Dalam Bidang Sosial
1. Dalam Bidang Sosial
Dalam Bidang Sosial pada pembahasan perkembangan industri batik Tirtomoyo pada tahun 1960-1965, desa Tirtomoyo telah membentuk masyarakat yang menghargai nilai-nilai ekonomis dan keagamaan, keberhasilan ekonomis dan keagamaan merupakan dua prasarat penting yang dibutuhkan untuk mendapatkan status sosial, sehingga adanya kebijakan Pemerintah yang melindungi terhadap keberadaan industri mereka memberikan dorongan kemajuan terhadap industri utama mereka, yaitu tekstil dan batik. Dengan ungkapan lain, perkembangan pusat ekonomi masyarakat Tirtomoyo telah memperoleh dukungan baik secara politik
maupun budaya. 7
Perkembangan pesat yang telah diraih pada masa sebelumnya ternyata harus mengalami kemerosotan.Kemerosotan ini telah pula menjauhkan harapan- harapan masyarakat Tirtomoyo dalam kesadaran mereka yang sangat menghargai nilai-nilai kewirausahaan.Suatu gejala umum yang dapat dilihat pada masyarakat Tirtomoyo adalah timbulnya keputusasaan sebagai akibat dari zaman keemasan atau kejayaan yang pernah mereka rasakan telah berlalu.
Di sisi lain etos kewiraswastaan yang semestinya diregenerasikan pada penerusnya kurang mendapat respon yang berarti. Kenyataan ini didasarkan bahwa semakin banyaknya anak-anak yang mengenyam pendidikan, dikemudian Di sisi lain etos kewiraswastaan yang semestinya diregenerasikan pada penerusnya kurang mendapat respon yang berarti. Kenyataan ini didasarkan bahwa semakin banyaknya anak-anak yang mengenyam pendidikan, dikemudian
Orang Tirtomoyo, dalam lingkungan masyarakat Wonogiri dikenal sebagai pekerja yang rajin, tekun, dan tabah.Terutama peranan pengusaha perempuan yang cukup besar dalam perusahaan dan keluarga, dalam setiap harinya mereka hanya istirahat dalam waktu yang cukup sedikit, selebihnya hanya disediakan untuk bekerja di perusahaan dan di pasar-pasar sandang.Semangat kerja mereka sangat tinggi, bila dibandingkan dengan pekerjaan para suami di perusahaan.Kebanyakan dari saudagar wanita Tirtomoyo yang memiliki etos kerja tinggi, adalah mereka yang pertama kali membuka usaha keluarga, kemudian generasi kedua, atau ketiga wanita. Biasanya sesudah generasi ketiga semangat enterpreneur mereka semakin menurun, bahkan menjadi lenyap sama sekali bila diturunkan kepada anak laki-laki.
Menurut penuturan para warga, 8 bahkan dewasa ini semangat kerja yang
tinggi biasanya justru dimiliki oleh wanita-wanita yang belum pernah mengenal sekolah. Anak-anak yang sudah disiapkan oleh orang tuanya untuk meneruskan usaha keluarga, biasanya memang sengaja tidak disekolahkan, karena itu dari sejak umur enam tahun anak itu sudah dididik memahami cara mengurus tinggi biasanya justru dimiliki oleh wanita-wanita yang belum pernah mengenal sekolah. Anak-anak yang sudah disiapkan oleh orang tuanya untuk meneruskan usaha keluarga, biasanya memang sengaja tidak disekolahkan, karena itu dari sejak umur enam tahun anak itu sudah dididik memahami cara mengurus
Sisi lain yang bisa dilihat tentang etos kerja para majikan adalah gagasan mereka untuk memproduktifitaskan tenaga laki-laki sebagai tukang cap dan buruhnya, dan mereka lebih memelih tenaga kerja yang sudah menikah. Hal ini dikarenakan para pekerja yang sudah berkeluarga, kehidupan dirinya sudah mapan dan seluruh gajinya hanya untuk kebutuhan keluarga. Mereka sudah meninggalkan masa bersenang-senang, karena itu mereka mau bekerja keras, disiplin dan penuh tanggung jawab, demi memenuhi kebutuhan rumah
tangganya. 9 Para majikan baru memakai tenaga bujangan bila mereka betul-betul
sudah mengenal pribadi pekerja itu. Majikan tidak pernah menerima pekerja bujangan yang belum dikenal, karena mereka ketakutan kalau pekerja itu ternyata pemalas, akan mudah mempengaruhi pekerja yang lain.
Masalah lain yang cukup menarik adalah sikap majikan yang tak mengenal kompromi dengan siapapun. Baik dengan saudara sendiri, dengan adik-kakak, bahkan dengan anak-anaknya sendiri yang sudah mendirikan usaha lain. Mereka tidak mengenal batas-batas ikatan khusus yang sifatnya non ekonomis.Adik, kakak dan anak-anak mereka bisanya berdiri sendiri mengelola perusahaan Masalah lain yang cukup menarik adalah sikap majikan yang tak mengenal kompromi dengan siapapun. Baik dengan saudara sendiri, dengan adik-kakak, bahkan dengan anak-anaknya sendiri yang sudah mendirikan usaha lain. Mereka tidak mengenal batas-batas ikatan khusus yang sifatnya non ekonomis.Adik, kakak dan anak-anak mereka bisanya berdiri sendiri mengelola perusahaan
Sebagai contoh, kehidupan keluarga Ibu Tarmi yang merintis usaha batiknya pada tahun 1962, telah berhasil menerapkan sistem kerja keluarga pedagang dalam kehidupan keluarganya.Ini memberikan gambaran sifat keluarga entrepreneur di Tirtomoyo.Kegiatan pagi diawali dengan membagi pekerjaan kepada semua buruh-buruhnya, yaitu kepada buruh mbatik dan buruh ngecap.Sementara pengusaha batik laki-laki memimpin buruhnya, terlibat dalam kegiatan pemrosesan batiknya, dan pengusaha batik wanita dan anak perempuannya menggunakan waktunya di siang hari untuk pergi ke pasar, menyetorkan hasil produksi, membeli kain mori serta menagih hutang kepada para langganan.Sore hari, kegiatan pabrik serta urusan pemasaran selesai dan keluarga ini disibukkan dengan perhitungan barang yang telah selesai dikerjakan.Gaji buruh diberikan serta membuat rancangan kerja untuk keesokan harinya.Malam hari, mereka menghitung hutang-piutang, menghitung uang ditangan langganan dan menghitung jumlah barang yang siap di jual.
Para pengusaha biasanya menyalurkan batik hasil produksinya melalui Para pengusaha biasanya menyalurkan batik hasil produksinya melalui
bisa disebut massal. 10
Produk-produk mereka memang sering dikenal oleh orang-orang yang tahu persis akan kualitas batik. Produksi batik di beberapa kota besar Jawa ini memang masih terlalu tertutup. Bahkan di kawasan Tirtomoyo, sebagai salah satu pusat batik di Wonogiri, para produsen enggan membuka show room (tempat pamer).Ini didasari atas rasa sungkan yang tinggi dengan sesama penjaja batik lainnya.Para pengrajin batik merasa takut untuk melakukan promosi karena bisa menimbulkan bumerang bagi citra produknya, lebih-lebih jika kelak ada produk yang justru lebih bagus dari yang ia tawarkan. Untuk perkembangan industri batiknya ditangani generasi lapis kedua atau ketiga, namun ada pula yang justru kian surut setelah generasi pertama tak memegang tampuk kepemimpinan. Generasi lapis kedua atau ketiga, tidak jarang malah lari dari bisnis di luar batik. Ada yang menggunakan modal keluarga untuk bisnis yang lain atau bahkan mencari pekerjaan di luar bisnis keluarga. Namun kebanyakan, bisnis batik di kawasan itu rata-rata bertahan karena eratnya komitmen kekeluargaannya.