Konstruksi Ancaman dan Peran Identitas dalam Membentuk Persepsi Amerika Serikat terhadap Gerakan Politik Islam “Jabhat al-Nusra”

4.2. Peran Identitas terhadap Persepsi Amerika Serikat dalam Memandang Gerakan Politik Islam “Jabhat al-Nusra”

Identitas adalah ciri-ciri yang diakui seseorang untuk mendefenisikan dirinya, ketika dimiliki juga oleh orang lain, maka dapat mendefenisikan kelompok. Setiap individu memiliki banyak identitas. Setiap identitas menyiratkan satu set kepentingan politik. Individu-individu yang memiliki identitas yang sama memiliki identitas kolektif. Warga negara Amerika, misalnya, memiliki identitas nasional yang sama, selanjutnya melahirkan kepentingan bersama untuk menjamin kelangsungan hidup dan keamanan Amerika Serikat; selama Perang Dingin, mereka menganggap Uni Soviet sebagai musuh

bersama. 38 Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin yang ditandai oleh keruntuhan Uni Soviet, Islam telah menggantikan posisi Komunisme sebagai ancaman strategis yang

menentukan di masa pasca-Perang Dingin.

38 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Op.Cit, hal. 826-827

Identitas kolektif yang lahir dari kepentingan bersama sebenarnya sangat beragam bentuknya yang selanjutnya disebut sebagai memiliki identitas ganda, selama hampir sepanjang tiga abad lalu orang memandang kewarganegaraan sebagai identitas politik utama mereka, dan loyalitas terkuat diberikan kepada negara. Namun, dari waktu ke waktu dominasi identitas nasional dalam politik global telah ditantang. Dalam beberapa dekade terakhir, ketika dominasi negara dalam politik global surut, identitas-identitas lainnya baik yang lama maupun baru tampil kedepan. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan kebangkitan identitas non-negara saat ini adalah menurunnya arti penting wilayah sebagai sumber kekuasaan dan kemakmuran dan proliferasi jaringan komunikasi global yang memungkinkan orang betapa pun jauhnya secara geografis untuk berkomunikasi hampir seketika. 39

Hari ini, fundamentalisme agama – kepercayaan pada pemerintahan yang diatur dogma agama – mewarnai Islam, tantangan transnasional paling nyata yang ditimbulkan oleh identitas agama adalah penyebaran fundamentalisme Islam. Meskipun, para anggota pergerakan Islam menolak disebut fundamentalis atau bahkan sebutan radikal itu sendiri, karena dalam pandangannya nilai dan norma Islam membentuk sebuah kesatuan diri doktrin Islam. Joel Beinin dan Joe Stork sendiri mengungkapkan bahwa istilah fundamentalisme tidak sesuai untuk gerakan politik Islam, mengingat istilah ini berasal dari gerakan Kristen Protestan pada awal abad ke-20 untuk meyakinkan bahwa Injil merupakan firman Tuhan, sedangkan gerakan politik Islam tidak ada satu pun yang menyangsikan bahwa Al- Qur’an sebagai kumpulan firman Tuhan.

Salah satu fakta terkini yang dapat kita lihat adalah kasus tentang kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah dalam bentuk bermunculannya berbagai macam kelompok-kelompok militant Islam yang berjuang untuk menegakkan kembali kekhilafahan Islam. Perjuangan yang mereka lakukan mendapat perhatian global utamanya Amerika Serikat, yang selanjutnya memasukkan kelompok Jabhat al-Nusra kedalam list kelompok teroisme.

Analisa yang dapat dikembangkan dalam melihat kasus kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah dan persepsi Amerika Serikat terhadap kebangkitan tersebut, menurut sudut pandang kaum konstruktivisme akan sangat ditentukan oleh identitas yang dimiliki oleh kedua entitas tersebut yang selanjutnya akan melahirkan kepentingan yang berbeda. Identitas dan kepentingan tersebut diproduksi oleh ide-ide dan norma-norma kolektif. Sebagian besar sarjana dan para intelektual memahami bahwa identitas kolektif merupakan sebuah konstruksi sosial, bukan perkara yang bersifat given .

Dalam konteks pergolakan yang terjadi di Suriah, analisa yang dapat dikembangkan dengan mengacu kepada asumsi yang dikembangkan oleh kaum konstruktivisme terlebih dahulu diarahkan kepada kondisi domestik yang terjadi di Suriah dimana terdapat dua buah identitas yang saling bersaing antara penguasa di bawah pimpinan Bashar al-Assad dengan pihak kelompok oposisi yang melakukan perlawanan di Suriah. Penguasa mengidentifikasikan diri mereka dengan kelompok Syiah, baik Syiah Alawy ataupun Nusairiyah yang direpresentasikan oleh Bashar al-Assad yang memang merupakan sosok penganut ajaran Syiah, sementara disisi lain pihak oposisi yang berasal dari kalangan militant Islam mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok Ahlus Sunnah (Sunni).

39 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Ibid, hal. 826-829

Kepemimpinan Bashar al-Assad yang berasal dari kaum Syiah Nusairiyah dinilai diktator dan otoriter.

Identitas Islam yang semakin menguat dikalangan kelompok oposisi pejuang di Suriah, oleh Amerika Serikat disebut sebagai ekstremisme Islam. Label ekstremisme Islam tersebut disematkan kepada mereka karena agenda politik yang diusungnya untuk menegakkan kembali Khilafah Islam. Konsep Khilafah sendiri merupakan sebuah konsep pemerintahan Islam yang sangat menentang demokrasi Barat. Berkaitan dengan hal inilah, maka Amerika Serikat meresponnya sebagai suatu bentuk ancaman.

Fenomena kebangkitan gerakan politik Islam dalam bentuk kemunculan Jabhat al- Nusra dan Deklarasi Brigade Koalisi Pendukung Khilafah yang dilakukan bersama sejumlah kelompok pejuang Islam inilah yang dipandang oleh Amerika Serikat sebagai sebuah ancaman dengan dasar identitas yang dimilikinya. Identitas yang dimiliki oleh Amerika Serikat adalah identitas sebagai bangsa Amerika yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang berupa kebebasan dan penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia. Demokrasi telah menjadi nilai-nilai bersama yang membentuk karakter dan identitas dari masyarakat Amerika Serikat. Sebagai sebuah nilai yang telah dianut bersama oleh masyarakat Amerika Serikat, maka salah satu hal yang selalu ada dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat adalah semangat untuk “menerapkan demokrasi di luar negeri sebagai cara untuk menjaga ke 40 amanan nasional”.

Identitas sebagai bangsa Amerika yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi inilah yang mengalami benturan kepentingan dengan identitas Islam yang dimiliki oleh para kelompok pergerakan politik Islam semacam Jabhat al-Nusra yang ada di Suriah. Sebagai sebuah bangsa besar Amerika Serikat sangat menjunjung tinggi kebebasan dan penghormatan terhadap hak azasi manusia. Sementara disisi yang lain, identitas Islam yang dimiliki oleh para gerakan politik Islam menunjukkan adanya tuntutan dan dukungan yang aktif terhadap keyakinan, preskripsi, dan hukum-hukum yang berasal dari karakter dan identitas Islam, terlebih lagi keinginan mereka untuk memperjuangkan penegakan Khilafah Islam, dimana kekhilafahan Islam dimaknai sebagai sebuah sistem pemerintahan dan kenegaraan Islam dan sangat menentang demokrasi, sebagaimana yang diperjuangkan oleh Jabhat al-Nusra.

Dalam pandangan kaum konstruktivisme, identitas sangat mempengaruhi persepsi tentang “realitas”. Oleh karena itu, pandangan seseorang tentang realitas sangat

bergantung pada identitas seseorang, selanjutnya identitas itu akan membentuk sebuah kepentingan. Identitas dan kepentingan tersebut diproduksi oleh ide-ide dan norma-norma kolektif. Berdasarkan hal ini, maka persepsi ancaman Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam sangat ditentukan oleh identitas yang dimiliki oleh Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang didalamnya ada unsur kebebasan dan penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia, nilai-nilai inilah yang hidup ditengah-tengah masyarakat Amerika Serikat dan juga melekat dalam pencitraan Amerika Serikat secara global.

Pondasi masyarakat Amerika juga ditopang oleh aspek-aspek tradisi liberal Amerika, yang menganut paham pemisahan gereja dari negara serta kecilnya peran yang dimainkan agama dalam pembentukan identitas sebuah masyarakat sekular. Pemisahan ini

40 Fawaz A. Gerges, ibid, hal. 6. Lihat juga dalam Tony Smith, America’s Mission : The United States and the Worldwide Struggle for Democracy in the 20 th Century (Princeton, NJ : Princeton University Press,

1994) hal. 348 1994) hal. 348

sebagai sebuah perkara yang mengancam identitas Amerika Serikat. Berdasarkan pada pemaparan yang disampaikan sebelumnya dapat kita pahami bahwa faktor identitas sangat mempengaruhi alasan dibalik persepsi ancaman Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah. Identitas tersebut membentuk batas-batas kelompok yang membedakannya dengan identitas lainnya yang dimiliki oleh para kelompok gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah, implikasi dari perbedaan identitas tersebut mengarah pada terbentuknya kepentingan yang berbeda dimana gerakan politik Islam di Suriah menginginkan sebuah agenda penegakan negara Islam dalam sebuah wadah yang mereka sebut sebagai Khilafah Islam, yang selanjutnya memberikan tantangan terhadap nilai, norma dan peradaban Barat semacam demokrasi, penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia dan kebebasan.

Sementara disisi lain, Identitas yang dimiliki oleh Amerika Serikat membentuk sebuah kepentingan untuk menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah dalam bentuk terciptanya suatu proses perubahan yang teratur melalui mekanisme demokratisasi yang akan membawa negara-negara di kawasan Timur Tengah termasuk Suriah, menuju pada suatu perubahan dari rezim yang otoriter menuju pada sebuah rezim yang demokratis, tentunya dengan tetap mempertahankan mekanisme-mekanisme yang bersifat konstitusional. Oleh sebab itu, Amerika Serikat mengupayakan untuk menolong rezim- rezim bersahabat Timur Tengah dalam upaya untuk mengawal proses transisi menuju demokratisasi serta menghadapi perkembangan ancaman ekstremisme dari kelompok militan Islam yang dapat berujung pada terorisme internasional maupun domestik di kawasan Timur Tengah dan juga Suriah.