Sekias Tentang Biwa Biwa Ni Tsuitte

(1)

i

SEKILAS TENTANG BIWA

BIWA NI TSUITTE

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

MHD. WIRANDY PRATAMA NIM : 112203010

PROGRAM STUDI DIII BAHASA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

SEKIAS TENTANG BIWA

BIWA NI TSUITTE

KERTAS KARYA

Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Program Studi Bahasa Jepang.

Dikerjakan OLEH:

MHD. WIRANDY PRATAMA NIM: 112203010

Pembimbing Pembaca

Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi, M.A Drs. Nandi S

NIP. 196008271991031001 NIP.196008221988031002

PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

iii

PENGESAHAN

Diterima oleh

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam Program Studi Bahasa Jepang

Pada : Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Dekan

1. Zulnaidi,S.S.M.Hum ( )

Dr. Syahron Lubis,M.A Nip 195110131976031001

Panitia Ujian :

No.Nama Tanda Tangan

2. Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi, M.A ( ) 3. Drs. Nandi S ( )


(4)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Program Studi D-III BahasaJepang Ketua Program Studi

Zulnaidi,S.S,M.Hum

NIP.1967080720050110011


(5)

5

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya ini, sebagai persyaratan untuk memenuhi ujian akhir Diploma III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara. Kertas Karya ini berjudul “SEKILAS TENTANG BIWA ( BIWA NI TSUITTE)”.

Dalam hal ini penulis menyadari bahwa apa yang tertulis dalam Kertas Karya ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi dan pembahasan masalah. Demi kesempurnaan, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk kearah perbaikan.

Dalam Kertas Karya ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang cukup bernilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr.Syahron Lubis,M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Zulnaidi,SS.,M.Hum selaku Ketua Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs.Yuddi Adrian Muliadi,M.A. selaku dosen pembimbing dan dosen Pembimbing Akademik yang dengan ikhlas telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan juga arahan kepada penulis, sampai kertas karya ini dapat diselesaikan.

4. Bapak Drs. Nandi S, selaku dosen pembaca yang dengan ikhlas telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan kepada penulis, sampai kertas karya ini dapat diselesaikan.

5. Seluruh staf pengajar pada Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, atas didikannya selama masa perkuliahan.


(6)

6. Dari semuanya, yang teristimewa buat orang tua, kepada ayahanda Alm.Amri, ibunda Murtiati, uwo Iyetna, dan mama Neny Sofyanti S, yang telah mencurahkan tenaga, memberikan dorongan, semangat, dan jerih payahnya untuk menjadikan penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini dengan baik. Dan buat abang saya Yudha Pratama Putra dan Parasatyanda serta adik-adik ku tercinta Ulfa Dwi Fitri dan Abdul Halim Imran, yang telah banyak memberikan semangat kepada penulis sampai kertas ini dapat diselesaikan.

7. Tidak lupa penulis juga ingin mengucapakan banyak terima kasih atas perhatian dan semangatnya dari teman-teman saya : Fadly, Aan, Wawan, Defry, Erwan, Abdul, dan teman-teman HINODE ‘011 lainnya. Serta teman-teman kerja di Starbucks Coffee yang Telah banyak memberikan semangat kepada penulis.

8. Khususnya buat yang terkasih Putri Khairani yang selalu mensuport penulis dalam membantu penyelesaian tugas akhir, dan memberikan dukungan selama ini.

9. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Alumni dan segenap keluarga besar HINODE. Terima kasih buat dukungan dan semangat yang telah diberikan.

Medan, Juni 2014

Penulis,

NIM: 112203010

MHD. WIRANDY PRATAMA


(7)

29 ABSTRAK

Jepang merupakan negara yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam. Meskipun modernisasi terus berkembang, masyarakat tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan mereka. Salah satu kebudayaan Jepang yang beraneka ragam itu adalah Musik Biwa.

Musik di jepang sudah mengalami perkembangan dan peningkatan. Sekarang ini, di Jepang orang-orang sudah bisa menikmati berbagai jenis - jenis musik. Misalnya, musik modern (pop, jazz, rock) dan musik-musik tradisional Jepang. Musik di Jepang merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dengan menerima gaya-gaya musik dari negara lain. Contoh dari proses ini adalah lahirnya sejarah alat musik yang telah dianggap sebagai alat musik tradisional jepang. Contohnya, Biwa.

Biwa adalah alat musik mirip kecapi barat yang cukup terkenal di Jepang.

untuk mengiringi sebuah cerita. Yang paling terkenal dari cerita ini adalah sejarah

Serikat ini akhirnya menguasai sebagian besar budaya musik Jepang.

Orang yang memainkan Biwa disebut Pendeta (Blind Biwa Players). Biwa merupakan satu dari instrument yang digunakan dalam music Gagaku Imperial. Disamping kegunaannya dalam ensemble orchestra, juga memiliki literature solo yang luas. Memainkan Biwa adalah keagungan sosial yang penting untuk para anggota kerajaan pada masa Nara dan Heian.


(8)

Biwa pada masa itu dianggap sebagai alat musik / instrument musik pertama kali yang hanya boleh didengar oleh para raja-raja dan para pejabat tertinggi saja atau sering disebut dengan “Dewa Bumi”. Karena biwa ini dinilai mencerminkan kehidupan, namun musik pertama biwa dikenal hanyalah bersifat nasratif dan dramatis

Alat musik Biwa dimainkan dengan cara di petik, yang serupa dengan gitar, sitar, atau ukulele. Maka dari itu, secara garis besar biwa dibagi atas lima kelompok yang digolongkan berdasarkan zaman dan tempat para pendeta buta dan penyanyi biwa (sutras) berasal

P’ip’a yang merupakan Biwa jenis pertama, moso Biwa generasi kedua

dari P’ip’a, heike Biwa jenis Biwa yang di temukan dalam pertempuran Heike dan Genji pada zaman Kamakura, Satsuma Biwa merupakan jenis Biwa yang telah mengaklami modernisasi dan bnyak dimainkan di Kota – Kota Besar di Jepang, Chikuzen Biwa memiliki bentuk klasik yang berhubungan langsung dengan kecapi India. Chikuzen Biwa ini merupakan alat musik yang lebih sering digunakan oleh pendeta buta. Karena bentuknya yang paling kecil dari Biwa – Biwa yang telah ada. Chikuzen Biwa terbagi menjadi dua jenis :

1. Chikuzen Biwa dengan empat senar dan lima fret.

2. Chikuzen Biwa dengan lima senar dan lima fret.

Selain itu, banyak kelompok musisi buta yang terbentuk khususnya didaerah Kyushu. Musisi tersebut, yang dikenal sebagai mereka dan melakukan berbagai ritual agama untuk menyucikan rumah agar dapat


(9)

31

membawa kesehatan dan keberuntungan. Biwa yang mereka mainkan jauh lebih

kecil dariōshi.

Seorang wanita buta, yang dikenal sebagai tersebut sejak zaman abad pertengahan. Dia menyanyikan lagu dan bermain musik dengan pukulan drum yang dibawanya Sejak abad ketujuh belas mereka sering memainkan dan ada hingga saat ini di prefektur Niigata.

Biwa memiliki beberapa jenis yang di bagi berdasarkan tempat Biwa tersebut di mainkan oleh pendeta buta. Masing-masing Biwa mempunyai fungsi dan kegunaan yang berbeda di setiap zamannya. P’ip’a yang merupakan Biwa jenis pertama yang di bawa dari China dan India.

Biwa didunia musik Jepang mengalami perkembangan dan peningkatan. Pada zaman Nara, Biwa digunakan sebagai pengiring cerita dan sebagai penghibur pejabat kerajaan dan para samurai. Kemudian, Biwa selalu ada dalam lagu-lagu rakyat, cerita rakyat dan sebagai penghibur . kemudian, Biwa juga selalu ada dalam lagu - lagu ritual keagamaan. Hingga sekarang ini, Biwa telah dikenal sebagai warisan alat musik tradisional Jepang.

Dan pada akhirnya , dahulu instrument musik biwa ini masih dimainkan atas sponsor badan kerumah tanggaan kekaisaran. Ini dilakukan agar tidak timbulnya nasionalisme kebudayaan atau munculnya budaya asing yang dapat mempengaruhi nilai-nilai tradisional musik ini.


(10)

Biwa mempunyai fungsi dan kegunaan yang cukup banyak. Misalnya, Biwa pada abad ke-16 berfungsi sebagai pengiring lagu-lagu rakyat dan ritual keagamaan di Jepang. Kemudian, Biwa juga berfungsi sebagai penghibur prajurit dan samurai di waktu senggang. Dan saat ini, Biwa berguna untuk pengiring musik di orkes-orkes professional. Namun, kini Biwa lebih di kenal dan popular sebagai pengiring lagu – lagu rakyat dan pengiring di orkes – orkes simfoni profesional, diberbagai konser Reguler, Paduan Suara dan Opera di Jepang.


(11)

7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Negara Jepang adalah Negara yang kaya dengan berbagai kebudayaan leluhurnya yang beraneka ragam. Walaupun saat ini modernisasi di Jepang mengalami perkembangan dan kemajuan di setiap detiknya, namun sisi tradisional dan sesuatu yang menjadi sejarah masih sangat dilestarikan oleh masyarakat Jepang hingga sekarang. Jepang merupakan negara yang memiliki kemajuan disetiap aspek kehidupan, kebudayaan, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Membahas kebudayaan Jepang yang beraneka ragam, tentu Jepang tidak terlepas dari musik serta alat musiknya.

Di Jepang dewasa ini, orang–orang Jepang dapat menikmati segala jenis musik. Dari musik tradisional Jepang, musik klasik barat, musik pop, musik rakyat, musik jazz, dan musik rock. Musik di Jepang merupakan sebuah proses yang berlangsung terus–menerus dengan menerima berbagai gaya musik asing yang telah dicerna atau dibentuk kembali sesuai dengan selera orang–orang Jepang. Contoh–contoh dari proses ini menghasilkan sejarah alat musik yang telah dianggap sebagai alat musik tradisional Jepang. Diantaranya adalah Koto (alat musik mirip harpa berdawai 13), Shakuhachi (seruling bambu), Shamisen (alat musik mirip harpa, berdawai 3) dan Biwa (alat musik mirip kecapi barat).


(12)

Biwa memiliki sejarah yang cukup panjang di Jepang. Biwa mempunyai pengaruh yang kuat terhadap musik Jepang dan seni petunjukannya. Biwa memiliki beberapa jenis–jenis bentuk yang mempunyaimakna tersendiri. Di Jepang sekarang ini Biwa juga mengalami perkembangan yang cukup diakui.

Hal inilah yang membuat penulis tetarik untuk membahas lebih dalam tentang perkembangan, dan sejarah dari alat musik tradisional Jepang, Biwa. Dan menjadikan Biwa sebagai judul kertas karya ini.

1.2Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan memilih judul kertas karya ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sejarah Biwa. 2. Untuk mengetahui jenis–jenis Biwa.

3. Untuk mengetahui perkembangan Biwa di Jepang. 4. Untuk mengetahui fungsi dari Biwa.

1.3 Batasan Masalah

Penulis akan memfokuskan pembahasan kertas karya ini pada sejarah dan perkembangan dari alat musik Biwa. Untuk mendukung pembahasan ini penulis akan mengemukakan juga sejarah, jenis–jenis, dan fungsi dari Biwa.


(13)

9

1.4 Metode Penulisan

Dalam penulisan kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan (library research), yakni dengan cara mengumpulkan sumber– sumber bacaan yang ada yakni berupa buku sebagai referensi yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas kemudian dirangkum dan dideskripsikan ke dalam kertas karya ini. Selain itu, penulis juga memanfaatkan informasi teknologi Internet sebagai referensi tambahan agar data yang didapatkan menjadi lebih akurat dan lebih jelas.


(14)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG BIWA

2.1 Sejarah Biwa

Musik dikenal masyarakat Jepang pada abad ke tujuh. Masyarakat Jepang pada masa itu sangat antusias mempelajari musik dari benua Asia. Musik tradisional Jepang juga sering didengar dan dimainkan oleh para samurai dengan tujuan memperkaya hidup dan pemahaman mereka. Musik tradisional sejak dahulu juga sudah dikenal sebagai pendamping seni teater di Jepang.

Biwa memiliki berbagai ukuran dan bentuk dan berasal dari berbagai budaya. Biwa yang digunakan di Jepang dewasa ini memiliki dua sumber utama, India dan China. Ada legenda bahwa Buddha memiliki murid buta kepada siapa dia mengajarkan seni sutras bernyanyi untuk mengiringi Biwa. Legenda lain menyatakan bahwa Putra Raja Buddha yang terkenal Asoka dari India, menjadi pemain Biwa yang buta. Terdapat ketidak sepakatan menyangkut asal–usul musik ini, tetapi secara pasti Biwa dibawa ke China sekitar abad ketiga. Disana instrument ini disebut sebagai P’IP’A, yang lebih lanjut terus berkembang dan berada di bawah pengaruh asia tengah. Ini adalah kecapi gaya China yang terlihat samapai ke Jepang pada masa Nara.

Orang yang memainkan Biwa disebut Pendeta Buta (Blind Biwa Players). Biwa merupakan satu dari instrument yang digunakan dalam musik Gagaku


(15)

11

literature solo yang luas. Memainkan Biwa adalah keagungan sosial yang penting untuk para anggota kerajaan pada masa Nara dan Heian. Demikian juga Biwa terlihat muncul dalam lukisan seperti kecapi, ditemukan dalam gambar pada masa Renaissans di Eropa. (William p.malm halaman 145,2000)

Sayangnya, musik solo untuk biwa masih rahasia, dan hanya sebagian sisanya yang belum diteliti dari notasi yang ada. Sangat sedikit jenis musik Biwa yang dikembangkan di selatan Kyushu. Di sini Pendeta Buta menggunakan Biwa kecil menyerupai model India, dan terlihat nyanyian sutras untuk mnyenangkan dewa bumi. Juga ada banyak legenda menyangkut masuknya musik ini di Jepang

Pendeta yang terkenal dengan talentanya yang merupakan pemain Biwa buta Chikuzen adalah Jojuin. Jojuin merupakan pendiri dari sekolah pemain Biwa buta Chikuzen. Sekolah utama lainnya adalah Satsuma yang telah didirikan oleh seorang pendeta yang tinggal di belakang Kyoto. Pendeta ini disebut Manshoin. Hubungan antara Manshoin dengan Jojuin ini bervariasi dengan allegiansi sekolah dari penulis berbagai sejarah Biwa Pendeta Buta. Hal yang penting dari kedua hubungan ini adalah bahwa perbedaan antara gaya Chikuzen oleh Jojuin dan Satsuma oleh manshoin adalah telah ada pada tradisi pendeta sejak dulu. Istilah “Pendeta Buta” digunakan disini untuk membedakan antara Satsuma awal dan Chikuzen serta musiknya, dengan pendeta-pendeta buta lainnya yang ditakutkan akan muncul dikemudian hari dengan menggunakan nama yang sama.

Nyanyian pendeta (sutras) ini mengarah pada kehidupan yang bermula dari perjalanan dari desa ke desa dengan menyanyikan Sutras Magiknya. Suatu ketika nyanyia (sutras) itu dimainkan oleh dewa lokal, dengan memperlihatkan


(16)

tanda-tanda kebisingan yang menyebabkan kondisi tidak menyenangkan. Dengan adanya kondisi tersebut para penggemar dari nyanyian (sutras) ini pun berdatangan. Penggemar ini adalah pihak petani, pihak bangsawan, dan pihak dari kuil besar. Dan musik yang dibawa oleh para penggemar saat itu dikenal dengan Kojin Biwa, yang muncul setelah adanya Kojin (dewa dapur rumah tangga).

Kemudian setalah itu tepatnya pada masa Kamakura sebahagian dari para pendeta serta penggemar-penggemar nyanyian (sutras) diduga menjadi pengemis. Seiring dengan itu mereka berhenti pula melakukan perjalanan dan menghabiskan hari-harinya untuk tidur di pintu kuil dan menyayikan nyanyian-nyanyian saja. Namun adapula sebahagian dari kelompok mereka meninggalkan kebiasaan– kebiasaan tersebut dan kemudian ia mulai melakukan improvisasi terhadap kisah dan ceritanya untuk menarik perhatian khalayak lain dengan melakukan nyanyian yang dikuasainya. Dalam kejadian inilah munculnya musik teater yang masih terlalu dasar, dikenal dengan Penyanyi Sutra Itinerant .

Pada masa itu musik Biwa yang dibawa oleh pendeta buta terus mengalami penurunan. Penurunan tersebut menyebabkan sekolah Chikuzen yang didirikan oleh Jojuin mengalami keadaan penurunan lebih parah dari Satsuma yang didirikan oleh Manshoin. yang kemudian Satsuma dan Manshoin terus dihormati oleh masyarakat suku Shimazu di distrik Satsuma di Khusyu dan terus berkembang hingga mengalami kemunduran besar-besaran dalam system kerabat di masa Edo. Suku Shimazu ini adalah suku yang terdiri dri beberapa orang-orang pejuang. Suku ini dikenal dengan suku yang lebih mementingkan dan


(17)

13

memperhatikan kesejahteraan mereka dari pada seni. Suku ini juga terdiri dari beberapa musisi buta yang telah melakukan perjalanan ke Jepang.

Selain itu dalam perkembangan Musik Biwa ini, menurut Fujiwara Yukinaga (sekitar tahun 1189) seorang pejabat pengadilan yang terkenal dengan kesombongannya menemukan adanya tradisi nasratif besar oleh Heike Biwa yang dikenal dengan Kisah Heike. Tradisi Nasratif ini berawal dari pertempuran antara Heike dan Suku Genji di zaman Kamakura yang telah bannyak diketahui oleh para pejuang berdarah dimasa itu. Dan pada masa itu pula musisi dan 7 penari seksi tampil dengan bersamaan, aliran musik oleh para musisi itu melibatkan Heike Biwa sebagai salah satu musiknya, dengan aliran yang disebut Gagaku, Shomyo Buddhist, dan Musik Biwa pendeta Buta.

Para pejabat-pejabat pengadilan saat itu baru merasakan bahwa musik itu sangat indah bagaikan pakaian para raja yang mewah. Dan pada masa inilah penerimaan Buddhist (agama pertama), membangun kesetian dan keindahan di tempat tinggal masing-masing yang berbentuk rumah dan menjadi sumber penghidupan yang baru bagi pemain Biwa buta yang ada di masa itu.

Seiring berkembangnya waktu pada zaman Kamakura, aliran-aliran musik yang mulai mengalami perubahan, pemunduran dan perkembangan ini terbagi menjadi dua kelompok pemikiran utama yaitu dikenal dengan Ichikata dan Yasaka. Kelompok Yasaka dalam memainkan alat musiknya mereka menggunakan teks asli, sedangkan kelompok Ichikata dalam memainkan alat musiknya disasarkan pada edisi khusus yang dipersembahkan hanya untuk kaisar mereka.


(18)

Pada abad ke 16, Ketika Heike Biwa mengalami penurunan serta nyanyian pendeta buta (sutras) mendekati kepunuhan, maka yang lain dengan gaya Biwa yang baru mulai bermunculan. Namun musisi dari Satsuma oleh Manshoin yang dibawah pengawasan suku Shimazu, mereka melakukan pekerjaan yang berharga yaitu memperbaiki anggota suku dengan mengidentifikasi musik. Salah satu hasil dari pengidentifikasian musik pada masa itu adalah dengan berlakunya musik– musik klasik ringan dan dilarangnya musik pop untuk dimainkan selain anggota suku mereka.

Pengembangan musik klasik ringan ini terdiri dari berbagai jenis musik: 1.Musik yang dimainkan untuk semua jenis musik yang disebut dengan

Tempuku

2.Musik yang dimainkan sebagai bentuk perjuangan yang disebut dengan Samurai Odori atau Heiko Odori

3.Musik yang dimainkan dalam bentuk naratif baru dari musik Biwa Satsuma.

Melalui ketiga jenis musik ini mereka membangun suku modest yang dibantu dengan beberapa pasukannya. Dari abad ke enam belas gaya musik naratif baru telah muncul, bagian pertama dari musik naratif ini disusun sebagai sesuatu yang dapat dinikmati untuk berbagai jenis usia tanpa membedakan jenis kelamin akan tetapi gaya musik naratif ini menginstrumenkan kisah perag di Jepang. Pada gaya musik naratif ini telah mengalami perkembangan yang cukup berbeda seiring dengan berkembangnya zaman, perubahan tersebut dirasakan pada instrument musik sebelumnya yaitu Heike Biwa.


(19)

15

Pada dasarnya Instumen musik ini menjadi musik populer diantara banyak orang namun seiring dengan berkembangnya zaman gaya musik naratif ini dianggap kurang megah dan lebih bersifat dramatis. Dan pada zaman Edo, musik ini dianggap telah menyebar ke bagian Selatan Jepang yang telah menjadi bagian musik yang digunakan untuk Seni Kabuki dan Permainan Boneka yang tumbuh begitu Pesat. (http://id.wikipedia.org/wiki/kategori:sejarahmusikdijepang)

Pada tahun 1868 adalah tahun dimana hak-hak istimewa yang eksklusif para pendeta buta ditiadakan, hal ini tentu ditolak oleh para pendeta buta yang masih hidup (pendeta buta yang tersisa) dari Moso Biwa yang lama dan Heike Biwa. Pendeta–pendeta buta tersebut pada zaman itu adalah pendeta buta yang cukup memiliki peran penting dalam pemerintahan yaitu tepatnya pada zaman Meiji dan Satsuma Biwa. Dengan sikap berontaknya para pendeta tersebut maka para pihak yang berperan sebagai negarawan pada tahun ini membebaskan hak-hak istimewa yang eksklisif kembali dapat dinikmmati oleh para pendeta buta tersebut, sehingga pada tahun/zaman inilah musik (Nyanyian Sutras) mulai tebuka bagi siapa saja yang ingin menikmatinya bahkan banyak dari mereka yang menjadikan musik (Nyanyian Sutras) ini sebagai hobi. Bahkan Kaisar Meiji memainkan musik (Nyanyian Sutras) ini dengan menggunakan catatan fonografi.

Dalam abad kedua puluh musik (Nyanyian Sutras) ini mengalami perubahan yang sangat besar. Sebahagian pemikiran baru bermunculan yaitu Khinshin, Nishiki dan Suito Kino yang cukup terkenal pada abad ini.

Dalam akhir abad kesembilan belas, seiring berkembangnya zaman pula munculah kembali istilah Chikuzen Biwa yang sebelumnya pernah dikenal dan telah hilang dengan jangkan waktu yang cukup lama. Salah satu pemikir yang


(20)

cukup terkenal pada abad kedua puluh yang memulai perjalanannya di daerah Chikuzen di Khusyu dan menemukan pertama kali Biwa kecil yang menyerupai Biwa Chikuzen pendeta buta. Biwa chikuzen ini berbentuk klasik dengan bentuk yang cukup besar dan digunakan untuk dramatik.

Dengan demikian para pemikir tersebut terus melakukan perjalannya dan menemukan instrument musik (nyanyian sutras) lainnya. Hingga muncul instumen musik yang baru yang mulai dinikmati banyak orang pada zaman itu.

2.2 Jenis – jenis Biwa

Dalam penggolongan alat musik Biwa merupakan alat musik mirip kecapi barat yang di mainkan dengan cara di petik, yang serupa dengan gitar, sitar atau ukulele. Maka dari itu, secara garis besar Biwa di bagi atas lima kelompok yang di golongkan berdasarkan zaman dan tempat para pendeta buta dan penyanyi biwa (sutras) berasal.

1. P’ip’a Biwa

P’ip’a merupakan jenis alat musik Biwa pertama yang berasal dari India dan China (Asia Tengah) yang dibawa pada masa Naara ke jepang pada abad ke tiga. P’ip’a Biwa dimainkan oleh murid putra Buddha yaitu Asoka dari India, menjadi pemain Biwa yang buta.

2. Moso Biwa

Moso Biwa dibawa pada awal abad ke tujuh. Moso Biwa merupakan jenis alat musik kedua setelah P’ip’a Biwa yang dibawa oleh pendeta buta yang


(21)

17

dikembangkan di Selatan Kyushu. Moso Biwa bentuknya menyerupai P’ip’a Biwa dari India, namun terlihat sedikit lebih kecil. Moso Biwa ini di mainkan dalam pertunjukan nyanyian Sutras untuk menyenangkan dewa bumi yang dimainkan di Kuil Enryaku di Kyoto oleh delapan pendeta buta.

3. Heike Biwa

Heike Biwa merupakan alat musik Biwa yang ditemukan pada zaman Kamakura dari Gagaku. Ditemukan oleh para pejuang berdarah yaitu tepatnya pada masa pertemuan antara Heike dan Suku Genji. Alat musik Heike Biwa ini mulai dimainkan dengan iringan vocal dalam bentuk terminologi atau istilah. Iringan vocal tersebut memiliki bagian narasi yang panjang dan memiliki gelombang kedua (suara dua).

Heike Biwa dimainkan dari dua tradisi yaitu Penutur Cerita buta dan Chanting Buddhist. Alat musik ini berbeda dengan Moso Biwa yang memiliki bentuk lebih besar dan lebar yang memiliki empat senar dan lima fret dan menggunakan plectrum.

4. Satsuma Biwa

Satsuma Biwa ditemukan bersamaan dengan Heike Biwa. Namun, Satsuma ini lebih sering digunakan oleh orang kota setalah mengalami perkembangan zaman. Satsuma Biwa dimainkan dengan iringan melodi type stereo yang digunakan secara beriringan. Satsuma Biwa dimainkan oleh pendeta buta kuno. Satsuma Biwa memiliki bentuk yang lebih sempit


(22)

dari Heike Biwa, tapi memiliki scroll yang lebih besar dan terdiri dari empat senar dan enam fret. Salah satu perbedaan Satsuma dengan instrument Biwa lainnya adalah satsuma memiliki celah yang lebih besar antara fret pertama dan kedua serta memiliki plectrum yang sangat lebar dengan potongan kayu.

Secara instrument musik, gaya Satsuma Biwa ini berkaitan dengan pendahulunya yaitu Heike. Gaya Satsuma Biwa yang telah dimodifikasikan dan diciptakan untuk suku Shimizu yang dikatakan instrument musik itu kini dibawakan dan dimainkan lebih tenang. Kini pengaruh terakhir sesuai perkembangan zaman untuk musik ini yaitu memadukan teknik Shamisen kedalam musik Biwa. sehingga sekarang musik ini sering dikatakan sebagai aliran musik yang sama.

5. Chikuzen Biwa

Sama halnya dengan Satsuma Biwa, chikuzen merupakan alat musik yang ditemuka n bersamaan dengan Satsuma Biwa dan Heike Biwa. Chikuzen Biwa memiliki bentuk klasik yang berhubungan langsung dengan kecapi India. Chikuzen Biwa ini merupakan alat musik yang lebih sering digunakan oleh pendeta buta. Karena bentuknya yang paling kecil dari Biwa–Biwa yang telah ada.

Chikuzen Biwa terbagi menjadi dua jenis :

1. Chikuzen Biwa dengan empat senar dan lima fret. 2. Chikuzen Biwa dengan lima senar dan lima fret.


(23)

19

Plectrum Chikuzen tidak seperti jenis Biwa–Biwa yang lain yang lebih tebal dan Buntu pada gaya plectrum Gidayu Bushi. Chikuzen dimainkan dengan gaya kontemporer dari berbagai tradisi. Musik Chikuzen Biwa memadukan fitur dari gaya Biwa lain yang ditambah dengan musik shamisen naratif.

Musik Chikuzen Biwa memadukan fitur dari gaya Biwa lain ditambah dengan musik Shasimen Naratif. Pengaruh musik untuk permainan boneka “Gidayu Bushi” adalah sangat Kuat. Chikuzen Biwa lebih efektif apabila dimainkan dengan adanya lirik. Karena nada intinya adalah mengarah pada musik ini. Sementara musik satsuma khusus adalah terjadi selama instrument Biwa dimainkan, atau dengan keadaan penyanyi dan pemain musik menampilkan performanya secara bersama-sama.

Perbedaan yang penting diantara aliran Biwa modern dan Heike Biwa adalah bahwa suara dan bagian biwa tidak dapat dipisahkan, sementara musik Biwa saat ini memperlihatkan beberapa bagian narasi dimana hanya mengulangi nada yang diberikan dengan instrument biwa pendek seperti heike dan banyak bagian dimana suara dan bagian Biwa itu dilakukan berasama-sama. Atau dengan kata dan pemahan lain antara penyanyi dan pemain Biwa itu memperlihatkan perfoma bersama-sama. Dan salah satu kondisi musik Biwa modern ini adalah para pendengar (audience) mengamati cara mereka membawakan dan memperlihatkan performanya masing-masing.

Nama Melodi dari Chikuzen Biwa diberi nama yang sama dengan gambar dan musim saat Chikuzen Biwa itu dimainkan. Dan pada Notasi nya ditandai dengan angka sederhana misalnya lima belas go, dua puluh lima cho. Dan pada


(24)

polanya diberi nama dari nama burug dan hewan lainnya. Meskipun nama khusus dan pengertiannya dapat saja berbeda. Misalnya Fret dari Biwa kadangkala diberi nama sesuai dengan unsur kayu, api, tanah, logam dan air yang mungkin merupakan cerminan dari asal-usul Biwa di China. (William p.malm halaman 143,2000)


(25)

21

BAB III

PERKEMBANGAN DAN FUNGSI BIWA DI JEPANG

3.1 Perkembangan Biwa

Biwa adalah alat musik mirip kecapi barat yang cukup terkenal di Jepang, Biwa ini masih dikenal sebagai musik yang cukup bersejarah dari dahulu hingga sekarang. Tentunya telah mengalami perkembangan terus–menerus yang kemudian diikuti dan dicocokan dengan gaya dan selera orang masing-masing sesuai dengan adanya perkembangan zaman yang terus berkembang saat ini. Biwa ini merupakan salah satu warisan budaya besar yang telah dijelaskan pada sejarah di atas yaitu dari abad ke tujuh yang kebendaannya dilestarikan hingga saat ini. (Wikipedia.org/wiki/kategori:biwa)

Dahulu, Biwa diketahui adalah sebagai alat musik / instrument musik pertama yang dimainkan oleh para pendeta-pendeta buta. Orang yang memainkan Biwa disebut Pendeta “Blind Biwa Players”. Biwa merupakan satu dari instrument yang digunakan dalam musik Gagaku Imperial. Disamping kegunaannya dalam Ensemble Orchestra, juga memiliki literature solo yang luas. Memainkan Biwa adalah keagungan sosial yang penting untuk para anggota kerajaan pada masa “Nara dan Heian”. Demikian juga Biwa terlihat muncul dalam lukisan seperti kecapi, ditemukan dalam gambar pada masa renaissans di Eropa.

Biwa pada masa itu dianggap sebagai alat musik / instrument musik pertama kali yang hanya boleh didengar oleh para raja-raja dan para pejabat


(26)

tertinggi saja atau sering disebut dengan “Dewa Bumi”. Karena Biwa ini dinilai mencerminkan kehidupan, namun musik pertama biwa dikenal hanyalah bersifat nasratif dan dramatis.

Pada tahun ± 1189 perkembangan musik biwa ini, menurut Fujiwara Yukisnaga, seorang pejabat pengadilan yang terkenal dengan kesombongannya menemukan adanya tradisi naratif besar oleh Heike Biwa yang dikenal dengan kisah heike. Tradisi Nasratif ini berawal dari pertempuran antara Heike dan suku genji di zaman Kamakura. Dan pada masa itu pula musisi dan 7 penari seksi tampil dengan bersamaan, aliran musik oleh para musisi itu melibatkan Heike Biwa sebagai salah satu musiknya , dengan aliran yang disebut : “Gagaku” , “Shomyo Buddhist”, dan “musik Biwa Pendeta Buta”.

Instumen musik ini menjadi musik populer diantara banyak orang namun seiring dengan berkembangnya zaman gaya musik naratif ini dianggap kurang megah dan lebih bersifat dramatis.

Dan Pada zaman Edo (± 1603- 1868) , musik ini dianggap telah menyebar ke bagian Selatan Jepang yang telah menjadi bagian musik yang digunakan untuk Seni Kabuki dan Permainan Boneka yang tumbuh begitu Pesat.

Masuknya zaman Meiji ( ± 1868-1912) Instrumen musik Biwa mulai banyak didengar, seiring dengan masuknya musik barat yang pada saat itu mulai berkembang melalui sistem pendidikan di Meiji.

Hingga akhir abad ke dua puluh dimana abad/ zaman inilah Instrument musik Biwa mulai terbuka bagi siapa saja yang ingin menikmatinya bahkan banyak dari mereka yang menjadikan Instrumen musik Biwa ini sebagai hobi.


(27)

23

Bahkan Kaisar Meiji memainkan instrument musik Biwa ini dengan menggunakan catatan fonografi.

Di Jepang tradisi naratif musik Biwa telah muncul cukup jauh dari cerita rakyat (Legenda) terdahulu. Tradisi–tardisi narative dahulu, kini mampu memanfaatkan kemajuan teknologi modern tanpa mengalami perubahan yang jauh sangat berbeda dari masa terdahulu. Meskipun kini instrument musik Biwa itu telah menjadi kompetisi yang kuat dan baru di masa sekarang, namun unsur-unsur musiknya masih mengandung unsur di kehidupan lama. Tempat dan masyarakat dapat berubah tetapi musik Biwa ini terus menangkap imajinasi sesuai dengan perekembangan baik dari petualangan, hikayat cinta, dan kisah–kisah.

Instrument musik Biwa ini mengalami perubahan yang sangat besar, sebahagian pemikiran baru bermunculan dengan menghasilkan karya atau instrument yang terus berkembang. Para pemikir baru tersebut terus melanjutkan perjalanannya ke berbagai daerah–daerah sembil mengenalkan Instrument musik tradisional Jepang. Instrument musik ini cukup diterima oleh masyarakat dengan tersiarnya musik tradisional tersebut di siaran-siaran radio dan tampil diberbagai pertunjukan di Jepang dan diluar negri.

Di zaman modern ini, Instrument musik Biwa akan catatan fonografi. Kini dimainkan lebih dua puluh Orchestra Simfoni Professional di Jepang, berbagai Konser Reguler, Paduan Suara dan Opera. Bahkan banyak sekolah khusus yang mempelajari alat musik Biwa ini. Sekolah pertama kali disirikan adalah Kato-Bushi pada tahun 1964 dan Bungo-Kato-Bushi yang didirikan pada tahun 1970.

Dan pada akhirnya instrument musik Biwa ini masih dimainkan atas sponsor badan kerumah tanggaan kekaisaran. Ini dilakukan agar tidak timbulnya


(28)

nasionalisme kebudayaan atau munculnya budaya asing yang dapat mempengaruhi nilai-nilai tradisional musik ini.

3.2 Fungsi Biwa

Biwa merupakan jenis alat musik tradisional Jepang yang mempunyai beberapa fungsi dan kegunaaan. Tentunya fungsi dan kegunaan Biwa disesuaikan dengan zaman dari pertama kali diperkenalkan hingga zaman modern saat ini.

Pada awalnya, Biwa dimainkan sebagai pengiring nyanyian Biwa yang dipersembahkan untuk para pejabat tinggi kerajaan (Dewa Bumi ) dan juga Biwa mengiringi cerita dan lagu narasi yang ada pada zaman tersebut. Kemudian Biwa juga berfungsi sebagai pengiring musik ritual istana. Pada zaman Meiji, Biwa juga sering digunakan untuk menghibur para prajurit dan samurai di waktu senggang.

Dan juga Biwa digunakan dalam pementasan seni teater Kabuki, Noh, dan sandiwara Boneka Bunraku. Namun kini Biwa lebih di kenal dan popular sebagai pengiring lagu–lagu rakyat dan pengiring di orkes–orkes simfoni profesional. (Wikipedia.org/wiki/kategori:alat-alatmusikjepang)


(29)

25

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Orang yang memainkan Biwa disebut Pendeta (Blind Biwa Players). Biwa merupakan satu dari instrument yang digunakan dalam musik

Gagaku Imperial. Disamping kegunaannya dalam Ensemble Ochestra,

juga memiliki literatur solo yang luas. Memainkan Biwa adalah keagungan sosial yang penting untuk para anggota kerajaan pada masa Nara dan Heian.

2. Dalam penggolongan alat musik Biwa merupakan alat musik mirip kecapi barat yang di mainkan dengan cara di petik, yang serupa dengan gitar, sitar, atau ukulele. Maka dari itu, secara garis besar Biwa dibagi atas lima kelompok dan digolongkan berdasarkan zaman dan tempat para pendeta buta dan penyanyi biwa (sutras) berasal.

a. P’ip’a Biwa b. Moso Biwa c. Heike Biwa d. Satsuma Biwa e. Chikuzen Biwa

3. Biwa dimainkan sebagai pengiring nyanyian Biwa yang dipersembahkan untuk para pejabat tinggi kerajaan (Dewa Bumi) dan juga Biwa mengiringi cerita dan lagu narasi. Kemudian Biwa juga berfungsi sebagai pengiring musik ritual istana. Pada zaman Meiji, Biwa juga sering digunakan untuk


(30)

menghibur para prajurit dan samurai di waktu senggang. Dan juga sering digunakan dalam pementasan seni teater Kabuki, Noh, dan sandiwara Boneka Bunraku.

4. Pada masa sekarang ini Biwa di kenal dan popular sebagai pengiring lagu– lagu rakyat dan pengiring di orkes–orkes simfoni profesional, diberbagai konser Reguler, Paduan Suara dan Opera di Jepang.

4.2 Saran

1. Pembaca khususnya mahasiswa bahasa Jepang Universitas Sumatera Utara agar dapat menilai bahwa begitu pentingnya budaya dan sejarah yang lahir dari masyarakat adat tempo dulu yang diketahui bahwa dengan adanya sejarah dan budaya tersebut maka lahir lah musik instrumen, dan alat-alat tradisional masyarakat Jepang yang merupakan warisan untuk generasi-generasi di masa yang akan datang yang diketahui perkembangannya terus berubah.

2. Dengan adanya budaya dan sejarah yang merupakan warisan leluhur kita yang terus dilesatarikan, agar dapat dijadikan penyaring atau filter untuk tidak terpengaruh budaya asing yang terus berkembang.


(31)

27

DAFTAR PUSTAKA

William P. Malm. 2000. Japanes Music and Musical Instrument. Company of Rutlan Vermont

and Tokyo. Jepang.

Hugh De Ferranti. 1996. Teks and Music in Biwa Narrative. UMI. http://id.wikipedia.org/wiki/kategori:sejarahmusikdijepang

http://id.wikipedia.org/wiki/kategori:biwa


(32)

LAMPIRAN

Gambar 1 : Satsuma (kanan) dan Chikuzen Biwa (kiri)


(33)

29 ABSTRAK

Jepang merupakan negara yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam. Meskipun modernisasi terus berkembang, masyarakat tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan mereka. Salah satu kebudayaan Jepang yang beraneka ragam itu adalah Musik Biwa.

Musik di jepang sudah mengalami perkembangan dan peningkatan. Sekarang ini, di Jepang orang-orang sudah bisa menikmati berbagai jenis - jenis musik. Misalnya, musik modern (pop, jazz, rock) dan musik-musik tradisional Jepang. Musik di Jepang merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dengan menerima gaya-gaya musik dari negara lain. Contoh dari proses ini adalah lahirnya sejarah alat musik yang telah dianggap sebagai alat musik tradisional jepang. Contohnya, Biwa.

Biwa adalah alat musik mirip kecapi barat yang cukup terkenal di Jepang.

untuk mengiringi sebuah cerita. Yang paling terkenal dari cerita ini adalah sejarah

Serikat ini akhirnya menguasai sebagian besar budaya musik Jepang.

Orang yang memainkan Biwa disebut Pendeta (Blind Biwa Players). Biwa merupakan satu dari instrument yang digunakan dalam music Gagaku Imperial. Disamping kegunaannya dalam ensemble orchestra, juga memiliki literature solo yang luas. Memainkan Biwa adalah keagungan sosial yang penting untuk para anggota kerajaan pada masa Nara dan Heian.


(34)

Biwa pada masa itu dianggap sebagai alat musik / instrument musik pertama kali yang hanya boleh didengar oleh para raja-raja dan para pejabat tertinggi saja atau sering disebut dengan “Dewa Bumi”. Karena biwa ini dinilai mencerminkan kehidupan, namun musik pertama biwa dikenal hanyalah bersifat nasratif dan dramatis

Alat musik Biwa dimainkan dengan cara di petik, yang serupa dengan gitar, sitar, atau ukulele. Maka dari itu, secara garis besar biwa dibagi atas lima kelompok yang digolongkan berdasarkan zaman dan tempat para pendeta buta dan penyanyi biwa (sutras) berasal

P’ip’a yang merupakan Biwa jenis pertama, moso Biwa generasi kedua

dari P’ip’a, heike Biwa jenis Biwa yang di temukan dalam pertempuran Heike dan Genji pada zaman Kamakura, Satsuma Biwa merupakan jenis Biwa yang telah mengaklami modernisasi dan bnyak dimainkan di Kota – Kota Besar di Jepang, Chikuzen Biwa memiliki bentuk klasik yang berhubungan langsung dengan kecapi India. Chikuzen Biwa ini merupakan alat musik yang lebih sering digunakan oleh pendeta buta. Karena bentuknya yang paling kecil dari Biwa – Biwa yang telah ada. Chikuzen Biwa terbagi menjadi dua jenis :

1. Chikuzen Biwa dengan empat senar dan lima fret.

2. Chikuzen Biwa dengan lima senar dan lima fret.

Selain itu, banyak kelompok musisi buta yang terbentuk khususnya didaerah Kyushu. Musisi tersebut, yang dikenal sebagai mereka dan melakukan berbagai ritual agama untuk menyucikan rumah agar dapat


(35)

31

membawa kesehatan dan keberuntungan. Biwa yang mereka mainkan jauh lebih

kecil dariōshi.

Seorang wanita buta, yang dikenal sebagai tersebut sejak zaman abad pertengahan. Dia menyanyikan lagu dan bermain musik dengan pukulan drum yang dibawanya Sejak abad ketujuh belas mereka sering memainkan dan ada hingga saat ini di prefektur Niigata.

Biwa memiliki beberapa jenis yang di bagi berdasarkan tempat Biwa tersebut di mainkan oleh pendeta buta. Masing-masing Biwa mempunyai fungsi dan kegunaan yang berbeda di setiap zamannya. P’ip’a yang merupakan Biwa jenis pertama yang di bawa dari China dan India.

Biwa didunia musik Jepang mengalami perkembangan dan peningkatan. Pada zaman Nara, Biwa digunakan sebagai pengiring cerita dan sebagai penghibur pejabat kerajaan dan para samurai. Kemudian, Biwa selalu ada dalam lagu-lagu rakyat, cerita rakyat dan sebagai penghibur . kemudian, Biwa juga selalu ada dalam lagu - lagu ritual keagamaan. Hingga sekarang ini, Biwa telah dikenal sebagai warisan alat musik tradisional Jepang.

Dan pada akhirnya , dahulu instrument musik biwa ini masih dimainkan atas sponsor badan kerumah tanggaan kekaisaran. Ini dilakukan agar tidak timbulnya nasionalisme kebudayaan atau munculnya budaya asing yang dapat mempengaruhi nilai-nilai tradisional musik ini.


(36)

Biwa mempunyai fungsi dan kegunaan yang cukup banyak. Misalnya, Biwa pada abad ke-16 berfungsi sebagai pengiring lagu-lagu rakyat dan ritual keagamaan di Jepang. Kemudian, Biwa juga berfungsi sebagai penghibur prajurit dan samurai di waktu senggang. Dan saat ini, Biwa berguna untuk pengiring musik di orkes-orkes professional. Namun, kini Biwa lebih di kenal dan popular sebagai pengiring lagu – lagu rakyat dan pengiring di orkes – orkes simfoni profesional, diberbagai konser Reguler, Paduan Suara dan Opera di Jepang.


(37)

(38)

(39)

(40)

(41)

(42)

(43)

(44)

(1)

35


(2)

36


(3)

37


(4)

38


(5)

39


(6)

40