tetap harus diminta ganti kerugian berdasarkan kesepakatan para pihak saat perundingan penyelesaian sengketa yang diakibatkan oleh
force majure
98
Berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, maka apabila lesse tidak
dapat untuk membuktikan keadaan mendesak yang terjadi, yang mengakibatkan lesse wanprestasi maka lessor akan meminta pertanggungjawaban lesse untuk
mengganti rugi atas kerugian lessor, dan apabila ternyata dengan itikad buruk
lesse merekayasa kejadian yang sebenarnya karena kelalaian lesse, tetapi menyataknnya dengan keadaan mendesak maka dalam hal ini
lessor dapat menuntut
lesse dengan tuntutan penipuan yang menyebabkan kerugian pada pihak lessor. Tetapi dalam kontrak leasing, pada prakteknya pihak lessor tetap
berpedoman pada kontrak yang telah ditandatangani walaupun kejadian yang menyebabkan
lesse tidak dapat memenuhi kewajibannya. Hal ini sesuai dengan asas
lex specialis de rogat lex generalis artinya suatu peraturan yang khusus dapat mengeyampingkan peraturan yang umum. Jadi Pasal 1244 dan 1245
KUHPerdata di atas hanya sebagai peraturan perbandingan dari peraturan yang khusus dengan peraturan yang umum.
.
3. Proses Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Leasing Sepeda Motor
Seperti telah diuraikan di atas, pada umumnya apabila terjadi suatu sengketa atau wanprestasi dalam perjanjian leasing yang diadakan oleh pihak
lessor dengan lessse, para pihak biasanya berusaha untuk menyelesaikannya dengan cara damai atau dengan cara kekeluargaan. Terjadinya perselisihan dan
98
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak yang
wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya yang kemudian timbul keinginanan untuk menuntut penyelesaian atas sengketa tersebut.
Proses penyelesaian sengketa dalam kontrak leasing yang dilakukan oleh para pihak, PT Orix Indonesia Finance akan mengambil tindakan sebagaimana
yang tercantum dalam dalam pasal 16 ayat 1 perjanjian sewa guna usaha kendaraaan bermotor tentang cidera janji wanprestasi yang menyatakan sebagai
berikut : Pasal 16 ayat 1 :
Dalam hal lesse lalai untuk memenuhi kewajiban membayar sewa leasing atau hutang lainnya yang telah jatuh tempo menurut perjanjian leasing, atau jika lesse
lalai mentaati atau lalai melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian leasing, maka lessor mempunyai hak penuh tanpa keharusan menyampaikan
pemberitahuan atau mengajukan permintaan terlebih dahulu kepada lesse untuk segera menjalankan segala atau salah satu cara di bawah ini :
a. Meminta sebagaimana atau seluruh sewa leasing yang terhitung selama
jngka waktu pertama dan semua ongkos berdasarkan perjanjian leasing yang jatuh tempo harus segera dan seketika dibayar oleh lesse secara tunai
pada waktu ditagih. b.
Mengambil atau menarik barang leasing dengan atau tanpa bantuan pengadilan danatau alat-alat negara danatau pejabat pemerintah danatau
pihak lain dan berhak untuk memasuki tanah danatau pekarangan danatau
Universitas Sumatera Utara
bangunan serta barang tidak bergerak lainnya yang diduga menjadi tempat-tempat penyimpanan barang leasing.
c. Meminta bantuan pihak berwajib, instansi pemerintah danatau pihak lain
agar lesse melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian leasing dan mulai saat itu lesse harus segera menghantikan segala bentuk pemakain
barang leasing d.
Mengakhiri danatau membatalkan perjanjian leasing dan menuntut lesse membayar seluruh nilai kerugian disetujui dan harus membayar seluruh
kerugian dan kerusakan serta kehilangan keuntungan lessor. e.
Menjual danatau mengalihkan danatau memberikan barang leasing kepada orang atau pihak lain.
Dalam hal menghadapi kasus wanprestasi lesse, maka lessor mempunyai tiga alternatif, hal ini juga dilakukan oleh PT Orix Indonesia Finance yaitu
sebagai berikut : a.
Penyelesaian Secara Damai 1 Melalui Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya.
Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
Penyelesain dengan cara negosiasi adalah cara yang paling sering dan banyak digunakan dan biasanya paling awal dilakukan oleh kedua belah pihak dan
biasanya berhasil dengan proses dan prosedurnya yang singkat dan tidak
Universitas Sumatera Utara
memakan biaya yang besar. Tetapi jika usaha perdamaian dengan negosisasi ini tidak berhasil, sengketa atau perselisihan tersebut akan dibawa ke pengadilan.
Dalam pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa pada dasarnya
para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus
dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak.
99
Penyelesain melalui negosiasi setiap pihak yang bersengketa lesse dan lessor merasakan sama-sama mendapat keuntungan, karena masing-masing
kepentingan yang berselisih sejauh mungkin diperhatikan. Demikian juga waktu yang diperlukan dalam penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi ini relatif
singkat. Hal ini jelas berbeda dengan dibandingkan penyelesaian dengan melalui pengadilan yang waktunya lebih lama yang karena segala prosesnya tergantung
pada hakim dan birokrasi pengadilan. Bila penyelesaian sengketa atau wanprestasi lesse digunakan dengan
langkah negosiasi, maka peran negosiasi adalah menciptakan titik temu diantara kepentingan masing-masing pihak baik lessor dan lesse. Negosiasi ini harus bisa
menciptakan situasi dimana masing-masing kepentingan pihak itu dapat diterima dan diakui secara layak oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
2 Melalui Lembaga Mediasi Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa yang kurang lebih hampir sama
dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi
99
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesain Sengketa, Jakarta : Grafindo Persada, 2001, hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut “mediator”. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6, yaitu “Mediasi adalah
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.” Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang
bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat
memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak.
Untuk penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga mediasi. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tanggal 11 September 2003. Adapun latar belakang diterbitkannya
Peraturan Mahkamah Agung ini dijelaskan dalam pertimbangan konsiderans pada butir b bahwa mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah,
serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan itu atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang
dihadapi. Jauh sebelum diterbitkannya peraturan Mahkamah Agung ini, Mahkamah
Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
Namun, surat Edaran tersebut oleh MA dianggap belum lengkap sehingga perlu disempurnakan.
Universitas Sumatera Utara
Sengketa Perdata di Pengadilan Diawali dengan Proses Mediasi. Dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.” Dalam Pasal 11 ayat 5 menyatakan bahwa “Hakim dapat
mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian”.
3 Melalui Lembaga Arbitrase Upaya lainnya dalam penyelesian sengketawanprestasi antara lesse
dengan lessor apabila tidak berhasil diselesaikan dengan cara damai negosiasi, adalah dengan menyelesaikannya dengan cara menggunakan lembaga arbitrase.
Lembaga ini sering pula disebut lembaga perwasitan. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa
dikatakan sebagai litigasi swasta Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang “arbiter” sedangkan arbitrase adalah penyelesaian
suatu sengketa oleh seorang atau beberapa orang yang ditunjuk untuk memutuskan atau menyelesaikan sengketa tersebut.
Untuk dapat menempuh proses arbitrase hal pokok yang harus ada adalah klausula arbitrase di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa
akibat perjanjian tersebut, atau perjanjian arbitrase dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya.
Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban
Universitas Sumatera Utara
pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut
100
. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut
sudah berada di luar kompetensi pengadilan akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase
101
Para anggota dari lembaga arbitrase terdiri dari berbagai keahlian, antara lain, ahli dalam perdagangan, industri, perbankan, hukum dan kesehatan.
.
Sebenarnya, masalah penyelesaian sengketa bisnis atau perdagangan melalui lembaga arbitrase bukanlah sesuatu hal yang baru dalam praktek hukum
di Indonesia. Disebut demikian karena pada zaman Hindia Belanda pun sudah dikenal. Hanya saja, pada waktu itu berlaku untuk golongan tertentu saja sehingga
pengaturan lembaga ini pun diatur tersendiri yakni dalam hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang termuat dalam reglement op de
rechtelijke rechtsvordering RV. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1. Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
100
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993, hal 146.
5 “Alternatif penyelesaian sengketa dagang” http:www.indowebster.web.idshowthread.php?t=125259page=1
Universitas Sumatera Utara
2. Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
102
Pasal 61 UUAPS menyatakan bahwa, “ Putusan arbitrase adalah bersifat final dan mengikat final and binding kedua belah pihak.” Dalam hal putusan
tidak dilaksanakan secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak.
b. Penyelesaian Melalui Pengadilan Litigasi
Apabila upaya lessor untuk menggambil kembali barang objek leasing atau upaya untuk meminta lesse untuk membayar sewa lesse sepenuhnya tidak
berhasil dengan cara damai di luar pengadilan, maka lessor dapat menyelesaikannya dengan melalui jalur pengadilan negeri yang berwenang.
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan
diputus oleh hakim
103
Pihak-pihak yang berpekara mempunyai kedudukan hukum yang sama di depan pengadilan. Didasarkan pada asas bahwa masing-masing pihak yang
berperkara diberi kesempatan yang sama untuk menggemukakan dalil-dalil yang . Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-
win solution solusi yang memperhatikan kedua belah pihak karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang
dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
102
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1.
5 “Penyelesaian-sengketa-dagang-melalui-litigasi-dan-non-litigasi”, http:dinatropika.wordpress.com20100721.html
Universitas Sumatera Utara
mereka anggap dapat mengguntungkannya, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan harus didengar dan diperhatikan oleh hakim.
Hakim yang memeriksa kasus wanprestasi tersebut tidak boleh menolak untuk memeriksa walaupun kegiatan usaha leasing masih relatif baru dan belum
ada peraturan undang-undang yang khusus mengaturnya, karena pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. Jadi apabila hakim tidak
menemukan peraturan tertulis atas kasus yang diajukan kepadanya, maka hakim tersebut harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
di masyarakat. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara, apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut
104
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara
perdata di Indonesia hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi untuk mendamaikan para pihak. Jika para pihak sepakat untuk berdamai,
hakim membuat akta perdamaian acte van daading yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi
perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem
perkara yang sama tidak boleh diperkarakan dua kali karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat tidak dapat
diajukan upaya hukum. .
104
“ Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty: Yogyakarta, 1981, hal.9.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya jika proses perdamaian yang diperintahkan oleh hakim tersebut tidak berhasil maka hakim akan melanjutkan memeriksa sengketa
tersebut. Dalam memeriksa kasus wanprestasi pihak lesse dengan lessor pada perjanjian leasing itu sendiri, hakim akan memperlihatkan hal sebagai berikut :
a. Mengenai bukti-bukti yang ada terutama perjanjian leasing itu sendiri. Dalam
hal ini yang harus diperhatikan oleh hakim adalah: 1
Apakah para pihak telah menandatangani perjanjian dan bagaimana kwalitas mereka masing-masing apakah sebagai perseorangan atau
pribadi, atau perusahaan. 2
Apakah pihak yang menandatangani itu memang berwenang mewakili perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan perjanjian dasarnya.
3 Apakah telah diisi secara lengkap alamat objek leasing itu beroperasi.
4 Apakah telah diisi tempat tinggal atau kedudukan sipenandatangan
dengan lengkap 5
Apakah telah dibubuhi tanggal di atas materai. 6
Apakah saksi-saksi telah membubuhkan tandatangannya. b.
Mengenai konstruksi hukumnya. Bila hakim berpendapat bahwa perjanjian itu sewa guna usaha, maka hakim harus memperhatikan hal-hal berikut:
1 Maksud sebenarnya para pihak mengadakan perjanjian
2 Melihat sifat perjanjiannya. Pasal 1345 KUHPerdata “jika kata-kata
memberikan dua pengertian maka dipilih pengertian yag selaras dengan persetujuan”.
3 Adat kebiasaan yang berlaku
Universitas Sumatera Utara
4 Melihat pasal demi pasal yang menentukan hak dan kewajiban para
pihak, karena akan jelas terlihat apakah kontrak itu merupakan leasing.
Sebagai ganti kerugian yang diderita oleh lessor, maka lessor dapat menuntut ke pengadilan agar :
105
a. Melakukan sita tarik revindicator atas objek leasing dan mengambil kembali
barang-barang milik lessor yang berada dalam kekuasaan lesse untuk diserahkan kembali kepada lessor
b. Menghukum lesse unuk membayar ganti rugi kepada lessor atas wanprestasi
yang dilakukannya berupa : 1
uang sewa yang masih tertunggak 2
denda yang tertunggak beserta bunganya 3
seluruh uang sewa yang masih berjalan hingga angsuran terakhir 4
nilai sisa barang yang dilease 5
biaya penagihan, termasuk biaya perkara dan honor pengacara c. meletakkan sita jaminan atas harta milik lesse untuk menjamin pembayaran
ganti rugi dan lain-lain atas tuntutan di atas. d. mengalihkan segala risiko kepada lesse
e. menuntut kepada hakim agar membatalkan perjanjian leasing atau menyatakan perjanjian batal akibat wanprestasi.
105
Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian pihak lesse tidak akan mudah untuk menerima begitu saja, sehingga pihak lessepun dapat mengadakan pembelaan. Hal-hal yang dipakai
menjadi bahan pembelaaannya adalah :
a. adanya keadaan memaksa force majure
b. lessor juga lalai, karena telah memberikan barang yang ternyata cacat,
tidak menyediakan suku cadang pada waktunya. c.
Meminta penundaaan pembayaran atau mengadakan pembaharuan perjanjian.
Penyelesian sengketa di atas merupakan upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak lessor apabila pihak lesse mengalami wanprestasi
terhadap perjanjian yang telah disepakati dengan baik sebelumnnya. Dalam perjanjian leasing memberikan hak kepada lessor untuk menuntut pihak lesse
apabila melakukan suatu perbuatan yang merugikan pihak lessor. Untuk itu pihak lessor dapat melakukan uapaya damai dan apabila tidak berhasil dapat melakukan
upaya hukum melalui jalur pengadilan untuk mengembalikan kerugiannya, sebagai akibat dari perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh lesse. Wanprestasi
yang disengketakan oleh pihak lessor biasanya adalah sengketa yang diakibatkan oleh kelalaian lesse atau bahkan juga karena kesengajaan oleh pihak lesse. Artinya
semua perbuatan yang mengakibatkan wanprestasi itu dengan sadar dan dengan diketahui oleh pihak lesse. Wanprestasi atau ingkar janji dalam leasing adalah
tindakan dimana lesse tidak memenuhi kewajibanprestasi dalam suatu perjanjian
Universitas Sumatera Utara
yang seharusnya menjadi kewajiban lesse sampai perjanjian itu habis masanya. Dalam hal ini lesse dikatakan berprestasi buruk.
Akan tetapi berbeda penyelesaian sengketa atau wanprestasi yang disebabkan karena terjadinya suatu keadaan memaksa force majure. Sampai
saat ini masih banyak sekali kontrak-kontrak leasing di Indonesia yang belum mencantumkan akan perlunya klausul force majure dalam kontrak kegiatan
usahanya. Alasan mengapa tidak dicantumkan adalah karena pada umumnya dalam perjanjian pihak kreditur lessor tidak mau dirugikan, sehingga apabila
dalam kontrak tertentu klausul force majure ini dicantumkan, maka saat terjadinya wanprestasi yang disebabkan oleh force majure pihak lesee tidak dapat dituntut
untuk mengganti rugi, karena keadaan mendesak itu terjadi di luar itikad buruk dan kekuasaaan lesse dan pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata melindunginya.
Force majure adalah klausa dalam kontrak
yang pada dasarnya membebaskan kedua belah pihak dari
kewajiban atau kewajiban ketika sebuah peristiwa luar
biasa atau keadaan luar kendali para pihak, seperti perang
, pemogokan
, kerusuhan
kejahatan, atau peristiwa yang dijelaskan oleh istilah hukum tindakan Allah
seperti banjir
, gempa bumi
, atau letusan gunung berapi
, mencegah atau mengahalangi kedua belah pihak untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan
kontrak
106
Suatu pihak tidak bertanggung jawab atas kegagalan dalam melakukan kewajiban pihak jika kegagalan tersebut adalah sebagai hasil dari keadaan alam
.
106
“ Force_majeure dan hardship_causule rul”, http: notarissby.blogspot, comsearclabelakta otentik-kontrak
66 “Penyelesain Konflik Keadaan Memaksa”, http:en.wikipedia.orgwiki
translate.google.co.idusg
Universitas Sumatera Utara
termasuk kebakaran, banjir, gempa bumi, badai, angin topan atau bencana alam lainnya, perang, invasi, tindakan musuh asing, permusuhan terlepas dari apakah
perang dinyatakan, perang saudara, pemberontakan, revolusi, pemberontakan, kekuatan militer atau merebut atau penyitaan, kegiatan teroris, nasionalisasi,
sanksi pemerintah, penyumbatan, embargo, perselisihan perburuhan, pemogokan, sebagai penyebab pihak lesse tidak dapat untuk melaksanakan prestasinya
107
Jika pihak lesse menegaskan force majeure sebagai alasan atas kegagalan untuk melakukan kewajiban lesse, pada PT Orix Indonesia Finance, maka lesse
yang wanprestasi karena keadaan mendesak harus membuktikan bahwa lesse memang benar mengalami suatu keadaan yang mendesak yang menyebabkan
lesse tidak dapat memenuhi kewajiban atau memberikan prestasinya dalam kontrak leasing yang telah disepakati dan apabila benar lesse mengalami hal yang
demikian maka secara musyawarah lessor, lesse dan asuransi akan merundingkan bagaimana peneyelesaian atas sengeta tersebut, apalagi jika keadaan mendesak
yang merupakan Act Of God tidak diatur di dalam asuransi pada kontrak sebelumnya.
.
Berdasarkan pada apa yang telah dijelaskan sebelumnya tentang force majure sebagai klausula yang membebaskan lesse untuk tidak dapat dituntut
pertanggung jawabannya, maka sebuah force majure harus memenuhi syarat- syarat sebgai berikut yaitu :
a. Peristiwa yang terjadi tidak terduga;
b. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan;
70 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
c. Di luar kesalahan debitur
d. Debitur tidak beritikad buruk
e. Para pihak boleh menuntut ganti rugi
Dalam keadaan mendesak lesse tidak dapat dipersalahkan dengan tuduhan atau tuntutan adanya sebuah perbuatan wanprestasi, karena keadaaan itu terjadi di
luar kekuatan atau kekuasaan lesse. Namun dalam kegiatan leasing, lessor tidak mudah begitu saja untuk menerima pernyataan lesse dengan adanya alasan
keadaan memaksa. Biasanya kontrak leasing yang dibuat oleh lessor tidak ada mengatur tentang keadaan memaksa force majure dan menyatakan bahwa segala
sesuatu yang menyebabkan terjadinya wanprestasi atau yang menyebabkan lesse cidera janji menjadi tanggung jawab lesse dan lessor tidak mau bertanggung
jawab atas risiko akibat keadaan force majure. Lessor akan tetap berpedoman pada kontrak yang telah ditandatangani para pihak sejak awal adanya kesepakatan
bersama dalam kegiatan leasing. Apabila dianalisa lebih lanjut maka pada keadaan memaksa pemenuhan prestasi oleh debitur praktis menimbulkan
keberatan, karena walaupun hal itu terjadi, mengingat bahwa kedudukan lesee adalah pihak yang lemah yang harus memenuhi prestasinya dan pihak lessor akan
tetap menuntutnya apalagi bila klausula tentang keadaan memaksa itu tidak ada dicantumkan dalam kontrak. Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
keadaan memaksa titik beratnya terletak pada posisi debitur yaitu debitur terhalang untuk memenuhi prestasi, apakah pihak deditur berdasarkan itikad baik
atau tidak, harus dibuktikan oleh debiturlesse dan kepatutan menuntut pemenuhan prestasi dari debitur pada umunya tetap ada pada lessor.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kenyataannya, berdasarkan apa yang telah pernah terjadi pada konsumen PT Adira Finance, wanprestasi karena keadaan memaksa force
majure yang dialami lesse maka, para pihak lessor dan lessee memilih menyelesaikannya dengan jalan damainegosisasi dan mencari solusi terbaik bagi
kedua belah pihak, apakah pihak lesse diminta oleh lessor untuk membayar semua atau sebagian kerugian yang diakibatkan oleh force majure terhadap lessor.
Namun sebaliknya apabila ternyata lesse tidak benar dan tidak dalam keadaan mendesak, artinya lesse wanprestasi karena dalam keadaan itikad buruk,
hakim akan memutuskan bahwa lesse wajib untuk membayar kerugian lesse akibat dari wanprestasinya berdasarkan pasal 1244 KUHPerdata. Ketentuan
tentang ganti rugi dalam perjanjian pada umumnya diatur dalam pasal 1239 dan 1243 KUHPerdata.
Dengan demikian sesuai dengan apa yang dijelaskan di atas, bahwa sebaiknya dalam kontrak-kontrak leasing hendaknya dicantumkan klausul yang
mengatur tentang adanya suatu keadaan memaksa. Dengan klausul ini apabila lesse wanprestasi karena suatu keadaan yang terjadi di luar kekuatan dan
kekuasaan yang tidak diketahui oleh lesse, maka lesse tidak dapat diminta pertanggungjawabannya untuk itu. Klausul mengenai keadaan memaksa ini
merupakan suatu hal yang memberikan kebebasan dan kepastian hukum bagi lesse untuk tidak dapat dituntut atas wanprestasi karena keadaan memaksa, merupakan
hak bagi lesse untuk menolak dan meminta kepada pengadilan untuk
Universitas Sumatera Utara
membatalkan perjanjian leasing apabila lessor tetap menuntut lesse untuk mengganti rugi.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Untuk beroperasinya leasing di Indonesia yang masih tergolong muda dan
mengalami perkembangan yang cukup pesat, pertama kali diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keungan No. 32 M SK 21974 dan Menteri
Perdagangan No.30Kpb I 1974 tertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. Kemudian muncul peraturan-peraturan yang baru seperti
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1251KMK.0131988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Leasing, Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor 634KMK.0131990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha perusahaan leasing,
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1169 KMK.011991 tentang Ketentuan Kegiatan Sewa Guna Usaha leasing, Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan 2.
Selain dari wanprestasi yang biasa terjadi dalam kontrak leasing seperti dalam kontrak-kontrak pada umumnya adalah yaitu berupa tidak menyanggupi apa
yang sewajibnya harus dilakukan, melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sepenuhnya, dan melakukan sesuatu yang menurut undang-undang tidak
boleh dilakukan, yaitu adanya wanprestasi yang terjadi bukan karena kemauan atau itikad buruk dari debitur, tetapi karena adanya suatu keadaan memaksa
Universitas Sumatera Utara