Evaluasi Kemampuan Lactobacillus rhamnosus R21 Asal Air Susu Ibu untuk Berkompetisi dengan Salmonella Typhimurium selama Rekonstitusi Susu Formula Bayi

(1)

EVALUASI KEMAMPUAN

Lactobacillus rhamnosus

R21 ASAL

AIR SUSU IBU UNTUK BERKOMPETISI DENGAN

Salmonella

Typhimurium SELAMA REKONSTITUSI SUSU FORMULA

BAYI

SKRIPSI

ANASTRIYANI YULVIATUN

F24080025

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

EVALUATION OF

Lactobacillus rhamnosus

R21 ISOLATED FROM BREAST

MILK TO COMPETE WITH

Salmonella

Typhimurium DURING

RECONSTITUTION OF POWDERED INFANT FORMULA

Anastriyani Yulviatun1) and Lilis Nuraida2)

1)

Department of Food Science and Technology, Faculty of Engineering and Agricultural and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus,

PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia 2)

South East Asia for Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga, Bogor, West Java, Indonesia

E-mail: anastriyani.yulviatun@gmail.com

ABSTRACT

Numerous studies have shown that lactic acid bacteria (LAB) may provide health benefits if they live in human gastrointestinal track at a sufficient amount. This fact encourages the development of the use of LAB as probiotic in food products, for example in powdered infant formula. The aim of the present study was to evaluate the ability of L. rhamnosus R21 to compete with one of pathogenic bacteria that commonly contaminate powdered infant formula, namely Salmonella Typhimurium. Lactic acid bacteria used in this study was isolated from breast milk, namely Lactobacillus rhamnosus R21. In addition, this study may indicate the effect of reconstitution temperature towards bacterial competition. Competition between L. rhamnosus R21 and S. Typhimurium was tested by measuring viability after reconstitution at 27, 60, and 70 oC and the growth of both bacteria during hang time of 0, 2, 4, 6, and 8 hours. The doses of L. rhamnosus R21 used in this study were 109, 108, and 106 CFU/mL. These bacteria competed with 104 CFU/mL of S.Typhimurium at three different reconstitution temperatures: 27, 60, and 70 °C. The results showed that L. rhamnosus R21 was more resistant to reconstitution temperature of 60 and 70 oC than S. Typhimurium.Competition between both bacteria showed that an amount of 109 CFU/mL L. rhamnosus R21 was able to inhibit the growth of S. Typhimurium in reconstituted infant formula for 8 hours of hang time. The inhibition values are 3.84 log CFU/mL (27°C), 3.96 log CFU/mL (60 °C), and 3.16 log CFU/mL (70 °C). While, an amount of 108 and 106 CFU/mL L. rhamnosus R21 performed less inhibition to S. Typhimurium. The ability of L. rhamnosus R21 to lower the pH value by producing lactic acid has important role in competition with S. Typhimurium. While the reconstitution temperature did not significantly affect the competition between both bacteria.


(3)

Anastriyani Yulviatun. F24080025. Evaluasi Kemampuan Lactobacillus rhamnosus R21 Asal Air Susu Ibu untuk Berkompetisi dengan Salmonella Typhimurium selama Rekonstitusi Susu Formula Bayi. Di bawah bimbingan Lilis Nuraida. 2013.

RINGKASAN

Air Susu Ibu (ASI) merupakan asupan yang paling ideal untuk bayi karena mengandung semua nutrisi dan komponen lain yang diperlukan oleh bayi untuk dapat tumbuh sehat dan berkembang secara optimal. Namun, ada kalanya bayi tidak dapat memperoleh ASI karena sejumlah alasan. Susu formula merupakan makanan pengganti ASI yang diformulasi khusus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi. ASI juga mengandung sejumlah bakteri baik yang berperan penting dalam mengolonisasi usus bayi. Bakteri tersebut dikenal dengan istilah probiotik. Saat ini, probiotik juga ditambahkan ke dalam susu formula agar dapat memberikan manfaat fisiologis terhadap pencernaan bayi. Probiotik yang ditambahkan ke susu formula umumnya bakteri asam laktat (BAL) yang berasal dari genus Lactobacillus dan Bifidobacterium. Susu formula rawan terkontaminasi oleh sejumlah bakteri patogen, seperti C. sakazakii dan Salmonella serovar Typhimurium. Pengendalian bakteri patogen yang mengontaminasi susu formula di tingkat rumah tangga dapat dilakukan dengan menerapkan cara penyajian susu formula yang baik, salah satunya yaitu direkonstitusi pada suhu 70 oC. Keberadaan probiotik di dalam susu formula diharapkan dapat menghambat patogen kontaminan melalui kompetisi dan aktivitas antimikroba. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan L. rhamnosus R21 asal ASI untuk berkompetisi dengan S. Typhimurium selama rekonstitusi susu formula bayi.

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap utama, yaitu pemilihan media selektif untuk membedakan L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium, uji kompetisi L. rhamnosus R21 dengan S. Typhimurium pada rekonstitusi susu formula pada suhu 27, 60, dan 70 oC dan selama 8 jam hang time, dan evaluasi kemampuan L. rhamnosus R21 untuk menurunkan pH pada suhu rekonstitusi 27, 60, dan 70 oC.

Pada tahap 1 dilakukan pemilihan media selektif untuk membedakan L. rhamnosus R21 dengan Salmonella Typhimurium. Tahap ini perlu dilakukan agar analisis pertumbuhan L. rhamnosus

R21 dan S. Typhimurium pada uji kompetisi dapat dilakukan dengan mudah. L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium ditumbuhkan secara terpisah pada 5 media agar yang berbeda, yaitu NA, MRSA, MRSA-AA, BSA, dan XLDA. Setelah diinkubasi selama 24-48 jam, dilakukan pengamatan pertumbuhan bakteri di setiap media. Media yang hanya menumbuhkan salah satu dari kedua bakteri dipilih sebagai media selektif dan digunakan untuk menganalisis pertumbuhan L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium selama hang time pada susu formula rekonstitusi.

Tahap 2 terdiri dari serangkaian uji kompetisi BAL L. rhamnosus R21 dengan Salmonella

Typhimurium pada susu formula selama hang time. Uji kompetisi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi kompetisi S. Typhimurium 104 CFU/mL dengan BAL 109 CFU/mL pada suhu rekonstitusi 27, 60, dan 70 oC; kompetisi S. Typhimurium 104 CFU/mL dengan BAL 108 CFU/mL pada suhu rekonstitusi 70 oC; dan kompetisi S. Typhimurium 104 CFU/mL dengan BAL 106 CFU/mL pada suhu rekonstitusi 70 oC. Pada masing-masing perlakuan dilakukan perhitungan total BAL dan Salmonella

Typhimurium serta pengukuran pH setiap 2 jam, yaitu jam ke-0, 2, 4, 6, dan 8 sehingga diperoleh informasi pertumbuhan kedua bakteri selama hang time. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan pertumbuhan kontrol BAL dan kontrol S. Typhimurium.

Pada tahap 3 dilakukan evaluasi kemampuan L. rhamnosus R21 untuk menurunkan pH setelah rekonstitusi pada suhu 27, 60, dan 70 oC. Susu formula dengan 9 macam perlakuan -kombinasi 3 jumlah awal BAL (109, 108, dan 106 CFU/mL) dan suhu rekonstitusi (27, 60, dan 70 oC)- diukur pH-nya sesaat setelah rekonstitusi (jam ke-0) dan pada jam ke-8. Hasil yang diperoleh digunakan untuk menganalisis pengaruh jumlah awal BAL dan suhu rekonstitusi terhadap kemampuan BAL menghasilkan asam laktat selama 8 jam penyimpanan di suhu ruang. Tahap ini sekaligus bertujuan untuk memperkirakan efektifitas penghambatan BAL terhadap S. Typhimurium pada 9 perlakuan tersebut.


(4)

1

Berdasarkan hasil pemilihan media selektif, diperoleh MRSA-AA (de Man Rogosa Sharpe Agar-Acetic Acid) sebagai media selektif untuk menghitung total L. rhamnosus R21 dan BSA (Bismuth Sulfite Agar) untuk menghitung total S. Typhimurium. Penambahan asam asetat glasial ke dalam media MRSA dapat menghambat pertumbuhan S. Typhimurium pada media MRSA-AA. Sementara itu, senyawa bismuth yang terkandung dalam media BSA dapat menghambat L. rhamnosus

R21. Media NA dan MRSA tidak dapat digunakan sebagai media selektif karena keduanya dapat menumbuhkan baik L. rhamnosus R21 maupun S. Typimurium. Apabila kedua media tersebut digunakan, akan terjadi crowd sehingga penghitungan koloni BAL maupun Salmonella sulit dilakukan.

Secara umum ketahanan panas L. rhamnosus R21 lebih baik dibandingkan S. Typhimurium pada kompetisi dengan suhu rekonstitusi 60 dan 70 oC. Setelah rekonstitusi, terjadi penurunan jumlah BAL rata-rata < 1 log, sedangkan penurunan jumlah S. Typhimurium rata-rata > 1 log. Pada kondisi tanpa kompetisi dengan S. Typhimurium, jumlah awal BAL berpengaruh terhadap viabilitas BAL setelah direkonstitusi pada suhu 70 oC. Semakin rendah jumlah awal BAL, penurunan jumlah BAL akibat rekonstitusi menjadi semakin tinggi. Dengan jumlah awal 109 CFU/mL, BAL tidak mengalami penurunan jumlah setelah rekonstitusi. Sedangkan dengan jumlah awal 108 dan 106 CFU/mL, BAL menurun sebanyak 0.63 log dan 1.42 log. Pada kompetisi dengan S. Typhimurium, BAL dengan jumlah awal BAL 109 CFU/mL tidak mengalami penurunan jumlah akibat rekonstitusi, sedangkan jumlah S. Typhimurium turun sebanyak 0.63 log. Pada kompetisi dengan jumlah awal BAL 108 CFU/mL, BAL menurun sebanyak 0.45 log dan S. Typhimurium menurun 1.42 log. Sementara, pada kompetisi dengan jumlah awal BAL 106 CFU/mL, BAL menurun sebanyak 1.33 log dan S. Typhimurium menurun sebanyak 1.21 log.

Lactobacillus rhamnosus R21 yang berkompetisi dengan S. Typhimurium tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan selama 8 jam hang time baik dengan jumlah awal BAL 109, 108, maupun 106 CFU/mL. Adanya S. Typhimurium tidak menghambat pertumbuhan L. rhamnosus R21 secara nyata. Sebaliknya, pertumbuhan S. Typhimurium terhambat dengan adanya kompetisi dengan

L. rhamnosus R21. Jumlah awal BAL yang semakin rendah menghasilkan penghambatan Salmonella

Typhimurium yang semakin rendah pula. Pada kompetisi dengan jumlah awal BAL 109 CFU/mL, pertumbuhan Salmonella Typhimurium terhambat sebanyak 3.84 log (suhu rekonstitusi 27 oC), 3.96 log (suhu rekonstitusi 60 oC), dan 3.16 log (suhu rekonstitusi 70 oC). Dengan jumlah awal 108 dan 106 CFU/mL, BAL tidak efektif menghambat S. Typhimurium ditandai dengan nilai penghambatan yang rendah, yaitu masing-masing 0.51 log dan 0.23 log pada suhu rekonstitusi 70 oC. Perbedaan suhu rekonstitusi (27, 60, dan 70 oC) tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan BAL dengan jumlah awal BAL 109 CFU/mL dan kompetisinya dengan S. Typhimurium. Di sisi lain, suhu rekonstitusi 60 dan 70 oC dapat memperlambat pertumbuhan S. Typhimurium di awal hang time ditandai dengan adanya fase adaptasi selama 2-4 jam.

Kemampuan L. rhamnosus R21 untuk menurunkan pH selama hang time berperan terhadap penghambatan S. Typhimurium. Semakin tinggi penurunan pH, S. Typhimurium makin terhambat. BAL dengan jumlah awal 109 CFU/mL dapat menurunkan pH sebesar 1.58 derajat (suhu rekonstitusi 27 oC), 1.30 derajat (suhu rekonstitusi 60 oC), dan 1.48 derajat (suhu rekonstitusi 70 oC). Perbedaan jumlah awal BAL pada kompetisi dengan suhu rekonstitusi 70 oC memengaruhi penurunan pH setelah

hang time. Semakin tinggi jumlah awal BAL, penurunan pH semakin tinggi. Dengan jumlah awal 108 CFU/mL, BAL hanya menurunkan pH 0.36 derajat. Penurunan pH bahkan tidak terjadi pada kompetisi dengan jumlah awal BAL 106 CFU/mL. Perbedaan suhu rekonstitusi (27, 60, dan 70 oC) tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan pH oleh BAL setelah hang time. Adanya kompetisi dengan S. Typhimurium tidak berpengaruh terhadap kemampuan BAL menghasilkan asam laktat, dilihat dari nilai perubahan pH yang relatif sama antara BAL kontrol dan BAL pada kompetisi dengan S. Typhimurium baik dengan jumlah awal BAL 109, 108, maupun 106 CFU/mL.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa L. rhamnosus R21 dengan jumlah awal 109 CFU/mL dapat menghambat pertumbuhan S. Typhimurium pada rekonstitusi susu formula baik pada suhu 27, 60, maupun 70 oC. Penghambatan L. rhamnosus R21 terhadap S. Typhimurium disebabkan oleh kemampuan L. rhamnosus R21 untuk menurunkan pH dengan memproduksi asam laktat.


(5)

EVALUASI KEMAMPUAN

Lactobacillus rhamnosus

R21 ASAL

AIR SUSU IBU UNTUK BERKOMPETISI DENGAN

Salmonella

Typhimurium SELAMA REKONSTITUSI SUSU FORMULA

BAYI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

ANASTRIYANI YULVIATUN

F24080025

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(6)

Judul Skripsi : Evaluasi Kemampuan Lactobacillus rhamnosus R21 Asal Air Susu Ibu untuk Berkompetisi dengan Salmonella Typhimurium selama Rekonstitusi Susu Formula Bayi

Nama : Anastriyani Yulviatun

NIM : F24080025

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

(Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc.) NIP. 19621009 198703 2 002

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP. 19680526 199303 1 004


(7)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Evaluasi Kemampuan Lactobacillus rhamnosus R21 Asal Air Susu Ibu untuk Berkompetisi dengan

Salmonella Typhimurium selama Rekonstitusi Susu Formula Bayi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademis dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2013

Yang membuat pernyataan,

Anastriyani Yulviatun F24080025


(8)

iv

© Hak cipta milik Anastriyani Yulviatun, tahun 2013 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(9)

v

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 13 Juli 1990, sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Daryanto dan Ibu Hindun Iamah. Penulis mengawali pendidikan di SD Muhammadiyyah I Banjarnegara pada tahun 1996 sampai dengan 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMP Negeri 1 Banjarnegara dan selesai pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Banjarnegara dan lulus pada tahun 2008.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui program Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu Ikatan Mahasiswa Muslim TPB (IKMT) pada tahun 2008-2009, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al Hurriyyah pada tahun 2008-2010, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknologi Pertanian dan Komunitas

Peduli Pangan “TELISIK” pada tahun 2009-2011. Penulis juga terlibat di beberapa kepanitiaan acara, seperti Open House“Senyum 46”, MPKMB “Gemilang 46”, Techno-F 2010, dan Seminar Nasional

Qur’an dan Sains 2009. Pada tahun 2009-2010 penulis diberi kepercayaan menjadi asisten praktikum Kimia Dasar di TPB-IPB. Penulis juga tercatat sebagai salah satu penerima beasiswa MIT (Malaysia-Indonesia-Thailand) Student Mobility Program dari DIKTI dan berkesempatan untuk belajar di Universiti Teknologi Mara (UiTM), Selangor, Malaysia selama periode September 2011-Januari 2012. Sesampainya di tanah air, penulis aktif mengikuti kegiatan seminar dan pelatihan, antara lain Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal (PLASMA) dan Food Ingredient Asia (FIA).

Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Evaluasi Kemampuan Lactobacillus rhamnosus R21 Asal Air Susu

Ibu untuk Berkompetisi dengan Salmonella Typhimurium selama Rekonstitusi Susu Formula Bayi”, dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc.


(10)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian dengan judul Evaluasi Kemampuan Lactobacillus rhamnosus R21 Asal Air Susu Ibu untuk berkompetisi dengan Salmonella Typhimurium selama Rekonstitusi Susu Formula Bayi ini dilaksanakan di Laboratorium SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Mei hingga November 2012.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. yang telah membimbing dan memberikan arahan kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir.

2. Dosen penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis untuk perbaikan penulisan skripsi ini.

3. Ayah, Ibu, dan Dzaki yang tak pernah berhenti mendoakan, memberikan dukungan, dan perhatian selama penulis menyelesaikan tugas akhir.

4. Riyah, Sarah, Elva, Hilda, dan Sam atas bantuan, dukungan, dan kebersamaannya selama melakukan penelitian.

5. Teman-teman ITP 45 atas kebersamannya selama kuliah.

6. Neri, Yusti, Fika, Prima, Ida, Inggit, Nia, dan Mba Puri atas dukungan dan kebersamaannya selama di Wisma Fairus.

7. Segenap dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas semua ilmu dan pengalaman yang telah dibagi kepada penulis.

8. Teman-teman ITP 45 atas kebersamaannya selama kuliah dan praktikum.

9. Teknisi laboratorium SEAFAST Center dan laboratorium ITP, khususnya Mba Ari, Mas Yerris, Pak Sukarna, Teh Asih, Mba Lyra, dan Pak Rojak.

10. Bu Novi, Mba Anie, Mba May dan pegawai UPT atas bantuannya dalam mengurus administrasi selama studi.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat dan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.

Bogor, Maret 2013


(11)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I.

PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 2

C. HIPOTESIS ... 3

D. MANFAAT PENELITIAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK ... 4

B. BAKTERI ASAM LAKTAT ASAL AIR SUSU IBU ... 6

C. AKTIVITAS ANTIMIKROBA BAKTERI ASAM LAKTAT ... 8

D. SUSU FORMULA BAYI ... 10

E. Salmonella Typhimurium ... 14

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 16

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 16

B. BAHAN DAN ALAT ... 16

C. METODE PENELITIAN ... 16

1. Pemilihan media selektif ... 22

2. Uji kompetisi L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium ... 23

3. Evaluasi kemampuan L. rhamnosus R21 untuk menurunkan pH ... 24

D. METODE ANALISIS ... 25

1. Total Bakteri Asam Laktat L. rhamnosus R21 ... 25

2. Total Salmonella Typhimurium ... 25


(12)

viii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

A. Pemilihan Media Selektif ... 27

B. Kompetisi L. rhamnosus R21 dengan S. Typhimurium ... 28

1. Pengaruh suhu rekonstitusi terhadap viabilitas bakteri ... 28

2. Kompetisi L. rhamnosus R21 dengan S. Typhimurium selama hang time ... 30

3. Pengaruh jumlah awal BAL terhadap pertumbuhan S. Typhimurium ... 34

4. Pengaruh kompetisi terhadap S. Typhimurium dan L. rhamnosus R21... 36

C. Evaluasi kemampuan L. rhamnosus R21 untuk menurunkan pH ... 41

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 42

4

A. SIMPULAN ... 424

B. SARAN ... 424


(13)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kriteria probiotik untuk aplikasi komersial …………... 5

Tabel 2. Manfaat probiotik untuk kesehatan ………... 6

Tabel 3. Bakteri asal laktat yang diisolasi dari air susu ibu (ASI) ………... 7

Tabel 4. Standar mikrobiologi susu bubuk menurut SNI 01-2970-1999 ... 11

Tabel 5. Pertumbuhan L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium pada beberapa media ... 27

Tabel 6. Penurunan jumlah BAL L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium setelah rekonstitusi pada suhu 60 oC dan 70 oC ... 28

Tabel 7. Jumlah dan penurunan S. Typhimurium pada kompetisi dengan L. rhamnosus R21 setelah hang time selama 8 jam ... 37

Tabel 8. Jumlah dan penurunan L. rhamnosus R21 pada kompetisi dengan S. Typhimurium setelah hang time selama 8 jam ... 38

Tabel 9. Perubahan pH susu dengan jumlah awal BAL 109, 108, dan 106 CFU/mL pada kontrol dan kompetisi dengan S. Typhimurium setelah 8 jam hang time... 42


(14)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagan fermentasi glukosa oleh BAL secara umum ... 4

Gambar 2. Hasil pewarnaan gram Lactobacillus rhamnosus R21………. 8

Gambar 3. Struktur molekul asam laktat ………... 8

Gambar 4 Bagan Alir Proses Produksi Susu Formula Bubuk dan Penyajiannya ..……….. 11

Gambar 5. Proses pembuatan susu formula ………... 12

Gambar 6. Hasil pewarnaan gram Salmonella Typhimurium ………... 14

Gambar 7. Tahapan penelitian secara umum ……… 17

Gambar 8. Prosedur pewarnaan gram………... 19

Gambar 9. Prosedur uji produksi CO2 oleh L. rhamnosus R21 dari fermentasi glukosa ... 20

Gambar 10. Prosedur persiapan kultur L.rhamnosus R21 ………... 21

Gambar 11 Prosedur persiapan kultur S. Typhimurium ………... 21

Gambar 12. Prosedur pemilihan media selektif untuk membedakan L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium ...… 22

Gambar 13. Prosedur uji kompetisi L. rhamnosus R21 dengan S. Typhimurium ... 24

Gambar 14. Pertumbuhan L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) dan S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) selama kompetisi pada suhu rekonstitusi 27 oC……... 32

Gambar 15. Pertumbuhan L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) dan S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) selama kompetisi pada suhu rekonstitusi 60 oC………... 32

Gambar 16. Pertumbuhan L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) dan S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) selama kompetisi pada suhu rekonstitusi 70 oC………... 33

Gambar 17. Perbandingan pertumbuhan S. Typhimurium pada kompetisi dengan berbagai jumlah awal BAL yang berbeda pada suhu rekonstitusi 70 oC ...………. 34

Gambar 18. Pertumbuhan L. rhamnosus R21 (jumlah awal 108 CFU/mL) dan S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) selama kompetisi pada suhu rekonstitusi 70 oC………... 35

Gambar 19. Pertumbuhan L. rhamnosus R21 (jumlah awal 106 CFU/mL) dan S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) selama kompetisi pada suhu rekonstitusi 70 oC ... 35


(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1a. Penampakan sel L. rhamnosus R21 di bawah mikroskop cahaya dengan

perbesaran 1000x setelah pewarnaan gram………... 52

Lampiran 1b. Penampakan koloni kultur L. rhamnosus R21 pada media MRSA-AA ... 52

Lampiran 1c. Hasil uji produksi CO2 oleh L. rhamnosus R21 dari fermentasi glukosa pada media agar semi solid Gibson ...…... 52

Lampiran 1d. Penampakan S. Typhimurium di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000x setelah pewarnaan gram ………... 52

Lampiran 1e. Penampukan koloni S. Typhimurium pada media EMBA ...…………... 53

Lampiran 1f. Penampakan koloni S. Typhimurium pada media BSA ... 53

Lampiran 2. Hasil pemilihan media selektif L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium ... 54

Lampiran 3a. Data kompetisi L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) vs S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 27 oC …... 56

Lampiran 3b. Data kompetisi L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) vs S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 60 oC …... 57

Lampiran 3c. Data kompetisi L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) vs S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 70 oC …... 58

Lampiran 3d. Data kompetisi S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) vs L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) pada media BSA pada suhu rekonstitusi 27 oC ...…... 59

Lampiran 3e. Data kompetisi S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) vs L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) pada media BSA pada suhu rekonstitusi 60 oC ...…... 60

Lampiran 3f. Data kompetisi S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) vs L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) pada media BSA pada suhu rekonstitusi 70 oC ...…... 61

Lampiran 3g. Data kontrol L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) pada media MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 27 oC ...…... 62

Lampiran 3h. Data kontrol L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) pada media MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 60 oC ...…... 63

Lampiran 3i. Data kontrol L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU/mL) pada media MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 70 oC ...…... 64 Lampiran 3j. Data kontrol S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media BSA

pada suhu rekonstitusi 27 oC ... 65


(16)

xii

Lampiran 3k. Data kontrol S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media BSA pada suhu rekonstitusi 60 oC ... 66 Lampiran 3l. Data kontrol S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media BSA

pada suhu rekonstitusi 70 oC ... 67 Lampiran 4a. Data kompetisi L. rhamnosus R21 (jumlah awal 108 CFU/mL) vs S.

Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 70 oC …... 69 Lampiran 4b. Data kompetisi S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) vs L.

rhamnosus R21 (jumlah awal 108 CFU/mL) pada media BSA pada suhu rekonstitusi 70 oC ...…... 70 Lampiran 4c. Data kontrol L. rhamnosus R21 (jumlah awal 108 CFU/mL) pada media

MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 70 oC ... 71 Lampiran 4d. Data kontrol S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media BSA

pada suhu rekonstitusi 70 oC ... 72 Lampiran 5a. Data kompetisi L. rhamnosus R21 (jumlah awal 106 CFU/mL) vs S.

Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 70 oC …... 74 Lampiran 5b. Data kompetisi S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) vs L.

rhamnosus R21 (jumlah awal 106 CFU/mL) pada media BSA pada suhu rekonstitusi 70 oC ...…... 75 Lampiran 5c. Data kontrol L. rhamnosus R21 (jumlah awal 106 CFU/mL) pada media

MRSA-AA pada suhu rekonstitusi 70 oC ... 76 Lampiran 5d. Data kontrol S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) pada media BSA

pada suhu rekonstitusi 70 oC ... 77 Lampiran 6a. Penurunan jumlah L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU.mL) kontrol

maupun pada kompetisi dengan S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) akibat rekonstitusi pada suhu 60 oC ... 79 Lampiran 6b. Penurunan jumlah L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU.mL) kontrol

maupun pada kompetisi dengan S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) akibat rekonstitusi pada suhu 70 oC ... 80 Lampiran 6c. Penurunan jumlah L. rhamnosus R21 (jumlah awal 108 CFU.mL) kontrol

maupun pada kompetisi dengan S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) akibat rekonstitusi pada suhu 60 oC ... 81 Lampiran 6d. Penurunan jumlah L. rhamnosus R21 (jumlah awal 108 CFU.mL) kontrol

maupun pada kompetisi dengan S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) akibat rekonstitusi pada suhu 70 oC ... 82 Lampiran 6e. Penurunan jumlah S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) kontrol

maupun kompetisi dengan L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU.mL) akibat rekonstitusi pada suhu 60 oC ... 83


(17)

xiii

Lampiran 6f. Penurunan jumlah S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) kontrol maupun kompetisi dengan L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU.mL) akibat rekonstitusi pada suhu 70 oC ... 84 Lampiran 6g. Penurunan jumlah S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) kontrol

maupun kompetisi dengan L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU.mL) akibat rekonstitusi pada suhu 60 oC ... 85 Lampiran 6h. Penurunan jumlah S. Typhimurium (jumlah awal 104 CFU/mL) kontrol

maupun kompetisi dengan L. rhamnosus R21 (jumlah awal 109 CFU.mL) akibat rekonstitusi pada suhu 70 oC ... 86 Lampiran 7a. Perubahan nilai pH susu selama hang time pada suhu rekonstitusi 27 oC

dengan jumlah awal BAL 109 CFU/mL dan S. Typhimurium 104 CFU/mL 88 Lampiran 7b. Perubahan nilai pH susu selama hang time pada suhu rekonstitusi 60 oC

dengan jumlah awal BAL 109 CFU/mL dan S. Typhimurium 104 CFU/mL 88 Lampiran 7c.

.

Perubahan nilai pH susu selama hang time pada suhu rekonstitusi 70 oC dengan jumlah awal BAL 109 CFU/mL dan S. Typhimurium 104 CFU/mL 89 Lampiran 7d. Perubahan nilai pH susu selama hang time pada suhu rekonstitusi 70 oC

dengan jumlah awal BAL 108 CFU/mL dan S. Typhimurium 104 CFU/mL 89 Lampiran 7e. Perubahan nilai pH susu selama hang time pada suhu rekonstitusi 70 oC

dengan jumlah awal BAL 108 CFU/mL dan S. Typhimurium 104 CFU/mL 90 Lampiran 8. Data nilai pH susu kontrol BAL (jumlah awal 106, 108, dan 109 CFU/mL)

pada jam ke-0 dan 8 pada suhu rekonstitusi 27 oC, 60 oC, dan 70 oC ... 91 Lampiran 9a. Uji T-Sampel berpasangan pada pengaruh perbedaan suhu 60 dan 70 oC

terhadap viabilitas L. rhamnosus R21 setelah rekonstitusi pada kompetisi dengan S. Typhimurium ... 92 Lampiran 9b. Uji T-Sampel berpasangan pada pengaruh kompetisi dengan S.

Typhimurium terhadap viabilitas L. rhamnosus R21 dengan jumlah awal 109 CFU/mL akibat rekonstitusi pada suhu 60 oC dan 70 oC... 93 Lampiran 9c. Uji T-Sampel berpasangan pada pengaruh kompetisi dengan S.

Typhimurium terhadap viabilitas L. rhamnosus R21 dengan jumlah awal 106 CFU/mL setelah rekonstitusi pada suhu 70 oC ... 94 Lampiran 9d. Uji Regresi pada pengaruh jumlah awal BAL terhadap viabilitas BAL

kontrol setelah rekonstitusi pada suhu 70 oC ... 95 Lampiran 9e. Uji T-Sampel berpasangan pada pengaruh kompetisi L. rhamnosus R21

dengan berbagai jumlah awal (106, 108, dan 109 CFU/mL) terhadap viabilitas S. Typhimurium akibat rekonstitusi pada suhu 70 oC ... 96 Lampiran 9f. Uji Regresi pada pengaruh jumlah awal BAL terhadap viabilitas S.

Typhimurium akibat rekonstitusi pada suhu 70 oC ... 97 Lampiran 9g. Uji Regresi pada pengaruh suhu rekonstitusi terhadap penghambatan S.

Typhimurium pada kompetisi dengan BAL dengan jumlah awal 109 CFU/mL ... 98


(18)

xiv

Lampiran 9h. Uji T-Sampel berpasangan pada pengaruh kompetisi dengan L. rhamnosus

R21 dengan jumlah awal 108 CFU/mL terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC ... 99 Lampiran 9i. Uji T-Sampel berpasangan pada pengaruh kompetisi dengan L. rhamnosus

R21 dengan jumlah awal 106 CFU/mL terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC ... 100 Lampiran 9j. Uji T-Sampel berpasangan pada pengaruh kompetisi dengan S.

Typhimurium dengan jumlah awal 104 CFU/mL terhadap pertumbuhan L. rhamnosus R21 pada suhu rekonstitusi 27 oC, 60 oC, dan 70 oC ... 101 Lampiran 9k. Uji T-Sampel berpasangan pada pengaruh kompetisi dengan S.

Typhimurium terhadap penurunan pH susu setelah hang time dengan jumlah awal BAL 109, 108, dan 106 CFU/mL ... 102


(19)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Air susu ibu (ASI) adalah asupan yang paling ideal untuk bayi. Rekomendasi WHO menyebutkan bahwa bayi seharusnya mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama hidupnya. Hal ini disebabkan ASI mengandung semua nutrisi yang diperlukan oleh bayi untuk dapat tumbuh sehat dan berkembang secara optimal (WHO-UNICEF 2003). Namun, terkadang ada beberapa alasan yang menyebabkan bayi tidak dapat memperoleh ASI. Alasan tersebut antara lain, ibu menderita HIV positif atau penyakit serius lainnya yang mengharuskannya menjalani pengobatan intensif sehingga tidak disarankan untuk menyusui, ibu memutuskan untuk tidak menyusui bayinya, atau karena kuantitas ASI kurang mencukupi kebutuhan bayi (WHO 2007). Bayi yang tidak memperoleh ASI membutuhkan substitusi ASI yang tepat sehingga tetap dapat terpenuhi kebutuhan nutrisinya. Saat ini, pengganti ASI yang umum digunakan adalah susu formula bayi.

Selain sebagai sumber nutrisi, ASI juga merupakan sumber bakteri menguntungkan yang dibutuhkan oleh bayi atau yang dikenal dengan istilah probiotik. Probiotik didefinisikan sebagai bakteri bermanfaat yang hidup di usus manusia bersama mikloflora usus lainnya. Bakteri ini berperan dalam mengolonisasi usus bayi dan mencegah penetrasi bakteri patogen. Untuk dapat disebut probiotik, spesies bakteri tertentu harus terbukti secara ilmiah mampu memberikan manfaat fisiologis, diisolasi dari manusia, aman untuk dikonsumsi, dan mampu menempel pada membran mukosa usus (Morelli 2007). Probiotik yang paling umum dimanfaatkan adalah bakteri asam laktat (BAL) genus

Lactobacillus dan Bifidobacterium (Servin 2004; Candela et al. 2008). Genus Lactobacillus memiliki ciri-ciri gram positif, tidak berspora, fakultatif anaerob, berbentuk batang, katalase dan sitokrom negatif, tahan asam, serta membutuhkan media kaya nutrisi untuk tumbuh (Axelsson et al. 2004). Selain itu, probiotik ini dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen, salah satunya Salmonella

Typhimurium (Nousiainen et al. 2003).

Hartanti (2007) dan Nuraida et al. (2007) telah mengidentifikasi sejumlah BAL yang diisolasi dari ASI dan salah satu diantaranya yang berpotensi sebagai probiotik, yaitu Lactobacillus rhamnosus

isolat R21 (L. rhamnosus R21). L. rhamnosus R21 merupakan BAL fakultatif anaerob yang memproduksi L (+) asam laktat pada kondisi anaerob. L. rhamnosus R21 memiliki ketahanan yang baik pada kondisi asam (pH 2) dan tahan garam empedu 0.5%. Bakteri tersebut juga memiliki ketahanan yang baik terhadap proses pengeringan beku dan rekonstitusi pada suhu 70 oC (Saputra 2012). Secara in vitro, L. rhamnosus R21 memiliki daya hambat yang besar terhadap Bacillus cereus, Escherichia coli, Salmonella Typhimurium, dan Staphylococcus aureus (Hartanti2007; Nuraida et al.

2007). L. rhamnosus R21 juga dapat menurunkan jumlah bakteri Listeria monocytogenes sebesar 4.7 log (Rohmawati 2010).

Saat ini, susu formula dikembangkan sebagai produk yang mengandung probiotik. Penambahan probiotik ke dalam susu formula dimaksudkan untuk membantu mengolonisasi usus bayi yang tidak mendapatkan ASI. Bakteri probiotik umumnya ditambahkan ke dalam susu formula dalam bentuk bubuk dan diproduksi melalui spray drying (Desmond et al. 2001) ataupun freeze drying (Picot

et al. 2003; de Giulio et al. 2005).

Di sisi lain, susu formula bukanlah produk steril seperti halnya ASI. Teknologi yang ada saat ini tidak memungkinkan dihasilkannya susu formula bayi yang steril. Teknik sterilisasi yang mungkin dapat dilakukan pada produk akhir dimana susu formula sudah berbentuk bubuk kering hanyalah teknik iradiasi. Akan tetapi, teknik ini menimbulkan efek samping yaitu penyimpangan organoleptik


(20)

2

pada produk akhir (FAO-WHO 2004). Oleh karena itu, susu formula bayi beresiko terkontaminasi oleh mikroba patogen baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Berdasarkan pertemuan para ahli WHO dan FAO yang diselenggarakan pada tahun 2004 dan 2006, Cronobacter sakazakii dan Salmonella enterica khususnya S. enterica subsp. enterica serovar Typhimurium (Salmonella Typhimurium) terbukti secara mikrobiologi dan epidemologi sebagai bakteri yang berpotensi mengontaminasi susu formula dan menginfeksi bayi.

Salmonella merupakan genus bakteri dari famili Enterobacteriaceae yang menyebabkan banyak kasus salmonellosis pada bayi. S. Typhimurium merupakan salah satu dari ribuan serovar genus

Salmonella yang ada (Lin dan Cheng 2007). S. Typhimurium berbentuk batang pendek, gram negatif, bersifat fakultatif anaerob, dan mampu beradaptasi pada situasi asam (Bell dan Kyriakides 2002). Dalam genus Salmonella, S. Typhimurium adalah serovar yang paling umum menyebabkan kasus salmonellosis pada bayi (Jones et al. 2006). Kasus salmonellosis pada kelompok usia bayi lebih beresiko tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya (FAO-WHO 2006). Di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa pada tahun 2002 terdapat kasus salmonellosis sebanyak 139 per 100.000 bayi. Nilai ini setara dengan sekitar delapan kali rasio kasus salmonellosis pada umumnya (16 per 100.000 individu) (CDC 2002). Setidaknya sebanyak 6 outbreaks salmonellosis terkait susu formula bayi tercatat sejak 1995, terjadi di Kanada, Perancis, Korea, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat (WHO/FAO 2006). Kasus terbaru adalah outbreak S. agona yang terjadi di Perancis pada tahun 2005 dengan jumlah korban 141 bayi berusia kurang dari 12 bulan (FAO-WHO 2007).

Pertumbuhan bakteri kontaminan pada susu formula dapat dihambat dengan adanya BAL probiotik. Sebelumnya telah dilakukan penelitian yang mengevaluasi kemampuan BAL probiotik asal ASI L. rhamnosus R21 untuk berkompetisi dengan bakteri kontaminan pada susu formula rekonstitusi, yaitu C. sakazakii. Penelitian yang dilakukan oleh Riyanti (2012) menyebutkan bahwa campuran L. rhamnosus R21dan L. rhamnosus R25 kurang efektif menghambat C. sakazakii pada suhu rekonstitusi 50, 60, maupun 70 oC selama 8 jam hang time. Namun, penelitian Saputra (2012) membuktikan bahwa kultur tunggal L. rhamnosus R21 mampu menghambat pertumbuhan C. sakazakii YR c3a pada susu formula rekonstitusi sebanyak 1.26 dan 1.05 log CFU/mL pada suhu rekonstitusi 60 dan 70 oC. Kemampuan L. rhamnosus R21 untuk menghambat C. sakazakii

disebabkan oleh kemampuannya menghasilkan komponen antimikroba. Hal tersebut mendasari hipotesis bahwa L. rhamnosus R21 juga dapat menghambat bakteri patogen lain yang mengontaminasi susu formula selama rekonstitusi, salah satunya S. Typhimurium. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan L. rhamnosus R21 untuk berkompetisi dengan S. Typhimurium pada susu formula rekonstitusi selama 8 jam hang time.

B.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan Lactobacillus rhamnosus

R21 asal ASI untuk berkompetisi dengan Salmonella Typhimurium pada susu formula bayi selama rekonstitusi. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

a) mengetahui media yang selektif untuk L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium;

b) mempelajari pengaruh suhu rekonstitusi 27, 60, dan 70 oC terhadap aktivitas kompetisi L. rhamnosus R21 dan S. Typhimurium.

c) mempelajari kompetisi L. rhamnosus R21 pada tiga jumlah awal berbeda (109, 108, 106 CFU/mL) dengan S. Typhimurium (104 CFU/mL)


(21)

3

C.

HIPOTESIS

Daya hambat L. rhamnosus R21 terhadap pertumbuhan S. Typhimurium diduga bervariasi, dipengaruhi oleh perbedaan suhu rekonstitusi dan jumlah awal L. rhamnosus R21 yang diinokulasikan ke dalam susu formula.

D.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai sifat fungsional bakteri asam laktat yang berasal dari Air Susu Ibu, khususnya L. rhamnosus R21 dalam menghambat bakteri

Salmonella Typhimurium setelah susu formula direkonstitusi serta jumlah L. rhamnosus R21 yang dapat dianjurkan untuk ditambahkan ke dalam susu formula.


(22)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK

Bakteri asam laktat merupakan bakteri gram positif, bersifat anaerob aerotoleran, tahan asam, fermentatif, berbentuk batang atau bulat, memerlukan nutrisi yang kompleks (fastidious), dan memiliki komposisi basa nitrogen DNA G+C kurang dari 50% (Axelsson 2004; Adam & Moss 1995). Bakteri tersebut umumnya bersifat katalase negatif tetapi kadang-kadang terdeteksi katalase semu pada kultur yang ditumbuhkan pada konsentrasi gula rendah (Pot et al. 1994). Menurut Hayakawa (1992), bakteri asam laktat merupakan bakteri menguntungkan yang dapat memfermentasi gula untuk menghasilkan energi dan memproduksi asam laktat. Bakteri ini juga dapat memecah protein tanpa menghasilkan senyawa putrefaktif (senyawa berbau busuk).

Bakteri asam laktat (BAL) adalah golongan bakteri gram positif, umumnya bersifat katalase-negatif, tumbuh di lingkungan dengan kondisi mikroaerofilik hingga anaerobik, dan tidak berspora (Stiles dan Holzapfel 1997). Bakteri tersebut dapat memproduksi asam laktat dari fermentasi karbohidrat, khususnya laktosa (de Vuyst dan Vandamme 1994). BAL diklasifikasikan ke dalam beberapa genus. Genus yang utama adalah Lactobacillus, Lactococcus, Enterococcus, Streptococcus, Pediococcus, Leuconostoc, Weisella, Carnobacterium, Tetragenococcus, dan Bifidobacterium (Klein

et al. 1998).

Berdasarkan senyawa hasil fermentasinya, BAL dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu BAL homofermentatif dan BAL heterofermentatif. Kedua kelompok BAL tersebut memiliki jalur metabolisme yang berbeda, seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Melalui jalur glikolisis (jalur Embden-Meyerhof-Parnas), fermentasi glukosa oleh BAL homofermentatif menghasilkan 2 mol asam laktat dan 2 ATP per mol glukosa yang dikonsumsi. Sedangkan fermentasi glukosa oleh BAL heterofermentatif menghasilkan masing-masing 1 mol asam laktat, etanol atau asam asetat, dan CO2, dan 1 mol ATP per mol glukosa. Fermentasi ini berlangsung melalui jalur 6-fosfoglukonat/fosfoketolase (6PG/PK) (Salminen et al. 2004).


(23)

5

Probiotik pada awalnya digunakan sebagai lawan kata dari antibiotik. Probiotik berasal dari istilah Yunani yaitu pro dan biotos yang diartikan “untuk khidupan” (Hamilton 2003). Seiring berkembangnya pengetahuan, probiotik didefinisikan sebagai mikroba hidup yang memberikan manfaat pada makhluk hidup yang ditumpanginya khususnya manusia dengan cara meningkatkan keseimbangan mikrobial di usus dan lebih dari itu, mengonsumsi sejumlah tertentu probiotik akan meningkatkan dampak kesehatan pada kondisi dimana sejumlah nutrisi penting sudah terpenuhi (Guarner and Schaafsma 1998). Sedangkan definisi probiotik menurut FAO-WHO (2002), yaitu mikroorganisme hidup yang bila dikonsumsi dalam jumlah memadai dapat memberikan manfaat kepada inangnya. Kandungan probiotik yang dianjurkan dalam produk pangan, yaitu 106-107 CFU/g (Nousianen et al. 2004).

Definisi lain menerangkan bahwa bakteri probiotik merupakan mikroorganisme non-patogen yang digolongkan ke dalam flora normal pada saluran pencernaan yang memberikan manfaat kesehatan dengan cara mempengaruhi kehidupan mikroflora yang telah ada sebelumnya. Sejumlah bakteri yang telah dikenal sebagai probiotik antara lain golongan Lactobacilli dan Bifidobacteria. Bakteri-bakteri tersebut dapat memengaruhi fisiologi saluran pencernaan, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui mekanisme mempengaruhi ekosistem mikroflora maupun sistem imun (Marteau et al. 2001). Hal tersebut mendorong pemanfaatan probiotik pada produk-produk komersial yang ditujukan untuk memperbaiki status kesehatan manusia. Untuk dapat diaplikasikan secara komersial probiotik harus memenuhi sejumlah kriteria seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria probiotik untuk aplikasi komersial

Aspek Kriteria

Keamanan Berasal dari manusia (human origin) Bukan patogen

Tidak toksik

Tidak resisten terhadap antibiotik Teknis Galur yang stabil secara genetik

Viabilitas tinggi selama proses dan penyimpanan Memiliki atribut sensori yang baik

Resisten terhadap infeksi virus Dapat diproduksi dalam skala besar

Fungsional Tahan terhadap asam lambung dan enzim pencernaan Tahan terhadap garam empedu

Dapat melekatkan diri pada permukaan mukosa usus Memiliki manfaat kesehatan yang terbukti secara ilmiah Fisiologis Immunomodulator

Antagonis terhadap patogen pada saluran pencernaan Hipokolesterolemik

Mampu memfermentasi laktosa Antimutagenik dan antikarsinogenik

Sumber: Morelli (2007)

Lactobacilli merupakan genus terbesar BAL (Axelsson 2004). Genus Lactobacilli memiliki ciri-ciri gram positif, tidak berspora, fakultatif anaerob, berbentuk batang, umumnya membentuk rantai pendek, katalase dan sitokrom negatif, serta membutuhkan media kaya nutrisi untuk tumbuh. Lactobacilli juga merupakan komponen mayor dari mikroflora usus dan telah lama digunakan dalam pembuatan pangan fermentasi. Sejumlah hasil penelitian baik secara klinis maupun pada hewan mendukung gagasan bahwa Lactobacilli dapat meningkatkan respon imun inangnya (Salminen et al. 2000). Misalnya, Lactobacilli dapat meningkatkan aktivitas fagosit dari sel darah putih (leukosit)


(24)

6

(Schiffrin et al. 1995), memperbaiki aktivitas sell Natural Killer (NK) dan meningkatkan jumlahnya secara signifikan pada manusia yang mengonsumsi pangan fermentasi yang mengandung galur

Lactobacillus tertentu (Gill et al. 2001).

Salminen et al. (2004) menyatakan bahwa suatu probiotik harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah: (1) bersifat nonpatogenik dan mewakili mikrobiota normal pada usus inangnya, serta masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi asam empedu yang tinggi dalam usus halus, (2) dapat tumbuh dan bermetabolisme dengan cepat serta terdapat dalam jumlah yang tinggi dalam usus halus, (3) mampu mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus inangnya, (4) dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri patogen, (5) mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan hidup selama kondisi penyimpanan.

Sejumlah penelitian telah mengkaji beragam manfaat probiotik untuk kesehatan. Manfaat kesehatan yang diberikan oleh tiap galur probiotik sangat spesifik dan berbeda satu sama lain, bahkan diantara galur yang berasal dari spesies yang sama sekalipun. Beberapa manfaat probiotik untuk kesehatan disajikan di bawah ini:

Tabel 2. Manfaat probiotik untuk kesehatan

Efek kesehatan Mekanisme Status

Mengatasi lactose intolerant Probiotik melepaskan enzim

beta-galaktosidase ke saluran pencernaan manusia

Terbukti secara ilmiah

Mencegah dan mengurangi diare akibat rotavirus dan antibiotik

Berkompetisi dengan virus

Membentuk barrier pada mukosa usus Meningkatkan respon imun

Terbukti secara ilmiah

Membantu menyembuhkan dan mencegah alergi

Membentuk barrier pada mukosa usus Mempengaruhi sistem kerja imun

Potensial

Mengurangi resiko mutasi gen dan kanker

Memetabolisme mutagen

Mendominasi populasi mikroflora usus Mendominasi aktivitas metabolik di usus Menormalkan permeabilitas usus

Meningkatkan imunitas saluran pencernaan

Potensial

Efek hipokolesterolemik Dekonjugasi garam empedu Potensial

Menghambat Helicobacter pylori

dan patogen enterik

Berkompetisi dengan patogen

Membentuk barrier pada membran mukosa usus

Memproduksi senyawa antimikroba

Potensial

Menstimulasi sistem imun Sel BAL dikenali oleh reseptor sel imun sehingga menginduksi sistem imun spesifik dan non-spesifik

Memicu cytokines dan chemokines untuk pro-inflamasi ataupun anti-pro-inflamasi

Memicu aktivitas fagosit

Potensial

Sumber: Vasiljevic dan Shah (2008)

B.

BAKTERI ASAM LAKTAT ASAL AIR SUSU IBU

Bakteri asam laktat dapat diisolasi dari beberapa sumber, salah satunya Air Susu Ibu (ASI). ASI adalah bahan makanan terbaik untuk bayi karena mengandung semua zat gizi yang diperlukan bayi dalam 4-6 bulan pertama kehidupan. Air susu ibu mengandung lebih banyak laktosa (gula susu) daripada susu lainnya dan laktosa merupakan zat yang diperlukan bagi manusia (Siregar 2004).


(25)

7

Menurut Young (1998) ASI mengandung banyak oligosakarida (fruktooligosakarida), yaitu suatu karbohidrat yang tidak dicerna manusia tetapi merupakan makanan bagi bakteri menguntungkan. Selain itu, ASI juga mengandung laktoferin, yaitu protein yang berikatan dengan zat besi sehingga dapat menunjang pertumbuhan BAL dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen tertentu, seperti

Staphylococcus aureus dan E. coli (Salminen et al. 2004).

ASI adalah sumber utama bakteri asam laktat yang mendominasi usus bayi. Bakteri asam laktat yang ada di ASI seluruhnya murni berasal dari suspensi ASI tersebut dan bukan bakteri kontaminan dari sekitar kulit payudara ibu (Martin et al. 2003). Berbagai penelitian mengenai BAL yang diisolasi dari ASI telah banyak dilakukan. Tabel 3 menunjukkan daftar BAL yang berasal dari ASI menurut Martin et al. (2007).

Tabel 3. Bakteri asal laktat yang diisolasi dari air susu ibu (ASI)

Sampel Genus Spesies

Air susu ibu (ASI) Lactobacillus L. fermentum strain BFE 6618

L. rhamnosus strain MCRF-412

L. plantarum strain BJ G26-4

L. fermentum strain BFE

Leuconostoc L. citreum IH22

L. fallax strain BFE

Weissella W. confuse strain BJ21-2

Sumber: Martin et. al (2007)

Sejumlah BAL yang dapat diisolasi dari ASI antara lain galur Bifidobacterium bifidum atau yang kemudian dikenal Lactobacillus bifidus (Salminen et al. 2004), Lactobacillus gasseri, Lactobacillus rhamnosus dan Enterococcus faecium (Holzapfel et al. 1998). Selain itu berdasarkan penelitian Nuraida et al. (2007) terhadap isolat klinis BAL, diperoleh isolat-isolat BAL yang teridentifikasi sebagai Leuconostoc heterofermentatif, Lactobacillus heterofermentatif, dan

Lactobacillus homofermentatif. Hartanti (2007) dan Nuraida et al. (2007) selanjutnya mengidentifikasi sejumlah BAL yang telah diisolasi dari ASI dan beberapa diantaranya berpotensi sebagai probiotik, yaitu Lactobacillus isolat A22, A23, B16, R14, R21, R23, dan R23H. Menurut Hartanti (2007), semua isolat tersebut termasuk ke dalam kelompok Lactobacillus homofermentatif.

Penelitian Hartanti (2007) membuktikan bahwa sebagian besar isolat BAL yang diuji dapat melewati saluran lambung yang bersifat asam. Dari 24 isolat BAL homofermentatif yang diuji, terdapat 17 isolat yang mengalami penurunan log kurang dari 1 unit (resisten) pada kondisi asam, yaitu Lactobacillus R12, R14, R15, R21, R22, R23, R24, R25, R26, R27, R28, R30, R31, R32, R34, R36, dan R37. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kusumawati (2002) yang memperlihatkan bahwa ketahanan 18 galur BAL indigenus terhadap pH rendah cukup tinggi pada semua galur yang diuji, di mana penurunan log hanya berkisar antara 0.04 sampai 1.1 log/mL. Selanjutnya 17 isolat tersebut diuji ketahanannya terhadap garam empedu 0.5%. Hasil yang diperoleh, yaitu terdapat 3 isolat yang sangat resisten terhadap garam empedu (Lactobacillus R24, R26, dan R28), 9 isolat agak resisten (Lactobacillus R12, R14, R21, R22, R23, R25, R27, R32, dan R34), dan 5 isolat lainnya dianggap tidak resisten. Selanjutnya, pada beberapa strain BAL tersebut dilakukan uji identifikasi lanjutan dan teridentifikasi sebagai Lactobacillus rhamnosus. Tingkat kesamaan strain BAL uji dengan

Lactobacillus rhamnosus sebagai berikut: R12 sebesar 89%, R21 sebesar 96%, R23, R26, R28, dan R34 sebesar 92%, sedangkan R24 sebesar 88% (Hartanti 2007).


(26)

8

Lactobacillus rhamnosus R21 merupakan bakteri asam laktat berbentuk batang pendek, gram positif (Gambar 2), bersifat katalase negatif, optimal tumbuh pada suhu 45 oC dan masih bisa tumbuh pada suhu 10-15 oC. Bakteri ini mampu memfermentasi glukosa, tetapi tidak menghasilkan CO2, dekstran, dan tidak memfermentasi sukrosa sehingga tergolong bakteri asam laktat homofermentatif.

Lactobacillus rhamnosus R21 memiliki ketahanan yang baik terhadap kondisi asam (pH 2) dengan penurunan hanya 0.07 siklus log dan juga tahan garam empedu 0.5% dengan penurunan jumlah bakteri sebesar 2.23 log (CFU/g) (Nuraida et al. 2007). Selain itu, L. rhamnosus R21 memiliki ketahanan yang cukup baik terhadap proses pengeringan beku dengan penurunan hanya 0.97 log. Ketika diinokulasikan ke dalam susu formula, bakteri probiotik ini juga memiliki viabilitas yang baik pada rekonstitusi suhu 50, 60, dan 70 oC. Pada penelitian Saputra (2012) yang menggunakan L. rhamnsous R21 dalam susu formula dengan jumlah 108 CFU/mL untuk berkompetisi dengan C. sakazakii YR c3a, L. rhamnosus R21 mengalami penurunan < 1 log setelah direkonstitusi pada suhu 50, 60, dan 70 oC. Namun, pada jumlah awal yang lebih rendah (107 CFU/mL), jumlah L. rhamnosus

R21 dapat menurun sebanyak > 1 log ketika direkonstitusi dengan suhu yang sama (Riyanti 2012). Sejumlah galur Lactobacillus rhamnosus telah digunakan sebagai probiotik pada produk-produk komersial, antara lain L. rhamnosus R0011, L. rhamnosus HN001 (DR20), L. rhamnosus GR-1, L. rhamnosus LB21, L. rhamnosus GG1, dan L. rhamnosus 271 (Holm 2003 dan Shah 2004).

Gambar 2. Hasil pewarnaan gram Lactobacillus rhamnosus R21

C.

AKTIVITAS ANTIMIKROBA BAKTERI ASAM LAKTAT

Mekanisme aktivitas antibakteri dari probiotik galur Lactobacillus berkaitan dengan banyak faktor. Secara khusus, dengan memproduksi metabolit seperti asam asetat dan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH, Lactobacillus menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan terkadang bahkan membunuhnya. Salah satu bakteri patogen yang mampu dihambat oleh Lactobacillus adalah

Salmonella enterica subspecies enterica serovar typhimurium. Aktivitas penghambatan atau pembunuhan oleh probiotik Lactobacillus terhadap S. Typhimurium telah dipelajari oleh (Fayol-Messaoudi et al. 2005) dengan menggunakan metode in vitro dimana aktivitas tersebut diukur pada media Luria Broth (LB) atau Phosphate-Buffered Saline (PBS)

Secara spesifik, asam laktat (Gambar 3) adalah senyawa asam organik yang banyak berperan dalam aktivitas antibakteri dari probiotik Lactobacillus. Lebih jauh lagi, mekanisme pembunuhan terhadap bakteri patogen mungkin dihasilkan dari aksi sinergis dari asam laktat dan molekul non-asam laktat yang disekresikan. Alakomi et al. (2000) menunjukkan bahwa asam laktat berperan sebagai permeabilisator pada membran luar dari patogen gram negatif, sehingga meningkatkan penetrasi molekul antibakteri ke dalam sel bakteri patogen.


(27)

9

Gambar 3. Struktur molekul asam laktat

Asam laktat merupakan asam lemah dengan nilai pKa 3.8. Mekanisme antimikroba dari asam laktat melalui dua macam cara yaitu disosiasi asam di luar sel dan disosiasi asam di dalam sel mikroba. Pada pH 5-8 (pH umum makanan), molekul asam laktat terdisosiasi di lingkungan sehingga konsentrasi H+ di lingkungan meningkat. Hal ini berpengaruh terhadap gradien proton transmembran dari sel mikroba. Sebagai bentuk penyesuaian diri, pompa proton sel mengangkut banyak proton sehingga sel kehilangan banyak energi dan pH internal sel menurun. Selain itu struktur dinding sel dan membran sitoplasma juga terekspos oleh H+. Hal ini dapat merusak ikatan ion makromolekul di dalam sel sehingga merusak struktur tiga dimensi sel dan fungsinya. Pada pH <5.0, molekul asam laktat yang terdisosiasi di luar sel mencapai 93.9%, sisanya tetap tidak terdisosiasi yaitu sekitar 6.1%. Jumlah molekul yang tidak terdisosiasi meningkat dengan menurunnya nilai pH lingkungan. Pada pH 4.0, jumlah molekul tidak terdisosiasi mencapai 39.2%. Molekul asam laktat yang tidak terdisosiasi bersifat lipofilik sehingga dapat menembus membran sel mikroba dengan mudah. Karena pH internal sel lebih tinggi dibandingkan nilai pK asam laktat, maka molekul tersebut akan terdisosiasi di dalam sel dan merilis banyak proton (H+). Penumpukan proton yang terlalu banyak menurunkan pH internal sel dan mengubah gradien proton. Sel akan berusaha mengeluarkan kelebihan proton dengan pompa protonnya dan ini membutuhkan sejumlah energ. Ketika pH eksternal mencapai 4.5 atau lebih rendah, energi yang digunakan sel untuk memompa proton terlalu besar, sehingga pH internal sel turun drastis. Penurunan pH sel akan merusak struktur dan fungsi sel. Lebih dari itu, sel kehilangan kemampuannya untuk mentransport nutrisi yang dibutuhkan dan menghasilkan energi. Akibatnya, pertumbuhan sel menjadi tehambat (Ray dan Bhunia 2007).

Lehto dan Salminen (1997) menemukan bahwa L. rhamnosus memiliki ketergantungan terhadap pH dalam aktivitasnya menghambat Salmonella. Pada nilai pH 7, efek antibakteri dari

Lactobacillus rhamnosus hilang. Secara umum probiotik sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan seperti aktivitas air, potensial redoks, peningkatan suhu, dan keasaman (Siuta-Cruce dan Goulet 2001). Selain itu, viabilitas probiotik juga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi, faktor penunjang dan penghambat pertumbuhan, konsentrasi gula, oksigen terlarut, level inokulasi, dan waktu fermentasi (Shah 2000). Pada pH di bawah 4.4, ada kecenderungan populasinya menurun (Dave dan Shah 1997).

Selain asam laktat dan asam asetat, BAL juga dapat memproduksi senyawa lain, seperti asam format, diasetil, hydrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin yang berpotensi menghambat beberapa mikroorganisme lain. Mekanisme aktivitas penghambatan mikroba patogen oleh BAL dapat pula terjadi melalui beberapa faktor, antara lain (1) mengganggu komponen penyusun dinding sel, (2) meningkatkan permeabilitas membran sehingga menyebabkan sel kehilangan komponen penyusunnya, (3) menginaktifkan enzim esensial yang berakibat terhambatnya sintesis protein dan kerusakan fungsi material genetik (Branen dan Davidson 1993).

Sejumlah BAL isolat ASI memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri patogen. Nuraida

et al. (2008) mendapatkan beberapa isolat BAL (42 isolat) dari ASI dan setelah diuji aktivitasnya terhadap bakteri patogen (E. coli, B. cereus, S. aureus, dan Salmonella Typhimurium), terbukti bahwa isolat-isolat tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri patogen dengan diameter


(28)

10

penghambatan bervariasi antara 2.0-5.4 mm. L. rhamnosus R21 merupakan salah satu isolat BAL asal ASI yang memiliki kemampuan yang baik dalam menghambat sejumlah bakteri patogen. Berdasarkan penelitian Hartanti (2007), zona hambat Staphylococcus aureus oleh L. rhamnosus R21 3.0 mm sedangkan zona hambat terhadap B. cereus dan E. coli sebesar 4.6 mm dan 3.00 mm. Kemampuan L. rhamnosus R21 menghambat S. Typhimurium ditunjukkan dengan pembentukan diameter penghambatan 3.1 mm. Selanjutnya diketahui bahwa secara in vitro L. rhamnosus R21 mampu mengurangi jumlah sel EPEC K1.1 penyebab diare sebesar 2.13 log cfu/mL. Menurut Rohmawati (2010), L. rhamnosus R21 termasuk ke dalam 8 isolat BAL asal ASI yang memiliki daya penghambatan yang baik terhadap Listeria monocytogenes, ditandai dengan diameter penghambatan ≥ 7.7 mm. Supernatan bebas sel yang tidak dinetralisasi, yang dihasilkan oleh L. rhamnosus R21 mampu menurunkan Listeria monocytogenes sebanyak > 4.7 log. Aktivitas penghambatan ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya komponen antimikroba yang dihasilkan oleh BAL, yaitu bakteriosin. Berdasarkan penelitian Saputra (2012), L. rhamnosus R21 dapat menghambat pertumbuhan C. sakazakii YR c3a sebesar 2.82 log CFU/mL setelah 24 jam kompetisi. Pada susu formula rekonstitusi, penghambatan C. sakazakii YR c3a oleh L. rhamnosus R21 sebesar 1.05 CFU/mL pada suhu rekonstitusi 60 oC dan 1.26 log CFU/mL pada suhu rekonstitusi 70 oC. Nilai penghambatan tersebut diperoleh setelah 8 jam hang time.

D.

SUSU FORMULA BAYI

Susu formula bayi adalah susu yang dihasilkan oleh industri untuk keperluan asupan gizi bayi. Komponen esensial susu formula tediri dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin. Proporsi dari komponen-komponen tersebut diatur dalam Commission Directive 2006/141/EC yang dikeluarkan oleh European Commission (EU 2006). Susu formula dibuat secara fabrikasi dengan menggunakan susu sapi sebagai bahan dasarnya. Susu sapi harus diadaptasi terlebih dahulu agar proporsi nutrisinya sesuai dengan ASI. Kadar protein susu sapi relatif lebih tinggi daripada kadar protein ASI. Rasio whey protein dan kasein pada susu sapi adalah 20:80 sedangkan pada ASI 60:40, sehingga profil asam amino keduanya pun berbeda (Jost et al. 1999). Beberapa langkah adaptasi yang harus dilakukan terhadap susu sapi meliputi: (1) pengurangan level protein, (2) fraksinasi protein susu, (3) penambahan kadar whey protein, (4) pengurangan fraksi kasein, dan (5) penambahan asam amino esensial dan asam amino semi-esensial tertentu.

Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 (2009) tentang regulasi batas cemaran pada produk pangan memuat batas maksimum cemaran untuk susu formula. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 4

Tabel 4. Batas maksimum cemaran mikroba untuk produk susu formula bayi dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi

No. Jenis mikroba Batas cemaran

1. Angka Lempeng Total (30 oC, 72 jam) 1 x 104 koloni/mL

2. Enterobacteriaceae negatif/10 g*)

3. Cronobacter sakazakii negatif/10 g**) 4. Salmonella sp. negatif/25 g 5. Staphylococcus aureus 1 x 101 koloni/mL 6. Bacillus cereus 1 x 102 koloni/mL

Sumber: BPOM (2009)

Keterangan: *) Jumlah sampel (n) = 10. Jumlah maksimum sampel yang tidak memenuhi syarat (c) =2

**)


(29)

11

Susu formula kebanyakan tersedia dalam bentuk bubuk. Berbeda dengan susu cair yang dapat diproses dengan steril, susu formula tidak steril (WHO 2004). Meskipun demikian, produk ini harus terjamin aman secara mikrobiologis mengingat bahwa konsumennya adalah golongan usia yang masih sangat sensitif terhadap infeksi patogen. Di samping itu, saat penyajiannya, susu formula seringkali diseduh dengan hanya air hangat atau bahkan air dingin yang tentu saja tidak cukup untuk membunuh bakteri patogen (Montage et al. 2009). Kontaminasi mikroba patogen ke dalam susu formula dapat terjadi baik pada saat produksi maupun ketika disajikan ke konsumen (Gambar 4).

Gambar 4. Bagan Alir Proses Produksi Susu Formula Bubuk dan Penyajiannya (WHO-FAO 2004) Keterangan: *titik kritis kontaminasi mikroba

Secara umum, susu bubuk dapat diproduksi dengan dua teknik, yaitu teknik pencampuran kering (dry mix) dan pencampuran basah (wet mix). Teknik pencampuran basah dilanjutkan dengan pengeringan semprot (spray drying). Masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Manfaat teknik pencampuran kering:

1. Jumlah air yang digunakan relatif sedikit sehingga peluang bakteri untuk tumbuh selama proses relatif kecil.

2. Biaya produksi lebih kecil karena alat yang diperlukan lebih sedikit, tidak memerlukan areal produksi yang luas, dan biaya untuk perawatan lebih kecil.

Kekurangan teknik pencampuran kering:

1. Tidak memungkinkan untuk mencampurkan lemak/minyak ke dalam bahan baku

2. Tidak ada proses pemanasan sehingga kualitas fisik dan mikrobiologi sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku.

3. Beberapa atribut fisik produk akhir, seperti kemudahan untuk direhidrasi (wettability) dan kelarutan (solubility) sangat bergantung pada atribut fisik masing-masing ingredien. Terkadang masih terjadi penggumpalan (agglomeration) saat atau setelah proses pencampuran (mixing). 4. Tiap ingredien memiliki densitas yang berbeda sehingga mungkin sekali terjadi segregasi

selama transportasi yang mengakibatkan produk akhir menjadi tidak homogen.

Susu formula secara khusus diprosuksi dengan teknik pencampuran basah yang disertai dengan proses emulsifikasi, pemekatan atau evaporasi, dan pengeringan semprot. Proses pencampuran basah

Bahan Baku*

Pencampuran Basah

Pencampuran Kering

Pemanasan

Pengeringan* Susu Formula Bubuk*

Penyajian di rumah* Penyajian di rumah sakit*


(30)

12

bertujuan untuk mencampur bahan cair dan bubuk (lipofilik dan hidrofilik) untuk kemudian diubah menjadi sistem emulsi yang stabil dengan homogenisasi. Penggunaan teknologi homogenisasi bertekanan tinggi dan pemanasan yang baik menjanjikan produk akhir yang berkualitas tinggi baik dari segi fisik, kimia, maupun mikrobiologinya. Dengan adanya proses pemanasan, diharapkan semua bakteri patogen yang mungkin mengontaminasi dapat diinaktivasi. Teknik ini dianggap sebagai cara yang cukup ideal untuk memprosuksi susu formula, namun tentu saja biaya produksi yang dikeluarkan menjadi tinggi. Sehingga saat ini beberapa produsen menggabungkan teknik pencampuran kering dan basah dengan cara menambahkan campuran ingredien kering (karbohidrat, vitamin, dan elemen minor lainnya) setelah proses pengeringan. Konsekuensinya, campuran ingredien kering yang ditambahkan harus dipastikan aman secara mikrobiologis (Montage et al. 2009). Diagram alir proses produksi susu formula di industri dideskripsikan pada Gambar 5.

Secara teoritis proses panas yang dilakukan dalam proses pembuatan susu dapat membunuh semua sel vegetatif bakteri yang ada sebelum proses spray drying. Namun demikian kontaminasi setelah perlakuan panas seperti kontaminasi dari lingkungan pabrik dan sesaat sebelum disajikan juga harus dipertimbangkan. Produk susu formula bubuk bukanlah produk steril melainkan secara intrinsik mungkin terkontaminasi oleh bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit serius kepada bayi (<1 tahun). Pada tahun 2004, sebuah pertemuan para ahli yang diselenggarakan oleh FAO dan WHO menyimpulkan bahwa mikroorganisme yang banyak menyebabkan penyakit dengan perantara susu formula adalah Salmonella enteritica subsp. enterica serotype Typhimurium dan Chronobacter sakazakii (FAO-WHO 2004). Kontaminasi intrinsik pada susu formula oleh non-typhoid S. enteritica

adalah penyebab penting terjadinya infeksi dan sakit pada bayi (FAO-WHO 2006). Susu formula yang terkontaminasi Salmonella dapat berkontribusi pada terjadinya kasus diare, bakterimia, dan meningitis pada bayi (CAC 2007).

Kemungkinan masuknya bakteri patogen pada susu formula dapat terjadi melalui kontaminasi intrinsik ataupun ekstrinsik. Kontaminasi intrinsik terjadi ketika susu formula terpapar bakteri pada tahapan pemrosesannya, misalnya ketika penambahan bahan baku yang sensitif terhadap perlakuan panas, seperti vitamin, mineral, dan lesitin setelah proses spray drying. Titik ini menjadi kritis sebab pencampuran dilakukan di dalam ergon tanpa adanya perlakuan panas. Kontaminasi ekstrinsik terjadi melalui peralatan penyiapan susu formula yang terkontaminasi bakteri dan kontak langsung dengan susu formula. Selain itu, penanganan dan penyajian susu formula di tingkat rumah tangga menjadi titik kritis kontaminasi bakteri. Di rumah tangga ada kecenderungan untuk menyimpan susu formula di dalam kaleng ataupun plastik multi lapis pada suhu ruang (20-27 oC), dengan asumsi susu formula merupakan produk kering dengan kadar air rendah sehingga cukup aman untuk disimpan pada suhu ruang untuk jangka waktu yang lama. Pada kenyataannya, dalam waktu singkat bakteri seperti

Cronobacter sakazakii dapat berkembang biak dan menggandakan dirinya sehingga berbahaya untuk dikonsumsi oleh bayi dengan kondisi imun tertentu (Misgiyaka 2008). Penyajian susu formula di tingkat rumah tangga umumnya dilakukan dengan proses yang minim pemanasan, dimana rekonstitusi dilakukan dengan menggunakan air hangat yang suhunya lebih rendah dari 70 oC. Suhu tersebut tidak dapat mengurangi jumlah bakteri secara signifikan. Selama jeda waktu (hang time) antara rekonstitusi susu hingga susu dikonsumsi kembali, biasanya susu dibiarkan pada suhu ruang. Hal ini meningkatkan peluang bakteri untuk tumbuh dan berkembang. Penyimpanan seharusnya dilakukan pada lemari pendingin untuk menekan pertumbuhan bakteri atau mengurangi jumlah koloninya (Kim

et al. 2006).

Kemampuan BAL probiotik dalam mengolonisasi usus bayi mendorong pengembangan susu formula berprobiotik. Ketika bayi tidak memperoleh ASI, susu formula berprobiotik dapat berkontribusi terhadap peningkatan kekebalan tubuh bayi dan menjaga kesehatan usus bayi dengan


(31)

13

menambah jumlah mikroba baik di dalamnya. Seleksi beberapa galur probiotik spesifik dan kombinasinya diperkirakan dapat berguna untuk melawan kontaminasi patogen pada susu formula sehingga mengurangi resiko infeksi pada bayi. Pada waktu bersamaan, probiotik spesifik tersebut berpotensi mengolonisasi usus bayi dan membentuk pertahanan untuk menangkal bakteri patogen melalui mekanisme kompetisi dan juga kemampuan mengagregasi bakteri patogen (Collado et al. 2008).

Gambar 5. Proses pembuatan susu formula (Montagne et al. 2009) Keterangan: Garis putus-putus menandakan proses tersebut bersifat opsional atau alternatif

Homogenisasi, pemanasan, dan pendinginan

Pengemasan Pencampuran kering

Penyimpanan sementara Evaporasi

Spray drying dan pendinginan Lesitin kedelai

Penyimpanan sementara

Pemanasan tinggi

Ingredien minor (vitamin dan mineral) yang dilarutkan di air dingin

atau campur kering Susu cair (raw milk)

Pencampuran Ingredient bubuk

Ingredien cair

Pemanasan pendahuluan Vitamin larut lemak

Lemak dan emulsifier

LC-PUFA


(32)

14

Tantangan terbesar dalam aplikasi probiotik pada susu formula adalah kemampuannya mempertahankan viabilitas selama pemrosesan (Daemen dan van der Stege 1982). Tannock (1999) merekomendasikan mikroba hidup yang terkandung dalam produk probiotik ada dalam jumlah banyak, yakni 106-107 CFU/mL. Bakteri probiotik umumnya ditambahkan ke dalam susu formula dalam bentuk bubuk dan diproduksi melalui spray drying (Desmond et al. 2001) ataupun freeze drying (Picot et al. 2003; de Giulio et al. 2005). Hal ini didasarkan pada penelitian Gardiner et al. (2000) yang menyebutkan bahwa beberapa galur Lactobacilli yang berpotensi sebagai probiotik memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kondisi suhu tinggi selama proses spray drying. Namun demikian, teknologi spray drying disadari memiliki kekurangan, yaitu mortalitas sel hidup yang tinggi akibat dehidrasi simultan dan inaktivasi termal (Fu and Etzel 1995). Sementara itu, freeze drying

dengan penambahan bahan kriogenik dapat memproduksi kultur yang stabil dan mempertahankan viabilitasnya (De Giulio et al. 2005).

E.

Salmonella

Typhimurium

Salmonella merupakan bakteri fakultatif aerob yang digolongkan sebagai bakteri enteron sebagaimana Eschericia, Proteus, dan Enterobacter, bersifat gram negatif, tidak berspora, tidak bergerak atau bergerak dengan flagela peritrikus, oksidase-negatif, memerlukan nutrisi sederhana, dan mampu memfermentasi gula dengan berbagai produk akhir (Sunatmo 2009). Sebagian galur tergantung pada serotipenya ada yang bersifat patogen, dapat menyebabkan penyakit mulai dari gastroenteritis hingga demam typhoid (McDonough et al. 2000). Bila dilakukan pewarnaan gram, sel S. Typhimurium akan tampak seperti pada Gambar 6.

Salmonella Typhimurium merupakan nama pendek dari Salmonella enterica subsp. enterica

serovar Typhimurium (Brenner et al. 2000). Spesies tersebut merupakan salah satu serotipe

Salmonella yang dapat menyebabkan penyakit gastroenteritis pada manusia. Bakteri ini tumbuh optimum pada suhu 37 oC dan pH 6.5-7.5. Nilai pH untuk pertumbuhan S.Typhimurium berkisar antara 4.0-9.0, pada pH di bawah 4 dan di atas 9 bakteri ini tidak dapat bertahan hidup (Pelczar dan Chan 2005).

Gambar 6. Hasil pewarnaan gram Salmonella Typhimurium

Susu sapi (raw milk) merupakan sumber Salmonella yang utama dalam industri pengolahan susu. Penyimpanan dingin raw milk yang terlalu lama di peternakan atau di silo industri juga akan mendukung perkembangbiakan Salmonella psikrotrofik. S. Typhimurium tumbuh lambat pada suhu 8 dan 12oC. Salmonella dapat berkembang biak pada permukaan buah seperti tomat dan melon serta pada sayuran segar yang secara manual atau mekanis dibasahi selama penjualan pada suhu kamar. Produk segar yang akan dikonsumsi mentah harus selalu dibilas dengan baik menggunakan air minum (Hartoko 2012).


(33)

15

Spesies Salmonella yang telah banyak ditemukan mengontaminasi prosuk olahan susu yaitu

Salmonella bongori dan Salmonella enterica. Bakteri tersebut merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, fakultatif anaerob, tumbuh optimum pada suhu 37 oC, dan dapat bertahan hidup pada aw rendah. Sumber utama Salmonella adalah saluran pencernaan dan feses hewan. Semua serovar Salmonella bersifat patogen bagi manusia, khususnya S. enterica serovar Enteritidis (S. Enteritidis) dan S. enterica serovar Typhimurium (S. Typhimurium) (Bergey et al. 1994).

Salmonella Typhimurium adalah salah satu patogen yang paling berpotensi menyebabkan gastroenteritis akut pada manusia (Nakaya et al. 2003). Menurut kajian yang dilakukan oleh Jones et al. (2006), 20% dari sejumlah kasus salmonellosis pada bayi disebabkan oleh S. Typhimurium. Gejala umum salmonellosis pada bayi adalah diare, demam, dan muntah. Dari tahun 1985 sampai dengan 2000, setidaknya terjadi lima outbreaks salmonellosis yang terjadi melalui media susu formula. Kasus yang terbaru adalah outbreakSalmonella Agona yang terjadi pada Januari-April 2005 dengan jumlah korban 104 bayi berusia <12 bulan (FAO-WHO 2006).

Salmonella hidup secara anaerobik fakultatif. Bakteri ini tidak dapat berkompetisi secara baik dengan mikroba-mikroba yang umum terdapat di dalam makanan seperti bakteri-bakteri pembusuk, bakteri dalam famili Esceriaceae, dan bakteri asam laktat. Oleh karena itu, pertumbuhannya sangat terhambat dengan adanya bakteri-bakteri tersebut (Cox 2000). Menurut Bradshaw et al. (1987) yang diacu oleh Nazarowec et al. (1997), rekonstitusi susu pada suhu 72 oC selama 0.1-0.2 detik dapat menurunkan jumlah S. Typhimurium sebanyak 1 log (CFU/mL). Sedangkan menurut Doyle dan Mazzotta (2000), untuk menginaktivasi 1 log (CFU/mL) Salmonella, hanya diperlukan 71 oC selama 1.2 detik.

Salmonella dapat menginfeksi jaringan di usus, memproduksi enterotoksin, menyebabkan inflamasi, dan diare. Bila bakteri ini sampai menginfeksi saluran darah dan limfa, maka penyakit yang ditimbulkan bisa lebih parah. Sebagian orang mungkin cukup tahan dengan infeksi Salmonella, namun bagi golongan tertentu seperti bayi, anak-anak, orang lanjut usia, atau penderita penyakit kronis, salmonellosis dapat berakibat fatal. Dosis yang berpotensi menyebabkan infeksi umumnya di atas 104 sel. Namun bila perantaranya berupa bahan pangan yang mengandung kadar lemak tinggi, maka dosis infeksi dapat lebih rendah, yaitu < 100 sel (Bell dan Kyriakides 2002).


(34)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai November 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium General Microbiology, Fermentation Microbiology South East Asia for Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor.

B.

BAHAN DAN ALAT

Kultur yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat BAL asal ASI koleksi SEAFAST Center IPB, yaitu Lactobacillus rhamnosus R21. Isolat tersebut memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi dan memiliki kemampuan menghambat E. coli enteropatogenik K.1.1 (EPEC K.1.1) (Hartanti 2007). Isolat ini juga mampu menghambat pertumbuhan Cronobacter sakazakii YRC3a selama rekonstitusi susu formula bayi (Saputra 2012). Kultur Salmonella yang digunakan adalah Salmonella enterica serovar Typhimurium ATCC 14028 atau lebih sering disebut Salmonella Typhimurium.

Bahan uji yang digunakan adalah susu formula (sufor) komersial untuk bayi usia 0-6 bulan dengan komposisi nutrisi: karbohidrat (59 g/100 g), protein (9.8 g/100 g), lemak (24 g/100 g), dan nutrisi lainnya berdasarkan informasi nilai gizi yang tercantum di kemasan produk. Bahan lain yang digunakan meliputi air minum steril, larutan fisiologis (NaCl 0.85%) steril, akuades steril, serta buffer pH 4 dan pH 7. Media yang digunakan, yaitu de Man Rogosa Sharp Broth (MRSB) (OXOID CM0359), de Man Rogosa Sharp Agar (MRSA) (OXOID CM0361 dan MERCK 1.10660.0500), MRSA-Acetic Acid (MRSA-AA) (Fitriyah 2010), Nutrient Broth (NB) (OXOID CM0001), Nutrient Agar (NA) (MERCK 1.05450.0500), Bismuth Sulfite Agar (BSA) (Difco 273300 dan MERCK 1.05418.0500), dan Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA) (Difco 278850).

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pipet mikro (Finnpipette) berikut tip, vortex (Vortex-Genie 2), Sentrifuse (Sorvall), inkubator (Incucell MMM-Group), termometer 100 oC, hot plate (Steroglass), pH Meter (Eutech pH meter 700), Autoklaf (ALP Model-40), laminar flow

Labconco (purifier class II biosafety cabinet-delta series), botol susu 25 mL, dan alat analisis mikrobiologi standar lainnya.

C.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini didahului dengan tahap persiapan, yaitu menyediakan stok kultur Lactobacillus rhamnosus R21 dan Salmonella Typhimurium. Stok kultur tersebut disimpan pada suhu rendah dan selanjutnya digunakan untuk membuat kultur kerja saat akan melakukan eksperimen. Setelah persiapan selesai, dilakukan penelitian yang terdiri dari tiga tahap, yaitu pemilihan media selektif untuk kedua bakteri, uji kompetisi, dan evaluasi kemampuan L.rhamnosus R21 setelah rekonstitusi untuk menurunkan pH. Tahapan penelitian secara umum dapat dilihat pada Gambar 7.


(1)

97 Lampiran 9f. Uji Regresi

Pengaruh jumlah awal BAL (6, 8, dan 9 log CFU/mL) terhadap penurunan jumlah S. Typhimurium akibat rekonstitusi pada suhu 70 oC ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression .051 1 .051 .084 .786a

Residual 2.409 4 .602

Total 2.459 5

a. Predictors: (Constant), Jumlah awal BAL

b. Dependent Variable: Penurunan ST kompetisi karena rekonstitusi

Hipotesis : Ho: jumlah awal BAL (6, 8, dan 9 log CFU/mL) tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah S. Typhimurium akibat rekonstitusi pada suhu 70 oC : Ha : jumlah awal BAL (6, 8, dan 9 log CFU/mL) berpengaruh terhadap penurunan jumlah S. Typhimurium akibat rekonstitusi pada suhu 70 oC Keputusan : Nilai Sig. > 0.05, jumlah awal BAL (6, 8, dan 9 log CFU/mL) tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah S. Typhimurium akibat rekonstitusi


(2)

98 Lampiran 9g. Uji Regresi

Pengaruh suhu rekonstitusi yang berbeda (27, 60, dan 70 oC) terhadap penghambatan S. Typhimurium pada kompetisi dengan BAL 109 CFU/mL

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression .011 1 .011 .022 .890a

Residual 2.100 4 .525

Total 2.111 5

a. Predictors: (Constant), Suhu rekonstitusi

b. Dependent Variable: ST kompetisi pada BAL 9Log

Hipotesis : Ho: suhu rekonstitusi yang berbeda (27, 60, dan 70 oC) tidak berpengaruh terhadap penghambatan S. Typhimurium pada kompetisi dengan BAL 109 CFU/mL

: Ha : suhu rekonstitusi yang berbeda (27, 60, dan 70 oC) berpengaruh terhadap penghambatan S. Typhimurium pada kompetisi dengan BAL 109 CFU/mL

Keputusan : Nilai Sig. > 0.05, suhu rekonstitusi yang berbeda (27, 60, dan 70 oC) tidak berpengaruh terhadap penghambatan S. Typhimurium pada kompetisi dengan BAL 109 CFU/mL


(3)

99 Lampiran 9h. Uji T-Sampel berpasangan

Pengaruh kompetisi dengan L. rhamnosus R21 108 CFU/mL terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Mean Std. Deviation Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Pair 1 Pertumbuhan ST kontrol -

Pertumbuhan ST kompetisi .50000 1.15966 .82000 -9.91909 10.91909 .610 1 .651

Hipotesis : Ho: kompetisi dengan L. rhamnosus R21 108 CFU/mL tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC : Ha : kompetisi dengan L. rhamnosus R21 108 CFU/mL berpengaruh terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC

Keputusan : Nilai Sig.2-tailed > 0.05, kompetisi dengan L. rhamnosus R21 108 CFU/mL tidak berpengaruh terhadap peertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC


(4)

100 Lampiran 9i. Uji T-Sampel berpasangan

Pengaruh kompetisi dengan L. rhamnosus R21 106 CFU/mL terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC

Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Mean Std. Deviation Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Pair 1 Pertumbuhan ST kontrol -

Pertumbuhan ST kompetisi .21500 .88388 .62500 -7.72638 8.15638 .344 1 .789

Hipotesis : Ho: kompetisi dengan L. rhamnosus R21 106 CFU/mL tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC : Ha : kompetisi dengan L. rhamnosus R21 106 CFU/mL berpengaruh terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC

Keputusan : Nilai Sig.2-tailed > 0.05, kompetisi dengan L. rhamnosus R21 106 CFU/mL tidak berpengaruh terhadap peertumbuhan S. Typhimurium pada suhu rekonstitusi 70 oC


(5)

101 Lampiran 9j. Uji T-Sampel berpasangan

Pengaruh kompetisi dengan S. Typhimurium 104 CFU/mL terhadap pertumbuhan L. rhamnosus R21 selama hang time pada suhu rekonstitusi 27, 60, dan 70 oC Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Mean Std. Deviation Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Pair 1 Pertumbuhan BAL kompetisi pada rekonstitusi 27 C - Pertumbuhan BAL kontrol pada rekonstitusi 27 C

-.13500 .21920 .15500 -2.10446 1.83446 -.871 1 .544

Pair 2 Pertumbuhan BAL kompetisi pada rekonstitusi 60 C - Pertumbuhan BAL kontrol pada rekonstitusi 60 C

-.94500 .38891 .27500 -4.43921 2.54921 -3.436 1 .180

Pair 3 Pertumbuhan BAL pada kompetisi suhu 70 C -

Pertumbuhan BAL kontrol pada kompetisi suhu 70 C

-.18333 .37420 .15277 -.57603 .20937 -1.200 5 .284

Hipotesis : Ho: kompetisi dengan S. Typhimurium 104 CFU/mL tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan L. rhamnosus R21 selama hang time pada suhu rekonstitusi 27, 60, dan 70 oC

: Ha : kompetisi dengan S. Typhimurium 104 CFU/mL tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan L. rhamnosus R21 selama hang time pada suhu rekonstitusi 27, 60, dan 70 oC

Keputusan : Nilai Sig.2-tailed > 0.05, kompetisi dengan S. Typhimurium 104 CFU/mL tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan L. rhamnosus R21 selama hang time baik pada suhu rekonstitusi 27, 60, dan 70 oC


(6)

102 Lampiran 9k. Uji T-Sampel berpasangan

Pengaruh kompetisi dengan S. Typhimurium terhadap penurunan pH susu setelah hang time dengan jumlah awal BAL 109, 108, dan 106 log CFU/mL Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Mean Std. Deviation Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Pair 1 Penurunan pH BAL kontrol -

Penurunan pH BAL kompetisi .03000 .09778 .03992 -.07261 .13261 .752 5 .486

Hipotesis : Ho: kompetisi dengan S. Typhimurium tidak berpengaruh terhadap penurunan pH susu setelah hang time dengan jumlah awal BAL 109, 108, dan 106 log CFU/mL

: Ha : kompetisi dengan S. Typhimurium berpengaruh terhadap penurunan pH susu setelah hang time dengan jumlah awal BAL 109, 108, dan 106 log CFU/mL

Keputusan : Nilai Sig.2-tailed > 0.05, kompetisi dengan S. Typhimurium tidak berpengaruh terhadap penurunan pH susu setelah hang time dengan jumlah awal BAL 109, 108, dan 106 log CFU/mL