SUSU FORMULA BAYI Evaluasi Kemampuan Lactobacillus rhamnosus R21 Asal Air Susu Ibu untuk Berkompetisi dengan Salmonella Typhimurium selama Rekonstitusi Susu Formula Bayi

10 penghambatan bervariasi antara 2.0-5.4 mm. L. rhamnosus R21 merupakan salah satu isolat BAL asal ASI yang memiliki kemampuan yang baik dalam menghambat sejumlah bakteri patogen. Berdasarkan penelitian Hartanti 2007, zona hambat Staphylococcus aureus oleh L. rhamnosus R21 3.0 mm sedangkan zona hambat terhadap B. cereus dan E. coli sebesar 4.6 mm dan 3.00 mm. Kemampuan L. rhamnosus R21 menghambat S. Typhimurium ditunjukkan dengan pembentukan diameter penghambatan 3.1 mm. Selanjutnya diketahui bahwa secara in vitro L. rhamnosus R21 mampu mengurangi jumlah sel EPEC K1.1 penyebab diare sebesar 2.13 log cfumL. Menurut Rohmawati 2010, L. rhamnosus R21 termasuk ke dalam 8 isolat BAL asal ASI yang memiliki daya penghambatan yang baik terhadap Listeria monocytogenes, ditandai denga n diameter penghambatan ≥ 7.7 mm. Supernatan bebas sel yang tidak dinetralisasi, yang dihasilkan oleh L. rhamnosus R21 mampu menurunkan Listeria monocytogenes sebanyak 4.7 log. Aktivitas penghambatan ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya komponen antimikroba yang dihasilkan oleh BAL, yaitu bakteriosin. Berdasarkan penelitian Saputra 2012, L. rhamnosus R21 dapat menghambat pertumbuhan C. sakazakii YR c3a sebesar 2.82 log CFUmL setelah 24 jam kompetisi. Pada susu formula rekonstitusi, penghambatan C. sakazakii YR c3a oleh L. rhamnosus R21 sebesar 1.05 CFUmL pada suhu rekonstitusi 60 o C dan 1.26 log CFUmL pada suhu rekonstitusi 70 o C. Nilai penghambatan tersebut diperoleh setelah 8 jam hang time.

D. SUSU FORMULA BAYI

Susu formula bayi adalah susu yang dihasilkan oleh industri untuk keperluan asupan gizi bayi. Komponen esensial susu formula tediri dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin. Proporsi dari komponen-komponen tersebut diatur dalam Commission Directive 2006141EC yang dikeluarkan oleh European Commission EU 2006. Susu formula dibuat secara fabrikasi dengan menggunakan susu sapi sebagai bahan dasarnya. Susu sapi harus diadaptasi terlebih dahulu agar proporsi nutrisinya sesuai dengan ASI. Kadar protein susu sapi relatif lebih tinggi daripada kadar protein ASI. Rasio whey protein dan kasein pada susu sapi adalah 20:80 sedangkan pada ASI 60:40, sehingga profil asam amino keduanya pun berbeda Jost et al. 1999. Beberapa langkah adaptasi yang harus dilakukan terhadap susu sapi meliputi: 1 pengurangan level protein, 2 fraksinasi protein susu, 3 penambahan kadar whey protein, 4 pengurangan fraksi kasein, dan 5 penambahan asam amino esensial dan asam amino semi-esensial tertentu. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 2009 tentang regulasi batas cemaran pada produk pangan memuat batas maksimum cemaran untuk susu formula. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 4 Tabel 4. Batas maksimum cemaran mikroba untuk produk susu formula bayi dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi No. Jenis mikroba Batas cemaran 1. Angka Lempeng Total 30 o C, 72 jam 1 x 10 4 kolonimL 2. Enterobacteriaceae negatif10 g 3. Cronobacter sakazakii negatif10 g 4. Salmonella sp. negatif25 g 5. Staphylococcus aureus 1 x 10 1 kolonimL 6. Bacillus cereus 1 x 10 2 kolonimL Sumber: BPOM 2009 Keterangan: Jumlah sampel n = 10. Jumlah maksimum sampel yang tidak memenuhi syarat c =2 Jumlah sampel n = 30 11 Susu formula kebanyakan tersedia dalam bentuk bubuk. Berbeda dengan susu cair yang dapat diproses dengan steril, susu formula tidak steril WHO 2004. Meskipun demikian, produk ini harus terjamin aman secara mikrobiologis mengingat bahwa konsumennya adalah golongan usia yang masih sangat sensitif terhadap infeksi patogen. Di samping itu, saat penyajiannya, susu formula seringkali diseduh dengan hanya air hangat atau bahkan air dingin yang tentu saja tidak cukup untuk membunuh bakteri patogen Montage et al. 2009. Kontaminasi mikroba patogen ke dalam susu formula dapat terjadi baik pada saat produksi maupun ketika disajikan ke konsumen Gambar 4. Gambar 4. Bagan Alir Proses Produksi Susu Formula Bubuk dan Penyajiannya WHO-FAO 2004 Keterangan: titik kritis kontaminasi mikroba Secara umum, susu bubuk dapat diproduksi dengan dua teknik, yaitu teknik pencampuran kering dry mix dan pencampuran basah wet mix. Teknik pencampuran basah dilanjutkan dengan pengeringan semprot spray drying. Masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Manfaat teknik pencampuran kering: 1. Jumlah air yang digunakan relatif sedikit sehingga peluang bakteri untuk tumbuh selama proses relatif kecil. 2. Biaya produksi lebih kecil karena alat yang diperlukan lebih sedikit, tidak memerlukan areal produksi yang luas, dan biaya untuk perawatan lebih kecil. Kekurangan teknik pencampuran kering: 1. Tidak memungkinkan untuk mencampurkan lemakminyak ke dalam bahan baku 2. Tidak ada proses pemanasan sehingga kualitas fisik dan mikrobiologi sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku. 3. Beberapa atribut fisik produk akhir, seperti kemudahan untuk direhidrasi wettability dan kelarutan solubility sangat bergantung pada atribut fisik masing-masing ingredien. Terkadang masih terjadi penggumpalan agglomeration saat atau setelah proses pencampuran mixing. 4. Tiap ingredien memiliki densitas yang berbeda sehingga mungkin sekali terjadi segregasi selama transportasi yang mengakibatkan produk akhir menjadi tidak homogen. Susu formula secara khusus diprosuksi dengan teknik pencampuran basah yang disertai dengan proses emulsifikasi, pemekatan atau evaporasi, dan pengeringan semprot. Proses pencampuran basah Bahan Baku Pencampuran Basah Pencampuran Kering Pemanasan Pengeringan Susu Formula Bubuk Penyajian di rumah Penyajian di rumah sakit Konsumsi Konsumsi 12 bertujuan untuk mencampur bahan cair dan bubuk lipofilik dan hidrofilik untuk kemudian diubah menjadi sistem emulsi yang stabil dengan homogenisasi. Penggunaan teknologi homogenisasi bertekanan tinggi dan pemanasan yang baik menjanjikan produk akhir yang berkualitas tinggi baik dari segi fisik, kimia, maupun mikrobiologinya. Dengan adanya proses pemanasan, diharapkan semua bakteri patogen yang mungkin mengontaminasi dapat diinaktivasi. Teknik ini dianggap sebagai cara yang cukup ideal untuk memprosuksi susu formula, namun tentu saja biaya produksi yang dikeluarkan menjadi tinggi. Sehingga saat ini beberapa produsen menggabungkan teknik pencampuran kering dan basah dengan cara menambahkan campuran ingredien kering karbohidrat, vitamin, dan elemen minor lainnya setelah proses pengeringan. Konsekuensinya, campuran ingredien kering yang ditambahkan harus dipastikan aman secara mikrobiologis Montage et al. 2009. Diagram alir proses produksi susu formula di industri dideskripsikan pada Gambar 5. Secara teoritis proses panas yang dilakukan dalam proses pembuatan susu dapat membunuh semua sel vegetatif bakteri yang ada sebelum proses spray drying. Namun demikian kontaminasi setelah perlakuan panas seperti kontaminasi dari lingkungan pabrik dan sesaat sebelum disajikan juga harus dipertimbangkan. Produk susu formula bubuk bukanlah produk steril melainkan secara intrinsik mungkin terkontaminasi oleh bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit serius kepada bayi 1 tahun. Pada tahun 2004, sebuah pertemuan para ahli yang diselenggarakan oleh FAO dan WHO menyimpulkan bahwa mikroorganisme yang banyak menyebabkan penyakit dengan perantara susu formula adalah Salmonella enteritica subsp. enterica serotype Typhimurium dan Chronobacter sakazakii FAO-WHO 2004. Kontaminasi intrinsik pada susu formula oleh non-typhoid S. enteritica adalah penyebab penting terjadinya infeksi dan sakit pada bayi FAO-WHO 2006. Susu formula yang terkontaminasi Salmonella dapat berkontribusi pada terjadinya kasus diare, bakterimia, dan meningitis pada bayi CAC 2007. Kemungkinan masuknya bakteri patogen pada susu formula dapat terjadi melalui kontaminasi intrinsik ataupun ekstrinsik. Kontaminasi intrinsik terjadi ketika susu formula terpapar bakteri pada tahapan pemrosesannya, misalnya ketika penambahan bahan baku yang sensitif terhadap perlakuan panas, seperti vitamin, mineral, dan lesitin setelah proses spray drying. Titik ini menjadi kritis sebab pencampuran dilakukan di dalam ergon tanpa adanya perlakuan panas. Kontaminasi ekstrinsik terjadi melalui peralatan penyiapan susu formula yang terkontaminasi bakteri dan kontak langsung dengan susu formula. Selain itu, penanganan dan penyajian susu formula di tingkat rumah tangga menjadi titik kritis kontaminasi bakteri. Di rumah tangga ada kecenderungan untuk menyimpan susu formula di dalam kaleng ataupun plastik multi lapis pada suhu ruang 20-27 o C, dengan asumsi susu formula merupakan produk kering dengan kadar air rendah sehingga cukup aman untuk disimpan pada suhu ruang untuk jangka waktu yang lama. Pada kenyataannya, dalam waktu singkat bakteri seperti Cronobacter sakazakii dapat berkembang biak dan menggandakan dirinya sehingga berbahaya untuk dikonsumsi oleh bayi dengan kondisi imun tertentu Misgiyaka 2008. Penyajian susu formula di tingkat rumah tangga umumnya dilakukan dengan proses yang minim pemanasan, dimana rekonstitusi dilakukan dengan menggunakan air hangat yang suhunya lebih rendah dari 70 o C. Suhu tersebut tidak dapat mengurangi jumlah bakteri secara signifikan. Selama jeda waktu hang time antara rekonstitusi susu hingga susu dikonsumsi kembali, biasanya susu dibiarkan pada suhu ruang. Hal ini meningkatkan peluang bakteri untuk tumbuh dan berkembang. Penyimpanan seharusnya dilakukan pada lemari pendingin untuk menekan pertumbuhan bakteri atau mengurangi jumlah koloninya Kim et al. 2006. Kemampuan BAL probiotik dalam mengolonisasi usus bayi mendorong pengembangan susu formula berprobiotik. Ketika bayi tidak memperoleh ASI, susu formula berprobiotik dapat berkontribusi terhadap peningkatan kekebalan tubuh bayi dan menjaga kesehatan usus bayi dengan 13 menambah jumlah mikroba baik di dalamnya. Seleksi beberapa galur probiotik spesifik dan kombinasinya diperkirakan dapat berguna untuk melawan kontaminasi patogen pada susu formula sehingga mengurangi resiko infeksi pada bayi. Pada waktu bersamaan, probiotik spesifik tersebut berpotensi mengolonisasi usus bayi dan membentuk pertahanan untuk menangkal bakteri patogen melalui mekanisme kompetisi dan juga kemampuan mengagregasi bakteri patogen Collado et al. 2008. Gambar 5. Proses pembuatan susu formula Montagne et al. 2009 Keterangan: Garis putus-putus menandakan proses tersebut bersifat opsional atau alternatif Homogenisasi, pemanasan, dan pendinginan Pengemasan Pencampuran kering Penyimpanan sementara Evaporasi Spray drying dan pendinginan Lesitin kedelai Penyimpanan sementara Pemanasan tinggi Ingredien minor vitamin dan mineral yang dilarutkan di air dingin atau campur kering Susu cair raw milk Pencampuran Ingredient bubuk Ingredien cair Pemanasan pendahuluan Vitamin larut lemak Lemak dan emulsifier LC-PUFA Susu formula 14 Tantangan terbesar dalam aplikasi probiotik pada susu formula adalah kemampuannya mempertahankan viabilitas selama pemrosesan Daemen dan van der Stege 1982. Tannock 1999 merekomendasikan mikroba hidup yang terkandung dalam produk probiotik ada dalam jumlah banyak, yakni 10 6 -10 7 CFUmL. Bakteri probiotik umumnya ditambahkan ke dalam susu formula dalam bentuk bubuk dan diproduksi melalui spray drying Desmond et al. 2001 ataupun freeze drying Picot et al. 2003; de Giulio et al. 2005. Hal ini didasarkan pada penelitian Gardiner et al. 2000 yang menyebutkan bahwa beberapa galur Lactobacilli yang berpotensi sebagai probiotik memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kondisi suhu tinggi selama proses spray drying. Namun demikian, teknologi spray drying disadari memiliki kekurangan, yaitu mortalitas sel hidup yang tinggi akibat dehidrasi simultan dan inaktivasi termal Fu and Etzel 1995. Sementara itu, freeze drying dengan penambahan bahan kriogenik dapat memproduksi kultur yang stabil dan mempertahankan viabilitasnya De Giulio et al. 2005.

E. Salmonella Typhimurium