5. Hasil sewa tanah.
6. Madu dan produksi hewan lainnya.
7. Barang tambang dan hasil laut.
8. Hasil investasi, pabrik dan gudang.
9. Hasil pencaharian dan profesi.
10. Hasil saham dan obligasi.
Seiring dengan berkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak terhadap kemajuan ekonomi dan dunia usaha, Didin
Hafidhuddin mengemukakan jenis harta yang wajib dizakati sebagai berikut:
1. Zakat profesi.
2. Zakat perusahaan.
3. Zakat surat-surat berharga.
4. Zakat perdagangan mata uang.
5. Zakat hewan ternak yang diperdagangkan.
6. Zakat madu dan produk hewani.
7. Zakat investasi properti.
8. Zakat asuransi syari’ah.
9. Zakat usaha tanaman anggrek, sarang burung walet, ikan hias, dan
sektor modern lainnya yang sejenis. 10.
Zakat sektor rumah tangga modern. Jenis harta yang wajib dizakati juga diatur dalam Pasal 11 Butir 2,
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa harta yang dikenai zakat adalah:
1. Emas, perak, dan uang.
2. Perdagangan dan perusahaan.
3. Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan.
4. Hasil pertambangan.
5. Hasil peternakan.
6. Hasil pendapatan dan jasa.
7. Rikaz
D. Macam-macam Zakat dan Penerima Zakat
Umumnya zakat terdiri dari dua macam, yaitu zakat jiwa nafszakat fitrah dan zakat hartazakat maal.
1. Zakat nafs jiwazakat fitrah
Fitrah artinya ciptaan, sifat asal, bakat, perasaan keagamaan, dan perangai. Zakat fitrah adalah zakat yang berfungsi mengembalikan
manusia muslim kepada fitrahnya, dengan menyucikan jiwa mereka dari kotoran-kotoran dosa yang disebabkan oleh pengaruh
pergaulan dan sebagainya sehingga manusia itu menyimpang dari fitrahnya.
2. Zakat hartazakat maal
Zakat harta adalah zakat yang dikenakan atas harta yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan. Semua macam zakat ini nantinya akan diserahkan kepada orang-
orang yang berhak menerima harta zakat atau disebut juga mustahiq. Para penerima zakat tersebut antara lain: fakir dan miskin, amil zakat
atau pengumpul zakat, muallaf, budak agar terbebas dari perbudakan, orang-orang yang berutang, fi sabilillah di jalan Allah,
dan orang yang sedang dalam perjalanan.
E. Zakat Perusahaan Badan Usaha
Salah satu prinsip akuntansi yang dipakai dalam sistem perhitungan zakat adalah konsep entitas. Dalam konsep ini perusahaan dianggap
sebagai seorang wajib zakat, terpisah dengan kewajiban zakat dari para pemilik maupun pengelolanya.
Konsep entitas ini juga diatur dalam hukum Islam, baik dalam hadis maupun dalam firman Allah SWT. Dalam Hadis Riwayat Imam
Bukhari dari Anas bin Malik disebutkan bahwasanya Abu Bakar Shidiq telah menulis surat kepadanya yang berisikan pesan tentang zakat yang
berisikan: “Janganlah digabungkan sesuatu yang terpisah dan jangan pula
dipisahkan sesuatu yang tergabung berserikat, karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang telah digabungkan dari dua
orang yang telah berserikat berkongsi, maka keduanya harus dikembalikan diperlakukan secara sama”.
Sedangkan dalam firman Allah SWT terdapat pada surat at-Taubah ayat 103: “Ambilkan zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan menyucikan mereka ...”. Juga dalam surat Al- An’am ayat 141 yang berbunyi: “Makanlah buahnya jika telah berbuah
dan tunaikanlah haknya kewajibannya di hari memetik hasilnya dengan dikeluarkan zakatnya”.
Semua landasan hukum Islam di atas berisi perintah untuk menunaikan zakat perusahaan. Bagaimana dengan landasan hukum
yuridisnya? Dalam hukum yuridis juga diatur mengenai kewajiban perusahaan untuk mengeluarkan zakat yaitu dalam Undang-undang
Nomor 38 Tahun 1999, bab IV pasal 11 ayat 2 poin b menyebutkan bahwa harta yang dikenakan zakat adalah perdagangan dan perusahaan.
Dengan kata lain, setiap badan usaha dikenakan zakat. Ketentuan ini
dibuat pemerintah untuk membantu pemberantasan kemiskinan di Indonesia.
Landasan fiqh atau hukum Islam atas kewajiban zakat tidak dapat secara mutlak dijadikan patokan kepatuhan para muzakki untuk
mengeluarkan zakat yang menjadi kewajibannya. Landasan fiqh yang ada tidak menyediakan sangsi “nyata” bagi pelanggarnya. Oleh karena
itu, landasan fiqh harus dipertegas lagi dengan keberadaan landasan yuridis seperti disebutkan di atas. Ditambah lagi, pada umumnya para
pemilik pemegang sahaminvestor perusahaan-perusahaan yang sudah besar go public tidak semuanya beragama Islam. Kondisi inilah yang
menyebabkan landasan normatif-religius tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya patokan kepatuhan para muzakki dalam berzakat. Untuk itu
landasan yuridis yang lebih tegas sangat dibutuhkan peranannya demi pemenuhan kewajiban zakat.
F. Nisab dan Persentase