25 Paulus menegaskan bahwa, dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau Yunani,
tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki, atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus. Pernyataan Paulus ini merupakan
perlawanan terhadap seluruh pernyataan dalam budaya Yahudi dan Gereja pada masa itu bahwa tidak ada perbedaan dalam Tuhan Yesus sebaliknya kesetaraan.
2. Peran Perempuan dalam Gereja
Pembahasan tentang perempuan dalam Gereja tentulah tidak terlepas dengan peranannya. Peran yang dimaksud di sini bukan saja peran aktif kaum perempuan dalam
kegiatan gereja, dalam Penelaahan Alkitab PA perempuan, dalam Sekolah Minggu tetapi dalam kepemimpinan dan dalam mengambil keputusan yang berkenan dengan
kehidupan dan kegiatan Gereja. Untuk itu, kita perlu menelusuri ajaran Gereja mengenai peran laki-laki dan perempuan. Dalam penelusuran ajaran gereja tersebut -
menurut Anne Homes,
39
ada tiga sumber pokok yaitu Alkitab, pengaruh Gereja Zending yang telah mengkristenkan daerah tertentu di Indonesia dan kebudayaan setempat.
Alkitab ditulis dalam latarbelakang bangsa Israel dipengaruhi oleh sistim patriarkhal yang terdapat dalam agama Yudaisme dan juga pengaruh kebudayaan
Yunani, khususnya aliran Gnostik. Dalam PL terdapat tekanan antara dinamika Allah yang membebaskan umatnya dan memandang kaum laki-laki dan perempuan sederajat,
tetapi tidak dapat dipungkiri daya tarik sistem patriarkhal yang berbau diskriminasi jenis kelamin sangat kuat. Demikian juga halnya dengan aspek dualisme aliran filosofis yang
39
Anne Hommes, Perubahan Peran ..., 127.
26 menggambarkan kesuburan perempuan dengan kesuburan alam yang dimanfaatkan
laki-laki untuk kehidupannya.
40
Akibatnya Gereja mengalami pertentangan di antara ajaran Kristen dalam hal ini Alkitab dan lingkungan Yunani mengasimilasi unsur dualisme dalam teologianya dan
menomorduakan kaum perempuan. Pembagian kerja menurut jenis kelamin dalam Gereja berakar dalam sistim patriarkhal maupun dalam pikiran dualisme sehingga
enggan menerima perempuan sebagai pemimpin atau pendeta jemaat.
41
Pemahaman Gereja sedemikian dibawa bersama para missionaris Gereja-gereja zending ke Indonesia dan mengkristen suku-suku. Struktur dan tata Gereja serta liturgi
dan tradisi dari Gereja induk langsung ditanam dalam lapangan misi. Kontekstualisasi masa kini diperhatikan namun pembagian tugas menurut jenis kelamin yang juga
diwariskan masih tetap bertahan. Hal itu terjadi sebab adanya pengaruh yang ketiga yaitu adat istiadat setempat yang
juga merupakan daya tarik yang kuat membentuk keadaan Gereja.
42
Orang Indonesia dibesarkan dalam tradisi dan kebudayaan sukunya yang mempunyai bahasa dan adat-
istiadat yang khas. Kebudayaan masing-masing suku mempengaruhi kedudukan dan peranan perempuan dan laki-laki.
Dalam lingkungan tradisional fungsi utama dari laki-laki mencari nafkah dan perempuan menjadi isteri dan ibu yang memelihara kesejahteraan. Identitas dan ciri
kaum perempuan diperoleh dari kaum laki-laki, perempuan menjadi anak orangtuanya,
40
Anne Homes, Perubahan Peran..., 129.
41
Ibid, 130.
42
Ibid.
27 isteri suaminya, ibu dari anak-anaknya. Karena itu isteri pendeta berfungsi sebagai
pendeta kecil yang memimpin komisi perempuan, PA dan paduan suara dan sering diminta berdoa tanpa mempersoalkan bakat dari isteri tersebut.
Tentu menjadi pertanyaan mengapa pengaruh kebudayaan atas Gereja sangat kuat? Ada dua alasan mengapa hal tersebut terjadi menurut Anne Homes
43
yaitu: alasan pertama, orang Kristen di Indonesia merupakan generasi pertama, yang telah dewasa
yang sudah matang dan terbentuk. Otomatis sikap mereka terhadap peranan perempuan dan laki-laki berakar dalam kebudayaan serta adat dan akar ini sangat dalam
dan telah berkarat seiring dengan umur mereka. Alasan kedua adalah sistim klasifikasi di mana atau denominasi-denominasi
ditentukan secara geografis atau sebagai Gereja suku, misalnya GKJ, GKPM, GPKB, HKBP, GKPS dan gereja-gereja suku yang lainnya. Tentunya ikatan adat istiadat dan Gereja
kuat. Gereja mencerminkan norma dan nilai masyarakat di sekitarnya. Sebagai contoh dalam adat Batak posisi perempuan dan laki-laki belum sama sehingga mas kawin sering
diartikan seolah-olah perempuan dibeli dan menjadi milik marga suaminya. Faktor budaya Batak juga menghalangi seorang perempuan yang ingin diakui sebagai
pendeta.
44
Di samping itu, kita semua tahu bahwa yang paling banyak dan rajin ke Gereja adalah kaum perempuan dan yang paling aktif melakukan pekerjaan sosial juga kaum
perempuan. Akan tetapi kedudukan perempuan dalam kepengurusan atau
43
Anne Homes, Perubahan Peran ..., 131
44
Ibid.
28 kepemimpinan Gereja sangat minim. Menurut Hetty Siregar,
45
hal itu disebabkan Gereja-gereja sudah terbiasa dengan tradisi bahwa laki-laki sebagai pemimpin dan juga
tidak mengenal tradisi yang lain. Sementara itu kaum perempuan diikutsertakan bilamana diperlukan. Ini berarti penekanan yang lebih bersifat praktis ketimbang
prinsip. Dapat dikatakan bahwa partisipasi perempuan dalam Gereja tidak hanya dihambat
oleh rintangan teologis dan budaya tetapi juga praktis. Menurut gambaran stereotipe perempuan bersifat lemah, emosional, kurang logis, tanpa otoritas untuk memimpin.
Menurut kodratnya perempuan berperan di rumah, melayani suaminya dan anak- anaknya. Kesibukan dalam rumah tangga membuatnya kurang sempat mengembangkan
potensinya di luar alam domestik. Disamping itu suami dan orang di sekitarnya tidak membiarkannya untuk mengejar
pendidikan lanjutan atau suatu profesi. Kalaupun dia melakukan itu akan dipersalahkan mengabaikan kesejahteraan keluarganya. Bahkan orang-orang yang mempekerjakan
perempuan menikah mengeluh dirugikan karena masa cuti menstruasi dan hamil. Perempuan yang berkarier, termasuk pendeta perempuan dan pejabat perempuan di
kantor sinode dan Gereja sering dinilai lain dan kurang mendapat pujian.
46
Contoh Pak S sering bicara dalam rapat dan mengajukan gagasan yang kreatif. Dia dinilai sebagai
seorang pemimpin yang baik. Sebaliknya, Ibu D yang juga pandai berbicara, dianggap seorang kasar yang suka menonjol. Dengan penilaian yang penuh prasangka ini
45
Hetty Siregar, Menuju Dunia Baru, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, 48.
46
Anne Homes, Perubahan Peran Pria..., 132.
29 mengakibatkan, kaum perempuan mengalami hambatan yang berakar kuat dalam
masyarakat dan Gereja. Situasi itu sangat jelas dipantau oleh Tim Evaluasi Dekade DGD Dewan Gereja
Dunia pada tahun 1994 bahwa, Gereja ternyata ketinggalan dibandingkan dengan masyarakat luas yang telah banyak memberikan peluang bagi perempuan berkarier
bahkan menjadi Presiden. Di Gereja masih saja terdengar kurangnya persamaan persepsi tentang perempuan sebagai mitra Allah.
47
Alkitab sebagai dasar Gereja tentunya memiliki andil yang cukup dalam memahami peran perempuan dalam
kepemimpinan Gereja sebagaimana dapat dicatat.
Dalam persekutuan
Kekeristenan mula-mula,
penerimaan kepemimpinan
perempuan adalah kehancuran sebuah perubahan dalam peran perempuan dari tradisi Yahudi. Dalam PL peran perempuan sebagai imam ditolak. Perempuan telah diterima
sebagai nabi-nabi yang berbicara untuk Allah, dalam peran dasar mereka sebagai ibu II Raja 22: 14
– 20; Joel 2: 28. Dalam bait Allah dan kemudian di sinagoge perempuan tidak diperbolehkan memimpin ibadah dan mengajarkan Kitab Suci.
48
Dalam Perjanjian Baru struktur patriarkhi dipatahkan secara radikal melalui perintah baru kebebasan bagi setiap perempuan yang diterima Yesus sebagai pengikutNya
menjadi murid yang setara. Mereka termasuk didalam jemaat mula-mula dan juga menjadi pemimpin-pemimpin lokal dan dalam perjalanan pemberitaan. Pada periode
Perjanjian Baru dicatat bahwa ada dua perbedaan kontras yang dikembangkan mengenai peran perempuan. Kolose, Efesus dan surat Pastoral membatasi peran
47
Stephen Sulaiman dan Bendalina Souk, Berikanlah Aku Air Hidup Itu, Jakarta, Persetia, 1995, 49.
48
Letty M. Russel, Church in The Round, Kentucky, WestministerJhon Knox Press, 1993, 60.
30 pengajaran perempuan, ketika di saat yang sama Markus dan Yohanes menempatkan
perempuan dalam level setara dengan laki-laki sebagai saksi Kristus Yohanes 4: 1 – 42; I
Timoteus 2:11 – 15.
49
Pembicaraan tentang perempuan sebagai imam-imam dalam PB tidak dicatat sebab model pelayanan dan kepemimpinan tidak ada pada masa itu. Keimaman yang rajani
diberikan kepada semua anggota, yang hidup melalui anugerah Allah, yang telah menerima baptisan dalam kematian Kristus I Petrus 2: 9. Baptisan sebagai tanda
panggilan Kristus untuk melayani bagi keduanya laki-laki dan perempuan.
50
Martin Luther
51
berpendapat mengenai hal yang sama bahwa semua orang Kristen tanpa terkecuali benar-benar dan sungguh-sungguh termasuk golongan rohaniawan,
dan tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali pekerjaan mereka yang berlainan dan semuanya sungguh-sungguh imam. Pemahaman ini juga peluang bagi perempuan
diterima sebagai pemimpin dalam masyarakat dan Gereja, sebab posisi kepemimpinan diberikan kepada semua untuk melayani Allah dan sesama.
3. Kemitraan laki-laki dan perempuan