dengan menggunakan lampu petromaks, Lacuba bukanlah menjadi pilihan utama dari para nelayan Indonesia, khususnya di daerah perairan Kamal Muara, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Hal ini disebabkan oleh harga Lacuba yang jauh lebih mahal dan sulit untuk didapatkan.

Permasalahan utama yang ada pada perikanan bagan adalah kurang terfokusnya ikan pada areal kerangka jaring ketika bagan dioperasikan, sehingga banyak ikan yang bersifat fototaksis positif tersebar disekitar areal kerangka jaring. Ikan yang tertangkap hanyalah sebagian kecil dari ikan yang tersebar di sekitar areal jaring bagan, yaitu ikan yang tersebar di atas areal jaring. Hal ini berbeda dengan cahaya Lacuba yang terfokus pada areal kerangka jaring.

Beberapa penelitian mengenai bagan apung telah dilakukan.3-6 Diantaranya adalah perbandingan hasil tangkapan bagan (light fishing) yang menggunakan beberapa warna

cahaya di perairan Lero (Pinrang), Sulawesi Selatan; pengaruh beberapa jenis kap lampu pada pencahayaan bagan diesel terhadap nilai iluminasi cahaya dan hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Carocok, Pesisir Selatan; iluminasi cahaya lampu petromaks pada medium udara; dan pemusatan cahaya petromaks pada areal kerangka jaring di permukaan air dengan menggunakan tudung berbentuk kerucut terpacung: pengaruhnya terhadap hasil tangkapan bagan. Masih banyak cara-cara memecahkan permasalahan yang ada pada bagan apung yang belum dilakukan, baik itu cara baru maupun pengembangan dari cara yang sudah ada.

Penelitian ini dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan merancang lampu bawah air dengan memperhatikan intensitas cahaya yang dihasilkan. Cahaya lampu alternatif ini diharapkan dapat membuat ikan-ikan yang bersifat fototaksis positif terfokus di atas jaring, sehingga memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak dari lampu bagang. Lampu ini juga diproduksi dengan harga yang lebih terjangkau oleh para nelayan.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Membuat lampu bawah air dengan senter LED.

2. Menentukan kisaran intensitas cahaya di atas jaring yang membuat reaksi fototaksis ikan menjadi positif, sehingga hasil tangkapan pada bagan apung juga akan semakin tinggi.

3. Menggunakan lampu bawah air dalam operasi penangkapan ikan pada bagan apung.

1.3 Perumusan Masalah

Bagaimana pengaruh intensitas cahaya lampu bawah air (senter LED) terhadap reaksi fototaksis ikan di perairan Kamal Muara, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara?

1.4 Hipotesis

Intensitas cahaya dengan menggunakan empat lampu bawah air membuat ikan lebih banyak berkumpul mendekati sumber cahaya, sehingga hasil tangkapan bagan apung tersebut akan semakin tinggi.


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bagan Apung (bagang)

Bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap pasif yang pengoperasiannya dilakukan dengan menurunkan dan mengangkat jaring secara vertikal. Berdasarkan cara pengoperasian tersebut, maka bagan dikelompokkan ke dalam jaring angkat (liftnett).1 Ada beberapa jenis bagan yang dioperasikan di Indonesia, diantaranya bagan tancap, bagan rakit, bagan perahu dan bagan apung. Seiring berkembangnya teknologi, nelayan lebih menyukai bagan apung karena dapat dipindah-pindahkan.

Bagan apung (bagang) terdiri dari rangkaian atau susunan bambu berbentuk segi empat dan jaring yang diikatkan pada bambu. Bambu-bambu yang melintang dan menyilang pada keempat sisinya dimaksudkan untuk memperkuat berdirinya bagang. Pada bagian tengah terdapat bangunan rumah (kapal) yang berfungsi sebagai tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan dan tempat untuk melihat ikan. Di atas bangunan bagang juga terdapat roller

(sejenis pemutar) dari bambu yang berfungsi untuk menarik jaring. Umumnya alat tangkap ini berukuran 8 x 8 m2.7

Jaring yang digunakan adalah jaring yang disebut dengan Wareng dengan mata jaring 0.4 x 0.4 cm2 dengan posisi terletak pada bagian bawah bangunan bagang yang diikatkan pada bingkai bambu yang berbentuk segi empat. Bingkai bambu tersebut dihubungkan dengan tali pada keempat sisinya yang berfungsi untuk menarik jaring. Pada keempat sisi jaring diberi pemberat yang berfungsi untuk menenggelamkan jaring dan memberikan posisi jaring yang baik selama dalam air. Jarak antara jaring dengan permukaan air (y) tergantung pada kedalaman daerah tangkapan yang ditentukan. Ukuran jaring biasanya satu meter lebih kecil dari ukuran bangunan bagang. Contoh foto dan skema bagian bawah bagan apung ditunjukkan oleh Gambar 2.1 dan 2.2.8

Dalam operasi penangkapan, kedalaman perairan rata-rata pemasangan alat tangkap ini adalah 8 m, bahkan ada yang memasang pada kedalaman 15 m.9,10 Sifat bagan apung yang dapat dipindahkan membuat daerah operasi penangkapannya semakin luas.1

Gambar 2.1 Bagan apung.8

Gambar 2.2 Skema bagian bawah bagan apung

Operasi penangkapan pada bagang menggunakan alat bantu cahaya untuk mengumpulkan ikan. Keberhasilan penangkapan ikan sangat tergantung pada intensitas cahaya dan arah pancaran cahaya yang terfokus pada jaring. Bagang lebih efektif digunakan pada saat bulan gelap, sebab pada saat itu ikan-ikan akan tertarik dengan cahaya lampu sehingga mendekati bagang dan berkumpul di bagian bawah bagang.

2.2 LED (Light Emitting Diode)

Dioda pemancar cahaya atau lebih dikenal dengan sebutan LED adalah suatu semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik yang tidak koheren ketika diberi tegangan maju.11 Gejala ini termasuk bentuk elektroluminesensi. LED merupakan salah satu komponen yang sering digunakan sebagai display.

Perkembagan dalam ilmu material telah menghasilkan LED dengan warna cahaya yang bervariasi. Warna LED (infra merah, cahaya tampak dan ultraviolet) tergantung pada komposisi dan kondisi dari material semi konduktor yang dipakai. Struktur LED dan fotonya ditunjukkan oleh Gambar 2.3.11


(13)

(a)

(b)

(c) Gambar 2.3 LED.11

(a) Struktur LED (b) Foto bentuk LED (c) Foto LED yang menyala Pada umumnya cahaya dihasilkan oleh LED pada range arus 5 – 20 mA, dengan tegangan sekitar 2 V, pada kondisi arus maju. Pada tegangan mundur LED akan berfungsi sebagai zener, sehingga tetap dalam keadaan mati.11 LED dipasang seri dengan hambatan dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran LED. 2.3 Cahaya

Cahaya merupakan suatu bentuk gelombang elektromagnetik yang dapat merambat tanpa medium perantara. Cahaya digolongkan pada beberapa panjang gelombang dengan kisaran yang luas. Cahaya tampak panjang gelombang berkisar 380-750 nm dan frekuensi berkisar 3,87x1014 - 8,35x1014 Hz.12,13 Cahaya menyebar dalam bentuk gelombang elektromagnetik dengan kecepatan pada ruang hampa mencapai 299.792.458 m/s.

Hubungan antara warna dan panjang gelombang cahaya dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Warna dan panjang gelombang cahaya.14

Warna Panjang gelombang Ungu 380 - 450 nm

Biru 450 - 495 nm Hijau 495 - 570 nm Kuning 570 - 590 nm Jingga 590 - 620 nm Merah 620 - 750 nm

Kecepatan rambat cahaya pada suatu media seperti udara atau air lebih kecil daripada di ruang hampa udara. Ketika cahaya merambat melalui suatu media menuju media lainnya, frekuensi cahaya tersebut tidak berubah, tetapi perubahan terjadi pada kecepatan rambat yang diikuti perubahan panjang gelombangnya, karena perbandingan antara cepat rambat dan panjang gelombang harus selalu konstan.15 Perbandingan antara cepat rambat dan panjang gelombang ditunjukkan pada Persamaan 2.1.

f = (2.1)

Keterangan: f = frekuensi (Hz) v = cepat rambat (m/s)

λ = panjang gelombang (nm) Dari enam warna cahaya (Tabel 2.1), cahaya warna biru dan hijau paling dalam menembus lapisan perairan, sementara warna merah dan ungu terabsorpsi oleh air hanya beberapa meter setelah menembus permukaan laut.

Intensitas cahaya adalah banyaknya pancaran cahaya yang jatuh pada suatu permukaan bidang.15 Intensitas cahaya sangat tergantung pada jenis sumber cahaya dan jarak antara sumber cahaya dengan permukaan bidang. Semakin jauh jarak sumber cahaya dengan bidang, maka intensitasnya semakin menurun. Pendugaan nilai intensitas cahaya pada suatu kedalaman dapat ditentukan dengan Persamaan 2.2.16

Ia= Iue-kx (2.2)

Keterangan:

Ia = Intensitas di air (lux);

Iu = Intensitas di udara (lux);

e = Konstanta Euler sebesar 2,718; k = Koefisien pemudaran air (m-1); x = Jarak terhadap sumber cahaya (m)

Cahaya yang masuk ke dalam air mengalami penurunan intensitas yang jauh


(14)

4

lebih besar bila dibandingkan dengan udara. Hal tersebut terutama diakibatkan adanya penyerapan cahaya oleh berbagai partikel dalam air. Kedalaman penetrasi cahaya dalam laut tergantung beberapa faktor, antara lain absorpsi cahaya oleh partikel-partikel air, panjang gelombang cahaya, kejernihan air, pemantulan cahaya oleh permukaan air, serta lintang geografis dan musim (cahaya matahari).17 Daya penglihatan ikan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.18

2.4 Sensitifitas Ikan Terhadap Cahaya Ikan mempunyai suatu kemapuan yang mengagumkan untuk dapat melihat pada waktu siang hari dengan kekuatan penerangan ratusan ribu lux sampai dalam keadaan hampir gelap sama sekali. Kuat penerangan ini erat hubungannya dengan tingkat sensitifitas penglihatan ikan, dengan kata lain bahwa berkurangnya kuat penerangan akan mengakibatkan berkurangnya jarak penglihatan ikan.18

Sensitifitas mata ikan laut pada umumnya sangat tinggi. Kalau cahaya biru-hijau yang mampu diterima mata manusia hanya sebesar 30% saja, mata ikan mampu menerimanya sampai 75%. Retina mata beberapa jenis ikan laut dalam bahkan dapat menerimanya sampai 90%.19 Pada umumnya ikan tertarik pada panjang gelombang sekitar 450 - 570 nm, yaitu warna biru dan hijau.20 Sebagai referensi untuk mengetahui bagaimana perbandingan kepekaan mata manusia dengan ikan terhadap cahaya dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Beberapa jenis ikan yang hidup di perairan pantai, retina matanya mempunyai sel kon yang sangat bervariasi. Sel kon adalah sel yang berfungsi membedakan panjang gelombang cahaya yang masuk ke retina mata. Penyebaran sel kon yang lebih merata dalam retina suatu jenis ikan memungkinkan mereka memiliki ketajaman penglihatan ke segala arah. Hal ini sangat diperlukan ikan, terutama dalam berburu mangsa. Jenis ikan yang setengah menetap sifatnya, pada umumnya memiliki kepadatan sel kon pada bagian tertentu, karena ikan jenis ini lebih banyak mamanfaatkan penglihatannya pada areal yang arah dan jaraknya tertentu saja.18

Gambar 2.4 Perbandingan kepekaan warna antara mata ikan dan manusia. 2.5 Reaksi Ikan Terhadap Cahaya

Indera penglihatan pada sebagian besar ikan merupakan indera utama yang memungkinkan terciptanya pola tingkah laku mereka terhadap keadaan lingkungannya. Kemampuan indera mata ikan memungkinkan untuk dapat melihat pada hampir seluruh lingkungan di sekelilingnya. Hanya suatu daerah sempit yang tidak dapat dilihat oleh ikan. Daerah sempit tersebut dikenal sebagai dead zone.18

Penyebab tertariknya ikan oleh cahaya sebagian didasari oleh disorientasi penglihatan ikan.21 Ikan dalam keadaan lapar akan lebih mudah terpikat cahaya daripada ikan-ikan yang tidak lapar. Ikan-ikan yang muda mempunyai ketertarikan yang lebih baik terhadap cahaya daripada ikan-ikan yang telah tua.20

Ada dua pola reaksi ikan terhadap cahaya, yaitu fototaksis dan fotokinesis. Fototaksis merupakan gerakan spontan dari ikan untuk mendekati atau menjauhi cahaya. Fotokinesis merupakan gerakan yang ditimbulkan oleh hewan dalam kebiasaan hidupnya.13 Fototaksis dibagi menjadi dua bagian, yaitu:22

(1)Fototaksis positif (photopholic) : berenang mendekati sumber cahaya. (2)Fototaksis negatif (photophobia) :

berenang menjauhi sumber cahaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fototaksis pada ikan, yaitu:22

(1)Faktor internal

a. Jenis kelamin: beberapa jenis ikan betina bersifat fototaksis negatif ketika matang gonad, akan tetapi ikan jantan pada jenis yang sama bersifat fototaksis positif ketika matang gonad.

b. Penuh atau tidaknya perut: ikan yang sedang lapar lebih bersifat fototaksis


(15)

positif daripada ikan dengan perut penuh.

(2)Faktor eksternal

a. Suhu air: ikan akan mempunyai sifat fototaksis yang kuat apabila berada pada lingkungan dengan suhu air yang optimal (sekitar 28 0C).

b. Tingkat cahaya lingkungan: siang hari atau pada saat bulan purnama akan mengurangi sifat fototaksis. c. Intensitas dan warna sumber cahaya:

jenis ikan yang berbeda akan berbeda pula responnya terhadap intensitas dan warna cahaya.

d. Ada atau tidaknya makanan: beberapa jenis ikan akan bersifat fototaksis apabila terdapat makanan, sedangkan jenis lainnya akan berkurang sifat fototaksisnya. e. Kehadiran predator akan mengurangi

sifat fototaksis.

Peristiwa berkumpulnya ikan di bawah sumber cahaya dapat dibedakan menjadi:23

(1)Peristiwa langsung, yaitu berkumpulnya ikan karena tertarik cahaya lampu yang digunakan atau ikan bersifat fototaksis positif.

(2)Peristiwa tidak lagsung, yaitu berkumpulnya ikan karena tujuan mencari makan yang disebabkan oleh adanya plankton dan ikan kecil yang terpikat cahaya.

Ikan ternyata mempunyai penglihatan yang cukup baik untuk membedakan warna. Ikan umumnya sangat peka terhadap cahaya yang datang dari arah dorsal tubuhnya. Ikan akan cenderung berorientasi ke arah kanan dari datangnya cahaya.24 Ikan tidak menyukai cahaya yang datang dari arah

ventral atau bagian bawah tubuhnya.18 Bila keadaan tidak memungkinkan untuk turun ke arah sumber cahaya, ikan menyebar ke arah horizontal. Ikan yang tertarik pada cahaya pada umumnya menyukai cahaya yang terang dan tenang. Cahaya yang tidak tenang (flickering light) seperti petir dan lampu senter yang dihidupmatikan akan

menakutkan atau setidaknya menggangu syaraf ikan.25

2.6 Pemanfaatan Cahaya dalam Operasi Penangkapan Ikan

Pemanfaatan cahaya untuk alat bantu penangkapan ikan dilakukan dengan memanfaatkan sifat fisik dari cahaya buatan itu sendiri.24 Masuknya cahaya ke dalam air sangat erat hubungannya dengan panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya tersebut. Semakin besar panjang gelombang cahaya, maka semakin kecil daya tembusnya ke dalam perairan.

Faktor-faktor lain yang juga menentukan menyebarnya cahaya di dalam air adalah absorpsi (penyerapan) cahaya oleh partikel-partikel air, kejernihan dan musim (cahaya matahari).24 Dengan sifat-sifat fisik yang dimiliki cahaya dan kecenderungan tingkah laku ikan dalam merespon adanya cahaya, nelayan kemudian menggunakan cahaya buatan untuk mengelabuhi ikan sehingga memudahkan dalam operasi penangkapan ikan.

Pada awal operasi penangkapan, nelayan biasanya menyalakan lampu yang bercahaya biru untuk menarik ikan yang jauh dari bagang. Hal ini disebabkan cahaya biru mempunyai panjang gelombang paling pendek dan daya tembus ke dalam perairan relatif paling jauh dibandingkan warna cahaya tampak lainnya. Setelah ikan tertarik mendekati cahaya, ikan-ikan tersebut kemudian dikumpulkan sampai pada jarak jangkauan alat tangkap (cathability area) dengan menggunakan cahaya yang lebih rendah frekuensinya (hijau dan kuning), secara bertahap. Dengan sistem ini, maka operasi penangkapan ikan akan lebih mudah dan nilai keberhasilannya lebih tinggi.

Faktor utama yang harus diperhatikan para nelayan dalam memanfaatkan cahaya untuk membantu operasi penangkapan ikan adalah kedalaman dan warna dari perairan itu sendiri. Hubungan kedalaman dan warna air dengan penggunaan alat bantu cahaya dapat dilihat pada Tabel 2.2.


(16)

6

Tabel 2.2 Hubungan kedalaman dan warna air dengan penggunaan alat bantu cahaya.13 Kedalaman (meter) Warna Laut Keterangan

2 1 – 2,5 2 – 3,5 3 – 4,5

Coklat

Coklat kekuningan Kuning kecoklatan Kuning

Penangkapan dengan alat bantu cahaya, tidak efisien untuk dilakukan

4 – 5,5 5 – 7 9 – 10

Kuning kehijauan Hijau kekuningan Hijau

Penangkapan dengan alat bantu cahaya, kurang efisien untuk dilakukan

10 – 11 12 – 16 17 – 29 >30

Hijau kebiruan Biru kehijauan Biru

Biru gelap

Penangkapan dengan alat bantu cahaya, efisien untuk dilakukan

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Material Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor dan Perairan Kamal Muara Kepulauan Seribu Jakarta Utara, pada bulan April sampai Agustus 2011.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah bagan apung, luxmeter, Vis-IR Spektrofotometer, tang, penggaris, pisau, gergaji dan gunting.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah senter LED (Toyasaki TL-003), lampu Philips tipe PLC-26 W,pipa paralon, dop, tripleks, paku, tambang, pemberat, mika, lem dan sampel air laut. 3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan lampu bawah air Lampu yang digunakan adalah senter LED isi ulang (Toyasaki TL-003) dengan 15 LED. Senter yang dibutuhkan sebanyak empat unit, kemudian masing-masing senter dimasukkan ke dalam pipa paralon yang telah disiapkan.

Pipa paralon yang akan digunakan berdiameter 5 inci. Pipa ini kemudian dipotong menjadi empat bagian, masing-masing dengan panjang 23 cm. Setelah itu, salah satu ujung dari setiap pipa ditutup dengan mika yang memiliki tebal 1.5 mm. Penutupan ini menggunakan lem atau perekat, agar ujung pipa tertutup secara sempurna dan permanen. Kemudian di dalam setiap pipa, dibuat dudukan dengan tripleks. Dudukan ini berfungsi agar senter yang dimasukkan mendapat posisi yang baik

dan tidak goyang pada saat ada geteran atau goncangan. Sebagai tahap awal lampu bawah air dapat dilihat pada Gambar 3.1.

(a)

(b)

(c)

Gambar 3.1 Tahap awal lampu bawah air (a)Potongan paralon

(b)Dudukan tripleks dan senter LED (c)Penyesuain dudukan senter LED


(17)

Setelah pipa paralon selesai, senter dimasukkan ke setiap pipa dengan posisi mata senter ke arah ujung pipa yang ditutup mika, kemudian ditambahkan pemberat (2 kg). Ujung pipa yang ditutup mika harus dibuat lebih berat daripada ujung yang satunya. Hal ini dimaksudkan agar pada saat lampu dimasukkan ke dalam air, ujung pipa yang lebih berat akan tetap mengarah ke bawah. Dengan demikian, cahaya lampu juga akan tetap mengarah ke bawah.

(d)

(e)

(f)

Gambar 3.2 Tahap akhir lampu bawah air (d)Penambahan pemberat pada

paralon

(e)Memasukkan senter dan menutup kedua ujung paralon

(f) Lampu bawah air selesai

Tahap akhir pada pembuatan lampu ini yaitu membuat penutup pada ujung pipa yang lainnya. Untuk penutup tersebut digunakan penutup pipa paralon yang

dinamakan dop. Penutupan dengan dop juga harus sempurna, tetapi tidak permanen. Hal ini dimaksudkan agar senter dapat dikeluarkan pada saat pengisian daya. Tepat di tengah dop, dibuat sebuah pengait untuk tambang. Tambang yang digunakan sepanjang 10 m (disesuai dengan bagan). Tahap akhir lampu bawah air ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.

3.3.2 Uji intesitas cahaya lampu bawah air

Pengujian dilakukan dalam tiga perlakuan, yaitu mengukur intensitas lampu Philips (Iu kontrol), intensitas lampu bawah

air di udara (Iu) dan intensitas lampu bawah

air di air (Ia). Untuk Iu kontrol dan Iu dapat

diukur secara langsung menggunakan Luxmeter dengan jarak 0 m, 0.1 m, 0.2 m, 0.3 m, 0.4 m, 0.5 m, 0.6 m, 0.7 m, 0.8 m, 0.9 m dan 1 m dari sumber cahaya. Sedangkan untuk Ia, lampu yang telah dibuat

dinyalakan dan dicelupkan ke dalam air sekitar 0.3 m dari permukaan laut. Kemudian dilakukan pengukuran intensitas cahaya dengan menggunakan Luxmeter. Pengukuran dilakukan pada jarak 0 m, 0.1 m, 0.2 m, 0.3 m, 0.4 m, 0.5 m, 0.6 m, 0.7 m, 0.8 m, 0.9 m dan 1 m dari sumber cahaya. Pengukuran ini sebaiknya dilakukan pada malam hari, sehingga cahaya yang diuji benar-benar berasal dari lampu.

Berdasarkan data yang diperoleh, dilakukan perhitungan menggunakan Persamaan 3.1 untuk mencari nilai koefisien pemudaran air (k) dan nilai Ia kontrol.

Melalui perbandingan antara nilai Ia kontrol

dan Ia, maka dapat diketahui pada

kedalaman berapa lampu bawah air dicelupkan, sehingga memperoleh intensitas cahaya yang paling disukai ikan.

Ia = Iue

-kx

= e

-kx

ln = ln e-kx

ln

= -kx ln e

ln

= -kx k = -

(3.1)

3.3.3 Penggunaan lampu bawah air pada operasi penangkapan Penangkapan dengan lampu ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh lampu terhadap hasil tangkapan bagan apung. Terdapat tiga variasi


(18)

tangkapan yang berbeda. Untuk hari pertama tanpa menggunakan lampu, hari ke-2 menggunakan dua lampu dan hari ke-3 menggunakan empat lampu. Dalam satu hari dilakukan dua kali operasi penangkapan. Data yang diambil yaitu banyaknya hasil tangkapan yang diperoleh. Penangkapan ini dilakukan sebanyak lima kali ulangan, yaitu pada minggu ke-1, ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5.

Operasi penangkapan diawali dengan menentukan daerah tangkapan, dimana penentuan tersebut berdasarkan hasil pantauan di siang harinya dan insting para nelayan. Setelah daerah tangkapan ditentukan, jangkar dan jaring diturunkan sampai kedalaman tertentu sesuai dengan kedalaman daerah tangkapan. Semua lampu bagang dinyalakan. Setelah beberapa jam atau dianggap sudah banyak ikan yang berada di areal tangkapan, lampu bawah air diturunkan pada kedalaman yang sesuai dengan hasil pengujian sebelumnya. Kemudian lampu bagang dimatikan secara bertahap, sementara lampu bawah air tetap dibiarkan menyala. Ikan akan berkumpul pada sumber cahaya yang masih ada (lampu bawah air), tepat di atas jaring. Kemudian jaring diangkat dengan cepat agar ikan tidak sempat keluar dari areal jaring.

Contoh gambar penggunaan lampu celup bawah air pada operasi penangkapan dengan bagan apung ditunjukkan pada Gambar 3.3.26

Gambar 3.3 Sketsa penggunaan lampu bawah air pada bagang.26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan alat bantu cahaya dalam operasi penangkapan ikan, khususnya pada bagan apung (bagang) merupakan suatu hal yang sudah biasa dilakukan oleh para nelayan. Namun pemanfaatan cahaya yang kurang maksimal membuat ikan kurang tertarik pada cahaya, sehingga hasil tangkapan para nelayan juga menjadi tidak maksimal. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan alat bantu cahaya pada bagang adalah daerah tangkapan, intensitas cahaya, dan fokus cahaya pada areal jaring.

Lampu bawah air dalam penelitian ini dirancang untuk memaksimalkan fungsi dari cahaya yang membuat reaksi fototaksis ikan menjadi positif. Dengan demikian, lampu dapat digunakan para nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapan dari bagang. 4.1 Pembuatan Lampu Bawah Air

Pembuatan lampu bawah air dilakukan dengan penutupan sempurna pada setiap sisinya, sehingga lampu tidak dapat ditembus oleh air. Lampu ini berbentuk silinder dengan ukuran diameter 13 cm, panjang 23 cm dan berat 5 kg. Sumber cahaya lampu menggunakan senter LED dengan 15 buah LED. Pada penelitian ini dibuat empat lampu dengan ukuran yang sama.

Ukuran lampu juga diperhatikan dengan baik. Diameter pipa paralon disesuiakan dengan senter LED, sehingga sumber cahaya tidak goyang ketika ada getaran. Panjang pipa paralon juga disesuikan dengan senter LED, agar udara di dalam lampu tidak terlalu banyak. Dengan menambahkan besi seberat 2 kg pada ujung sumber cahaya, maka lampu dapat tenggelam dengan cahaya yang mengarah ke bawah. Penambahan pengait tambang pada ujung lainnya menyempurnakan bentuk lampu bawah air. Dengan demikian, lampu bawah air dapat berfungsi dengan baik dalam pengujian intensitas cahaya dan penggunaan pada operasi penangkapan ikan dengan bagan apung.

4.2 Uji Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air

Uji intensitas cahaya dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada lampu bawah air dan pada lampu Philips PLC-26 W yang digunakan sebagai kontrol. Pengujian pada


(19)

lampu bawah air dilakukan untuk mencari intensitas cahaya di udara (Iu) dan intensitas

cahaya di air (Ia), sedangkan pada lampu

kontrol hanya dilakukan untuk mencari intensitas cahaya di udara (Iu).

Pengujian pada lampu bawah air dimulai dari pengukuran nilai Iu dan Ia

dengan jarak tertentu dari sumber cahaya. Pengukuran Iu dilakukan di darat dengan

jarak 0 sampai 10 m. Pengukuran Ia

dilakukan pada sampel air yang dimasukkan ke dalam sebuah drum dengan jarak 0 sampai 1 m. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui kisaran intensitas cahaya lampu bawah air yang akan digunakan pada operasi penangkapan ikan dengan bagang. Hasil pengukuran nilai Iu dapat dilihat pada

Tabel 4.1 dan Gambar 4.1.

Tabel 4.1 Hasil pengukuran Iu lampu

Jarak (m) Iu (W/m 2

) 0 20.025 0.1 14.435 0.2 7.800 0.3 5.535 0.4 4.485 0.5

0.6 0.7 0.8 0.9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

3.810 3.180 2.880 2.535 2.280 2.190 1.171 0.451 0.399 0.301 0.214 0.121 0.057 0.036 0.022

Gambar 4.1 Kurva hubungan antara Iu

dengan jarak (x)

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lampu bawah air memiliki jangkauan cahaya yang cukup jauh. Pada jarak 10 m lampu masih memiliki intensitas cahaya sekitar 0.022 W/m2. Semakin jauh jaraknya dari

sumber cahaya, maka nilai intensitas cahaya akan semakin kecil.

Pengukuran dilanjutkan untuk mencari nilai Ia. Hasil pengukuran nilai Ia

dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.2.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Ia lebih kecil daripada Iu. Hal ini

terjadi karena adanya penyerapan cahaya yang disebabkan oleh berbagai partikel di dalam air. Semakin jauh jaraknya dari sumber cahaya, maka nilai intensitas cahaya akan semakin kecil.

Tabel 4.2 Hasil pengukuran Ia lampu

Jarak (m) Ia (W/m 2

) 0 19.965 0.1 12.285 0.2 7.620 0.3 5.325 0.4 4.260 0.5

0.6 0.7 0.8 0.9 1

3.585 2.955 2.655 2.295 2.040 1.935

Gambar 4.2 Kurva hubungan antara Ia

dengan jarak (x)

Pengujian selanjutnya yaitu menghitung nilai koefisen pemudaran air (k). Data Iu dan Ia digunakan dalam

perhitungan dengan Persamaan 3.1. Data yang digunakan yaitu pada jarak 0.1 sampai 1 m. Hasil perhitungan nilai k yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.3.


(20)

10

Tabel 4.3 Hasil perhitungan nilai koefisien pemudaran air (k)

Jarak (m)

Koefisien pemudaran air (m-1) 0.1

0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

0.121 0.117 0.129 0.129 0.122 0.122 0.116 0.124 0.124 0.124

krata-rata 0.123

Nilai koefisien pemudaran air di daerah ini diperoleh dari nilai krata-rata, yaitu sebesar 0.123 m-1. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepudaran air di Peraian Kamal Muara, Kepulauan Seribu cukup tinggi. Hal ini memang terlihat jelas pada air laut yang agak keruh.

Cahaya yang dipancarkan oleh lampu bawah air merupakan cahaya berwarna putih. Untuk mengetahui panjang gelombang yang paling dominan dari cahaya putih tersebut, dilakukan uji spektroskopi menggunakan sumber cahaya pada lampu. Hasil uji spektroskopi pada lampu bawah air dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat dua puncak panjang gelombang, yaitu panjang gelombang 456.87 nm (cahaya biru) dan panjang gelombang 550.97 nm (cahaya hijau). Hasil ini menunjukkan bahwa panjang gelombang yang dominan pada cahaya lampu bawah air adalah panjang gelombang cahaya biru dan hijau. Hasil uji yang diperoleh sesuai dengan literatur pada Gambar 2.3, yang menunjukkan bahwa mata ikan umumnya tertarik pada panjang gelombang sekitar 450 – 570 nm.

Gambar 4.3 Hasil uji spektroskopi lampu bawah air

Lampu Philips PLC-26 W merupakan sumber cahaya yang digunakan pada Lampu celup bawah air. Dengan demikian, lampu tipe ini dapat dijadikan sebagai kontrol untuk menentukan kisaran intensitas cahaya yang baik dalam operasi penangkapan ikan. Cahaya lampu ini menyebar ke arah samping dan ke arah bawah. Untuk itu pengukuran dilakukan dalam dua perlakuan, yaitu mencari intensitas cahaya lampu philips di udara (Iu kontrol) dari cahaya

yang mengarah ke samping dan intensitas cahaya lampu philips (Iu kontrol) dari

cahaya yang mengarah ke bawah.

Pengukuran pada perlakuan pertama yaitu untuk Iu kontrol (samping). Hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa kisaran Iu kontrol pada jarak 1 m sama dengan

kisaran Iu lampu bawah air pada jarak 4 m,

yaitu berkisar 0.334 W/m2. Semakin jauh jaraknya dari sumber cahaya, maka nilai intensitas cahaya akan semakin kecil. Hasil pengukuran nilai Iu kontrol (samping) dapat

dilihat pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.4. Tabel 4.4 Hasil pengukuran Iu kontrol

(samping)

Jarak (m) Iu (W/m2)

0.1 0.2

9.465 4.860 0.3 1.890 0.4 1.186 0.5 0.934 0.6 0.820 0.7

0.8 0.9 1

0.636 0.498 0.391 0.334

Gambar 4.4 Kurva hubungan antara Iu kontrol (samping)


(21)

Tabel 4.5 Hasil perhitungan nilai Ia kontrol

(samping)

Jarak (m) Ia (W/m2)

0.1 0.2

9.349 4.741 0.3 1.821 0.4 1.129 0.5 0.879 0.6 0.762 0.7

0.8 0.9 1

0.583 0.451 0.351 0.295

Gambar 4.5 Kurva hubungan antara Ia kontrol (samping) dengan

jarak (x)

Berdasarkan nilai k dan Iu kontrol

(samping) yang diperoleh, dilakukan perhitungan untuk mencari nilai Ia kontrol

(samping). Perhitungan tersebut menggunakan Persamaan 2.1. Karena adanya faktor k, maka nilai Ia kontrol

(samping) lebih kecil daripada nilai Iu kontrol (samping). Namun sifat intensitas

cahayanya tetap, yaitu semakin jauh jaraknya dari sumber cahaya, maka nilai intensitas cahaya akan semakin kecil. Hasil perhitungan nilai Ia kontrol (samping) dapat

dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.5. Pengukuran pada perlakuan kedua yaitu untuk Iu kontrol (bawah). Hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa kisaran Iu kontrol pada jarak 1 m sama dengan

kisaran Iu lampu bawah air pada jarak 6 m,

yaitu berkisar 0.243 W/m2. Hal ini menunjukkan bahwa jangkauan cahaya pada lampu bawah air lebih jauh daripada lampu kontrol. Semakin jauh jaraknya dari sumber cahaya, maka nilai intensitas cahaya akan semakin kecil. Hasil pengukuran yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.6 dan Gambar 4.6.

Tabel 4.6 Hasil pengukuran Iu kontrol

(bawah)

Jarak (m) Iu (W/m2)

0.1 0.2

8.640 2.430 0.3 1.276 0.4 0.789 0.5 0.526 0.6 0.388 0.7

0.8 0.9 1

0.312 0.271 0.259 0.243

Gambar 4.6 Kurva hubungan antara Iu kontrol (bawah) dengan

jarak (x)

Berdasarkan nilai k dan Iu kontrol

(bawah) yang diperoleh, dilakukan perhitungan untuk mencari nilai Ia kontrol

(bawah). Perhitungan tersebut menggunakan persamaan 2.1. Karena adanya faktor k, maka nilai Ia kontrol (bawah) lebih kecil

daripada nilai Iu kontrol (bawah). Namun

sifat intensitas cahayanya tetap, yaitu semakin jauh jaraknya dari sumber cahaya, maka nilai intensitas cahaya akan semakin kecil. Hasil perhitungan nilai Ia kontrol

(bawah) dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.7.

Tabel 4.7 Hasil perhitungan Ia kontrol

(bawah)

Jarak (m) Ia (W/m2)

0.1 0.2

8.535 2.371 0.3 1.230 0.4 0.751 0.5 0.495 0.6 0.360 0.7

0.8 0.9 1

0.286 0.246 0.232 0.214


(22)

12

Gambar 4.7 Kurva hubungan antara Ia kontrol (bawah) dengan

jarak (x)

Berdasarkan hasil data dan perhitungan pada lampu kontrol, diketahui bahwa kisaran intensitas yang dapat membuat reaksi fototaksis ikan menjadi positif, sehingga memperoleh hasil tangkapan tertinggi pada bagang adalah antara 0.200-9.349 W/m2. Dengan kisaran data yang diketahui, maka dapat ditentukan jarak lampu bawah air dari permukaan pada saat dicelupkan dalam operasi penangkapan ikan.

Jangkauan lampu bawah air yang mengarah ke bawah lebih jauh daripada lampu kontrol. Hal ini menjadi suatu pertimbangan untuk menentukan jarak antara lampu bawah air terhadap permukaan air laut pada saat melakukan operasi penangkapan ikan. Pada saat operasi penangkapan ikan, Lampu celup bawah air dimasukkan ke dalam air sejauh 2 m dari permukaan air. Berbeda dengan Lampu bawah air, dimasukkan ke dalam air hanya sekitar 0.3 m. Hal ini disebabkan karena jangkauan cahaya pada lampu bawah air yang lebih jauh. Jika lampu bawah air dimasukkan terlalu dalam, maka posisi ikan yang akan ditangkap juga jauh dari permukaan, sehingga pada saat penarikan jaring, ikan masih memiliki peluang untuk keluar dari areal jaring.

Jangkauan lampu bawah air yang mengarah ke samping lebih dekat daripada lampu kontrol. Hal ini dapat diantisipasi dengan menambah jumlah lampu agar dapat mencakup areal jaring pada saat operasi penangkapan.

4.3 Penggunaan Lampu Bawah Air pada Operasi Penangkapan Ikan

Operasi penangkapan ikan dengan bagang dilakukan pada malam hari. Keadaan

yang semakin gelap akan meningkatkan kinerja dari bagang yang menggunakan cahaya sebagai alat bantu penangkapan. Pada penelitian ini digunakan Lampu bawah air sebagai tambahan cahaya, agar cahaya dapat terfokus pada areal jaring dan mencakup areal tangkapan jaring. Kegiatan penangkapan ini disebut dengan

Experimental Fishing, yaitu kegiatan operasi penangkapan ikan untuk menilai kinerja alat tangkap, guna dikembangkan sebagai alat tangkap standar oleh masyarakat (nelayan).

Suhu harus diperhatikan dalam penggunaan Lampu bawah air pada operasi penangkapan ikan, Suhu perairan bervariasi, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal suhu bervariasi sesuai dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Variasi suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin di bagian tengah dan lapisan dingin di bagian bawah. Lapisan homogen berkisar pada kedalaman 50 sampai 70 m. Pada lapisan ini terjadi pengadukan air yang mengakibatkan suhu pada lapisan ini menjadi homogen, sekitar 28 0C. Lapisan termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun cepat terhadap kedalaman, terdapat pada kedalaman 100 sampai 200 m, dengan suhu dapat turun menjadi sekitar 7 0C. Lapisan dingin merupakan lapisan mulai stabil kembali, terdapat pada kedalaman <200 m dengan suhu <5 0C.27 Suhu yang tidak sesuai dengan habitat ikan akan mempengaruhi sifat fototaksis dari ikan tersebut. Ikan pelagis yang merupakan target tangkapan bagang biasanya terdapat pada lapisan homogen.

Penggunaan Lampu bawah air dilakukan dalam 5 kali tahapan. Setiap tahapan dilakukan selama 3 hari dalam 1 minggu. Banyaknya hasil tangkapan yang diperoleh bagang menjadi fokus utama dalam pengujian ini.

Penggunaan lampu pada minggu ke-1 dilakukan dengan variasi 0 lampu, 2 lampu dan 4 lampu. Hasil tangkapan dengan variasi tanpa lampu digunakan sebagai kontrol. Pada variasi 0 lampu, cuaca dalam keadaan yang cukup baik. Keadaan air cukup tenang dengan sedikit gelombang pada permukaan. Tangkapan I dilakukan pada pukul 23.00 – 02.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.00 – 05.30 WIB dengan suhu air sekitar 26 0C. Pada variasi 2 lampu, cuaca dalam keadaan


(23)

yang cukup baik. Permukaan air sedikit bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 22.00 – 02.00 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.00 – 05.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Pada variasi 4 lampu, cuaca dalam keadaan yang cukup baik. Permukaan air lebih tenang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 23.00 – 02.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.30 – 05.30 WIB dengan suhu air sekitar 26 0C.

Hasil tangkapan yang diperoleh antara lain ikan teri, ikan tembang, ikan kembung dan rajungan. Hasil tangkapan pada minggu ke-1 dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Penggunaan lampu pada minggu ke-2 dilakukan dengan variasi 0 lampu, 2 lampu dan 4 lampu. Hasil tangkapan dengan variasi tanpa lampu digunakan sebagai kontrol. Pada variasi 0 lampu, cuaca dalam keadaan kurang baik, dimana permukaan air sedikit bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 00.00 – 02.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.00 – 05.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Pada variasi 2 lampu, cuaca dalam keadaan kurang baik, dimana permukaan air sedikit bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 00.00 – 02.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.00 – 05.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Pada variasi 4 lampu, cuaca dalam keadaan kurang baik, dimana permukaan air sedikit bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 00.00 – 03.00 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.30 – 05.30 WIB dengan suhu sekitar 26 0C.

Keadaan air yang kurang baik membuat hasil tangkapan lebih sedikit dibandingkan dengan hasil pada minggu ke-1. Hasil tangkapan yang diperoleh antara lain ikan teri, ikan kembung, cumi-cumi dan rajungan. Hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Penggunaan lampu pada minggu ke-3 dilakukan dengan variasi 0 lampu, 2 lampu dan 4 lampu. Hasil tangkapan dengan variasi tanpa lampu digunakan sebagai kontrol. Pada variasi 0 lampu, cuaca dalam keadaan baik, dimana permukaan air tidak bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 00.00 – 02.30 WIB dengan suhu air sekitar 28 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.00 – 05.30 WIB dengan suhu air

sekitar 27 0C. Pada variasi 2 lampu, cuaca dalam keadaan baik, dimana permukaan air tidak bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 23.00 – 02.00 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 02.30 – 05.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Pada variasi 4 lampu, cuaca dalam keadaan baik, dimana permukaan air tidak bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 23.00 – 02.30 WIB dengan suhu air sekitar 26 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.00 – 05.30 WIB dengan suhu sekitar 26 0C.

Hasil tangkapan yang diperoleh antara lain ikan teri, cumi-cumi, ikan kembung dan rajungan. Hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Penggunaan lampu pada minggu ke-4 dilakukan dengan variasi 0 lampu, 2 lampu dan 4 lampu. Hasil tangkapan dengan variasi tanpa lampu digunakan sebagai kontrol. Pada variasi 0 lampu, cuaca dalam keadaan tidak baik, dimana permukaan air sangat bergelombang. Penangkapan hanya dilakukan satu kali, yaitu pada pukul 01.00 – 04.30 WIB dengan suhu air sekitar 25 0C. Keadaan ini mengakibatkan hasil tangkapan yang diperoleh menjadi lebih sedikit. Pada variasi 2 lampu, cuaca dalam keadaan baik, dimana permukaan air tidak bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 23.00 – 02.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.00 – 05.30 WIB dengan suhu air sekitar 26 0C. Pada variasi 4 lampu, cuaca dalam keadaan baik, dimana permukaan air tidak bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 00.00 – 02.30 WIB dengan suhu air sekitar 27 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 03.00 – 05.00 WIB dengan suhu sekitar 26 0C.

Hasil tangkapan yang diperoleh antara lain ikan teri, cumi-cumi, ikan kembung dan rajungan. Hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Penggunaan lampu pada minggu ke-5 dilakukan dengan variasi 0 lampu, 2 lampu dan 4 lampu. Hasil tangkapan dengan variasi tanpa lampu digunakan sebagai kontrol. Pada variasi 0 lampu, cuaca dalam keadaan tidak baik, dimana permukaan air sangat bergelombang. Penangkapan hanya dilakukan satu kali, yaitu pada pukul 00.00 – 03.30 WIB dengan suhu air sekitar 25 0C. Keadaan ini mengakibatkan hasil tangkapan yang diperoleh menjadi sedikit. Pada variasi 2 lampu, cuaca dalam kurang baik, dimana permukaan air sedikit bergelombang.


(24)

14

Penangkapan hanya dilakukan satu kali, yaitu pada pukul 01.00 – 04.00 WIB dengan suhu air sekitar 25 0C. Keadaan ini mengakibatkan hasil tangkapan tidak maksimal. Pada variasi 4 lampu, cuaca dalam keadaan baik, dimana permukaan air tidak bergelombang. Tangkapan I dilakukan pada pukul 23.00 – 02.00 WIB dengan suhu air sekitar 26 0C. Tangkapan II dilakukan pada pukul 02.30 – 05.00 WIB dengan suhu sekitar 26 0C.

Hasil tangkapan yang diperoleh antara lain ikan teri, ikan rebon, cumi-cumi, ikan kembung dan rajungan. Hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Hasil penangkapan mulai dari minggu ke-1 sampai ke-5 menunjukkan

bahwa hasil tangkapan rata-rata dengan 0 lampu, 2 lampu dan 4 lampu secara berturut-turut adalah 135.9 kg, 183.9 kg, 370 kg. Hasil tangkapan yang paling banyak yaitu pada variasi 4 lampu. Hasil tangkapan dengan variasi 0 lampu dan 2 lampu memiliki nilai yang hampir sama, sehingga dapat dikatakan bahwa penagkapan dengan variasi 2 lampu tidak terlalu mempengaruhi hasil tangkapan yang diperoleh. Berdasarkan pengujian ini, diketahui bahwa operasi penangkapan pada bagang dengan variasi 4 lampu bawah air akan membuat reaksi fototaksis ikan lebih positif, sehingga hasil tangkapan meningkat.

Tabel 4.8 Hasil tangkapan penggunaan Lampu bawah air pada operasi penangkapan Minggu Jumlah

lampu

Tangkapan I (kg)

Tangkapan II

(kg) Jumlah (kg) Teri

Lain-lain

Teri Tembang Rebon Cumi-cumi Lain-lain Ke-1 0 buah 2 buah 4 buah 79 59 65 - - - - - 89 115 139 100 - - - - - - 3 2 3 197 200 257 Ke-2 0 buah 2 buah 4 buah - 63 55.5 30 - - 89 78 120 - - - - - - - 4.7 7 2 3 2 121 148.7 184.5 Ke-3 0 buah 2 buah 4 buah 91.5 72 96 3 3 3 180 186 418 - - - - - - - 4.5 - - - - 274.5 265.5 517 Ke-4 0 buah 2 buah 4 buah 47 75 89 3 2 2 - 144 184.5 - - - - - - - - - - - - 50 221 275.5 Ke-5 0 buah 2 buah 4 buah 34 80.4 100 3 4 3 - - - - - - - - 513 - - - - - - 37 84.4 616

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Respon ikan pada cahaya sangat tinggi. Memaksimalkan fungsi cahaya dengan memperhatikan kondisi daerah tangkapan, intensitas cahaya, dan fokus cahaya pada areal jaring adalah langkah yang harus dilakukan untuk memperoleh hasil tangkapan yang baik pada operasi penangkapan ikan dengan bagang. Lampu bawah air telah berhasil dibuat dengan bentuk silinder. Lampu ini memiliki ukuran diameter 13 cm, panjang 23 cm dan berat 5 kg. Sumber cahaya lampu menggunakan senter LED dengan 15 buah LED. Lampu yang kedap air ini memiliki kisaran nilai

intensitas yang dapat membuat reaksi fototaksis ikan menjadi positif. Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan, lampu dapat dikatakan baik. Namun memiliki kekurangan pada disainnya yang masih terlalu besar.

Hasil uji intensitas cahaya menunjukkan bahwa nilai intensitas cahaya di udara (Iu), baik pada lampu bawah air

maupun lampu kontrol, lebih besar daripada nilai intensitas cahaya di air (Ia). Hal ini

dikarenakan oleh adanya faktor koefisien pemudaran air (k). Nilai k pada Perairan Kamal Muara, Kepulauan Seribu ini adalah 0.123 m-1. Kisaran nilai intensitas cahaya yang membuat reaksi fototaksis ikan menjadi positif, sehingga memberikan hasil tangkapan tertinggi pada bagang adalah antara 0.200 - 9.349 W/m2. Semakin jauh


(25)

jaraknya dari sumber cahaya, maka nilai intensitas cahaya akan semakin kecil.

Pada operasi penangkapan ikan dengan bagang menunjukkan bahwa penggunaan variasi 2 lampu tidak terlalu berpengaruh terhadap reaksi fototaksis ikan. Operasi penangkapan ikan dengan bagang yang menggunakan variasi 4 lampu dapat meningkatkan reaksi fototaksis positif ikan sehingga hasil tangkapan yang diperoleh juga meningkat. Peningkatan yang diperoleh dapat mencapai 100 % dari hasil tangkapan biasanya (hanya dengan lampu bagang). 5.2 Saran

Kepekaan ikan terhadap cahaya memberikan suatu dorongan kepada para nelayan untuk dapat memaksimalkan fungsi alat bantu cahaya pada operasi penagkapan ikan. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah jumlah lampu bawah air yang digunakan dalam operasi penangkpan ikan (6, 8 dan 10 lampu), serta menyesuaikan jarak antar lampu dengan luas jaring bagang. Dalam pembuatan lampu bawah air, ukuran lampu (panjang, diameter dan berat) harus disesuikan dengan senter yang digunakan agar lampu dapat berfungsi dengan baik. Pembuatan lampu dengan disain yang lebih kecil juga baik dilakukan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menentukan nilai intensitas untuk menangkap jenis ikan tertentu, sehingga para nelayan dapat menentukan jenis ikan yang akan ditangkap.

DAFTAR PUSTAKA

1. Subani, W., Barus, H.R. (1989). Alat Penangkapan Ikan dan Udang di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Nomor 50 Tahun 1988/1999. Edisi Khusus. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian Perikanan Laut, Departemen Pertanian. 2. Prasetyo, E.W. (2009). Pemusatan

Cahaya Petromaks pada Kedalaman 8 m untuk Meningkatkan Produktivitas Bagan Apung di Palabuhanratu, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3. Pagalay, B. (1986). Perbandingan Hasil Tangkapan Bagan (Light Fishing) yang Menggunakan Beberapa Warna Cahaya di Perairan Lero (Pinrang), Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Bogor: Departemen

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

4. Lestari, E.T. (2001). Pengaruh Perbedaan Jenis Kap Lampu pada Pencahayaan Bagan Diesel terhadap Nilai Iluminasi Cahaya dan Hasil Tangkapan Pelagis di Perairan Carocok, Pesisir Selatan. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 5. Abbas, M.I. (2005). Iluminasi Cahaya

Lampu Petromaks pada Medium Udara.

[Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

6. Tobing, T. (2008). Pemusatan Cahaya Petromaks pada Areal Kerangka Jaring di Permukaan Air Menggunakan Tudung Berbentuk Kerucut Terpacung: Pengaruhnya terhadap Hasil Tangkapan Bagan. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

7. Rihamadi. “Bagan Apung.” Matanews.

16 April 2009. Web. 24 Mar. 2011. <http://tampukpinang.info/tradisional/ala

ttangkap/hewanlaut/153-baganapung.html>.

8. Musyawir. “Bagan Apung.” Matanews 20 November 2010. Web. 24 Mar. 2011. <http://matanews.com/2010/11/20/bagan -apung-2/>.

9. Sudirman, H., Mallawa, A. (2004).

Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta: Rineka Cipta.

10.Nurdiana. (2005). Iluminasi Cahaya Lampu Pijar 25 Watt pada Medium Utara dan Aplikasinya pada Perikanan Tangkap. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

11.Dicky. “Digital Teknik Mekatronika.” Ensiklopedia. 24 Februari 2011. Web. 24 Mar. 2011.

<http://sekolahindustri.info/light-emitting-diode.html>.

12.Mitsugi, S. (1974). Fish Lamps In Fishing Gear and Methods. Japan: Japan International Cooperation Agency. Hal 209 – 240

13.Ben Yami, M. (1976). Fishing with Light. Published by Arrangement with


(26)

16

FAO of The United Nations by Fishing News Books Ltd. Surrey. England. 14.Wanibesak, E. Spektrofotometri Sinar

Tampak (visibel). 21 Februari 2011. Web. 27 Maret 2011. <http://wanibesak.wordpress.com/2011/0 2/21/Spektrofotometri-sinar-tampak-visible> diakses

15.Cayless, M.A., Marsden, A.M. (1983).

Lamps and Lighting 3th edition. London: Edward Arnold (Publisher) Ltd.

16.Ben Yami. (1987). Fishing with Light.

Roma: FAO.

17.Nybakken, J.W. (1988). Biologi Laut , Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: PT. Gramedia.

18.Gunarso, W. (1985). Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan.

[Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

19.Woodhead, P.M.J. (1966). The Behavior of Fish Relation to The Light in The Sea.

Oceanografy Marine Biology: Horald Barnes Edition. Rev. 4. Hal 337 – 403. 20.Nomura, M.T dan Yamazaki. (1977).

Fishing Techniques. Tokyo: Japan International Coorporation Agency. 21.Von Brandt, A. (1984). Fishing Catching

Method of The World. Fishing News Book Ltd. Farnham Surrey England Hamburg Germany.

22.He Pingguo. (1989). Fish Behavior and its Application in fisheries. Marine Institute. Canada: Newfoundland and Labrador Institute of Fisheries and Marine Technology.

23.Ayodhyoa, A.U. (1981). Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.

24.Derec, M.N. (2009). Preferensi Larva Cumi-cumi Sirip Besar terhadap Perbedaan Warna dan Tingkat Intensitas Cahaya pada Waktu Pengamatan yang Berbeda. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

25.Subani, W. (1983). Penggunaan Cahaya sebagai Alat Bantu Penangkapan Ikan.

[Disertasi]. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut.

26.Effendi. “Lampu Celup Bawah Air

(Lacuba), Lampu Pemanggil Ikan.

Web. 24 Mar. 2011.

<http://www.warintek.ristek.go.id/downl oad/lacuba.htm>

27.Ismajaya. (2007). Hubungan Suhu Permukaan Air dengan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol di Perairan Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat

[Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(27)

(28)

18

Lampiran 1. Diagram alir

Mulai

Penyediaan Alat dan Bahan

Paralon 1 (p=23cm; d=5inci)

Paralon 2 (p=23cm; d=5inci)

Paralon 3 (p=23cm; d=5inci)

Paralon 4 (p=23cm; d=5inci)

Tutup salah satu ujung dengan mika (t=1.5mm)

Susun senter dan pemberat ke dalam paralon (ujung yang mika harus lebih berat dari ujung satunya)

Tutup ujung satunya dengan dop (dop telah diberi pengait tambang)

Lampu selesai

Uji intensitas (Celupkan satu lampu ke sampel air, sekitar 0.3 m )

Ukur intensitas dengan Luxmeter

(kedalaman 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, 0.6, 0.7, 0.8, 0.9, 1 m dari sumber cahaya)

Bandingkan dengan lampu kontrol (intensitas lampu philips)

Pengujian lampu pada operasi penangkapan

Variasi penangkapan: tanpa lampu (hari ke-1), dua lampu (hari ke-2) dan empat lampu (hari ke-3), sebanyak 5 kali ulangan

Analisis data Penyusunan laporan penelitian

Selesai


(29)

Lampiran 2. Konversi nilai satuan lux menjadi W/m2

Data pada lampu bawah air Jarak (m) Iu (lux) Ia (lux)

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 13350 8290 5200 3690 2990 2540 2120 1920 1690 1520 1460 13310 8190 5080 3550 2840 2390 1970 1770 1530 1360 1290 Lux merupakan satuan rapat daya. Rapat daya =

1 lux = ; 1 lumen = 0.0015 W = 1.5 x 10-3 W Jadi, 1 lux = 1.5 x 10-3

Konversi pada Iu  x = 0 m

13350 lux = 13350 x 1.5 x 10-3 = 20.025

 x = 0.1 m

8290 lux = 8290 x 1.5 x 10-3 = 12.435

 x = 0.2 m

5200 lux = 5200 x 1.5 x 10-3 = 7.800

 x = 0.3 m

3690 lux = 3690 x 1.5 x 10-3 = 5.535

 x = 0.4 m

2990 lux = 2990 x 1.5 x 10-3 = 4.485

 x = 0.5 m

2540 lux = 2540 x 1.5 x 10-3 = 3.810

 x = 0.6 m

2120 lux = 2120 x 1.5 x 10-3 = 3.180

 x = 0.7 m

1920 lux = 1920 x 1.5 x 10-3 = 2.880

 x = 0.8 m

1690 lux = 1690 x 1.5 x 10-3 = 2.535

 x = 0.9 m

1520 lux = 1520 x 1.5 x 10-3 = 2.280

 x = 1 m

1460 lux = 1460 x 1.5 x 10-3 = 2.190

Konversi pada Ia  x = 0 m

13310 lux = 13310 x 1.5 x 10-3 = 19.965

 x = 0.1 m

8190 lux = 8190 x 1.5 x 10-3 = 12.285

 x = 0.2 m

5080 lux = 5080 x 1.5 x 10-3 = 7.620

 x = 0.3 m

3550 lux = 3550 x 1.5 x 10-3 = 5.325

 x = 0.4 m

2840 lux = 2840 x 1.5 x 10-3 = 4.260

 x = 0.5 m

2390 lux = 2390 x 1.5 x 10-3 = 3.585

 x = 0.6 m

1970 lux = 1970 x 1.5 x 10-3 = 2.955

 x = 0.7 m

1770 lux = 1770 x 1.5 x 10-3 = 2.655

 x = 0.8 m

1530 lux = 1530 x 1.5 x 10-3 = 2.295

 x = 0.9 m

1360 lux = 1360 x 1.5 x 10-3 = 2.040

 x = 1 m

1290 lux = 1290 x 1.5 x 10-3 = 1.935


(30)

Data lampu kontrol Jarak

(m)

Iu samping

(lux)

Iu bawah

(lux) 0.1

0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

6310 3240 1260 791 623 547 424 332 261 223

5760 1620 851 526 351 259 208 181 173 162 Lux merupakan satuan rapat daya. Rapat daya =

1 lux = ; 1 lumen = 0.0015 W = 1.5 x 10-3 W Jadi, 1 lux = 1.5 x 10-3

Konversi pada Iu (samping)  x = 0.1 m

6310 lux = 6310 x 1.5 x 10-3 = 9.465

 x = 0.2 m

3240 lux = 3240 x 1.5 x 10-3 = 4.860

 x = 0.3 m

1260 lux = 1260 x 1.5 x 10-3 = 1.890

 x = 0.4 m

791 lux = 791 x 1.5 x 10-3 = 1.186

 x = 0.5 m

623 lux = 623 x 1.5 x 10-3 = 0.934

 x = 0.6 m

547 lux = 547 x 1.5 x 10-3 = 0.820

 x = 0.7 m

424 lux = 424 x 1.5 x 10-3 = 0.636

 x = 0.8 m

332 lux = 332 x 1.5 x 10-3

 x = 0.9 m

261 lux = 261 x 1.5 x 10-3 = 0.391

 x = 1 m

223 lux = 223 x 1.5 x 10-3 = 0.334 Konversi pada Iu (bawah)

 x = 0.1 m

5760 lux = 5760 x 1.5 x 10-3 = 8.640

 x = 0.2 m

1620 lux = 1620 x 1.5 x 10-3 = 2.430

 x = 0.3 m

851 lux = 851 x 1.5 x 10-3 = 1.276

 x = 0.4 m

526 lux = 526 x 1.5 x 10-3 = 0.789

 x = 0.5 m

351 lux = 351 x 1.5 x 10-3 = 0.526

 x = 0.6 m

259 lux = 259 x 1.5 x 10-3 = 0.388

 x = 0.7 m

208 lux = 208 x 1.5 x 10-3 = 0.312

 x = 0.8 m

181 lux = 181 x 1.5 x 10-3 = 0.271

 x = 0.9 m

173 lux = 173 x 1.5 x 10-3 = 0.259

 x = 1 m

162 lux = 162 x 1.5 x 10-3 = 0.243

= 0.498


(31)

Lampiran 3. Perhitungan untuk mencari nilai koefisien pemudaran air (k)

Perhitungan dilakukan dengan persamaan 4.1. Data yang digunakan yaitu nilai Iu dan Ia lampu

bawah air. Ia = Iue

-kx

= e-kx

ln

= ln e

-kx

ln = -kx ln e

ln = -kx

k= -

k0.1= -

= 0.121 m-1

k0.2= -

= 1.17 m-1

k0.3= -

= 0.129 m-1

k0.4= -

= 0.129 m-1

k0.5= -

= 0.122 m-1

k0.6= -

= 0.122 m-1

k0.7= -

= 0.116 m-1

k0.8= -

= 0.124 m-1

k0.9= -

= 0.124 m-1

k1= -

= 0.124 m-1

krata-tara =

=


(32)

Lampiran 4. Perhitungan untuk mencari nilai Ia lampu kontrol

Perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.1.

Ia = Iue -kx

; e = 2.718

Data lampu kotrol Jarak

(m)

Iu samping

(W/m2)

Iu bawah

(W/m2) 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 9.465 4.860 1.890 1.186 0.934 0.820 0.636 0.498 0.391 0.334 8.640 2.430 1.276 0.789 0.526 0.388 0.312 0.271 0.259 0.243 Menghitung nilai Ia (samping)

 x = 0.1 m

Ia= 9.465 x

= 9.349

 x = 0.2 m

Ia= 4.860 x

= 4.741

 x = 0.3 m

Ia= 1.890 x

= 1.821

 x = 0.4 m

Ia= 1.186 x

= 1.129

 x = 0.5 m

Ia= 0.934 x

= 0.879

 x = 0.6 m

Ia= 0.820 x

= 0.762

 x = 0.7 m

Ia= 0.636 x

= 0.583

 x = 0.8 m

Ia= 0.498 x

= 0.451

 x = 0.9 m

Ia= 0.391 x

= 0.351

 x = 1 m

Ia= 0.334 x

= 0.295

Menghitung nilai Ia (bawah)  x = 0.1 m

Ia= 8.640 x

= 8.535

 x = 0.2 m

Ia= 2.430 x

= 2.371

 x = 0.3 m

Ia= 1.276 x

= 1.230

 x = 0.4 m

Ia= 0.789 x

= 0.751

 x = 0.5 m

Ia= 0.526 x

= 0.495

 x = 0.6 m

Ia= 0.388 x

= 0.360

 x = 0.7 m

Ia= 0.312 x

= 0.286

 x = 0.8 m

Ia= 0.271 x

= 0.246


(33)

 x = 0.9 m

Ia= 0.259 x

= 0.232

 x = 1 m

Ia= 0.243 x

= 0.214

Lampiran 5. Dokumentasi

(a) Uji intensitas lampu bawah air

(b) Penggunaan lampu pada bagang

(lampu bagang menyala)

(c) Pengangkatan jaring bagang

(d) Pengambilan ikan

(e) Hasil tangkapan yang kurang baik


(34)

(35)

Lampiran 1. Diagram alir

Mulai

Penyediaan Alat dan Bahan

Paralon 1 (p=23cm; d=5inci)

Paralon 2 (p=23cm; d=5inci)

Paralon 3 (p=23cm; d=5inci)

Paralon 4 (p=23cm; d=5inci)

Tutup salah satu ujung dengan mika (t=1.5mm)

Susun senter dan pemberat ke dalam paralon (ujung yang mika harus lebih berat dari ujung satunya)

Tutup ujung satunya dengan dop (dop telah diberi pengait tambang)

Lampu selesai

Uji intensitas (Celupkan satu lampu ke sampel air, sekitar 0.3 m )

Ukur intensitas dengan Luxmeter

(kedalaman 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, 0.6, 0.7, 0.8, 0.9, 1 m dari sumber cahaya)

Bandingkan dengan lampu kontrol (intensitas lampu philips)

Pengujian lampu pada operasi penangkapan

Variasi penangkapan: tanpa lampu (hari ke-1), dua lampu (hari ke-2) dan empat lampu (hari ke-3), sebanyak 5 kali ulangan

Analisis data Penyusunan laporan penelitian

Selesai


(36)

Lampiran 2. Konversi nilai satuan lux menjadi W/m2

Data pada lampu bawah air Jarak (m) Iu (lux) Ia (lux)

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 13350 8290 5200 3690 2990 2540 2120 1920 1690 1520 1460 13310 8190 5080 3550 2840 2390 1970 1770 1530 1360 1290 Lux merupakan satuan rapat daya. Rapat daya =

1 lux = ; 1 lumen = 0.0015 W = 1.5 x 10-3 W Jadi, 1 lux = 1.5 x 10-3

Konversi pada Iu  x = 0 m

13350 lux = 13350 x 1.5 x 10-3 = 20.025

 x = 0.1 m

8290 lux = 8290 x 1.5 x 10-3 = 12.435

 x = 0.2 m

5200 lux = 5200 x 1.5 x 10-3 = 7.800

 x = 0.3 m

3690 lux = 3690 x 1.5 x 10-3 = 5.535

 x = 0.4 m

2990 lux = 2990 x 1.5 x 10-3 = 4.485

 x = 0.5 m

2540 lux = 2540 x 1.5 x 10-3 = 3.810

 x = 0.6 m

2120 lux = 2120 x 1.5 x 10-3 = 3.180

 x = 0.7 m

1920 lux = 1920 x 1.5 x 10-3 = 2.880

 x = 0.8 m

1690 lux = 1690 x 1.5 x 10-3 = 2.535

 x = 0.9 m

1520 lux = 1520 x 1.5 x 10-3 = 2.280

 x = 1 m

1460 lux = 1460 x 1.5 x 10-3 = 2.190

Konversi pada Ia  x = 0 m

13310 lux = 13310 x 1.5 x 10-3 = 19.965

 x = 0.1 m

8190 lux = 8190 x 1.5 x 10-3 = 12.285

 x = 0.2 m

5080 lux = 5080 x 1.5 x 10-3 = 7.620

 x = 0.3 m

3550 lux = 3550 x 1.5 x 10-3 = 5.325

 x = 0.4 m

2840 lux = 2840 x 1.5 x 10-3 = 4.260

 x = 0.5 m

2390 lux = 2390 x 1.5 x 10-3 = 3.585

 x = 0.6 m

1970 lux = 1970 x 1.5 x 10-3 = 2.955

 x = 0.7 m

1770 lux = 1770 x 1.5 x 10-3 = 2.655

 x = 0.8 m

1530 lux = 1530 x 1.5 x 10-3 = 2.295

 x = 0.9 m

1360 lux = 1360 x 1.5 x 10-3 = 2.040

 x = 1 m

1290 lux = 1290 x 1.5 x 10-3 = 1.935


(37)

Data lampu kontrol Jarak

(m)

Iu samping

(lux)

Iu bawah

(lux) 0.1

0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

6310 3240 1260 791 623 547 424 332 261 223

5760 1620 851 526 351 259 208 181 173 162 Lux merupakan satuan rapat daya. Rapat daya =

1 lux = ; 1 lumen = 0.0015 W = 1.5 x 10-3 W Jadi, 1 lux = 1.5 x 10-3

Konversi pada Iu (samping)  x = 0.1 m

6310 lux = 6310 x 1.5 x 10-3 = 9.465

 x = 0.2 m

3240 lux = 3240 x 1.5 x 10-3 = 4.860

 x = 0.3 m

1260 lux = 1260 x 1.5 x 10-3 = 1.890

 x = 0.4 m

791 lux = 791 x 1.5 x 10-3 = 1.186

 x = 0.5 m

623 lux = 623 x 1.5 x 10-3 = 0.934

 x = 0.6 m

547 lux = 547 x 1.5 x 10-3 = 0.820

 x = 0.7 m

424 lux = 424 x 1.5 x 10-3 = 0.636

 x = 0.8 m

332 lux = 332 x 1.5 x 10-3

 x = 0.9 m

261 lux = 261 x 1.5 x 10-3 = 0.391

 x = 1 m

223 lux = 223 x 1.5 x 10-3 = 0.334 Konversi pada Iu (bawah)

 x = 0.1 m

5760 lux = 5760 x 1.5 x 10-3 = 8.640

 x = 0.2 m

1620 lux = 1620 x 1.5 x 10-3 = 2.430

 x = 0.3 m

851 lux = 851 x 1.5 x 10-3 = 1.276

 x = 0.4 m

526 lux = 526 x 1.5 x 10-3 = 0.789

 x = 0.5 m

351 lux = 351 x 1.5 x 10-3 = 0.526

 x = 0.6 m

259 lux = 259 x 1.5 x 10-3 = 0.388

 x = 0.7 m

208 lux = 208 x 1.5 x 10-3 = 0.312

 x = 0.8 m

181 lux = 181 x 1.5 x 10-3 = 0.271

 x = 0.9 m

173 lux = 173 x 1.5 x 10-3 = 0.259

 x = 1 m

162 lux = 162 x 1.5 x 10-3 = 0.243


(1)

ABSTRAK

MARTUA EDISON SIHOMBING. Pengaruh Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air dengan Senter Light Emitting Diode pada Reaksi Fototaksis Ikan di Perairan Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh Dr. Ir. IRZAMAN, M. Si dan HERIYANTO SYAFUTRA, S. Si, M. Si.

Permasalahan penangkapan ikan dengan bagan apung adalah kurang terfokusnya ikan pada areal jaring. Penelitian ini dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut dengan membuat lampu bawah air yang dapat menarik ikan untuk mendekati areal jaring. Lampu bawah air dengan senter LED telah berhasil dibuat dengan menggunakan senter Toyasaki TL-300. Lampu bawah air dirancang agar kedap air. Dilakukan pengujian terhadap lampu bawah air, yaitu mengukur intensitas cahaya di udara (Iu) dan intensitas cahaya di air (Ia) dengan jarak 0.1-1 m dari

sumber cahaya. Hasil yang diperoleh digunakan untuk mencari koefisien pemudaran air (k). Nilai

k yang diperoleh diambil dari nilai krata-rata yaitu sebesar 0,123 m-1. Nilai k digunakan untuk

mencari nilai Ia kontrol, dimana nilai Iu kontrol telah dicari terlebih dahulu dari sumber cahaya

lampu Philips tipe PLC-26 W. Melalui perbandingan antara nilai Ia lampu bawah air dengan

Ia kontrol, ditentukan jarak lampu bawah air dari permukaan laut pada operasi penangkapan ikan.

Penggunaan lampu pada operasi penangkapan ikan dilakukan dengan 0 lampu, 2 lampu dan 4 lampu. Jarak lampu bawah air dari permukaan adalah 0.3 m. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa hasil tangkapan dengan 4 lampu lebih banyak dibandingkan dengan 0 lampu dan 2 lampu. Hasil tangkapan dengan 0 lampu dan 2 lampu hanya memiliki sedikit perbedaan. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai intensitas lampu bawah air dengan 4 lampu dapat membuat reaksi fototaksis ikan menjadi positif, sehingga hasil tangkapan bagan apung semakin tinggi.

Kata Kunci: bagan apung, lampu bawah air, intensitas cahaya, koefisien pemudaran air, reaksi fototaksis, hasil tangkapan


(2)

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA LAMPU BAWAH AIR

DENGAN SENTER

LIGHT EMITTING DIODE

PADA REAKSI

FOTOTAKSIS IKAN DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

MARTUA EDISON SIHOMBING

G74070001

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

Judul Skripsi :Pengaruh Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air dengan Senter Light Emitting Diode pada Reaksi Fototaksis Ikan di Perairan Kepulauan Seribu

Nama : Martua Edison Sihombing NIM : G74070001

Disetujui,

Dr. Ir. Irzaman, M. Si Heriyanto Syafutra, S. Si, M. Si

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui,

Dr. Akhiruddin Maddu

Ketua Departemen Fisika


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih dan karunia-Nya kepada kita semua. Hanya dengan izin dan kemudahan yang diberikan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Pengaruh Intensitas Cahaya Lampu Bawah Air dengan Senter Light Emitting Diode pada Reaksi Fototaksis Ikan di Perairan Kepulauan Seribu. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Ir. Irzaman, M.Si sebagai pembimbing I dan Heriyanto Syafutra, S.Si, M.Si sebagai pembimbing II, yang telah memberikan pengarahan, ilmu, motivasi dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak, Mama, bang Erick, bang Jack dan de’ Tika atas kasih sayang, doa dan dukungan yang selalu diberikan.

3. Bapak Yunus dan para ABK yang telah memperbolehkan dan membantu dalam penelitian pada bagan apung di Kepulauan Seribu.

4. Dosen fisika IPB yang telah memberikan masukan dan motivasi. Bapak Nur Indro atas masukan yang diberikan dalam penulisan tugas akhir ini.

5. Staf dan pegawai Departemen Fisika IPB atas bantuan dan kerjasamanya. 6. Chirtine Mahardika atas doa, motivasi dan kebersamaan yang diberikan.

7. Keluarga “ Baskom ”(Eko, Tuan, Sauqi Briwik, Rendra, Blayz, Ika, Winda “Nci”, Loris, Andreuw, Dion, Egha, dll) atas sukacita, keceriaan dan kebersamaan yang tak terlupakan selama ini.

8. Teman-teman fisika 44 (Irvan, Johan, Ade, Ridwan, Dani, Habibi, Adam, Dede H, Hilal, Vero, Ninknink, Caul, Nice dll) atas bantuan, kerjasama dan kebersamaannya.

9. Teman-teman fisika 43 (Wance, Wandi, Pandu, Rudi, dll), fisika 45 (Irvan, Andri, Maman, dll), fisika 46 (Criss, Vino, Anu, dll) atas kerjasamanya.

10. UKM Sepak bola IPB.

11. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari dalam tugas akhir ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis berbesar hati menerima saran dan kritik yang membangun. Semoga tugas akhir ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serbalawan, Kabupaten

Simalungun, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 21 Maret

1989 dari pasangan Bapak P. Sihombing dan Ibu R. Sinaga.

Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Dolok Ilir selama

satu tahun, kemudian melanjutkan ke SDN 1 Dolok Batu

Nanggar selama enam tahun, kemudian melanjutkan ke

SLTPN 1 Dolok Batu Nanggar selama tiga tahun dan melanjutkan pendidikan ke jenjang

menengah atas di SMAN 1 Dolok Batu Nanggar sampai dengan tahun 2007. Pada tahun

yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana strata satu di Departemen Fisika,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor

(IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama mengikuti

perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Eksperimen Fisika I (2010).

Penulis aktif dalam beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di IPB, seperti UKM

Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB pada Komisi Kesenian dan UKM Sepak

Bola IPB. Penulis aktif juga dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa FMIPA IPB

dan seminar-seminar di dalam kampus.


(6)

16

FAO of The United Nations by Fishing News Books Ltd. Surrey. England. 14.Wanibesak, E. Spektrofotometri Sinar

Tampak (visibel). 21 Februari 2011. Web. 27 Maret 2011. <http://wanibesak.wordpress.com/2011/0 2/21/Spektrofotometri-sinar-tampak-visible> diakses

15.Cayless, M.A., Marsden, A.M. (1983).

Lamps and Lighting 3th edition. London: Edward Arnold (Publisher) Ltd.

16.Ben Yami. (1987). Fishing with Light.

Roma: FAO.

17.Nybakken, J.W. (1988). Biologi Laut , Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: PT. Gramedia.

18.Gunarso, W. (1985). Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan.

[Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

19.Woodhead, P.M.J. (1966). The Behavior of Fish Relation to The Light in The Sea.

Oceanografy Marine Biology: Horald Barnes Edition. Rev. 4. Hal 337 – 403. 20.Nomura, M.T dan Yamazaki. (1977).

Fishing Techniques. Tokyo: Japan International Coorporation Agency. 21.Von Brandt, A. (1984). Fishing Catching

Method of The World. Fishing News Book Ltd. Farnham Surrey England Hamburg Germany.

22.He Pingguo. (1989). Fish Behavior and its Application in fisheries. Marine Institute. Canada: Newfoundland and Labrador Institute of Fisheries and Marine Technology.

23.Ayodhyoa, A.U. (1981). Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.

24.Derec, M.N. (2009). Preferensi Larva Cumi-cumi Sirip Besar terhadap Perbedaan Warna dan Tingkat Intensitas Cahaya pada Waktu Pengamatan yang Berbeda. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

25.Subani, W. (1983). Penggunaan Cahaya sebagai Alat Bantu Penangkapan Ikan.

[Disertasi]. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut.

26.Effendi. “Lampu Celup Bawah Air (Lacuba), Lampu Pemanggil Ikan.

Web. 24 Mar. 2011.

<http://www.warintek.ristek.go.id/downl oad/lacuba.htm>

27.Ismajaya. (2007). Hubungan Suhu Permukaan Air dengan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol di Perairan Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat

[Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.