Potensi Parameter Keluaran RAOB (Rawinsonde Observation Programs) sebagai Indikator Kunci dalam Analisis Curah Hujan

(1)

ASEP FERDIANSYAH

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ASEP FERDIANSYAH. Potensi Parameter Keluaran RAOB (Rawinsonde Observation Programs) sebagai Indikator Kunci dalam Analisis Curah Hujan. Dibawah bimbingan ANA TURYANTI.

Salah satu unsur cuaca yang sangat mempengaruhi aktivitas manusia adalah curah hujan. RAOB (Rawinsonde Observation Programs) adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk menganalisis kejadian yang terkait dengan curah hujan. Penelitian ini bertujuan untuk memahami teknik penentuan indikator curah hujan dan membuat analisis dari informasi keluaran program RAOB untuk menentukan indeks RAOB yang paling berpengaruh terhadap curah hujan. Parameter yang dipilih untuk mewakili dua kategori utama kejadian yaitu, curah hujan sangat lebat, dan curah hujan ringan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengamatan curah hujan selama satu tahun, dan data radiosonde dari 3 jam dan 6 jam sebelum terjadinya hujan yang diperoleh dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).

Hasil analisis menunjukkan bahwa parameter Cap Strength, Vorticity Generation Parameter, dan CAPE Total 6 jam sebelum hujan sebagai prediktor yang berpotensi baik untuk menduga curah hujan sangat lebat. Indeks TQ saat 3 jam sebelum hujan sangat lebat juga berpotensi baik sebagai prediktor.

Pada kejadian hujan ringan, parameter K-Index yang diperoleh pada 6 jam sebelum kejadian merupakan satu-satunya prediktor yang signifikan. Sementara itu, prediktor penting yang diperoleh pada 3 jam sebelum kejadian adalah Microburst Hybrid Index, Jefferson Index dan K-Index. Selain itu, prospektif indikator yang berpotensi lainnya adalah kecepatan angin 500 mb, Strom Relative Helicity, dan SWEAT Index. Hubungan matematis antara data curah hujan dan parameter yang dipilih lebih disarankan hubungan linier antar komponen.


(3)

ASEP FERDIANSYAH. Potential Output Parameter RAOB (Rawinsonde Observation Programs) as Key Indicator in Rainfall Analysis. Supervised by ANA TURYANTI.

One of the weather elements that strongly influences human activity is rainfall. RAOB (Rawinsonde Observation Programs) is a tool in analyzing events related to rainfall. This study utilizes observational rainfall data over a period of one year, and radiosonde data series of 3 hours and 6 hours before the occurrence of rain obtained from NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration). This study aims to understand the technique of determining rainfall indicators and analyzed the output of RAOB program to determine RAOB index that affect the most to rainfall. It also aims to further screen the parameters into three main categories of rainfall events, namely, heavy, and light.

This study reveals that Cap Strength, Vorticity Generation Parameter, and Total CAPE parameters collected 6 hours prior to the occurrence of heavy rainfall are potentially good predictors. The index of TQ calculated 3 hours prior to the occurrence of heavy rainfall is also a good potential predictor.

For the occurrence of light rainfall, K-Index parameter obtained at 6 hours prior to the events is the only significant predictor. Meanwhile, important predictors obtained at 3 hours prior to the events are the Hybrid Microburst Index, Jefferson Index and K-Index. In addition, other potentially prospective indicators include 500 mb Wind speed, Strom Relative Helicity, and SWEAT Index. Mathematical relationships of rainfall data as dependent variable and the selected parameters strongly suggest the existence of linearity component in the relationships.


(4)

ASEP FERDIANSYAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains

pada Mayor Meteorologi Terapan

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

sebagai Indikator Kunci dalam Analisis Curah Hujan

Nama : Asep Ferdiansyah

NRP : G24080027

Disetujui oleh,

Pembimbing

Ana Turyanti, SSi., MT

NIP. 19710707 199803 2 002

Diketahui oleh,

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002


(6)

Segala puji kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah kepada penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Potensi Parameter Keluaran RAOB (Rawinsonde Observation Programs) sebagai Indikator Kunci dalam Analisis Curah Hujan“. Penelitian ini berlangsung sejak Maret 2012 sampai dengan Mei 2012.

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut peran serta dalam penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada:

1. Ibu Ana Turyanti, S.Si, M.T selaku pembimbing tugas akhir dan Dr. Ir. Sobri Effendi, M.Si selaku pembimbing akademik penulis.

2. Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku kepala Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Udara yang telah memberikan ide dan saran dalam penelitian.

3. Keluarga Besar Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, staf dan seluruh dosen, sahabat GFM 44, dan 45 terutama Taufik Yuliawan, Iput Pradiko, Faiz Rohman Fajary dan Andi Syahid Muttaqin yang telah memberikan dukungan penuh kepada penulis. 4. Keluarga penulis atas doa, motivasi, nasehat, dan dukungan moril yang selalu diberikan

kepada penulis; almarhum ayah Drs. Sudirman, ibu Liberty, kakak Arif Suherman, dan adik Anita Rizky Puteri.

Semoga semua bantuan yang diberikan kepada penulis, mendapatkan balasan dari Allah SWT, dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Penulis menerima kritik dan saran konstruktif untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini dikemudian hari.

Bogor, Oktober 2012


(7)

Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 11 September 1990, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putra dari Bapak Drs. Sudirman (alm) dan Ibu Liberty.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA N 4 Bengkulu dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan kuliah ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI. Penulis diterima di Program Studi Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama masa perkuliahan penulis pernah menjadi Kepala Departemen Budidaya, Olahraga dan Seni (BOS) Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Staf di Departemen Informasi dan Komunikasi HIMAGRETO dan Penanggung Jawab Divisi Kegiatan Khusus cabang Bogor Himpunan Mahasiswa Meteorologi Indonesia (HMMI).


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1 RAOB (Rawinsonde Observation Programs) ... 1

2.1.1 Water (Total Precipitable Water) ... 2

2.1.2 LI (Lifted Index) ... 2

2.1.3 ShowalterIndex ... 3

2.1.4 KI (K-Index) ... 3

2.1.5 CAPE (Convective Available Potential Energy) ... 3

2.1.6 Mvv (Maximum Vertical Velocity) ... 3

2.1.7 Boyden Index ... 4

2.1.8 Theta-e Index ... 4

2.1.9 Jefferson Index ... 4

2.1.10 SWEAT Index ... 4

2.1.11 TQ-Index ... 4

2.1.12 Total Totals Index ... 4

2.1.13 S-Index ... 5

2.1.14 CAP Strength ... 5

2.1.15 Thompson Index ... 5

2.2 Stabilitas Atmosfer ... 6

2.2.1 Stabilitas Atmosfer Lokal ... 6

2.2.2 Stabilitas Atmosfer Non Lokal ... 6

III. METODOLOGI ... 7

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 7

3.2 Data dan Peralatan ... 7

3.3 Metode Penelitian ... 7

3.3.1 Penentuan Indikator untuk Menduga Kejadian Hujan Sangat Lebat dan Ringan ... 7

3.3.2 Analisis Curah Hujan ... 8

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 10

4.1 Indikator Curah Hujan Sangat Lebat dan Ringan ... 10

4.2 Analisis Indeks Output RAOB untuk Kejadian Hujan Ringan dan Hujan Sangat Lebat ... 15

4.3 Analisis Indeks Output RAOB untuk Kejadian Tidak Hujan ... 21

4.4 Analisis Stabilitas Atmosfer ... 22

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

5.1 Kesimpulan ... 25

5.2 Saran ... 25

VI. DAFTAR PUSTAKA ... 26


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Skala kandungan embun (moisture content) berdasarkan nilai TPW ... 2

2 Stabilitas atmosfer berdasarkan nilai LI ... 3

3 Stabilitas atmosfer berdasarkan nilai Showalter Index ... 3

4 Interval nilai KI ... 3

5 Ketidakstabilan atmosfer menurut nilai CAPE ... 3

6 Kecepatan maksimum naiknya parsel udara berdasarkan nilai Mvv ... 4

7 Potensial konveksi menurut Theta-e ... 4

8 Potensi cuaca buruk berdasarkan indeks SWEAT ... 4

9 Potensial konveksi dan badai berdasarkan VT ... 5

10 Potensial badai berdasarkan TT ... 5

11 Potensial badai berdasarkan SI ... 5

12 Koefisien korelasi (r) antara curah hujan “Sangat Lebat” dengan berbagai indeks “RAOB”. ... 10

13 Model regresi dan nilai R-Sq curah hujan sangat lebat ... 12

14 Koefisien korelasi (r) antara curah hujan “Ringan” dengan berbagai indeks “RAOB” ... 13

15 Model regresi dan nilai R-Sq curah hujan ringan ... 14

16 Kisaran indeks output RAOB 3 jam sebelum kejadian hujan ringan, dan hujan sangat lebat. ... 15

17 Kisaran indeks output RAOB 6 jam sebelum kejadian hujan ringan dan hujan sangat lebat ... 17

18 Nilai median indeks output RAOB untuk 3 jam dan 6 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat dan ringan ... 20

19 Nilai median indeks output RAOB untuk kejadian tidak hujan ... 21

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Karakteristik stabilitas atmosfer non lokal untuk berbagai profil suhu potensial virtual .... 7

2 Diagram alir penentuan indikator curah hujan (a), kisaran dan median dari indeks keluaran RAOB (b), lapisan tidak stabil dan unsur-unsur cuaca tiap mandatory level (c). 9 3 Kondisi stabilitas atmosfer dari nilai Ri, s dan Θv saat 3 UTC untuk hujan sangat lebat ... 23

4 Kondisi stabilitas atmosfer dari nilai Ri, dan s saat 3 UTC untuk hujan ringan ... 23

5 Kondisi stabilitas atmosfer dari nilai Θv saat 3 UTC untuk hujan ringan ... 24


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Tabulasi data parameter cuaca, ketinggian stabilitas atmosfer lokal dan non lokal untuk

kejadian tidak hujan ... 28 2 Tabulasi data parameter cuaca, ketinggian stabilitas atmosfer lokal dan non lokal untuk

kejadian hujan sangat lebat ... 30 3 Tabulasi data parameter cuaca, ketinggian stabilitas atmosfer lokal dan non lokal untuk

kejadian hujan ringan... 32 4 Contoh profil vertikal komponen stabilitas atmosfer lokal dan non lokal untuk curah


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Cuaca merupakan suatu kejadian atmosfer yang mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga manusia akan selalu berusaha untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi cuaca yang terjadi. Salah satu unsur cuaca yang mempengaruhi kehidupan manusia ialah curah hujan. Curah hujan yang dianggap mengganggu kehidupan manusia adalah curah hujan yang memiliki intensitas tinggi karena pada daerah tertentu dapat menimbulkan banjir.

Kerugian yang dihasilkan oleh bencana banjir dapat dikurangi dengan cara mengetahui gambaran secara spesifik kondisi yang menyebabkan terjadinya banjir. Salah satu faktor penyebab terjadinya banjir adalah curah hujan dengan intensitas tinggi. Kondisi curah hujan dengan intensitas tinggi dapat diketahui dengan cara melakukan prediksi dan analisis atmosfer pada saat sebelum terjadinya hujan dengan intensitas tinggi, sehingga kerugian yang dihasilkan oleh banjir dapat dikurangi karena adanya peringatan sebelum bencana itu terjadi. Banjir akan menjadi masalah jika bantaran banjir menjadi daerah terbangun dengan nilai sosial ekonomi tinggi.

Analisis kondisi atmosfer saat sebelum terjadinya hujan dengan intensitas tinggi dapat diketahui dengan melakukan pengamatan kondisi udara atas. Salah satu cara mengamati udara atas dapat dilakukan dengan menggunakan radiosonde. Data yang dihasilkan oleh radiosonde akan dianalisis dengan menggunakan metode perangkat lunak yang dinamakan Rawinsonde Observation Programs (RAOB). Perangkat lunak ini sangat membantu dalam menganalisis dan menurunkan parameter atmosfer yang diperoleh dari data radiosonde.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Mempelajari dan memahami teknik

penentuan indikator curah hujan.

2. Membuat analisis dari informasi keluaran program RAOB untuk menentukan indeks RAOB yang paling berpengaruh terhadap curah hujan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Banjir sangat terkait dengan terjadinya curah hujan dengan intensitas tinggi. Curah hujan dengan intensitas tinggi dapat terjadi apabila kondisi atmosfer sangat mendukung, seperti kondisi atmosfer sangat tidak stabil, tingginya uap air di atmosfer, kecepatan angin yang rendah (Lundstedt 1993 dalam Rohmawati 2009) dan tingginya mixing ratio yang merupakan perbandingan massa uap air terhadap massa udara kering. Nilai mixing ratio ini merepresentasikan kandungan massa uap air yang ada di udara sehingga dengan semakin tinggi mixing ratio, maka peluang terjadinya hujan semakin besar. Beberapa kriteria curah hujan menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG 2012) sebagai berikut :

• Hujan sangat ringan : Intensitas < 5 mm dalam 24 jam

• Hujan ringan : Intensitas 5 – 20 mm dalam 24 jam

• Hujan sedang : Intensitas 20 – 50 mm dalam 24 jam

• Hujan sangat lebat : Intensitas 50 – 100 mm dalam 24 jam

• Hujan sangat lebat : Intensitas > 100 mm dalam 24 jam

Banjir biasanya terjadi pada kejadian curah hujan tinggi dengan durasi yang lama, dengan semakin tinggi dan lama curahan yang terjadi maka kapasitas daya tampung permukaan akan semakin kecil. Oleh karena itu, selain adanya pengaruh kondisi atmosfer, banjir juga dipengaruhi oleh kondisi topografi permukaan. Kondisi atmosfer dapat dilihat dengan dengan menggunakan alat radiosonde yang diterbangkan ke atmosfer pada ketinggian tertentu dan data yang dihasilkan oleh radiosonde akan dianalisis dengan perangkat lunak RAOB.

2.1 RAOB (Rawinsonde Observation Programs)

RAOB adalah perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis kondisi atmosfer atas. Input data yang digunakan RAOB adalah data dari radiosonde. Radiosonde merupakan salah satu peralatan meteorologi berbentuk kotak kecil dilengkapi dengan alat ukur unsur cuaca dan pemancar sinyal radio. Radiosonde dapat mengetahui distribusi suhu, tekanan, dan kelembaban secara vertikal sampai ketinggian 30 km.

Radiosonde akan menghasilkan data unsur-unsur meteorologis untuk tiap-tiap


(12)

ketinggian dan kemudian data radiosonde akan dianalisis dengan memasukkan data tersebut ke perangkat lunak RAOB. RAOB dapat menampilkan data radiosonde ke dalam bentuk aerological diagram seperti Skew-T, Emagram, atau Tephigram. Selain itu, RAOB dapat menampilkan level inversi, ketebalan lapisan atmosfer, CAPE (Convective Available Potential Energy) dan informasi lainnya dalam setiap lapisan atmosfer. Keunggulan dari RAOB yaitu mudah dan lengkap untuk menganalisis data radiosonde, serta dapat mendukung hasil prediksi cuaca ke depan.

Radiosonde telah digunakan beberapa negara karena kemampuannya yang cepat dalam menganalisis variabel-variabel meteorologis. Pada umumnya peluncuran radiosonde ke udara terjadi pada saat tengah malam dan siang hari di wilayah Greenwich. Kegiatan pelepasan radiosonde membutuhkan biaya yang mahal dan banyak mengalami kesulitan, seperti data yang kurang baik disebabkan dalam pengambilan data terjadi pada waktu yang bersamaan dengan kondisi atmosfer yang sedang memburuk.

Data radiosonde digunakan sebagai input program RAOB untuk menganalisis kondisi atmosfer dan mengetahui stabilitas atmosfer serta potensi pertumbuhan awan konvektif. Oleh karena itu, pengamat dapat dengan mudah mengidentifikasi parameter atmosfer yang akan dianalisis sesuai dengan keperluan pengamat melalui RAOB.

Salah satu indeks RAOB yang digunakan untuk menentukan ketinggian dasar awan adalah CCL (Convective Condensation Level), LCL (Lifting Condensation Level) dan LFC (Level of Free Convection). CCL adalah ketinggian dasar awan yang dihasilkan oleh udara naik dari permukaan yang disebabkan oleh daya apung akibat adanya pemanasan dari permukaan, sedangkan LFC merupakan lapisan yang terbentuk apabila suhu parsel udara yang diangkat sama dengan suhu titik embun melalui suhu konveksi. LFC merupakan batas bawah dari nilai CAPE, parsel udara pada LFC akan terus naik tanpa energi dari luar sampai dengan lapisan atas CAPE. LCL adalah level parsel udara yang menjadi jenuh setelah mengalami pengangkatan secara adiabatik kering. Level LCL juga digunakan untuk mengidentifikasi tinggi dasar awan.

Davies (2004) menjelaskan bahwa nilai LCL dan LFC yang dapat diindikasikan akan terjadinya badai yaitu pada ketinggian 832 m dan 1361 m (Davies 2004), tetapi Kim dan

Lee (2005) menjelaskan bahwa dengan ketinggian LFC antara 686 m - 763 m dan ketinggian LCL antara 361 m - 679 m akan mengindikasikan terjadinya hujan yang sangat lebat. Indeks lain dalam program RAOB antara lain: Water (Total Precipitable Water), LI (Lifted Index), Showalter Index, KI ( K-Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), Mvv (Maximum Vertical Velocity), Boyden Index, Theta-e, Jefferson Index, SWEAT Index, TQ-Index, Total Totals Index, S-Index, Cap Strength, Thompson Index, dan Mixing Ratio yang akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya.

2.1.1 Water (Total Precipitable Water) Total Precipitable Water (TPW) adalah jumlah kandungan massa uap air dalam kolom udara yang dapat turun sebagai presipitasi jika semua uap air tersebut mengembun. Semakin tinggi nilai TPW berarti titik embun akan semakin tinggi sehingga uap air yang terbentuk akan berpotensi menjadi awan potensial (Syaifullah 1998).

Semakin tingginya nilai TPW mengindikasikan bahwa kandungan embun di atmosfer sangat tinggi (Tabel 1). Pada penelitian Kim dan Lee (2005) mengenai analisis kondisi atmosfer saat kejadian hujan dengan intensitas sangat lebat menunjukkan bahwa dengan nilai TPW antara 51.9 mm – 56.9 mm mengindikasikan akan terjadi hujan dengan intensitas sangat lebat sedangkan penelitian Rahmawati (2009) menunjukkan nilai TPW berkisar 49.9 – 69.5 mm dapat terjadi pada kejadian banjir.

Tabel 1 Skala kandungan embun (moisture content) berdasarkan nilai TPW Haby (2006)

Nilai TPW (mm) Kandungan Embun < 12.7 Sangat rendah 12.7 - 31.8 Rendah 31.8 - 45.0 Sedang 45.0 - 50.8 Tinggi

> 50.8 Sangat Tinggi 2.1.2 LI (Lifted Index)

LI adalah indeks stabilitas yang digunakan untuk menentukan potensi badai. Nilai LI didapatkan dari perbedaan suhu parsel udara yang bergerak naik secara adiabatik dengan suhu lingkungan pada tekanan udara 500 mb di atmosfer (AWS 1990).

Nilai LI positif menunjukkan atmosfer berada dalam kondisi stabil, tetapi jika bernilai negatif, menunjukkan atmosfer pada


(13)

kondisi tidak stabil (terdapat gaya angkat ke atas) yang dapat mendukung proses terjadinya hujan (Tabel 2). Sumber lain juga menunjukkan bahwa dengan semakin negatif nilai LI yaitu mencapai -6 akan menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas sangat lebat (Kim dan Lee 2005). Adapun persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai LI adalah

��=�500− �500 T500 = Suhu di lapisan 500 mb

Tp 500 = Suhu parsel di lapisan 500 mb

Tabel 2 Stabilitas atmosfer berdasarkan nilai LI (Haby 2006)

Nilai LI Stabilitas Atmosfer LI>6 Kondisi sangat stabil 1 sampai 6 Kondisi stabil 0 sampai -2 Agak tidak stabil, terjadi

mekanisme pengangkatan -2 sampai -6 Tidak stabil, thunderstorm

sangat mungkin LI < -6 Sangat tidak stabil,

thunderstorm diikuti dengan mekanisme

pengangkatan 2.1.3 Showalter Index

Indeks Showalter adalah indeks stabilitas yang digunakan untuk menentukan potensi badai dan stabilitas atmosfer. Nilai Indeks Showalter dihitung dari pengangkatan sebuah paket udara secara diabatik dari 850 mb sampai dengan 500 mb. Nilai indeks negatif menunjukkan atmosfer pada kondisi tidak stabil yang dapat memungkinkan terjadinya hujan lebat. Sebaliknya apabila nilai indeks ini positif maka menunjukkan atmosfer pada kondisi stabil.

Tabel 3 Stabilitas atmosfer berdasarkan nilai Showalter Index

Nilai

Showalter Stabilitas Atmosfer Nilai positif Stabil

0 – (-4) Kondisi tidak stabil -4 – (-7) Kondisi sangat tidak stabil

< -8 Kondisi ekstrim tidak stabil 2.1.4 KI (K-Index)

KI adalah ukuran potensi badai akibat gerak konvektif, berdasarkan selang suhu vertikal, dan kelembaban atmosfer (AWS, 1990). Indeks ini penting untuk memprediksi curah hujan dengan intensitas sangat lebat.

KI = �850− �500+ ��850−(�700− ��700) keterangan:

T500, T700, T850

=

Suhu di lapisan 500, 700, dan 850 mb

Td700, Td850

=

Suhu titik embun di lapisan 700 mb dan 850 mb

Tabel 4 Interval nilai KI (Haby 2006) KI Potensi gerak konveksi 15 – 25 Potensi konveksi kecil 26 – 39 Potensi konveksi sedang

40 + Potensi konveksi tinggi Menurut Haby (2006), dengan nilai indeks K lebih besar dari 40 menyebabkan konveksi yang tinggi (Tabel 4), tetapi dalam penelitian yang telah dilakukan oleh pihak BMKG Cengkareng yang menunjukkan bahwa untuk wilayah Indonesia kejadian badai dengan konveksi yang tinggi banyak terjadi pada interval nilai KI antara 29-37 yaitu sekitar 74.72% kejadian badai, sedangkan untuk nilai indeks K yang lebih besar dari 37 hanya menghasilkan 9.62% kejadian badai.

2.1.5 CAPE (Convective Available Potential Energy)

CAPE adalah jumlah energi yang dimiliki oleh sebuah parsel udara jika diangkat secara vertikal pada jarak tertentu di atmosfer. CAPE dapat menggambarkan buoyancy positif dari sebuah parsel udara dan dapat mengindikasikan ketidakstabilan atmosfer.

Peningkatan nilai CAPE umumnya menyebabkan konveksi semakin kuat sehingga nilai ini dapat digunakan sebagai indeks stabilitas atmosfer (Tabel 5). Sumber lain menunjukkan bahwa nilai CAPE berkisar 1779 Jkg-1 – 2521 Jkg-1 akan menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas sangat lebat (Kim dan Lee 2005).

Tabel 5 Ketidakstabilan atmosfer menurut nilai CAPE (AWS 1990)

Nilai CAPE

(Jkg-1) Ketidakstabilan Atmosfer

< 1000 Lemah

1000 - 2500 Sedang

> 2500 Kuat

2.1.6 Mvv (Maximum Vertical Velocity) Mvv merupakan nilai yang menunjukkan besarnya kecepatan maksimum parsel udara yang naik. Semakin tinggi nilai Mvv maka semakin cepat pembentukan awan (Tabel 6).


(14)

Tabel 6 Kecepatan maksimum naiknya parsel udara berdasarkan nilai Mvv (Haby 2006)

Nilai Mvv (ms-1)

Kecepatan maksimum naiknya parsel udara

<40 Biasa

41 – 60 Kuat

61 – 80 Sangat kuat

> 81 Ekstrim

2.1.7 Boyden Index

Indeks Boyden merupakan nilai yang digunakan untuk mendiagnosis atau menduga terjadinya badai (Haby 2006). Pada kondisi normal, indeks ini berkisar antara 94-99 dan dalam perhitungannya, informasi kelembaban tidak disertakan.

BI = Z700-100 – T700 - 200

keterangan:

Z700-100 adalah ketebalan lapisan antara 700

dan 100 mb, T700 suhu (dalam derajat

Celcius) di 700 mb. 2.1.8 Theta-e Index

Nilai Theta-e digunakan untuk menilai potensi konveksi yang tinggi. Nilai Theta-e yang tinggi akan terkait dengan pendinginan yang cepat terhadap peningkatan ketinggian (Tabel 7).

Tabel 7 Potensial konveksi menurut Theta-e (Haby 2006)

Nilai Theta-e

(0C) Potensi Konveksi < 5 Potensi konveksi kecil 5 - 9 Berpotensi konveksi tinggi

> 9 Sangat berpotensi konveksi tinggi 2.1.9 Jefferson Index

Indeks Jefferson sangat baik digunakan untuk menduga potensi badai dengan tidak ada mekanisme dinamik yang memicu. Indeks ini bernilai normal pada rentang 20 sampai 30.

JI = 1,6 * Tw850 - T500 - 0,5 * D700 – 8

Catatan: D700 (depresi suhu titik

embun) merupakan perbedaan antara suhu lingkungan dan suhu titik embun (dalam hal ini pada 700 mb)

2.1.10SWEAT Index

Indeks SWEAT digunakan untuk memperkirakan potensi cuaca buruk, tetapi tetap memperhitungkan adanya mekanisme

pemicu lain yang dapat mempengaruhi terjadinya cuaca buruk. Apabila terdapat nilai indeks SWEAT yang tinggi pada pagi hari, dimungkinkan adanya nilai indeks SWEAT yang tinggi pada sore atau malam hari sebelumnya. Nilai indeks SWEAT yang rendah menandakan tidak adanya cuaca yang buruk tetapi nilai indeks ini dapat meningkat secara drastis selama periode 12 jam (AWS 1990). Adapun persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai SWEAT adalah

SWEAT = 12Td850 + 20(TT - 49) + 2f850 + f500

+ 125(s + 0.2); keterangan:

Td850 = suhu titik embun

pada 850 mb TT = indeks Total Totals f850 dan f500 = kecepatan angin pada

850 dan 500 mb s = sin (arah angin)

Menurut Haby (2006) cuaca akan memburuk apabila interval nilai indeks SWEAT berkisar antara 300-400 (Tabel 8), tetapi untuk wilayah Indonesia yaitu pada wilayah Cengkareng didapatkan nilai antara 135-239 (Budiarti et al. 2012) yang menunjukkan adanya kejadian cuaca yang buruk yakni badai.

Tabel 8 Potensi cuaca buruk berdasarkan indeks SWEAT (Haby 2006)

Nilai SWEAT Kondisi Cuaca 150-300 Cuaca sedikit buruk 300-400 Kemungkinan buruk

400+ Cuaca sangat buruk 2.1.11TQ-Index

Indeks TQ digunakan sebagai indikator konveksi yang memiliki selang untuk kondisi normal 12-17. Nilai indeks ini hampir sama dengan indeks Total Totals, hanya suhu lingkungan yang digunakan dalam persamaan yang membedakannya (Norm 1999).

TQ = T850 + Td850 – 1.7 T700 (oC)

2.1.12Total Totals Index

Indeks Total Totals diperkenalkan oleh Miller (1972) untuk mengidentifikasi daerah yang berpotensi untuk perkembangan badai (AWS 1990). Nilai indeks ini merupakan kombinasi dari indeks Vertical Totals (VT) dan indeks Cross Totals (CT). VT adalah indeks yang dihasilkan dari perbedaan suhu antara 850 mb dan 500 mb.


(15)

Nilai VT yang tinggi sebelum terjadinya aktivitas konveksi dan badai, belum dapat menjamin terjadinya perkembangan badai, sedangkan CT adalah indeks yang dihasilkan dari perbedaan suhu titik embun pada 850 mb dan suhu lingkungan pada 500 mb. Nilai suhu titik embun yang tinggi pada 850 mb dan suhu lingkungan yang rendah pada 500 mb dapat menghasilkan CT yang tinggi. Walaupun nilai CT yang tinggi sebelum terjadinya aktivitas perkembangan badai, belum dapat menjamin untuk meningkatnya perkembangan badai selanjutnya (AWS 1990).

Tabel 9 Potensial konveksi dan badai berdasarkan VT(AWS 1990) Nilai

VT Potensi Konveksi VT<28 Potensi konveksi dan badai tidak

tersebar

29-32 Sedikit berpotensi konveksi dan badai

>32 Potensi konveksi dan badai tersebar

Menurut Haby (2006) dengan nilai indeks TT kurang dari 44 menyebabkan atmosfer tidak terjadi konveksi (Tabel 10), tetapi untuk wilayah Indonesia dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Budiarti et al. (2012) menunjukkan nilai indeks TT yang berkisar antara 42-46 akan menghasilkan konveksi dan badai yang tinggi. Kejadian badai terjadi pada interval indeks TT antara 42-46 sebanyak 469 sedangkan indeks TT pada nilai lebih besar dari 46 hanya menghasilkan 33 kejadian badai.

Tabel 10 Potensial badai berdasarkan TT (Haby 2006)

TT = (T850 - T500) + (Td850 - T500)

Nilai TT Kondisi Atmosfer <44 Kemungkinan tidak ada

konveksi 44-50 Kemungkinan badai 51-52 Badai besar terisolasi 53-56 Badai besar meluas

>56 Badai besar tersebar 2.1.13S-Index (SI)

SI digunakan untuk meramalkan cakupan dan tingkat keparahan badai serta tingkat peluang terjadinya badai. Terlihat dengan semakin tingginya nilai SI maka kemungkinan badai yang terjadi akan tinggi (Tabel 11).

SI = TT - (T700-Td700) – A

keterangan:

A= 0; ketika T850-T500 ; > 25

A= 2; ketika T850-T500 ; 22-25

A= 6; saat T850-T500 ; <22

T = suhu pada 850 dan 500 mb

Tabel 11 Potensial badai berdasarkan SI (Haby 2006)

Nilai SI Peluang Badai SI>46 Kemungkinan badai 75% 41-45 Kemungkinan badai 42% SI<39 Tidak ada badai 89% 2.1.14Cap Strength

Cap Strength merupakan unsur terpenting dalam sebagian besar peristiwa badai yang parah. Indeks ini berfungsi dalam mencegah meluasnya konveksi atau biasa disebut dengan penetrasi konveksi yang merupakan suatu fenomena sangat penting di atmosfer karena dapat menghambat pengangkatan paket udara, akibatnya disepanjang Cap Strength akan sering terbentuk badai (Wen 1976). Studi empiris menunjukkan apabila indeks Cap Strength lebih besar dari 20C, maka lapisan Cap Strength dapat menghalangi badai atau menghambat adanya pengangkatan secara dinamis (AWS 1990). Pada kondisi tertentu akan terjadi kenaikan suhu lingkungan menurut ketinggian dan bukan penurunan yang biasa terjadi, lapisan udara dengan keadaan ini disebut dengan kondisi sangat stabil dan dapat juga dikatakan sebagai Cap Strength (Purbo et al. 1995). Oleh karena itu, gerakan vertikal dapat dicegah secara efektif oleh kondisi ini. Kondisi ini dapat menahan perpindahan uap air secara vertikal.

2.1.15Thompson Index (TI)

Indeks Thompson menduga potensi tingkat keparahan badai yang dapat diduga dari selisih antara nilai indeks K yang menduga terjadinya konveksi di atmosfer dan indeks Lifted yang menduga ketidakstabilan pada lapisan 500 mb. Potensi badai dengan kategori sedang dapat diketahui dari nilai TI yang berkisar antara 25 – 34, TI yang bernilai 35 – 39 menunjukkan potensi badai mendekati badai parah dan TI > 40 menunjukkan potensi badai yang parah.

Nilai tiap-tiap indeks yang dihasilkan oleh RAOB akan digunakan sebagai landasan untuk mengetahui kondisi sebelum terjadinya curah hujan tinggi. Selain mengetahui nilai tiap-tiap indeks, perlu dilakukan analisis terhadap kondisi stabilitas atmosfer karena kondisi stabilitas atmosfer merupakan salah


(16)

satu faktor penyebab terjadinya curah hujan yang tinggi. Kejadian hujan pada umumnya berkaitan dengan terbentuknya awan yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh stabilitas atmosfer.

2.2 Stabilitas Atmosfer

Stabilitas atmosfer menunjukkan kecenderungan massa udara bergerak vertikal. Stabilitas atmosfer terdiri dari stabilitas statis dan stabilitas dinamik. Stabilitas statis hanya mempertimbangkan gaya apung dan mengabaikan gesekan angin rata-rata,

sedangkan stabilitas dinamik memperhitungkan keduanya. Pada penentuan

stabilitas atmosfer, paket udara mula-mula akan mengikuti dry adiabatic saat udara tidak jenuh, jika jenuh maka paket udara mengikuti moist adiabatic. Pada ketinggian apapun paket udara bergerak, gaya angkat tergantung dari perbedaan antara suhu paket udara dan suhu udara lingkungan (Stull 2000).

Kondisi stabil adalah kondisi yang terjadi pada saat suhu paket udara lebih kecil daripada suhu udara lingkungan. Kondisi yang stabil menyebabkan paket tersebut tidak dapat bergerak vertikal ke atas namun akan kembali ke ketinggian semula. Hal ini menyebabkan paket tersebut cenderung stabil di tempatnya atau jika massa udara terpaksa naik, maka cenderung menyebar secara horizontal (Ahrens 2009).

Stabilitas netral adalah kondisi selang tingkat suhu lingkungan sama dengan tingkat adiabatik kering, naik atau turunnya udara tak jenuh akan mendingin atau menghangat sama dengan udara sekitarnya. Pada setiap ketinggian akan memiliki suhu dan kerapatan udara yang sama sehingga udara tersebut tidak akan naik atau turun.

Kondisi tidak stabil terjadi pada saat paket udara memiliki suhu yang lebih hangat dibandingkan dengan suhu lingkungan sekitar karena tingkat adiabatik kering lebih rendah dari selang tingkat suhu lingkungan. Hal tersebut mengakibatkan udara akan terus naik jauh dari posisi awalnya.

Perlu diketahui bahwa dalam lapisan atmosfer jarang atau bahkan tidak pernah dalam kondisi benar-benar tidak stabil, biasanya terbatas pada lapisan dekat tanah karena pada hari yang terik mengakibatkan selang tingkat suhu lingkungan lebih tinggi dari tingkat adiabatik kering (Ahrens 2009), tetapi dalam kondisi nyata, apabila parsel udara naik pada suatu ketinggian maka akan terdapat suhu baru dan gaya apung baru yang menentukan apakah paket udara dapat terus

naik atau tidak. Kondisi tersebut dapat diketahui dengan melakukan pengkajian terhadap kondisi stabilitas atmosfer non lokal dengan cara memplotkan suhu potensial virtual secara vertikal (Stull 2000). Suhu potensial virtual adalah suhu sampel udara yang dibawa ke tekanan 1000 mb secara adiabatik kering. Suhu potensial virtual terkait dengan suhu potensial. Suhu potensial akan meningkat apabila tejadi perubahan fase oleh paket udara karena dalam perubahan fase yang terjadi pada proses adiabatik basah akan menghasilkan panas latent.

2.2.1 Stabilitas Atmosfer Lokal

Stabilitas atmosfer lokal dapat ditentukan dengan mengetahui nilai Ri dan s (Arya 1999) untuk setiap ketinggian, tetapi perlu diketahui bahwa dengan penggunaan parameter lokal tidak memperhitungkan percepatan yang bekerja pada paket udara yang berbeda dengan ketinggian yang berbeda sehingga dalam penentuan stabilitas menggunakan nilai Ri dan s membuat definisi stabilitas menjadi sempit. Stull (2000) menjelaskan bahwa terdapat kejadian yang sangat membingungkan karena terdapat nilai s yang menunjukkan kondisi stabilitas netral atau bahkan stabil, tetapi kondisi tersebut sangat tidak memungkinkan dikarenakan pada waktu itu memiliki pasokan radiasi yang tinggi sehingga seharusnya kondisi stabilitas dalam kondisi tidak stabil. Oleh karena itu, perlu dilakukannya peninjauan terhadap pergerakan suhu potensial virtual tiap perubahan ketinggian sebagai parameter untuk mengetahui kondisi stabilitas.

2.2.2 Stabilitas Atmosfer Non Lokal Stabilitas atmosfer non lokal merupakan salah satu cara untuk menghilangkan ambiguitas dalam karakterisasi stabilitas statis (Stull 2000). Penentuan stabilitas non lokal dilakukan dengan mengikuti atau melihat pergerakan suhu potensial virtual secara vertikal sehingga naiknya paket udara akan dapat dilacak. Keutamaan dari penentuan stabilitas non lokal yaitu akan diketahui bagaimana pergerakan parsel udara serta mengetahui kondisi inversi di atmosfer. Pentingnya mengetahui adanya kondisi inversi karena kondisi inversi akan membantu menghambat terbentuknya awan konveksi dan perkembangan badai dapat terhambat (Weaver dan Ramanathan 1997). Berikut stabilitas non lokal dengan profil vertikal suhu potensial virtual.


(17)

Gambar 1 Karakteristik Stabilitas Atmosfer Non Lokal untuk Berbagai Profil Suhu Potensial Virtual (dimodifikasi dari Stull 2000)

BAB III METODOLOGI 3.1Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei tahun 2012, lokasi analisis dan pengolahan data bertempat di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

3.2Data dan Peralatan

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

1. Data radiosonde.

Data tersebut diambil dari situs http://ready.arl.noaa.gov/READYamet.p hp.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa seperangkat alat komputer dengan software RAOB (Rawinsonde Observation Programs), MINITAB 14 dan Microsoft Excel. 2. Data curah hujan tiap jam untuk daerah

studi kasus.

Data curah hujan yang digunakan pada wilayah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki tipe hujan monsun. Data curah hujan tiap jam ini digunakan untuk memastikan waktu terjadinya hujan pada suatu wilayah,

yang selanjutnya sebagai patokan waktu untuk mengambil data sounding yang diperlukan. Data curah hujan tersebut diperoleh dari Balai Hidrologi dan Tata Air Pusat Litbang Sumber Daya Air Bandung. Penulis mengambil data sounding tiap 3 jam dan 6 jam sebelum kejadian hujan dikarenakan data sounding yang tersedia di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) hanya tersedia data untuk tiap 3 jam.

3.3Metode Penelitian

3.3.1 Penentuan Indikator untuk Menduga Kejadian Hujan Sangat Lebat dan Ringan

1. Penentuan wilayah kajian.

Wilayah yang dianalisis untuk penentuan indikator dan analisis kejadian hujan sangat lebat dan ringan adalah Kecamatan Andong (7°22'14.39"LS - 110°45'19.17"BT), Kecamatan Tridadi (07o47'00''LS - 110o21'30''BT), Kecamatan Sentolo (07o51'36''LS - 110o13'40'' BT), Kecamatan Wonosegoro (7°17'55.08"LS - 110°41'33.01"BT), Kecamatan Todanan (6°56'11.60"LS - 111°10'28.70"BT). Lokasi tersebut digunakan karena dari data yang dimiliki dari Balai Hidrologi dan Tata Air Pusat Litbang Sumber Daya Air Bandung hanya daerah-daerah tersebut yang memiliki intensitas curah hujan dalam kategori sangat lebat dalam 24 jam. Secara topografi, kawasan tersebut berada di sekitar sungai dikarenakan data curah hujan yang digunakan diperoleh dari stasiun pengamatan hidrologi di sekitar sungai. Selain di sekitar sungai, topografi kawasan tersebut berada di pesisir pantai dan gunung.

2. Penentuan waktu terjadinya curah hujan sangat lebat dan ringan.

Waktu yang dipilih dalam penentuan prediktor adalah 3 dan 6 jam sebelum kejadian hujan berlangsung.

3. Mengetahui indeks keluaran RAOB dan menggunakan metode nilai ragam dan rataan indeks keluaran RAOB untuk menyetarakan nilai-nilai tiap indeks. ������=∑ �

�����= �∑(� − �̅) 2


(18)

4. Menghitung koefisien korelasi hubungan antara indeks keluaran RAOB dengan curah hujan sangat lebat.

�= � ∑ �� − ∑ � ∑ �

�� ∑ �2(∑ �)2�� ∑ � −()2 Indeks keluaran RAOB digunakan karena indeks-indeks tersebut menggambarkan kondisi konveksi pada lapisan tertentu di atmosfer.

5. Mengurutkan nilai curah hujan dari yang terkecil ke terbesar untuk masing-masing kategori hujan.

6. Analisis multikolinearitas dengan cara formal (Variance Inflation Factor, VIF). Indikator adanya multikolinearitas dapat ditinjau dari nilai VIF terbesar yang lebih dari 10.

7. Mencari kombinasi persamaan terbaik yang dihasilkan dari indikator 3 dan 6 jam sebelum kejadian hujan serta indikator yang berpotensi lainnya. Misalkan mengkombinasikan indeks yang berkorelasi tinggi pada 3 jam sebelum kejadian hujan digunakan dalam pembentukan persamaan untuk 6 jam sebelum kejadian hujan. Tahapannya dapat dilihat pada Gambar 2(a).

3.3.2 Analisis Curah Hujan

1. Penentuan kisaran dan nilai median untuk tiap indeks. Tahapannya dapat dilihat pada Gambar 2(b).

2. Penentuan stabilitas atmosfer

a. Nilai unsur-unsur cuaca tiap mandatory level.

b. Menentukan nilai parameter stabilitas termal (s) dan Ri, dengan persamaan berikut:

s = � ��

��� �� Ri = �

��

�����

⌈(��)2(��)2��(Arya 1999) keterangan:

Tv : Suhu virtual (K) g : gravitasi (ms-2)

�� : suhu potensial virtual (K) z : ketinggian (m)

฀U dan ฀V mewakili perbedaan angin tiap ketinggian.

��=��

1000

��/�� keterangan:

P : Tekanan (mb) Rd/Cp : 0.286

c. Membuat profil vertikal nilai s, Ri dan nilai suhu potensial virtual d. Penentuan lapisan tidak stabil.

Tahapannya dapat dilihat pada Gambar 2(c).


(19)

(b)

(c)

(a)

Gambar 2 Diagram alir penentuan indikator curah hujan (a), kisaran dan median dari indeks keluaran RAOB (b), lapisan tidak stabil dan unsur-unsur cuaca tiap mandatory level (c)

Data curah hujan tiap jam

Data sounding 3 jam dan 6 jam sebelum kejadian

Penentuan unsur-unsur cuaca tiap mandatory level

Stabilitas Termal (s), dan Ri

Profil vertikal suhu potensial virtual Stabilitas

Atmosfer Lokal

Stabilitas Atmosfer Non Lokal

Lapisan tidak stabil dan unsur-unsur cuaca tiap mandatory level Informasi keluaran RAOB

(Rawinsonde Observation Programs)

Kisaran dan Median dari nilai Indeks keluaran RAOB Nilai ragam dan rataan dari Indeks

keluaran RAOB

Korelasi antara Indeks keluaran RAOB dengan Curah Hujan untuk mengetahui indikator Curah Hujan

Memilih persamaan terbaik dari indikator-indikator yang dihasilkan

dengan terlebih dahulu mengurutkan nilai curah hujan dari

yang terkecil ke terbesar Mendeteksi multikolinearitas antar


(20)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian pendugaan prediktor untuk analisis curah hujan ini, kondisi cuaca yang diduga prediktornya ialah curah hujan dengan intensitas sangat lebat (curah hujan lebih besar dari 100 mm selama 24 jam). Indeks-indeks yang digunakan sebagai prediktor curah hujan dengan intensitas sangat lebat merupakan

output dari perangkat lunak RAOB.

Penggunaan indeks tersebut karena setiap indeks menggambarkan adanya pengaruh konveksi dan menduga terjadinya badai. Dua faktor tersebut sangat terkait dengan adanya kejadian hujan konvektif (Soriano et al. 2001). Pada wilayah Indonesia, kejadian hujan dengan intensitas sangat lebat sering terjadi

dengan adanya awan Cumulonimbus atau awan konveksi karena wilayah Indonesia berada pada wilayah equator yang selalu mendapatkan radiasi yang tinggi, dengan adanya konveksi akan membantu proses pengangkatan massa udara atau gaya apung parsel udara sehingga akan terkait dengan pembentukan awan (Renno dan Andrew 1995).

4.1 Indikator Curah Hujan Sangat Lebat dan Ringan

Indikator dalam menduga curah hujan dengan intensitas sangat lebat dapat diketahui dari hubungan korelasi antara curah hujan dengan indeks keluaran RAOB. Hasil analisis data penelitian ini ditampilkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Koefisien korelasi (r) antara curah hujan “Sangat Lebat” dengan berbagai indeks “RAOB”

Indeks 6 jam

sebelum kejadian

3 jam sebelum kejadian

VGP-Vorticity Generation Parameter (ms-2) 0.61 -0.02

CAPE Total (Jkg-1) 0.5 0.11

CAPE 0-x km, AGL (Jkg-1) 0.49 0.07

NCAPE (Normalized CAPE) (Jkg-1) 0.44 0.1

Td - Surface Dewpoint (0C) 0.4 0.17

LFC - Level of Free Convection (m, MSL) 0.34 0.17

EHI - Energy Helicity Index 0.31 0.29

∆�����-Delta Theta-e (0C) 0.2 0.08

SI - Showalter Index 0.19 0.34

WBZ - WetBulb Zero Hgt (ft,AGL) 0.12 0.09

850 mb Wind speed (ms-1) 0.11 0.2

500 mb Wind speed (ms-1) 0.11 0.08

MDPI - Microburst Day Potential Index 0.08 0.08

TI - Thompson Index 0.07 -0.19

srH – storm relative Helicity (Jkg-1) 0.02 0.14

DCAPE 0-6 km, MSL (Jkg-1) -0.02 0.02

GOES HMI (Hybrid Microburst Index) -0.03 -0.1

SWEAT Index -0.07 0.14

VT - Vertical Totals -0.08 -0.23

S-Index -0.09 -0.17

Boyden Index -0.11 -0.21

KO-Index -0.11 0.03

850 mb Dewpoint (0C) -0.17 -0.12

K-Index -0.17 -0.2


(21)

Tabel 12 Lanjutan

Indeks 6 jam

sebelum kejadian

3 jam sebelum kejadian

TT - Total Totals -0.19 -0.36

700 - 500 mb lapse rate (0Ckm-1) -0.22 0.06

CT - Cross Totals -0.23 -0.4

V2 - 200 mb Wind speed (ms-1) -0.33 -0.37

TQ-Index -0.44 -0.55

LI - Lifted Index -0.47 -0.04

Cap Strength (0C) -0.53 -0.05

Indeks RAOB yang memiliki nilai koefisien korelasi tinggi dengan 3 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat adalah indeks TQ (-0.55), sedangkan indeks yang memiliki korelasi tinggi untuk 6 jam sebelum kejadian hujan adalah CAPE Total (0.50), Cap Strength (-0.53), dan Vorticity Generation Parameter (0.61) (Tabel 12).

Indeks TQ menyampaikan informasi bahwa pada waktu dan tempat tertentu sedang mengalami perkembangan badai. Nilai TQ > 17 menunjukkan perkembangan badai cukup besar dengan angin yang kuat sehingga dengan semakin kuatnya angin maka massa uap air akan berpindah sehingga hujan yang terjadi tidak terlalu tinggi, hal ini sesuai dengan hubungan korelasi yang dihasilkan bernilai negatif. Nilai korelasi CAPE Total terhadap curah hujan dengan intensitas sangat lebat bernilai positif yaitu 0.50. Hal ini sesuai dengan penelitian Adams dan Enio (2008) yang menunjukkan bahwa hubungan antara nilai CAPE dengan curah hujan bernilai positif untuk kriteria hujan monsun. Nilai CAPE Total untuk 6 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat mencapai 1922 Jkg-1. Nilai tersebut menunjukkan energi yang tersedia bagi parsel udara untuk diangkat secara vertikal (AWS 1990). Semakin tinggi nilai CAPE Total maka awan yang terbentuk akan memiliki ukuran yang tinggi karena pergerakan massa udara ke atas akan semakin cepat dan pembentukan butiran air akan cepat terbentuk sehingga proses kondensasi akan sangat cepat terjadi (Arnason dan Philip 1970).

Cap Strength merupakan lapisan inversi yang dapat berfungsi sebagai penetrasi konveksi yang terjadi (Stull 2000). Nilai korelasi Cap Strength dengan curah hujan sangat lebat bernilai negatif, yang berarti bahwa semakin rendahnya nilai Cap Strength, maka kemungkinan kejadian hujan yang sangat lebat akan tinggi. Hujan sangat lebat

dikarenakan penetrasi konveksi sangat lemah sehingga pembentukan awan semakin tinggi, dengan semakin tingginya awan maka volume awan dan jumlah air yang dicurahkan semakin tinggi, tetapi tetap diperhitungkan kondisi parameter cuaca lain seperti kelembaban, suhu dan angin. Penetrasi konveksi yang lemah dikarenakan kondisi udara di atas lapisan Cap Strength berupa udara yang dingin dan kering, sehingga semakin lama penundaan massa udara pada lapisan Cap Strength, akan menyebabkan adanya penurunan suhu pada lapisan ini karena pendinginan dari udara di atasnya, dengan semakin menurunnya suhu pada lapisan Cap Strength maka tercipta suatu kondisi dimana suhu parsel akan lebih tinggi dari suhu lapisan Cap Strength, yang berarti parsel udara akan naik melewati lapisan Cap Strength, sehingga pembentukan volume awan akan bertambah besar. Nilai Cap Strength yang semakin besar (>20C) sangat efektif untuk menghambat pengangkatan massa udara sehingga pembentukan badai hanya akan terjadi di sepanjang lapisan Cap Strength. Apabila nilai indeks tersebut kecil (<20C) maka pengangkatan massa udara akan sangat efektif dan kemungkinan akan terjadi badai besar serta awan yang terbentuk akan tinggi

(Overshoot CAPE). Indeks lain yang

menunjang kejadian badai dan berkorelasi tinggi dengan curah hujan sangat lebat adalah Vorticity Generation Parameter (VGP).

Indeks VGP memperkirakan tingkat peregangan vortisitas updraft secara horizontal oleh badai. Menurut penelitian Rasmussen dan Wilhelmson (1983) menyatakan bahwa nilai VGP yang besar dari 0.27 ms-2 akan memungkinkan adanya badai, sedangkan hasil pengamatan nilai VGP untuk 3 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat dan hujan ringan hanya mencapai 0.205 ms-2 dan 0.23 ms-2. Badai yang besar menandakan tingginya energi konvektif. Jika energi konvektif yang tersedia tinggi maka


(22)

pembentukan awan semakin tinggi. Nilai koefisien korelasi indeks VGP bernilai positif dengan curah hujan sangat lebat, yang berarti tingginya nilai VGP mengindikasikan suatu titik pengamatan dalam kondisi tekanan sangat rendah dan dikelilingi oleh tekanan tinggi sehingga gerak massa udara akan menuju tekanan rendah dan membentuk pusaran apabila perbedaan kecepatan angin yang tinggi, sehingga menyebabkan adanya updraft yang kuat, tetapi di sisi lain kondisi updraft akan terjadinya downdraft yang tinggi, gaya angin ke bawah inilah (downdraft) yang menyebabkan terjadinya curahan.

Indeks yang memiliki hubungan yang kuat saat 3 jam dan 6 jam sebelum kejadian hujan berbeda dikarenakan kondisi cuaca selalu berubah setiap waktu. Selain itu, harus diperhitungkan adanya indikator lain yang menyebabkan kenaikan massa udara dan kejadian badai seperti keberadaan gunung dan pengaruh pemanasan lokal yang berlebih pada suatu wilayah (Stull 2000). Kedua faktor lokal tersebut tidak diperhitungkan dalam penelitian ini, mengingat sifat cuaca yang selalu berubah-ubah seharusnya hal tersebut harus diperhatikan, karena dalam penelitian ini menggunakan data curah hujan beberapa daerah yang berbeda topografi.

Analisis korelasi menghasilkan indikator untuk membentuk suatu persamaan dalam menduga curah hujan dengan intensitas sangat lebat. Persamaan dibentuk berdasarkan kombinasi terbaik dari indikator yang memiliki nilai korelasi tinggi dengan curah hujan dan mengikutsertakan beberapa indeks yang berkorelasi cukup baik dengan curah hujan sangat lebat agar persamaan yang dihasilkan akan lebih baik. Persamaan yang dibentuk untuk 3 jam dan 6 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat terlihat pada Tabel 13.

Persamaan yang dihasilkan untuk 3 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat memiliki nilai R2 sebesar 43.2%, koefisien determinasi yang dihasilkan tergolong sedang atau tingkat hubungan antara indikator (x) yang menjelaskan peubah y (curah hujan) tersebut

belum kuat untuk menduga curah hujan sangat lebat karena terdapat 56.8% keragaman data curah hujan sangat lebat dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diketahui, sedangkan persamaan yang dihasilkan untuk 6 jam sebelum hujan sangat lebat memiliki nilai R2 yang baik yaitu 65.9%. Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa keragaman data curah hujan sangat lebat dapat dijelaskan dari indikator-indikator pembentuk persamaan yang dihasilkan.

Kurang baiknya persamaan yang dihasilkan untuk 3 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat dikarenakan nilai indeks CAPE Total untuk kedua kejadian tidak menunjukkan keteraturan, sebagai contoh nilai CAPE Total yang didapat untuk curah hujan sangat lebat sebesar 737 Jkg-1 sedangkan nilai CAPE Total untuk curah hujan ringan sebesar 780 Jkg-1. Selain itu, nilai indeks yang dihasilkan oleh RAOB saling berhubungan antar sesama indeksnya dalam hal penentuan badai konveksi dan persamaan yang digunakan sehingga terjadi multikolinearitas antar variabel bebas di dalam persamaan, walaupun pada penentuan multikolinearitas nilai FIR kurang dari 10.

Sesuai dengan penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Hestika (2010) tentang hubungan indeks Total Totals terhadap curah hujan yang menyatakan bahwa indeks tersebut tidak dapat mengindikasikan peluang terjadinya hujan tetapi harus melihat syarat-syarat terjadinya hujan seperti suhu, kelembaban dan kandungan uap air di atmosfer. Pola kecenderungan antara curah hujan dan indeks keluaran RAOB bervariasi, ada kejadian di mana curah hujan sangat lebat yang diikuti dengan indeks yang tinggi dan sebaliknya.

Penyebab lain dari kurang baiknya nilai koefisien determinasi untuk persamaan 3 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat yaitu data sounding yang digunakan berbentuk grid. Data grid NOAA memiliki resolusi data spasial 2.5o x 2.5o atau 277.5 km x 277.5 km sedangkan data titik yang merupakan data dari stasiun penakar curah hujan hanya mewakili luasan wilayah dengan radius 75 km x 75 km, Tabel 13 Model regresi dan nilai R-Sq curah hujan sangat lebat

Kejadian Model Regresi R-Sq (%)

3 Jam sebelum hujan sangat lebat

�H = 262−15 TQ + 5.44 CAP−73 VGP−0.359 V2

+ 1.41 TT + 2.25 JI 43.2

6 Jam sebelum hujan sangat lebat

CH = −35−8.92 CAP + 442 VGP−0.17 TQ + 18.9 Td


(23)

sehingga luasan wilayah dengan menggunakan data grid belum mewakili kondisi atmosfer pada luasan wilayah terjadinya hujan, maka perlu pengambilan beberapa data sounding yang mungkin dapat mewakili luasan wilayah dan kejadian atmosfer sebenarnya.

Cara lain yang mungkin dapat digunakan untuk mengantisipasi hal itu adalah asimilasi data. Asimilasi data merupakan teknik pencampuran data dari sumber berbeda dengan tujuan untuk memproduksi seperangkat data baru yang konsisten dengan keadaan atmosfer. Asimilasi data diperlukan karena sebuah model terdiri dari sejumlah persamaan matematika yang didefinisikan untuk mewakili berbagai variabel melalui proses tertentu. Asimilasi data membutuhkan parameter seperti suhu permukaan. Data tersebut akan digunakan sebagai input karena

dalam asimilasi data akan mengkombinasikan variabel-variabel pengamatan dengan hasil dari model (Subarna et al. 2008). Salah satu sistem yang telah tersedia untuk asimilasi data adalah 3DVAR dan WRF (Barker et al. 2003 dalam Subarna et al. 2008). Sistem tersebut berisi kode-kode yang dirancang untuk menjadi sebuah sistem asimilasi data yang cukup fleksibel dalam mengikuti berbagai penelitian. Diharapkan dengan asimilasi data, kinerja suatu model atmosfer akan dapat merepresentasikan proses-proses yang terjadi di atmosfer yang sesungguhnya.

Selain memprediksi kejadian hujan sangat lebat, dilakukan pula prediksi untuk mengetahui persamaan dalam menduga curah hujan ringan. Tabel 14 yang menyajikan nilai korelasi antara indeks keluaran RAOB terhadap curah hujan ringan observasi untuk 3 jam dan 6 jam sebelum kejadian hujan. Tabel 14 Koefisien korelasi (r) antara curah hujan “Ringan” dengan berbagai indeks “RAOB”

Indeks 3 jam

sebelum kejadian

6 jam sebelum kejadian

K-Index 0.61 0.52

JI - Jefferson Index 0.53 0.48

GOES HMI (Hybrid Microburst Index) 0.5 0.39

TI - Thompson Index 0.44 0.43

S-Index 0.44 0.4

Cap Strength (0C) 0.43 0.22

KO-Index 0.42 0.37

WBZ - WetBulb Zero Hgt (ft,AGL) 0.39 0.42

TQ-Index 0.29 0.26

CT - Cross Totals 0.21 0.26

LI - Lifted Index 0.21 0.09

TT - Total Totals 0.19 0.19

V2- 200 mb Wind speed (ms-1) 0.14 0.03

850 mb Dewpoint (0C) 0.14 0.29

VT - Vertical Totals 0.09 0.01

SWEAT Index 0.09 0.14

850 mb Wind speed (ms-1) 0.07 -0.02

Surface Dewpoint (0C) 0.07 0.11

srH – storm relative Helicity (Jkg-1) 0.06 0.11

700 - 500 mb lapse rate (0Ckm-1) 0.03 0.03

Boyden Index 0 0.09

EHI - Energy Helicity Index -0.01 -0.06

LFC - Level of Free Convection (m, MSL) -0.05 -0.04


(24)

Tabel 14 Lanjutan

Indeks 3 jam

sebelum kejadian

6 jam sebelum kejadian

SI - Showalter Index -0.19 -0.26

500 mb Wind speed (ms-1) -0.2 -0.2

CAPE Total (Jkg-1) -0.26 -0.14

NCAPE (Normalized CAPE) (Jkg-1) -0.28 -0.16

CAPE 0-x km, AGL (Jkg-1) -0.28 -0.06

DCAPE 0-6 km, MSL (Jkg-1) -0.28 -0.35

MDPI - Microburst Day Potential Index -0.41 -0.31

∆�����-Delta Theta-e (0C) -0.45 -0.35

Indeks RAOB yang memiliki nilai koefisien korelasi tinggi dengan 3 jam sebelum kejadian hujan ringan adalah HMI (0.5), JI (0.53) dan KI (0.61) (Tabel 14), sedangkan indeks RAOB yang memiliki nilai koefisien korelasi tinggi dengan 3 jam sebelum kejadian hujan ringan adalah KI (0.52). Nilai koefisien korelasi HMI, JI dan KI menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif dengan curah hujan tinggi, sehingga dapat diketahui bahwa semakin tingginya nilai indeks HMI, KI dan JI maka curah hujan yang terjadi akan memiliki intensitas sangat lebat.

HMI adalah indikator yang digunakan untuk menunjukkan besarnya potensi konvektif downbursts. Kondisi ini biasanya ditemukan disepanjang zona dryline yang berupa zona gradien kelembaban sangat tajam sehingga pada zona ini terjadi proses konvektif yang tinggi dan menghasilkan proses percepatan downdraft (LaPenta 1995). Semakin tinggi nilai HMI yang biasanya saat siang hari maka memberikan dampak resiko downburst yang tinggi. Selanjutnya indeks Jefferson (JI) merupakan indeks yang digunakan untuk menduga adanya potensi badai pada suatu wilayah. Nilai JI yang tinggi mengindikasikan konveksi yang tinggi pada lapisan 850 mb. Indeks K merupakan indeks yang digunakan untuk menduga adanya konveksi untuk ketinggian 850 hingga 500

mb. Nilai KI yang tinggi mengindikasikan konveksi yang tinggi pada lapisan 850 mb sampai 500 mb.

Model regresi yang dibentuk dari beberapa indikator yang berkorelasi tinggi dengan curah hujan ringan terdapat pada Tabel 15, tetapi terdapat beberapa indikator yang tidak digunakan dalam persamaan karena indikator tersebut saling berkorelasi tinggi dengan variabel bebas lainnya sehingga diduga adanya multikolinearitas dalam persamaan yang dihasilkan. Adanya multikolinearitas dapat mengurangi tingkat keakuratan persamaan yang digunakan. Multikolinearitas dapat ditunjukkan oleh nilai Faktor Inflasi Ragam (FIR) lebih besar dari 10. Kombinasi indikator-indikator yang digunakan dalam persamaan untuk menduga curah hujan ringan menghasilkan koefisien determinasi pada persamaan 3 jam kejadian hujan ringan yaitu 49.7%, dari nilai R2 tersebut terdapat sekitar 50.3% variabel lain saat 3 jam sebelum kejadian yang tidak diketahui dalam menjelaskan keragaman data curah hujan ringan. Persamaan untuk 3 dan 6 jam sebelum kejadian hujan ringan yang dihasilkan kurang memuaskan, sehingga dapat diketahui bahwa dengan menggunakan indikator-indikator dari indeks keluaran RAOB belum dapat menduga kejadian hujan ringan dengan baik.

Tabel 15 Model regresi dan nilai R-Sq curah hujan ringan

Kejadian Model Regresi R-Sq (%)

3 Jam sebelum

hujan ringan �H = −14.6−0.018 HMI + 0.890 KI + 1.33 CAP +0.0306 ∆�����−0.176 SI

49.7 6 Jam sebelum

hujan ringan �H = −16.3 + 0.896 KI + 0.010 SI−0.383 TI +0.000756 WBZ−0.183 HMI


(25)

4.2 Analisis Indeks Output RAOB untuk Kejadian Hujan Ringan dan Hujan Sangat Lebat

Persamaan yang digunakan untuk menduga curah hujan dengan intensitas sangat lebat dan ringan dapat dikatakan kurang memuaskan karena adanya perbedaan

karakteristik data (observasi dan prediksi). Selain menentukan persamaan, juga dilakukan analisis indeks keluaran RAOB untuk kejadian hujan sangat lebat dan ringan. Hasil analisis indeks output RAOB untuk curah hujan dengan intensitas sangat lebat dan ringan ditunjukkan pada Tabel 16.

Tabel 16 Kisaran indeks output RAOB 3 jam sebelum kejadian hujan ringan, dan hujan sangat lebat

Indeks Curah Hujan Sangat Lebat Curah Hujan Ringan maksimum minimum maksimum minimum

200 mb Wind speed (ms-1) 25.7 3.6 12.9 1.0

500 mb Wind speed (ms-1) 13.9 0.5 9.8 2.6

850 mb Wind speed (ms-1) 12.9 1.0 14.4 3.6

850 mb Dewpoint (0C) 15.4 13.9 15.5 13

700-500 mb lapse rate (0Ckm-1) -4.6 -5.3 -4.9 -5.3

Boyden Index 97.3 96.2 96.6 95.8

CAPE Total (Jkg-1) 3505 908 3521 780

Cross Totals 20.2 18.7 20.6 18.3

Delta Theta-e (0C) 26.4 14.8 22.7 13.8

Jefferson Index 31 27 31 28

K-Index 35.6 29.7 35.8 31.7

KO-Index -4.2 -14.9 -4.9 -12

LFC (m, MSL) 946 912 973 901

Lifted Index -1.6 -5.5 -2.9 -6

S-Index 38.2 27.4 37.3 32

Showalter Index 2.1 0.5 2.6 0.6

Surface Dewpoint (0C) 24.5 22.9 25.4 22.6

SWEAT Index 249.8 186.6 253 185.8

Thompson Index 41 33 42 36

TQ-Index 18 16 17 15

Total Totals Index 42.8 39.7 42.4 40.2

Vertical Totals 22.7 20.8 23 21.8

Mvv (ms-1) 84 43 84 40

Cap Strength (0C) 1.1 -0.8 0.9 -0.3

Vorticity Generation Parameter (ms-2) 0.205 0.076 0.237 0.073

CCL (m, MSL) 1517 1076 1553 722

LCL (m, MSL) 830 255 803 320

EHI 0.8 0 1.4 0.1

srH (Jkg-1) 130 -25 128 -21


(26)

Kisaran nilai indeks untuk masing-masing kategori kejadian menunjukan bahwa indeks kecepatan angin pada 200 mb, 500 mb dan 850 mb tergolong kondisi angin yang lemah untuk kedua kategori kejadian (3 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat dan ringan), sedangkan indeks suhu titik embun pada 850 mb cukup tinggi karena nilai indeks yang dihasilkan lebih dari 120C, maka dapat dikatakan kondisi atmosfer pada 850 mb memiliki kandungan uap air yang tinggi, sedangkan untuk indeks perubahan suhu pada ketinggian 700-500 mb tergolong sangat rendah untuk kedua kategori kejadian karena nilai perubahan suhu pada kategori tersebut kurang dari 7.50C yang berarti konveksi sangat kuat. Indeks Boyden pada kedua kategori kejadian tergolong sedang artinya kedua kejadian berpotensi untuk terjadi badai. CAPE Total tergolong lemah sampai dengan sangat kuat untuk kedua kategori kejadian, yang berarti saat itu terjadi konveksi sangat kuat. Indeks Cross Totals yang dihasilkan menunjukkan adanya perkembangan badai dengan kriteria sedang untuk tiap kategori kejadian. Theta-e menunjukkan potensi konveksi atau terkait dengan pendinginan yang cepat terhadap peningkatan ketinggian. Nilai indeks Theta-e tergolong tinggi untuk tiap kategori kejadian. Indeks Theta-e selaras dengan indeks perubahan suhu terhadap ketinggian 700-500 mb yang memiliki perubahan suhu sangat rendah setiap kenaikan ketinggian, sehingga peluang terjadi konveksi sangat tinggi, yang mengakibatkan awan terbentuk akan tinggi karena parsel udara yang diangkat harus lebih tinggi untuk mencapai kondisi jenuh (suhu lingkungan = suhu parsel udara).

Indeks Jefferson menunjukkan potensi badai suatu wilayah dan indeks K menunjukkan terjadinya konveksi di atmosfer. Kedua indeks ini tergolong sedang untuk kedua kategori kejadian, yang berarti pada kedua kategori kejadian tersebut berpotensi terjadi badai dan konveksi yang sedang. Indeks KO menyatakan potensi terjadinya konveksi suatu atmosfer. Kondisi normal untuk indeks KO berkisar pada nilai 2 hingga 6, sedangkan pada hasil yang didapat, nilai KO jauh berada dibawah kisaran normal tersebut, sehingga dapat dinyatakan bahwa nilai KO pada hasil yang didapat tidak mendukung kondisi curah hujan dengan intensitas sangat lebat. LFC menunjukkan ketinggian dasar awan. Kedua kategori kejadian memiliki nilai lebih tinggi dari kisaran normal (640-750 m). Tinggi dasar

awan melebihi keadaan normal karena suhu parsel udara dalam kondisi suhu yang sangat tinggi tetapi kondisi tidak lembab atau suhu titik embun yang rendah sehingga suhu parsel perlu diangkat sedikit lebih tinggi agar terjadi kondensasi.

CCL merupakan level parsel udara yang mendapatkan pemanasan hingga mencapai kondensasi pada level ini. Hasil menunjukkan bahwa nilai CCL paling tinggi pada kejadian hujan ringan. Nilai CCL yang semakin tinggi pada suatu kejadian menunjukkan semakin tingginya dasar awan yang akan menyebabkan curahan yang jatuh dapat menempuh jarak yang cukup jauh ke permukaan. Jauhnya jarak yang ditempuh partikel ke permukaan akan dipengaruhi oleh pergerakan udara ke atas, hal ini akan memberikan peluang yang besar untuk terjadinya pengangkatan kembali (untuk partikel yang kecil) jika kecepatan partikel air yang jatuh tidak lebih besar dari massa udara yang naik. LCL merupakan lapisan parsel udara saat mengalami kejenuhan. Nilai LCL yang dihasilkan untuk curah hujan sangat lebat dan ringan memiliki ketinggian yang tergolong rendah yaitu mencapai 255 m dan 320 m.

LI menunjukkan indeks ketidakstabilan atmosfer pada ketinggian 500 mb, untuk kejadian hujan ringan memiliki nilai LI sangat rendah mencapai -6 yang menunjukkan kondisi atmosfer sangat tidak stabil. SI merupakan indeks yang menunjukkan potensi badai suatu wilayah, untuk setiap kategori kejadian bernilai kurang dari 39 yang berarti tidak adanya peluang badai sebesar 89%. Indeks ini berbeda dengan apa yang telah ditentukan oleh beberapa indeks lainnya yang menunjukkan bahwa terjadi badai konveksi pada kedua kategori kejadian. Perbedaan ini terjadi karena ambang batas dan variabel yang digunakan dalam perhitungan kriteria badai konveksi dari tiap indeks berbeda-beda.

Indeks SWEAT menunjukkan potensi cuaca buruk suatu wilayah yang ditunjukkan dengan kondisi tidak stabil akibat konveksi. Kedua kejadian menunjukkan kemungkinan cuaca sedikit buruk dan nilai ini akan terus bertambah pada saat hujan itu terjadi yang mengindikasikan cuaca akan semakin memburuk. Indeks lain yaitu indeks Showalter yang menyatakan stabilitas atmosfer. Nilai untuk kedua kategori kejadian menunjukkan adanya kondisi stabil, tetapi nilai LI sebelumnya menunjukkan kondisi tidak stabil, hal ini menunjukkan bahwa setelah lapisan Planetary Boundary Layer (PBL) dalam kondisi stabil karena ada pengaruh dari Cap


(27)

Strength yang merupakan lapisan dengan kondisi stabil, sedangkan kondisi di bawah PBL dalam kondisi tidak stabil.

Indeks suhu titik embun di permukaan menggambarkan kelembaban suatu permukaan. Kedua kategori kejadian memiliki kondisi yang sangat lembab karena memiliki nilai indeks lebih besar dari 180C. Indeks Thompson menunjukkan tingkat keparahan badai suatu wilayah. Nilai Thompson yang dihasilkan untuk kedua kategori kejadian lebih besar dari 34 yang berarti potensi badai untuk kedua kategori kejadian mendekati parah. Indeks TQ merupakan indikator untuk mengetahui adanya konveksi di atmosfer. Pada kondisi normal, nilai TQ berkisar 12 sampai 17, sedangkan nilai indeks yang dihasilkan untuk kejadian hujan ringan dan hujan sangat lebat hampir sama yaitu menunjukkan adanya potensi konveksi yang sedang sampai dengan tinggi. Total Totals (TT) merupakan indeks yang menunjukkan perkembangan badai dengan ditunjukkan pada perubahan suhu antara 850 sampai dengan 500 mb serta kelembaban pada ketinggian 850 mb. Hasil yang didapat menunjukkan semua kategori kejadian tidak mengalami adanya konveksi, yang berarti perkembangan badai tidak terjadi karena nilai indeks untuk kedua kategori kejadian kurang dari 44, tetapi studi badai yang telah dilakukan oleh Miller (1972) dalam LaPenta (1995) menunjukkan bahwa nilai indeks TT kurang dari 44 dapat

menyebabkan badai, sehingga dapat diketahui penggunaan indeks TT tidak baik untuk menggambarkan kondisi atmosfer pada suatu wilayah.

Indeks Vertical Totals yang dihasilkan menunjukkan bahwa kondisi atmosfer berpotensi konveksi dan badai untuk kedua kategori kejadian. Mvv (Maximum Vertical Velocity) merupakan kecepatan maksimum naiknya parsel udara sehingga semakin tinggi nilai ini maka proses terbentuknya awan akan semakin cepat. Nilai Mvv yang dihasilkan untuk kedua kategori kejadian menunjukkan nilai yang kuat sampai dengan ekstrim.

Rentang nilai Cap Strength yang didapat semakin membesar pada kejadian hujan sangat lebat, tetapi untuk kedua kategori kejadian masih bernilai kurang dari 2 artinya kedua kategori kejadian masih mengalami pengangkatan yang tinggi karena tidak kuatnya penetrasi konveksi yang terjadi, sedangkan nilai VGP yang dihasilkan masih terlihat kecil untuk kedua kategori kejadian yang berarti bahwa pada kedua kategori kejadian belum tentu terjadinya badai walaupun pada saat penentuan koefisien korelasi antara nilai VGP dengan curah hujan sangat lebat menghasilkan korelasi positif yang tinggi. Hal ini menunjukkan diperlukan kajian variabel lain yang terkait dengan kejadian badai seperti adanya pengaruh dari angin monsun, dikarenakan topografi wilayah yang berada di pesisir pantai.

Tabel 17 Kisaran indeks output RAOB 6 jam sebelum kejadian hujan ringan dan hujan sangat lebat

Indeks Curah Hujan Sangat Lebat Curah Hujan Ringan maksimum minimum maksimum minimum

200 mb Wind speed (ms-1) 17.0 2.6 12.3 1.0

500 mb Wind speed (ms-1) 12.3 1.5 9.8 3.6

850 mb Wind speed (ms-1) 13.4 2.1 14.4 3.1

850 mb Dewpoint (0C) 15.8 13.8 15.8 12.8

700-500 mb lapse rate (0Ckm-1) -4.5 -5.4 -5 -5.4

Boyden Index 97 95.7 96.6 95.6

CAPE Total (Jkg-1) 1922 611 2758 216

Cross Totals 21.1 17.7 21.2 17.7

Delta Theta-e (0C) 25.7 12.7 20.3 8

Jefferson Index 32 27 32 27

K-Index 36.2 29.1 37.2 30.3

KO-Index -3.6 -12.1 -3.2 -9.9

LFC (m, MSL) 925 883 969 827

Lifted Index -1.7 -3.5 -1.1 -4.9


(28)

Tabel 17 Lanjutan

Indeks Curah Hujan Sangat Lebat Curah Hujan Ringan maksimum minimum maksimum minimum

Showalter Index 3 -0.3 3.3 -0.1

Surface Dewpoint (0C) 24 22.4 24.7 21.8

SWEAT Index 245.2 182.6 248.6 193.8

Thompson Index 40 32 41 33

TQ-Index 18 16 18 14

Total Totals Index 44 39.2 43.4 39.5

Vertical Totals 23.1 21.3 22.5 21.7

Mvv (ms-1) 62 35 74 24

Cap Strength (0C) 1.9 0.3 2.3 -0.2

Vorticity Generation Parameter (ms-2) 0.134 0.041 0.198 0.04

CCL (m, MSL) 1571 1083 1832 799

LCL (m, MSL) 752 91 686 204

EHI 0.3 0 0.8 0

srH (Jkg-1) 138 -9 113 -4

DCAPE (Jkg-1) 834 158 422 108

Indeks keluaran RAOB yang ditunjukkan Tabel 17 menghasilkan indeks kecepatan angin pada 200 mb yang tergolong ringan atau kecepatan angin yang lemah untuk kedua kategori kejadian dikarenakan masih dibawah kategori sedang yaitu 28.3 ms-1. Hal yang sama dinyatakan pada indeks kecepatan angin 500 mb karena nilai kecepatan angin dengan ketinggian tersebut berada dibawah 18 ms-1.

Indeks kecepatan angin 850 mb tergolong sedang untuk kejadian hujan sangat lebat dan ringan karena nilai indeks yang dihasilkan berkisar 12.9-18 ms-1. Indeks berikut yaitu suhu titik embun yang menunjukkan kandungan uap air pada ketinggian 850 mb. Nilai indeks suhu titik embun yang dihasilkan untuk kedua kategori kejadian lebih dari 120C, yang berarti kedua kategori kejadian memiliki kondisi atmosfer dengan kandungan uap air cukup tinggi, tetapi kecenderungan nilainya menurun untuk 3 jam selanjutnya.

Indeks perubahan suhu pada ketinggian 700-500 mb tergolong sangat rendah ekstrim untuk kedua kategori kejadian karena nilai yang dihasilkan untuk indeks ini kurang dari 7.50C yang artinya konveksi terjadi sangat kuat untuk kedua kategori kejadian. Indeks Boyden menghasilkan kriteria badai yang sedang untuk kedua kategori kejadian hujan karena nilai indeks yang dihasilkan masih berkisar pada nilai 94-99. Nilai CAPE Total tergolong lemah sampai dengan sangat kuat untuk kedua kategori kejadian. Nilai CAPE Total ini meningkat dari 6 jam sebelum ke 3

jam sebelum terjadinya hujan karena nilai CAPE dipengaruhi oleh intensitas radiasi yang sampai ke bumi. Nilai Cross Totals yang dihasilkan menunjukkan perkembangan badai yang tergolong sedang untuk kedua kategori kejadian hujan karena nilai indeks masih berkisar antara 18 sampai 25. Pada indeks Theta-e terlihat adanya peningkatan dari 6 jam sebelum ke 3 jam sebelum kejadian hujan. Nilai indeks Theta-e yang dihasilkan tergolong tinggi yang berarti kedua kategori kejadian hujan berpotensi untuk terjadinya badai.

Indeks Jefferson menunjukkan potensi badai suatu wilayah, dari hasil yang didapat menunjukkan adanya potensi badai tergolong sedang untuk kedua kategori kejadian hujan. Nilai KI yang dihasilkan untuk kedua kategori kejadian hujan menunjukkan adanya potensi konveksi yang sedang, sedangkan untuk nilai indeks KO menunjukkan potensi konveksi tergolong sangat rendah ekstrim karena nilai indeks KO yang didapat kurang dari 2.

Nilai LFC yang dihasilkan untuk kedua kategori kejadian hujan terjadi peningkatan dari 6 jam sebelum ke 3 jam sebelum kejadian hujan dikarenakan semakin beranjak pada waktu 6 UTC maka suhu permukaan akan semakin tinggi dari sebelumnya saat suhu radiasi maksimum (3 UTC). Semakin tingginya suhu permukaan menyebabkan suhu parsel udara yang tinggi sehingga parsel udara akan terangkat ke ketinggian lebih tinggi agar suhu parsel udara sama dengan suhu titik


(29)

embun. LFC merupakan ketinggian dasar awan saat suhu titik embun sama dengan suhu parsel apabila mengikuti suhu konveksi. Pada ketinggian tersebut parsel udara akan naik dengan sendirinya tanpa ada gaya dari luar. Nilai LFC yang dihasilkan untuk kedua kategori kejadian memiliki nilai yang tinggi yaitu lebih dari 750 m. Apabila dibandingkan antara nilai LFC untuk kejadian hujan sangat lebat dengan hujan ringan maka nilai LFC untuk kejadian hujan sangat lebat lebih rendah, sehingga dapat diketahui bahwa dengan semakin rendahnya ketinggian dasar awan dapat mengakibatkan hujan yang lebat (Kim dan Lee 2005).

Secara umum hampir sama pada penjelasan sebelumnya, tetapi apabila dilihat dari perubahan nilai dari waktu 6 ke 3 jam sebelum kejadian maka untuk curah hujan sangat lebat dan ringan terjadi penurunan nilai CCL, hal ini dikarenakan nilai CCL dipengaruhi pengangkatan suhu konveksi, apabila semakin tinggi radiasi yang diterima permukaan maka akan semakin kecil suhu parsel untuk menjadi suhu konveksi, dengan kecilnya suhu konveksi maka akan menjadi kecil selisihnya dengan suhu titik embun yang menyebabkan ketinggian dasar awan akan semakin menurun.

Hal berbeda ditunjukkan pada nilai LCL yang merupakan ketinggian dasar awan dengan kelembaban mencapai 100%. Nilai LCL untuk kejadian hujan ringan dan hujan sangat lebat terjadi kenaikan dari 6 jam menuju 3 jam sebelum kejadian hujan dikarenakan saat 3 jam sebelum kejadian hujan terjadi peningkatan suhu parsel udara sehingga selisih suhu parsel dengan suhu titik embun saat 3 jam sebelum kejadian hujan lebih besar (terjadi peningkatan) dari pada selisih suhu parsel udara dengan suhu titik embun saat 6 jam sebelum kejadian hujan.

Nilai LI menunjukkan indeks ketidakstabilan armosfer dan mengindikasikan adanya thunderstorm, terlihat adanya penurunan nilai dari 6 jam ke 3 jam sebelum kejadian, hal ini menunjukkan semakin tingginya radiasi yang dipancarkan maka akan memungkinkan kondisi semakin tidak stabil. Nilai SI yang dihasilkan untuk setiap kategori kejadian hujan menunjukkan tidak adanya peluang badai sebesar 89%.

Indeks SWEAT untuk kedua kategori kejadian hujan menunjukkan kemungkinan cuaca sedikit buruk. Indeks lain yaitu indeks Showalter yang menyatakan bahwa kejadian hujan sangat lebat dan ringan menunjukkan adanya ketidakstabilan atmosfer. Nilai indeks

suhu titik embun di permukaan terjadi peningkatan karena semakin menuju waktu 6 UTC suhu lingkungan cenderung mencapai suhu maksimum yang cenderung mempengaruhi suhu titik embun. Nilai kondisi normal suhu titik embun memiliki rentang 13-180C sehingga dapat dikatakan bahwa untuk kedua kategori kejadian memiliki kondisi yang lembab karena nilai indeks suhu titik embun yang didapat lebih besar dari 180C.

Nilai indeks Thompson yang didapat dari hasil analisis menunjukkan adanya kenaikan pada kejadian hujan sangat lebat dan hujan ringan, sedangkan nilai untuk kedua kejadian lebih besar dari 34 yang berarti pada kedua kejadian terjadi badai. Indeks TQ merupakan indikator untuk mengetahui adanya konveksi. Nilai indeks TQ yang dihasilkan untuk hujan ringan dan hujan sangat lebat hampir sama yaitu menunjukkan potensi konveksi yang sedang sampai tinggi. Nilai Total Totals pada 6 jam sebelum kejadian lebih kecil dari 3 jam sebelum kejadian, tetapi semua kategori kejadian tidak menunjukkan adanya konveksi, yang berarti perkembangan badai tidak terjadi karena nilai indeks untuk kedua kategori kejadian hujan kurang dari 44. Nilai indeks Vertical Totals yang dihasilkan menunjukkan adanya potensi konveksi dan badai yang tersebar untuk kedua kategori kejadian. Nilai Mvv untuk kedua kategori kejadian menunjukkan nilai Mvv yang sedang sampai dengan sangat kuat. Selain itu, terlihat adanya peningkatan nilai dari 6 jam menuju 3 jam sebelum kejadian hujan dikarenakan adanya pengaruh pemanasan permukaan yang terjadi semakin tinggi menyebabkan udara semakin tidak stabil dan proses naiknya massa udara akan semakin cepat. Indeks yang terakhir yaitu Cap Strength dan VGP. Nilai Cap Strength semakin membesar dari 6 jam ke 3 jam sebelum kejadian, nilai indeks ini tinggi (>20C) pada kejadian hujan ringan, sedangkan untuk nilai VGP yang didapat tidak menunjukkan adanya badai untuk kedua kategori kejadian hujan.

Secara umum, indeks yang dihasilkan dari kedua kategori kejadian relatif memiliki kecenderungan rentang nilai indeks tidak terlalu berbeda, hanya nilai maksimum yang dicapai oleh masing-masing indeks untuk tiap kategori kejadian yang dapat membedakannya, walaupun ada beberapa indeks yang berbeda dalam mengkategorikan potensi konveksi di atmosfer dan badai pada daerah pengamatan. Hal ini menjelaskan kembali bahwa indeks yang dihasilkan belum dapat menggambarkan kondisi apa yang akan


(30)

terjadi di atmosfer sehingga perlu adanya analisis terhadap variabel atmosfer lainnya dan komponen-komponen stabilitas non lokal untuk tiap-tiap kejadian.

Perbedaan kondisi atmosfer saat hujan ringan dengan hujan sangat lebat dapat dilihat

dari nilai-nilai maksimum indeks RAOB yang dihasilkan oleh kedua kejadian, selain itu dapat juga dilihat dari nilai medianya (Tabel 18). Nilai median dipilih karena lebih relevan dan mewakili populasi observasi yang ada.

Tabel 18 Nilai median indeks output RAOB untuk 3 jam dan 6 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat dan ringan

Indeks

3 jam sebelum kejadian 6 jam sebelum kejadian Curah Hujan

Sangat Lebat

Curah Hujan Ringan

Curah Hujan Sangat Lebat

Curah Hujan Ringan

200 mb Wind speed (ms-1) 17 14 18 15

500 mb Wind speed (ms-1) 8 12 11 13

850 mb Wind speed (ms-1) 6 16 6 18

850 mb Dewpoint (0C) 14.8 14.4 14.4 15.1

700-500 mb lapse rate (0

Ckm-1) -4.9 -5.2 -5 -5.2

Boyden Index 96.4 96.1 96.4 96.2

CAPE Total (Jkg-1) 2135 2070 1223 927

Cross Totals 19.2 19.4 19.1 20.1

Delta Theta-e (0C) 22.2 19.3 15.4 13.4

Jefferson Index 30 30 30 31

K-Index 34.1 34.2 34.6 35.1

KO-Index -10.1 -9.3 -9.8 -6.2

LFC (m, MSL) 928 940 911 932

Lifted Index -3.6 -4.2 -2.6 -2.4

S-Index 33.1 34.8 33.4 37.9

Showalter Index 1.9 1.5 1.8 0.6

Surface Dewpoint (0C) 23.7 23.8 23.4 22.7

SWEAT Index 199 210.8 202.6 221.2

Thompson Index 37 37 37 37

TQ-Index 17 16 17 17

Total Totals Index 40.8 41.7 40.8 42.6

Vertical Totals 21.6 22 21.6 22.3

Mvv (ms-1) 65 64 50 43

Cap Strength (0C) -0.2 0.2 1 0.8

VGP (ms-2) 0.125 0.141 0.087 0.112

CCL (m, MSL) 1171 1095 1295 1196

LCL (m, MSL) 586 517 363 358

EHI 0.1 0.2 0 0.1

srH (Jkg-1) 19 34 8 30


(31)

Perbedaan antara curah hujan sangat lebat dengan hujan ringan terlihat pada nilai CAPE Total (Tabel 18) dikarenakan semakin besar CAPE Total maka akan menghasilkan volume awan yang tinggi. Nilai CAPE Total untuk curah hujan sangat lebat (2135 Jkg-1) lebih besar dari curah hujan ringan (2070 Jkg-1), sehingga dengan semakin tingginya CAPE Total dapat menghasilkan volume awan yang tinggi dan berpotensi untuk terjadi hujan dengan intensitas sangat lebat. Indeks lain yang terlihat berbeda yaitu pada indeks DCAPE yang dihasilkan oleh kedua kejadian, sedangkan untuk indeks keluaran RAOB lainnya memiliki nilai yang tidak terlalu berbeda untuk curah hujan lebat dan ringan. Nilai DCAPE (Downburst CAPE) merupakan energi yang dimiliki massa udara untuk luruh secara vertikal ke bawah. Pada kejadian hujan sangat lebat memiliki nilai DCAPE lebih

tinggi dari pada kejadian hujan ringan yaitu nilai DCAPE untuk hujan sangat lebat mencapai 460 Jkg-1 dan untuk hujan ringan mencapai 289 Jkg-1, yang berarti bahwa semakin tinggi gaya ke bawah suatu massa udara akan berdampak pada semakin cepat turunnya massa udara yang membawa partikel air ke permukaan bumi.

4.3 Analisis Indeks Output RAOB untuk Kejadian Tidak Hujan

Hasil yang didapat dari indeks keluaran RAOB untuk hujan sangat lebat dan ringan menunjukkan bahwa kedua kejadian tersebut memiliki karakteristik kondisi atmosfer yang relatif sama. Selain menganalisis hujan sangat lebat dan ringan, indeks keluaran RAOB juga digunakan untuk mengetahui kondisi atmosfer saat tidak hujan.

Tabel 19 Nilai median indeks output RAOB untuk kejadian tidak hujan

Indeks 06 UTC 03 UTC

200 mb Wind speed (ms-1) 21 24

500 mb Wind speed (ms-1) 9 8.5

850 mb Wind speed (ms-1) 10.5 6.5

850 mb Dewpoint (0C) 14.5 14.15

700-500 mb lapse rate (0Ckm-1) -5 -4.95

Boyden Index 96.6 96.1

CAPE Total (Jkg-1) 2620.5 2101.5

Cross Totals 19.15 18.65

Delta Theta-e (0C) 24.6 24.3

Jefferson Index 29 27

K-Index 32.7 30.45

KO-Index -12.1 -9.8

LFC (m, MSL) 926.5 923.5

Lifted Index -4 -3.15

S-Index 30.6 31.3

Showalter Index 1.6 2.15

Surface Dewpoint (0C) 23.9 23.5

SWEAT Index 200.3 190.9

Thompson Index 37 34.5

TQ-Index 16 15

Total Totals Index 40.75 40.45

Vertical Totals 21.6 21.7


(1)

6 jam sebelum kejadian hujan ringan Waktu Kejadian (UTC)/Lokasi TPW (mm) VV5 (m/s) VV7 (m/s) VV8 (m/s) Ketinggian Stabilitas Atmosfer dengan Ri

(m)

Ketinggian Stabilitas Atmosfer

dengan Θv (m)

Ketinggian Stabilitas Atmosfer dengan s

(m)

Mixing Ratio RH0 (%) RH5 (%) RH8 (%)

00/Sleman 0.72 10.46 7.4 3.54 s s s 0.1-17.76 96 94 94

00/Sleman 0.7 10.76 7.11 3.84 s s s 0.11-17.98 96 95 89

00/Boyolali 0.64 6.84 6.48 5.7 s s s 0.14-16.82 81 90 81

03/Boyolali 0.71 15.81 11.28 7.14 ts 161, 314 s 1015 ts 161 0.11-19.53 83 81 86

03/Kunthi 0.65 11.9 9.02 5.07 ts 122, 336 s 796 ts 122 0.12-17.45 82 93 84

00/Kunthi 0.69 10.29 8.06 3.92 s s s 0.11-17.89 95 85 89

03/Todanan 0.72 16.01 11.26 8.94 ts 75, 84 s 1006 ts 75 0.12-19.96 88 86 93

00/Todanan 0.63 10.45 8.34 4.93 s s s 0.13-18.44 94 78 79

03/Kulon Progo 0.62 11.25 8.39 6.27 ts 328, 556 s 1026 ts 328 0.12-17.58 77 67 77

Median 0.69 10.76 8.34 5.07 1010.5 88 86 86

3 jam sebelum kejadian hujan ringan Waktu Kejadian (UTC)/Lokasi TPW (mm) VV5 (m/s) VV7 (m/s) VV8 (m/s) Ketinggian Stabilitas Atmosfer dengan Ri

(m)

Ketinggian Stabilitas Atmosfer

dengan Θv (m)

Ketinggian Stabilitas Atmosfer dengan s

(m)

Mixing Ratio RH0 (%) RH5 (%) RH8 (%)

03/Sleman 0.71 13.03 9.49 7.09 s s s 0.06-18.88 92 83 89

03/Sleman 0.71 14.44 10.38 8.03 ts 191, 299 s 997 ts 191 0.12-19.16 90 86 90


(2)

Lampiran 3 Lanjutan Waktu Kejadian (UTC)/Lokasi TPW (mm) VV5 (m/s) VV7 (m/s) VV8 (m/s) Ketinggian Stabilitas Atmosfer dengan Ri

(m)

Ketinggian Stabilitas Atmosfer

dengan Θv (m)

Ketinggian Stabilitas Atmosfer dengan s

(m)

Mixing

Ratio RH0 (%) RH5 (%) RH8 (%)

06/Boyolali 0.73 15.58 11.85 7.46 ts 161, 297 s 999 ts 161 0.13-19.82 82 78 86

06/Kunthi 0.61 12.25 8.41 4.33 s s s 0.14-17.56 85 98 77

03/Kunthi 0.67 14.87 11.41 8.07 ts 195, 303 s 1002 ts 195 0.11-19.4 86 66 84

06/Todanan 0.73 17.84 12.94 10.21 ts 75, 299 s 998 ts 75 0.13-20.86 89 89 93

03/Todanan 0.65 14.76 10.76 7.62 ts 75, s 102, ts 326,

555 s 1025 ts 75, s 102, ts 326 0.13-18.84 79 85 78

06/Kulon Progo 0.65 15.01 11.09 7.83 ts 338, 566 s 1037 ts 338 0.14-18.47 77 71 80


(3)

Boyolali (18 Januari 2009) waktu 21 UTC atau 6 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat


(4)

Lampiran 4 Lanjutan

Boyolali (19 Januari 2009) waktu 00 UTC atau 3 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat


(5)

Boyolali (5 Februari 2009) waktu 00 UTC atau 6 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat


(6)

Lampiran 4 Lanjutan

Boyolali (5 Februari 2009) waktu 03 UTC atau 3 jam sebelum kejadian hujan sangat lebat