48
BAB IV PERANAN FATMAWATI SEBAGAI IBU
A. Hubungan Seorang Ibu dengan Anak
Secara fisik atau badaniah dan psikologis wanita berbeda dengan laki-laki. Secara badaniah wanita memiliki buah dada, suara yang lebih halus, memiliki
pinggul yang lebih lebar dan sebagainya. Sedangkan secara psikologis wanita lebih lemah-lembut dan sabar. Oleh karena itu wanita sudah sewajarnya hidup di
lingkungan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak di rumah, memasak dan memberi perhatian kepada suami dan anak-anaknya.
84
Peran wanita sebagai ibu yang baik meliputi beberapa pedoman yaitu mengusahakan dan
mempersiapkan diri untuk melahirkan anak yang sehat, mampu memenuhi kebutuhan anak, memberi rasa aman dan kasih sayang pada anak dengan cara
membantu anak menyelesaikan pekerjaan rumah, mengumpulkan buku-buku pelajaran, mainan, dan membereskan peralatan anak, mampu mendorong dan
membimbing perkembangan jasmani dan rohani. Peran seorang ibu seperti itu tidak dianggap rendah atau remeh, tetapi
sebaliknya justru mulia. Bekerja di rumah sebagai pendidik tidak kalah mulia dibanding dengan tugas-tugas yang dilakukan oleh suaminya di perusahaan,
birokrasi pemerintahan, politik dan lain-lain. Bahkan, mereka memandang bahwa keberhasilannya dalam mendidik putra-putri, dirasakan sebagai kebanggaan, dan
84
Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta. Gramedia. Hal. 3
49
karena itu harus dilakukannya sendiri. Hal ini dikarenakan, tugas utama seorang ibu adalah merawat anaknya, menjaga kesehatannya, memperhatikan gizi
makanan di rumah, mengusahakan agar pakaian anak selalu rapi dan mengajarinya sopan-santun dalam bertingkah laku.
85
B. Peranan Fatmawati sebagai Seorang Ibu
Sehubungan dengan hal ini, peran Fatmawati isteri presiden yang juga merupakan seorang ibu dengan lima anak adalah melayani suami dan anak-
anaknya. Peran ibu yang melayani, yaitu kegiatan wanita yang berpusat pada kegiatan melayani, merawat, mengatur, mengurus untuk dinikmati orang lain atau
untuk dinikmati bersama-sama dengan orang lain. Dalam hal ini wanita menjadi sumber yang dapat membahagiakan orang lain. Sebagai ibu, perannya adalah
sebagai pengasuh, pendidik anak dan pengurus rumah tangga serta sekaligus memberi pelayanan yang menyenangkan kepada suaminya. Oleh karena itu,
sebagain besar waktu seorang ibu dihabiskan di rumah.
86
85
Munandar, Utami, dkk 1985. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita. Jakarta : UI.PRESS. Hal. 45
86
Munandar, Utami, dkk. 1985. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita. Jakarta : UI. PRESS. Hal 22
50
Anak pertama Sukarno dan Fatmawati adalah Muhammad Guntur Soekarnoputra yang lahir
Jakarta 4 November 1944, putri keduanya Megawati
Soekarnoputri yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 23 Januari 1946, sedangkan Dyah Permana Rachmawati lahir pada tanggal 27 September 1951. Kemudian
disusul anak keempat yaitu Dyah Mutiara Sukmawati yang lahir pada tanggal 26 Oktober 1951. Terakhir Muhammad Guntur Irianto Sukarno Putra pada 13 Januari
1953.
87
Muhammad Guntur Soekarnoputra lahir ditengah-tengah gejolak suasana tanah air memperjuangkan kemerdekaan. Oleh karena itu ketika Guntur yang
masih bayi bersama Fatmawati ikut menjadi korban penculikan ke RengasDengklok. Mengenai hal ini Fatmawati menuturkanya demikian :
“Fat sama Guntur ikut. Ke mana mas pergi di situ aku berada juga.” Lalu kami bersiap-siap membungkus keperluan bayi dan aku tak sempat
membawa pakaianku sendiri. Aku kenakan pada bayiku Baby Caps, Guntur kugendong dengan selendang panjang. Kami bertiga meninggalkan
kamar tidur menuju ruang depan”.
88
Beranjak dari kutipan itu, dapat dikatakan bahwa sebagai seorang ibu, Fatmawati sangat memperhatikan keluarganya. Kepedulian Fatmawati tersebut di dasarkan
atas perasaan sayang kepada suami dan anaknya. Walaupun tidak diharuskan untuk ikut serta, namun Fatmawati tetap ingin selalu berada di dekat suaminya,
bahkan di saat genting sekalipun.
87
Fatmawati, 1978. Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 25
88
Fatmawati, ibid., Hal. 84.
51
Selain itu juga, Fatmawati juga harus rela berpisah dengan Guntur demi keamanannya yaitu ketika terjadi pergolakan antara tentara Inggris dengan tentara
Republik Indonesia. Guntur tinggal sementara di Bogor bersama kakek dan neneknya, sementara itu Fatmawati ikut bersama suaminya ke Jakarta.
89
Berdasarkan penuturan di atas, sebagai ibu, Fatmawati merelakan diri untuk berpisah sementara dengan Guntur yang pada saat itu masih kecil demi
keamanannya. Sebagai seorang ibu, begitu besar pengorbanan Fatmawati yang harus rela terpisah jauh dengan putranya yang pada saat itu masih kecil. Olah
karena itu, sejak terpisah jauh dan dalam waktu yang lama, ketika Guntur bertemu lagi dengan ibunya, Guntur terlihat sangat menderita karena berpisah
lama dengan ibunya. Mengenai hal ini Fatmawati menuturkan demikian : “Dari gendongan neneknya aku sambut Guntur yang kelihatan kurus dan
hitam serta perutnya buncit. Guntur kelihatan sangat rindu sekali padaku. Dua setengah bulan kami tidak berjumpa, selama di Bogor Guntur selalu
berpindah-pindah tempat demi keamananya. Segera aku buatkan bubur untuk Guntur, menggunakan kompor yang terbuat dari tempurung dengan
bahan bakar arang”.
90
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa Fatmawati adalah wanita yang sangat tegar. Sebagai seorang ibu tentu saja Fatmawati merasa sangat sedih melihat
kondisi anaknya yang ikut menjadi korban perang pada waktu itu. Walaupun demikian perasaan sedih tersebut tidak Fatmawati perlihatkan.
Selama menjadi isteri presiden, Fatmawati juga ikut menjadi saksi dan korban akibat pergolakan yang terjadi di tengah memperjuangkan kemerdekaan
89
Fatmawati, ibid., hal 90
90
ibid., hal 90
52
diantaranya adalah ketika Fatmawati melahirkan putri keduanya Megawati Sukarnoputri. Fatmawati melahirkan Megawati di Yogyakarta pada tanggal 23
Januari 1946. Mengenai hal ini Fatmawati menuturkan demikian : “Di sanalah lahir putriku Megawati tepat pada waktu beduk tanda azan
magrib berbunyi. Sore itu aku baru membersihkan kamar. Turunlah hujan lebat disertai halilintar. Pada saat genteng rontok di tempat yang
dipersiapkan untuk bersalin. Air hujanpun melimpah di dalam kamar”.
91
Dari petikan kalimat di atas, terlihat bahwa sebagai istri presiden Fatmawati seringkali dihadapkan kepada situasi yang selalu tidak menentu yaitu diungsikan
ke tempat-tempat yang bahkan kurang layak untuk dihuni. Tetapi walaupun demikian Fatmawati tidak mengeluh. Fatmawati menerima dengan hati yang
ikhlas. Di yogyakarta ini juga Fatmawati juga harus rela turun sendiri untuk
memasak untuk keluarganya ketika staft pengurus rumah tangga belum terbentuk. Mengenai hal ini Fatmawati menuturkan demikian :
“Sebelum staft rumah tangga kepresidenan terbentuk, aku memasak sendiri untuk keluarga. Sukarno selalu minta supaya aku memasak
makanan yang menjadi kesukaannya seperti lodeh rebung, Rendang, Balado ikan, Pecel, Tempe Goreng, Sambal Lele, Gado-gado, Ikan teri
goreng, Ikan kuning, Pepes daun Singkong dll.
92
Berdasarkan uraian di atas, Fatmawati tetap melakukan segala tugasnya layaknya seperti ibu walaupun statusnya adlah ibu negara yang tidak mengharuskanya
untuk erjun langsung ke dapur. Hal ini mencerminkan bahwa Fatmawati tidak melupakan perannya sebagai seorang isteri dan ibu yang sesungguhnya. Hal
91
ibid., hal 131
92
ibid., hal 132
53
tersebut memperlihatkan bahwa Fatmawati adalah wanita yang rendah hati dan sangat menyayangi keluarganya. Beliau tidak merasa gengsi walaupun statusnya
adalah ibu negara Selama pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta, Fatmawati untuk
pertama kalinya berpisah dengan Sukarno yang diasingkan oleh pemerintah Belanda ke pulau Bangka bersama Muhammad Hata. Selama ditinggal Sukarno
inilah Fatmawati dan beberapa menteri, Gubernur dan para anggota keluarga Muhammad Hatta menjadi tawanan Belanda termasuk ajudan, sekretarisnya juga
tidak luput. Selama 6 bulan ditinggal Sukarno, berbagai kesulitan Fatmawati tanggung sendiri, termasuk merawat Guntur dan Megawati yang pada saat itu
masih kecil. Mengenai hal ini Fatmawati menuturkan demikian: “Megawati yang masih kecil, suatu hari sedang bermain dengan buah
saga seperti kacang hijau warna hitam dan merah. Buah saga itu di masukkan ke dalam lubang hidungnya. Buah itu sukar untuk dikeluarkan
lagi, sehingga menganggu pernafasannya. Karena untuk menghubungi dokter sukar sekali maka buah tadi terpaksa aku korek sendiri dari hidung
Mega”.
93
“Pernah juga si kecil Mega menderita sakit panas sampai mengalami kejang-kejang. Aku menghubungi dokter yang kebetulan tinggal di
belakang rumah kami. Di bawah desingan peluru dokter Soetopo datang juga guna memberikan pertolongan.”
94
Berdasarkan uraian di atas, Fatmawati adalah wanita yang mandiri. Fatmawati bisa mengambil inisiatif untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi,
dan tidak mauterlalu tergantung kepada orang lain.
93
Ibid., hal. 139
94
Ibid.
54
Setelah Sukarno kembali dari pengasingan dan pemerintahan kembali ke Jakarta, Fatmawati sebagai ibu negara selalu disibukan dengan acara kenegaraan,
walaupun di tengah kehamilannya Fatmawati tetap melaksanankan tugasnya dengan baik. Mengenai hal ini Fatmawati menuturkan demikian :
“Pada awal 1952 Presiden Quirino mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia. Pada saat kunjungan tersebut aku sudah dalam keadaan hamil
lagi. Tanda-tanda kehamilan yang keempat kali ini ditandai juga oleh kunjungan presiden Quirino secara berturut-turut. Sukmawati aku
gendong-gendong dalam perut, sambil menjalankan tugas menyambut kepala-kepala negara sahabat”.
95
Sebagai seorang ibu, Fatmawati adalah wanita yang kuat. Walaupun sedang dalam keadaan hamil Fatmawati tetap menjalanakan tugasnya sebagai ibu negara dengan
profesional. Kehamilannya tidak dijadikan alasannya untuk bermalas-malasan. Sebagai ibu, Fatmawati memiliki kepedulian dan kasih sayang yang
sangat besar kepada anaknya dan selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, termasuk ketika Sukmawati tidak bisa minum ASI selama 6 bulan,
karena ASInya tidak mau keluar. Berbagi usaha dicoba oleh Fatmawati supaya ASInya lancar. Mengenai hal ini Fatmawati menuturkan demikian :
“Sukmawati hanya sempat mendapat air susu ibu selama dua bulan. bukan aku tidak mau memberikan air susuku sendiri, sekali-kali tidak. Aku
ikhlas memberikan dan telah coba makan segala daun-daunan seperti daun turi dan kacang panjang, bayam, kangkung, sawi, tapi toh tidak menolong
mendapatkan air susu ibu yang cukup.”
96
95
Ibid., hal. 174
96
Ibid., hal. 175
55
Pada saat melahirkan Guruh Sukarnoputra, pada tanggal 13 Januari 1953, Fatmawati harus mempertaruhkan nyawanya karena mengalami pendarahan yang
sangat hebat. Oleh karena itu, demi keselamatannya oleh dokter Fatmawati disarankan untuk tidak melahirkan lagi. Mengenai hal ini Fatmawati menuturkan
demikian : “Pada kelahiran Guruh Irianto, aku mengalami pendarahan yang susah
dihentikan, dan beberapa botol darah telah dimasukkan ke dalam tubuhku, Alhamdulilah dapat diatasi keadaan itu. Setelah kelahiran Guruh oleh
dokter aku dinasehati, sebaiknya tak punya anak lagi, sebab berbahaya bagiku melahirkan lagi. Dus, aku perlu operasi.”
97
Dari petikan kalimat di atas, sebagai seorang ibu pengorbanan Fatmawati sangat besar sehingga rela mengorbankan nyawanya pada saat melahirkan anaknya. Dia
lebih mementingkan keselamatan anakanya daripada nyawanya sendiri.
C. Perjalanan Anak-anak