Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO)

Perdagangan Internasional (WTO)

Huala Adolf

DAFTAR ISI

BAB 1 PENGANTAR BAB 2 LATAR BELAKANG NEGOSIASI TRIMs

Addendum: Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, Report of the Panel, 7 February 1984.

BAB 3 NEGOSIASI TRIMs DALAM PUTARAN URUGUAY (URUGUAY ROUND) BAB 4 PERJANJIAN WTO MENGENAI TRIMS

Addendum: Agreement on Trade-Related Investment Measures BAB 5 ARTI PENTING PERJANJIAN TRIMs BAB 6 PERKEMBANGAN PERJANJIAN TRIMs DALAM KONPERENSI TINGKAT TINGGI

WTO BAB 7 SENGKETA PENANAMAN MODAL DI WTO: SENGKETA MOBIL NASIONAL RI Addendum: Indonesia - Certain Measures Affecting the Automobile

Industry, Report of the Panel, 2 July 1998.

KATA PENGANTAR

Buku berjudul 'Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO)' ini merupakan buku sejenis Cases and Materials. Buku ini memuat bacaan awal atau dasar mengenai perjanjian penanaman modal dalam WTO, yani Perjanjian TRIMs - (Trade-Related Investment Measures), muatan isi perjajian TRIMs, dan perkembangan negosiasi Perjanjian TRIMs dalam WTO.

Penulis menyusun naskah ini karena sangat kurangnya buku- buku mengenai hukum perdagangan internasional (WTO) di tanah air. Sedangkan kebutuhan akan tulisan atau buku seperti ini masih langka. Buku ini memuat perjanjian dan sengketa-sengketa GATT dan WTO yang terkait dengan penanaman modal. Dalam buku ini dua sengketa yang secara khusus terkait mengenai TRIMs, yaitu sengketa the FIRA (Foreign Review Investment Act) Case, yaitu sengketa yang terjadi dalam kerangka GATT. Sengketa kedua adalah sengketa Mobil Nasional RI (Indonesia - Certain Measures Affecting the Automobile Industry), yaitu sengketa pertama dan terkenal sehubungan dengan pembahasan mengenai TRIMs dalam WTO.

Buku ini semata-mata buku pengantar untuk memahami TRIMs lebih lanjut. Kepada penerbit PT Rajagrafindo Persada yang telah bersedia menerbitkan naskah-naskah penulis sebelumnya, penulis ucapkan terima kasih. Mudah-mudahan buku ini dapat memberi setitik sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum yang kita cintai. Kritik dan saran perbaikan atas buku ini akan penulis hargai dan ucapkan terima kasih.

Bandung, Mei 2004.

Huala Adolf SH LLM PhD

BAB I PENGANTAR

A. Pendahuluan

Penanaman modal asing 1 berperan penting baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Di dalam suatu laporannya yang diterbitkan pada tahun 1996, WTO menunjukkan bahwa telah terjadi suatu perkembangan yang cukup mendasar di bidang penanaman modal, khususnya sejak tahun 1980-an. Aliran penanaman modal secara global hanyalah sekitar 60 miliar dollar AS pada tahun 1985. Namun angka ini mengalami peningkatan yang cepat dalam kurun waktu 10 tahun kemudian (pada tahun 1995), yaitu sebesar 315 miliar dollar

AS. 2

Demikian pula aliran penanaman modal asing ke negara-negara sedang berkembang mengalami perkembangan yang berarti dalam jangka waktu 15 tahun terakhir. Aliran penanaman modal asing ke negara- negara ini telah mengalami peningkatan yang berarti, yaitu dari

1 Prof. M. Sornarajah mendefinisikan penanaman modal sebagai 'the transfer of tangible or intangible assets from one country to another

for the purpose of use in that country to generate wealth under the total or partial control of the owner of the assets.' (M. Sornarajah, The Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge U.P., 1994), hlm.

4. Cf., Untuk definisi lainnya, lihat: Paul E. Comeaux & N. Stephan Kinsella, Protecting Foreign Investment Under International Law (Dobbs Ferry, New York: Oceana Publications Inc., 1997), hlm. xix,xx. Untuk kajian hukum internasional secara umum mengenai penanaman modal lihat, antara lain, G. Schwarzenberger, Foreign Investment and International Law (London: Stevens & Sons, 1969); Cynthia D. Wallace, (ed.), Foreign Direct Investment in the 1990s (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff, 1990); Ibrahim F.I. Shihata, Legal Treatment of Foreign Investment: The World Bank Guidelines (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff, 1993); Richard B. Lilich, The Protection of Foreign Investment (Syracuse, New York: Sijthoff, 1965); Zouhair A. Kronfol, Protection of Foreign Investment (Leiden: Sijthoff, 1972). Untuk kajian mengenai praktek (hukum) penanaman modal asing, lihat P.T. Muchlinski, Multinational Enterprises and the Law (Oxford, Cambridge: Blackwell, 1995).

2 WTO, Annual Report 1996, (Geneva: WTO, 1996), hlm. 44; Lihat pula: UNCTAD, World Investment Report: 1996 (New York: United Nations, 1996).

sekitar hanya 5 persen di tahun 1983 hingga 1987, menjadi 15 persen pada tahun 1995, yaitu sekitar 200 miliar dollar AS. 3

Meskipun adanya peningkatan, namun tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab-sebab terjadinya peningkatan angka penanaman modal tersebut. Namun demikian sebuah penelitian menunjukkan bahwa adanya liberalisasi hukum penanaman modal asing baik di negara maju maupun negara berkembang menjadi faktor penyebab utama

meningkatnya angka penanaman modal asing tersebut. 4

Yang menjadi permasalahan cukup mendasar adalah bahwa hukum internasional yang mengatur bidang ini ternyata berkembang agak lambat guna mengimbangi perkembangan ini. Salah satu pendapat yang berkembang mengungkapkan bahwa lambatnya perkembangan hukum internasional di dalam mengatur masalah ini adalah karena kurangnya upaya koordinasi masyarakat internasional untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang ini.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa lemahnya aturan hukum internasional mengatur bidang ini disebabkan karena tidak adanya keinginan yang sungguh dari masyarakat internasional. Michael Geist mengungkapkan bahwa tidak adanya niat yang serius dari berbagai negara untuk mengatur bidang ini merupakan kendala bagi

perkembangan hukum di bidang investasi. 5

Ada pula yang berpendirian bahwa alasan utama dari lambatnya hukum internasional di dalam mengatur masalah ini adalah karena

3 WTO, Annual Report 1996 (Geneva: WTO, 1996), hlm. 46.

4 Untuk kajian umum mengenai hal ini, lihat: Renato Ruggiero, 'Whither The Trade System Next?' dalam: Jagdish Bhagwati & Mathias Hirsch,

(eds.), The Uruguay Round and Beyond. (Berlin, New York: Springer, 1998), khususnya hlm. 126 et.seq.

tidak adanya lembaga khusus yang memformulasikan hukum

internasional di bidang penanaman modal asing. 6

Pada prinsipnya terdapat 4 (empat) bidang utama dari hukum internasional yang mengatur penanaman modal ini.

(1) Hukum internasional yang mengatur perlindungan terhadap investor dan harta miliknya.

(2) Hukum internasional yang mengatur hubungan atau transaksi bilateral antara dua negara (yang disebut juga sebagai BIT atau bilateral investment treaty). Perjanjian seperti ini banyak dibuat baik negara maju maupun berkembang.

(3) Hukum internasional yang mengatur upaya-upaya penanaman modal di suatu wilayah (region) tertentu. Upaya ini timbul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap hukum internasional yang melindungi investor dan harta miliknya. Termasuk dalam hal ini adalah prinsip pembayaran ganti rugi manakalah terjadi nasionalisasi penanaman modal asing.

(4) Berkembangnya aturan hukum internasional baru yang mengatur upaya-upaya penanaman modal yang terkait dengan perdagangan internasional (the trade-related investment measures atau

TRIMs dalam kerangka WTO). 7

Bidang keempat pengaturan hukum penanaman modal ini timbul sebagai reaksi terhadap semakin meningkatnya kekhawatiran para investor asing dan negara-negara maju terhadap semakin banyaknya

5 Michael A Geist, 'Toward a General Agreement on the Regulation of Foreign Direct Investment,' 26 Law & Pol'y Int'l Bus. 673 (1995).

6 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 15,16.

kebijakan-kebijakan penanaman modal khususnya di negara sedang berkembang. Mereka menganggap upaya-upaya atau kebijakan penanaman modal tersebut telah mempengaruhi atau berdampak terhadap perdagangan internasional.

Fenomena yang berkembang akhir-akhir ini telah semakin dirasakan seiring dengan

semakin berkembangnya kesadaran masyarakat internasional. Fenomena tersebut sekarang ini digembar- gemborkan sebagai liberalisasi atau globalisasi ekonomi. Termasuk di dalamnya adalah dijunjung tingginya kebebasan aliran penanaman modal. Bidang keempat dari hukum internasional ini sekarang telah menjadi hukum internasional positif setelah dirampungkannya hasil- hasil perundingan Uruguay yakni dengan disahkannya perjanjian mengenai TRIMs.

Buku ini mengkaji secara ringkas bidang hukum internasional mengenai penanaman modal yang keempat. Kajian menunjukkan bahwa lambatnya di dalam mengembangkan hukum intenasional di bidang ini semata-mata disebabkan karena sulitnya upaya untuk mencakup dan mengatur seluruh aspek mengenai hukum penanaman modal asing.

Besarnya perbedaan pandangan antara negara maju dan negara berkembang ternyata sulit sekali untuk mencapai titik temu. Negara maju menekankan pentingnya keterbukaan dan dihilangkannya semua upaya atau kebijakan penanaman modal yang terkait dengan perdagangan atau rintangan-rintangan penanaman modal.

Sebaliknya, negara sedang berkembang menganut sikap preventif. Mereka acapkali menyandarkan diri kepada alasan

7 Untuk kajian mengenai sejarah atau latar belakang mengenai TRIMs, lihat: Paul B. Christy III, 'Negotiating Investment in the GATT: A Call 7 Untuk kajian mengenai sejarah atau latar belakang mengenai TRIMs, lihat: Paul B. Christy III, 'Negotiating Investment in the GATT: A Call

Kajian ini juga menyimpulkan bahwa: Pertama, WTO, bukan Bank Dunia, PBB atau OECD, adalah forum yang tepat untuk mengatur upaya-upaya

merintangi perdagangan internasional (TRIMs).

penanaman

modal

yang

Kedua, kebijakan-kebijakan penanaman modal yang termuat dalam hukum nasional masing-masing negara sedikit banyak akan mempengaruhi posisi atau pendirian negara-negara tersebut di dalam proses negosiasi pembentukan aturan-aturan penanaman modal.

B. Upaya-upaya Penanaman Modal yang terkait dengan Perdagangan (Trade Related Investment Measures).

Dewasa ini, negara-negara penerima penanaman modal asing tidak lagi menganggap masuknya modal asing sebagai suatu ancaman. Mereka tidak lagi memandangnya dengan kecurigaan. Pendirian ini berbeda di waktu awal tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Pada waktu itu negara-negara sedang berkembang masih kental menganggap bahwa masuknya modal asing adalah suatu ancaman penjajahan (ekonomi) baru dari bekas negara kolonial-nya (asing). Karena itu, setiap bentuk modal asing akan dipandang sebagai sesuatu yang patut dicurigai.

Dewasa ini pandangan tersebut berubah. Modal asing tidak lagi dipandang sebagai suatu, istilah Sir Leon Brittan, ‘Trojan

for Functionalism,' 12 Mich. J. Int'l.L 743 (1991).

Horses’ (‘Kuda-kuda bangsa Troja’). 8 Sekarang negara berkembang berpendapat bahwa modal asing dapat memberi modal kerja dan mendatangkan keahlian manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan

koneksi pasar. 9

Penanaman modal asing dapat pula berperan dalam meningkatkan pendapatan mata uang asing melalui aktivitas ekspor oleh perusahaan multinasional (Multinational Enterprise atau MNE). 10 Yang juga penting, penanaman modal asing (PMA) tidak melahirkan utang baru. Selain itu negara penerima tidak perlu merisaukan atau menghadapi risiko manakala suatu PMA yang masuk ke negerinya

ternyata tidak mendapatkan untung dari modal yang ditanamnya. 11

Meskipun adanya aspek-aspek positif dari PMA dalam membantu upaya-upaya

negara-negara penerima, PMA ternyata dapat pula berdampak negatif terhadap perekonomian negara penerima. Namun demikian sudah lama diakui bahwa PMA dapat melahirkan sengketa dengan negara penerima atau dengan penduduk asli setempat, khususnya di negara-negara sedang berkembang.

pembangunan

kepada

perekonomian

8 Sir Leon Brittan, 'Building on the Singapore Ministerial: Trade, Investment and Competition,' dalam: Jagdisch Bhagwati & Mathias Hirsch,

supra, note 4, hlm. 272.

9 William A. Fennel and Joseph W. Tyler, Trade and International Investment from the GATT to the Multilateral Agreement on Investment

(1995), hlm. 2003.

10 Lihat Eric M. Burt, 'Developing Countries and the Framework for Negotiations on

in the World Trade Organization,' 12:6 Am. U.J.Int'l.L & Pol'y 1022 (1997); Ibrahim F.I. Shihata, 'Factors Influencing the Flow of Foreign Investment and the Relevance of a Multilateral Guarantee Scheme,' 21 Int'l. Law 671, 675 (1987).

Foreign

Direct Investment

11 William A. Fennel, supra, note 9, hlm. 23.

Dampak lainnya adalah bahwa PMA oleh MNE dapat mengontrol atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal. 12 Sebagai akibatnya, mereka dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi atau bahkan kebijakan-kebijakan politis dari negara penerima.

Di samping itu pula, MNE banyak dikecam telah mengembalikan keuntungan-keuntungan dari kegiatan bisnisnya ke negara di mana perusahaan induknya berada. Praktek seperti ini sedikitnya telah mengurangi cadangan persediaan mata uang asing (foreign exchange reserves) dari negara penerima.

Yang lebih banyak dikecam pula adalah adanya tuduhan-tuduhan terhadap MNE yang kegiatan usahanya ternyata telah merusak lingkungan di sekitar lokasi usahanya, terutama di negara-negara sedang berkembang. Pasalnya adalah, MNE ini telah menggunakan zat- zat yang membahayakan lingkungan atau menerapkan teknologi yang

tidak atau kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. 13

Dampak negatif lainnya adalah bahwa MNE dikritik telah merusak aspek-aspek positif dari penanaman modal itu sendiri di negara-negara sedang berkembang. Misalnya, adanya praktek MNE yang acapkali menerapkan kegiatan-kegiatan usahanya yang bersifat

restriktif (restrictive business practices). 14

12 Sir Leon Brittan, supra, note 8, hlm. 271 (berpendapat bahwa banyak negara maju, khususnya di Eropa dan sekutunya menganggap penanaman modal

sebagai saingan yang potensial terhadap perusahaan di dalam negeri).

13 Misalnya saja, perusakan lingkungan di Papua (Irian Jaya) sebagai akibat dari pengoperasian proyek tembaga dan mas oleh PT Freeport

Indonesia (suatu anak perusahaan Amerika Serikat, the Freeport-McMoran Company), atau kasus bocornya reaktor nuklir di India yang terkenal dengan kasus the Bhopal case.

14 Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1023.

C. TRIMS di Negara Sedang Berkembang.

Dengan mengingat dampak-dampak negatif PMA, dewasa ini negara-negara berkembang umumnya berpendapat bahwa akivitas atau ruang lingkup usaha perusahaan-perusahaan besar ini perlu dibatasi. Mereka tidak boleh dengan bebas menanamkan modalnya di segala sektor. Negara-negara ini memandang bahwa PMA harus diawasi

guna mencegah timbulnya aspek-aspek negatif tersebut tadi. 15 Negara-negara berkembang umumnya, 16 menerapkan pengawasan

modal yang tertuang dalam bentuk berbagai upaya penanaman modal dan

Persyaratan- persyaratan demikian sekarang dikenal dengan istilah TRIMs atau

persyaratan-persyaratan

penanaman

modal.

trade-related investment measures terhadap perusahaan-perusahaan asing yang hendak menanamkan modalnya. Tujuan utama dari pengenaan upaya-upaya atau persyaratan-persyaratan ini oleh negara penerima adalah untuk mengatur dan mengontrol aliran PMA sedemikian rupa

sehingga dapat memenuhi tujuan pembangunannya. 17

15 Pendekatan ini yang diperkenalkan oleh Prof. M. Sornarajah, yang dikenal pula sebagai teori jalan tengah ('middle path theory'). Teori

ini berupaya mendamaikan adanya polarisasi dari dua teori yang saling bersilangan, yaitu teori klasik ('classical theory') yang berpendapat bahwa semua PMA adalah baik sifatnya dan teori kedua yaitu teori ketergantungan ('dependency theory') yang beranggapan bahwa semua PMA sifatnya adalah membahayakan. (Lihat, M. Sornarajah, supra, note 1, hlm.

45 et.seqq).

16 Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1982 oleh pemerintah Amerika Serikat

sedang berkembang telah menerapkan sekitar 28 per sen TRIMS dibandingkan dengan negara-negara maju yang hanya menerapkan 7,5 %. (David Greenaway, 'Why Are We Negotiating on TRIMs?',

menunjukkan bahwa

negara-negara

dalam: David Greenaway, et.al., Global Protectionism (Macmillan, Hampshire, 1991), hlm. 152.

17 Mina Mashayekhi and Murray Gibbs, 'Lessons from the Uruguay Round Negotiations on Investment,' 33:6 JWT 1 (1999) (menyatakan antara lain

bahwa negara-negara sedang berkembang lebih menyukai kombinasi antara insentif penanaman modal dan persyaratan pelaksanaan (performance requirements) guna memenuhi tujuan pembangunannya); United Nations Centre on Transnational Corporations, United Nations Conference on Trade and Development, The Impact of Trade Related Investment Measures on

Pada prinsipnya TRIMs ini merupakan unsur yang penting bagi kebijakan-kebijakan negara tuan rumah, terutama negara sedang berkembang. Beberapa negara sedang berkembang bahkan ada pula yang menganggap

pembangunannya. 18 Negara berkembang lainnya menggunakan TRIMS ini untuk meminimalkan dampak dari PMA. Negara-negara ini telah pula menjadikan upaya-upaya tersebut sebagai bagian dari pembangunan ekonominya untuk mencapai

TRIMs

sebagai

sarana

tingkat pertumbuhan pembangunan negaranya. 19

Tujuan lainnya dari negara tuan rumah di dalam menerapkan TRIMS ini adalah mencegah perusahaan PMA untuk membuat putusan atau kebijakan yang sifatnya lintas batas. Putusan atau kebijakan seperti ini

biasanya dapat mempengaruhi kebijakan atau perekonomian negara tuan rumahnya. 20 Di samping itu pula, penerapan TRIMS dipandang semata-mata sebagai suatu hak atau kebijakan

setiap

negara

yang

merdeka

untuk mengatur

Trade and Development (UN Doc.ST/CTC/120, U.N. Sales No. E.91.II,A.19 (1991).

18 Lihat misalnya pernyataan yang dibuat oleh Delegasi ASEAN pada Joint ASEAN Statement on the Uruguay Round at the APEC Ministerial Meeting,

Singapore, 30 July 1990, para. 14.

19 Ralph H. Folsom & Michael W. Gordon, International Business Transactions, vol. 2 (St. Paul Minn.,: West Publishing Co., 1995), hlm.

137 (menyatakan bahwa negara-negara sedang berkembang berpendirian bahwa TRIMS adalah sarana untuk mendorong tujuan-tujuan pemerintah di dalam memajukan

perdagangan yang berimbang); Rachel McCulloch, 'Investment Policies in the GATT,' 13 World Economy 541, 545 (1990), (mengungkapkan berbagai bentuk kebijakan nasional di bidang penanaman modal), Edmund M.A. Kwan, 'Trade Related Investment Measures in the Uruguay Round: Towards a GATT for Investment,' 16 N.C.J.Int'l.L.& Com.Reg. 309, 309, 319 (1991).

20 Lars Oxelheim, 'Foreign Direct Investment and the Liberalization of Capital Movements,' dalam Lars Oxelheim (ed)., The Global Race for

Foreign Direct Investment, (Berlin: Springer-Verlag, 1993), hlm. 14. Cf., Puri dan Bondap berpendapat bahwa TRIMS tidak semata-mata mengatur FDI untuk memenuhi kebijakan negara tuan ruman tetapi juga untuk mengundang investor datang ke negaranya. (Puri and Bondad, 'TRIMS, Development Aspects and the General Agreement,' dalam Uruguay Round: Further Papers on Selected Issues, (New York: United Nations, 1990), hlm. 57.

perekonomiannya termasuk PMA di dalamnya (guna mencegah dampak

buruk dari PMA). 21

Kebijakan seperti ini sudah barang tentu suatu langkah yang lebih menguntungkan negara penerima (khususnya negara sedang berkembang) daripada negara-negara maju (pengimpor modal dan

negara di mana perusahaan-perusahaan besar berdomisili). 22

Para investor asing sebaliknya berpendapat lain. Mereka beranggapan, TRIMS merupakan rintangan terhadap perdagangan dunia dan aliran penanaman modal serta telah menghalangi mereka dalam

menerapkan strategi kompetitif global yang terpadu. 23 Suatu penelitian yang dilakukan pada tahun 1977 dan 1982, misalnya, menunjukkan bahwa 45 hingga 60 persen perusahaan-perusahaan

Amerika Serikat terkena pengaruh dari adanya TRIMS ini. 24

21 P.T Muchlinski, supra, note 1, hlm. 172. Untuk kajian secara umum tentang TRIMS, khususnya mengenai sifat dan perkembangannya, lihat:

United Nations Centre on Transnational Corporations, United Nations Conference on Trade and Development, The Impact of Trade Related Investment Measures on Trade and Development (UN Doc.ST/CTC/120, U.N. Sales No. E.91.II,A.19 (1991).

22 Cf., sewaktu Tokyo Round (1979) berlangsung, mantan duta besar Kanada untuk GATT menyatakan bahwa kebijakan negara-negara sedang berkembang

yang mengenakan syarat-syarat terhadap penanaman modal asing langsung merupakan praktek yang telah lama berlangsung dan diakui. Beliau berpendapat bahwa secara umum para investor asing pun dapat menerima adanya persyaratan-persyaratan tersebut sebagai harga yang harus dibayar atas kesempatan untuk membuat keuntungan yang besar di dalam pasar negara-negara sedang berkembang. (Rodney de C. Grey, " '1992' TRIMS and Selected Issues (New York: United Nations, 1990), hlm. 238).

23 UNCTAD, The Outcome of the Uruguay Round: An Initial Assessment (New York: UN, 1997), hlm. 135.

24 Low and Subramanian, 'TRIMs in the Uruguay Round: An Unfinished Business,' dalam: Robert M. Stern, (ed.), Multilateral Trading System

(Ann Arbor: the University of Michigan Press, 1993), hlm. 418. Cf., suatu pandangan yang berbeda dikemukakan oleh sarjana Hong Kong yang menyatakan tidak ada bukti yang jelas dan dapat diterima bahwa TRIMS benar-benar merintangi perdagangan dan aliran penanaman modal. Suatu kajian dari sudut pandang ekonomi mengungkapkan bahwa TRIMS sesungguhnya dapat digunakan secara efisien sebagai penyangkal atas akibat buruk dari akibat negatif dari perdagangan dan penanaman modal. (Lihat lebih lanjut: Eden S.H. Yu and Chi-Chun Chao, 'On Investment Measures and Trade,' 21 World Economy 4 (1998), hlm. 549 dan khususnya hlm. 559.

Pada umumnya, persyaratan penanaman modal dapat digolongkan ke dalam dua bentuk. 25 Pertama, persyaratan masuk (entry requirement) dan kedua, persyaratan operasional (operational requirement). Kebijakan negara-negara menunjukkan bahwa pada umumnya negara-negara menerapkan kedua bentuk persyaratan tersebut

sebagai syarat untuk masuknya modal asing ke negaranya. 26

Pada tahap pertama, yaitu persyaratan masuk (entry requirement), biasanya badan penanaman modal dari negara penerima memeriksa apakah usulan atau proposal penanaman modal asing sesuai atau

pembangunan negaranya. Pertimbangan lainnya, apakah proposal tersebut memberikan keuntungan kepada negara penerima. 27 Karena itu, manakala negara penerima setelah memeriksa suatu proposal PMA beranggapan bahwa proposal tersebut tidak memenuhi persyaratan masuk atau persyaratan kebijakan penanaman modal nasionalnya, maka pemerintah tersebut dapat menolak permohonan penanaman modal.

cocok

dengan

tujuan-tujuan

Sebaliknya, manakala pemerintah negara penerima beranggapan bahwa suatu usulan PMA memenuhi persyaratan untuk masuknya suatu penanaman modal, maka negara yang bersangkutan akan menerapkan persyaratan yang kedua, yaitu persyaratan operasional atau persyaratan

performance requirements). Ruang lingkup persyaratan-persyaratan ini cukup

pelaksanaan

(operational

atau

25 Lihat juga Muchlinski, supra, note 1, hlm. 172 et.seq.

26 Fennel berpendapat bahwa ada juga TRIMS yang tidak secara eksplisit merupakan bagian dari kebijakan perdagangan, yaitu rintangan-rintangan

birokrasi di berbagai negara sedang berkembang yang dapat menjadi rintangan bagi penanaman modal. (Lihat: William A. Fennel and Joseph W. Tyler, supra, note 9, hlm. 2034).

27 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 100-102.

luas, bergantung kepada tujuan atau kebijakan masing-masing negara.

Namun demikian persyaratan pelaksanaan yang paling umum adalah persyaratan menggunakan kandungan local (local content requirements), persyaratan perdagangan yang berimbang (trade balancing requirements) persyaratan ekspor (export performance requirements), pembatasan impor (limitation

on imports), persyaratan mata uang asing dan pengiriman mata uang asing (foreign exchange and remittance requirements), persyaratan modal minimum (minimum local equity requirements), persyaratan alih teknologi (technology transfer requirements), dan persyaratan

lisensi produk (product licensing requirements). 28

Dengan diterapkannya persyaratan-persyaratan ini, negara tuan rumah akan memastikan bahwa PMA akan memberikan keuntungan maksimum kepada pembangunan ekonominya. Dalam hal ini, PMA akan digunakan sebaik-baiknya untuk membangun atau untuk memenuhi rencana pembangunan atau rencana perekonomian negaranya.

Semua persyaratan ini lebih banyak dan lazim dipraktekkan oleh negara tuan rumah. Legalitas upaya ini disandarkan pada alasan untuk memelihara kedaulatan atau pengawasan negara terhadap

PMA. 29 Setiap usulan penanaman modal yang tidak memenuhi tujuan dari negara tuan rumah atau usulan PMA yang diduga akan

28 Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1025.

29 Maskus and Eby, 'Developing New Rules and Disciplines on Trade-Related Investment Measures,' in Robert M. Stern (ed.), supra, note 24, hlm.

membahayakan tujuan pembangunan negaranya, maka negara tersebut

akan menolak masuknya PMA. 30

Semua upaya atau kebijakan tersebut adalah sah. Pada prinsipnya hukum internasional memberikan kekuasaan, jurisdiksi atau hak-hak berdaulat kepada suatu negara untuk mengatur setiap kegiatan. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan perdagangan atau ekonomi di wilayahnya.

Perlu ditekankan di sini bahwa jangka waktu penanaman modal MNEs di negara tuan rumah biasanya cukup lama. Karena itu, pertimbangan waktu inilah yang juga menjadi latar belakang mengapa negara tuan rumah mengatur ruang lingkup PMA. Langkah ini perlu guna mengantisipasi akibat-akibat yang mungkin timbul di kemudian

hari dari PMA melalui berbagai kebijakan atau persyaratan. 31

Kewenangan negara tuan rumah untuk mengatur masuknya PMA hanya tunduk kepada perjanjian-perjanjian internasional (di bidang PMA) yang ditandatangani oleh negara yang bersangkutan. 32 Pengakuan atas hak ini sangat penting untuk negara-negara, khususnya negara sedang berkembang. Hak tersebut diperlukan untuk

mengatur dan mengawasi masuknya PMA ke dalam wilayahnya. 33 Prof. M. Sornarajah menjelaskan hak ini sebagai berikut: 34

'The right of a state to control entry of foreign investment is unlimited, as it is a right that flows from sovereignty. Entry of any foreign investment can be excluded by a state. Once an alien enters a state, both he and his property are

30 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 100.

31 Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1027.

32 Muchlinski, supra, note 1, hlm. 173.

33 Dapat dikemukakan di sini bahwa adanya pengakuan untuk mengatur dan mengontrol ini telah mencerminkan pendirian negara-negara sedang

berkembang di Uruguay Round mengenai TRIMS.

34 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 83.

subject to the law of the host state. This result flows from the fact that the foreign investor had voluntarily subjected himself to the regime of the host state by making entry into it. The absoluteness of the right to exclude the alien prior to entry becomes somewhat modified after entry as the alien then comes to enjoy a status, which is protected by international law.'

Tampak bahwa hukum internasional berperan penting di dalam penanaman modal. Peranan hukum ini juga cukup luas. Ia juga berperan penting di dalam menyelesaikan sengketa yang timbul antara dua negara, yakni antara negara penerima dengan negara dari

para investor. 35

Uraian di atas menunjukkan hukum internasional telah mengakui hak negara-negara untuk mengontrol orang asing (investor asing atau MNE). Ironisnya perkembangan hukum internasional di bidang ini (khususnya PMA) masih diwarnai oleh berbagai debat di

antara para ahli hukum internasional. 36

Latar belakang dari keadaan ini adalah masih adanya sengketa atau polarisasi pandangan antara (sarjana-sarjana) negara maju dan negara sedang berkembang. Pada prinsipnya sarjana dari negara maju berpandangan perlunya suatu rejim hukum internasional yang liberal, yaitu rejim yang tidak boleh menghalangi aliran penanaman modal ke mana pun juga.

Sedangkan sarjana dari negara berkembang acapkali masih bersandar pada prinsip kedaulatan negara. Mereka berpendapat bahwa

35 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 7-8. Secara umum, peranan yang dimainkan oleh hukum internasional antara lain adalah bahwa hukum ini

meletakkan beberapa prinsip tentang penyelesaian sengketa, misalnya saja, prinsip penyelesaian sengketa melalui cara-cara damai, atau larangan menggunakan kekerasan di dalam menyelesaikan sengketa.

adalah hak berdaulat setiap negara untuk mengontrol setiap PMA,

dari manapun asalnya, yang masuk ke dalamnya. 37

Pandangan negara-negara maju terhadap adanya TRIMS adalah bahwa TRIMS tersebut telah memaksa mereka untuk mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomis di dalam rencana penanaman modal mereka. Dalam pandangan mereka, TRIMS tidaklah kondusif dan telah menjadi rintangan bagi perdagangan. Karena itu, mereka bertekad untuk mengurangi atau bahkan menghapus adanya upaya-upaya TRIMS tersebut.

D. TRIMS di Negara Maju

Meskipun adanya pandangan-pandangan di atas, beberapa negara maju sebenarnya telah juga menerapkan rintangan-rintangan perdagangan terhadap penanaman modal. Hal ini terjadi ketika beberapa negara telah berubah kedudukannya, yaitu bukan lagi semata-mata sebagai pengekspor modal, tetapi juga sebagai

pengimpor atau penerima modal asing. 38

Adalah benar bahwa negara-negara ini telah mengurangi atau berupaya menghapus rintangan-rintangan penanaman modal. Namun rintangan tersebut tidak seluruhnya hilang. Ada beberapa rintangan yang masih ada. Ada dua alasan mendasar mengapa beberapa rintangan masih dipertahankan. Pertama, negara maju kadang-kadang pula

36 Prof. M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 1 (menyatakan bahwa hukum penanaman modal telah menjadi bahan debat yang cukup sengit di antara

para sarjana hukum internasional pada pertengahan abad ke dua-puluh).

37 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 85.

38 Robert H. Edwards Jr and Simon N. Lester, 'Towards a More Comprehensive World Trade Organization on Trade-Related Investment

Measures,' 33 Stan.J. Int'l.L. 169 (1997), khususnya hlm. 184-186 (memberikan contoh-contoh praktek Amerika Serikat dan Kanada di dalam menerapkan TRIMS terhadap penanaman modal asing).

menyandarkan pendekatannya kepada rasa nasionalisme yang tinggi. Kedua, terdapat rasa kekhawatiran pada sebagian negara maju bahwa modal asing akan mengambil alih aset-aset produktif di

negaranya. 39

Selain itu, beberapa negara maju telah pula menutup atau melarang beberapa sektor untuk PMA. Atau, kalaupun akhirnya sektor-sektor tersebut diliberalisasi, tingkat keikutsertaan PMA

di sektor tersebut sangat dibatasi. 40 PMA tidak diperkenankan untuk ikut serta di dalam permodalan di dalam privatisasi aset- aset milik negara. Atau, PMA ini akan dikaji dan hanya diperbolehkan manakala mereka telah memenuhi beberapa persyaratan

tertentu. 41

Negara-negara maju utama, seperti Eropa, Kanada, Australia dan bahkan Amerika Serikat mempraktekkan kebijakan-kebijakan penanaman modal seperti ini. Mereka menyandarkan kebijakan- kebijakan tersebut kepada standar-standar mereka yang pada hakekaktnya merupakan hambatan terhadap masuknya PMA ke negara- negara tersebut. Dalam laporan pada tahun 1988, PBB mengungkapkan bahwa Amerika Serikat telah membatasi kepemilikan atas sektor- sektor oleh PMA yang dapat mempengaruhi atau mengancam keselamatan dan kepentingan vital, seperti pengangkutan laut (maritim) dan

pengangkutan udara. 42

39 Lars Oxelheim, supra, note 20, hlm. 27.

40 Stephen J. Canner, 'Trade and International Investment: from GATT to the Multilateral Agreement on Investment,' dalam: Joseph F. Dennin,

(ed)., Law and Practice of the World Trade Organization (New York: Oceana Publ., 1995), hlm. 12.

41 Stephen J. Canner, Ibid, hlm. 12.

42 William A. Fennel and Joseph W. Tyler, supra, note 9, hlm. 2037, (mengutip U.N. Center on Transnational Corps., 7 National Legislation

Guna mengantisipasi masuknya PMA ke negaranya, Amerika Serikat mengundangkan suatu Undang-Undang yang disebut Defense Production Act. Tujuan utama dari UU ini adalah mengawasi dan

melindungi produk-produk yang sifatnya strategis bagi pertahanan Amerika Serikat.

Di tahun 1975, Amerika Serikat mendirikan suatu badan antar departemen yang disebut the Interagency Committee on Foreign Investment in the U.S. (CFIUS). Badan baru ini bertugas mengawasi aliran masuk PMA di bidang perminyakan.

Amerika Serikat mengundangkan the International Investment and Trade in Service Survey Act (IITSSA) guna memonitor aliran penanaman modal Amerika Serikat ke luar negeri dan PMA yang masuk ke dalam wilayah Amerika Serikat. The IITSSA mewajibakan para investor untuk memberikan

Setahun

kemudian

di

tahun

laporan secara periodik mengenai kegiatan penanaman modalnya. 43

Pada tahun 1988, pemerintah Amerika Serikat mengundangkan the Exxon-Florio Act. Undang-undang ini memberi kewenangan kepada presiden untuk mengkaji ulang setiap penanaman modal asing. Kajian ini dipandang perlu dilakukan untuk mengetahui apakah penanaman modal tersebut akan mempengaruhi atau membahayakan keamanan nasional Amerika Serikat. Undang-Undang ini juga memberi wewenang kepada presiden untuk menunda atau melarang PMA yang ternyata

and Regulation Relating to Transnational Corporations 289, ST/CTC/31, U.N. Sales No. E. 89. II. A.9 [1989]).

43 Robert H. Edwards Jr and Simon N. Lester, supra, note 38, hlm. 184- 186.

mempengaruhi atau membahayakan keamanan nasional Amerika Serikat. 44

44 William A. Fennel and Joseph W. Tyler, supra, note 9, hlm. 2037; M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 85.

BAB II

LATAR BELAKANG NEGOSIASI TRIMs

Hingga dewasa ini belum ada aturan hukum internasional komprehensif yang mengatur PMA. Sedangkan lembaga internasional yang mengatur dan mengawasi liberalisasi PMA baru terbentuk pada tahun 1995. Alasan utama dari keadaan ini adalah karena upaya- upaya masyarakat internasional terhadap masalah ini masih sangat

sektoral sifatnya. 1

Dalam perkembangan awalnya, penanaman modal asing secara langsung mulai tampak di masa penjajahan (kolonialisme). Penanaman modal pada waktu itu berlangsung dalam bentuk pergerakan manusia (investor) bersama modalnya dari Eropa ke negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika selatan. Umumnya modal yang ditanamkan tersebut ditujukan untuk mengeksploitasi kekayaan melimpah di negara-negara tersebut.

Pemerintah penjajah biasanya membuat suatu kebijakan yang menarik bagi para investor asing. Mereka juga memberikan perlindungan dan jaminan bahwa para investor dan harta bendanya dapat tunduk kepada jurisdiksi pengadilan negara penerima di mana para investor tersebut berdomisili atau menginvestasikan modalnya.

1 Cf., Pandangan yang berbeda dapat terlihat dalam: Lee E. Preston and Duane Windsor, (eds)., The Rules of the Game in the Global Economy:

Policy Regime for International Business, (Boston-Dordrecht-London: Kluwer, 2nd.ed., 1977), hlm.137 (yang berpendapat bahwa peranan penaman modal asing akan memainkan perannya pasca perang tata ekonomi internasional tidak diantisipasi manakala fondasi dari hukum perdagangan dan pembayaran tidak ada).

Atau, mereka diperkenankan pula untuk tunduk kepada jurisdiksi

nasional negara para investor tersebut. 2

Sebenarnya perlindungan investasi pada waktu itu tidak merupakan

para penguasa (pemerintahan penjajahan) telah menjadikan masalah perlindungan ini sebagai salah satu bagian dari kebijakannya di wilayah negara jajahannya. Karena itu kebutuhan investor akan perlindungan hukum internasional tidaklah begitu penting.

masalah

yang

penting.

Umumnya

Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang diikuti oleh lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang memerdekakan dirinya, para investor mulai mengfokuskan perhatiannya kepada pembangunan kembali negara-negara baru tersebut. Mereka berupaya pula mencari syarat-syarat yang

menguntungkan di dalam usaha penanaman modalnya. 3

Dalam masa ini terjadi suatu masa baru di mana para investor dan pemerintah negara-negara baru tersebut membuat kesepakatan- kesepakatan mengenai penanaman modal yang tertuang di dalam suatu perjanjian. Dalam hal ini, para investor asing mulai berupaya mencari aturan-aturan yang mengatur penanaman modal asing di tingkat bilateral, regional atau internasional.

Upaya petama di dalam menetapkan aturan hukum intenasional bagi penanaman modal asing terjadi sebelum Perang Dunia II. Pada masa itu, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menetapkan

2 Nico Schrijver, 'Developments in International Investment Law', in: Ronald St. John Macdonald, (ed)., Essays in Honour of Wang Tieya,

(Dordrecht, Boston, London: Martinus Nijhoff Publishers, 1993), hlm. 704.

3 Preston and Windsor, supra, note 1, hlm. 136.

standar-standar internasional untuk perlindungan penanaman modal asing.

Standar-standar bagi perlindungan penanaman modal ini sesungguhnya pula dibuat untuk menampung kebutuhan negara-negara (maju) dan para investornya. Fokus utama dari standar tersebut adalah mengenai status orang asing. Standar ini diterapkan terhadap berbagai aspek hukum mengenai penanaman modal dan

perlindungan modalnya. 4 Termasuk di dalamnya adalah pengaturan mengenai perlindungan hak-hak milik penanaman modal asing (the regulations of foreign investment protection of property rights), penyelesian sengketa, hak asasi manusia dan orang asing, dan

perlindungan dalam hal terjadinya pemberontakan atau kekacauan. 5

Negara-negara maju tersebut berpendapat bahwa pengaturan- pengaturan seperti ini harus ditaati oleh semua negara. Mereka menyebut pengaturan-pengaturan tersebut sebagai standar minimum yang harus diterapkan secara internasional (international minimum

standard). 6

Standar-standar perlakuan tersebut juga dimasukkan di dalam perjanjian-perjanjian di bidang perdagangan. Untuk memastikan agar standar-standar tersebut mengikat, negara-negara maju berupaya

4 Untuk analsis lebih lanjut mengenai hal ini lihat: M. Sornarajah, 'Power & Justice in International Law,' 1 SJICL 28 (1997), (berpendapat

bahwa hukum internasional 'has been an extension of power play of states and curtailment of such use of power by normative principles involved in

notions of justice'). (hlm.49)

5 Nico Schrijver, 'Developments in International Investment Law', supra., note 2, hlm. 706.

6 Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai standar minimum internasional ini, lihat: G. Schwarzenberger, Foreign Investments and International

Law (London: Stevens & Sons, 1969).

memaksakan standar-standar tersebut melalui tekanan-tekanan politik atau bahkan kadang kala melalui intervensi militer. 7

Perlakuan yang cenderung lebih menguntungkan investor asing ditentang keras oleh beberapa negara Amerika Latin. Salah seorang sarjana yang menentang standar internasional ini adalah Carlos

Calvo, seorang ahli hukum dan menteri luar negeri Argentina. 8 Menurut Calvo, seorang asing yang menetap di negera lain (untuk berusaha dan lain-lain) tunduk kepada hak-hak perlindungan yang sama dengan warga negara di negara tersebut.

Menurut Calvo pula, orang asing tidak dapat menuntut hak perlindungan yang lebih besar. 9 Pendapat ini menjadi standar yang digunakan dan diterapkan oleh sebagian besar negara sedang berkembang dalam upaya mereka mengatur penanaman modal asing. Mereka berpendapat bahwa penanaman modal asing di suatu negara tunduk kepada hukum di negara tersebut, termasuk perlindungannya

7 UNCTAD, The Outcome of the Uruguay Round: An Initial Assessment (New York: UN, 1997), hlm. 135.

8 Untuk pengkajian mengenai status Calvo Doctrine dewasa ini dalam hubungannya dengan prinsip nasional di dalam hukum internasional

mengenai penanaman modal, lihat: Denise Manning-Cabrol, 'The Imminent Death of the Calvo Clause and the Rebirth of the Calvo Principle: Equality of Foreign and National Investors,' 26 Law & Pol'y Int'l. Bus. 1169 (1995) at 1199.

9 'M. Sornarajah, The Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge U.P., 1994), hlm. 11. Perlu dikemukakan di sini, sebagaimana diungkapkan

oleh Prof. M. Sornarajah, bahwa ‘hukum yang mengatur penanaman modal asing selama adanya konflik pandangan antara Amerika Serikat dan negara- negara Amerika Latin tidak terkait dengan pengambil-alihan harta milik orang asing. Masalah utamanya adalah kasus-kasus mengenai penyerangan oleh penduduk atau balas dendam politis yang dilakukan untuk memberi keuntungan kepada pemerintah Junta yang sedang berkuasa. Beliau pun menyatakan bahwa 'the law on foreign investment in this nature should be kept in mind since the early scholars tended to apply the uniform principles between the investment cases in Latin American mentioned above and the cases of the taking of foreign investment resulting from economic reforms in later period both in Latin America and other part of the world'). (M. Sornarajah, supra, note 8, hlm. 11).

dan ganti ruginya manakala negara penerima menasionalisasi penanaman modal asing.

Begitu pula manakala suatu sengketa timbul dari adanya suatu perjanjian penanaman modal asing. Dalam keadaan tersebut sengketa harus diselesaikan menurut hukum nasional negara penerima investasi. Pengadilan yang mengadili sengketa itu pun haruslah pengadilan nasional dari negara tuan rumah (penerima PMA).

Standar nasional ini diikuti, antara lain, oleh Indonesia selama tahun 1960-an di dalam sengketa nasionalisasi perusahaan- perusahaan perkebunan Belanda di Sumatera. Dalam sengketa ini, pemerintah Indonesia menyandarkan pada hukum nasionalnya untuk

membayar ganti rugi kepada pemerintah Belanda. 10

Konflik antara dua standar tersebut di atas juga mendapat perhatian Liga Bngsa-Bangsa (LBB). Dalam berbagai konperensi badan dunia ini, negara-negara gagal mencapai kesepakatan mengenai perbedaan standar yang harus diterapkan antara kewajiban-kewajiban

negara tuan rumah dengan hak-hak investor asing. 11

Upaya yang lebih serius dari masyarakat internasional untuk merumuskan pengaturan mengenai PMA terjadi setelah Perang Dunia II usai. Dalam suatu konperensi PBB mengenai Perdagangan dan Ketenagakerjaan (the United Nations Conference on Trade and Employment) di tahun 1947-1948, negara-negara juga telah menaruh perhatiannya kepada masalah penanaman modal ini. Namun pada waktu

10 Lihat Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional mengenai Nasionalisasi di Indonesia (Djakarta: Universitas, 1969); Martin Domke,

'Indonesian Nationalization Measures

54 Am.J.Int'l.L 305 (1960); Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rjagrafindo Persada, cet. 3, 2002, khususnya Bab

before

Foreign Courts,'

V tentang Tanggung Jawab Negara.

itu, isu penanaman modal bukan merupakan suatu agenda khusus. Ia semata-mata masih bagian dari suatu agenda yang membahas persoalan

praktek bisnis yang restriktif (restrictive business practices). 12

Isu penanaman modal mendapat suatu tempat khusus dan serius dalam aganda suatu konperensi internasional terjadi ketika masyarakat internasional menandatanani the Final Act of the Havana

Charter for International Trade Organization. 13 Final Act (Piagam Havana) ini mengatur di dalamnya upaya penggalakan aliran modal intenasional untuk penanaman modal yang produktif di antara tujuan dari the International Trade Organization (ITO) (Article 1 : 2). Bab III dari Final Act tersebut yang berjudul "International Investment for Economic Development and Reconstructions" antara lain menyatakan bahwa:

“1. The Members recognize that: (a) international investment, both public and private, can be

of great value in promoting economic development and reconstruction and consequent social progress. ...

(c) without prejudice to existing international agreements to

which Members are parties, a Member has the right:

(i) to take any appropriate safeguards necessary to ensure that foreign investment is not used as a basis for interference in internal affairs or national policies;

(ii) to determine whether and to what extent and upon what terms it will allow future foreign investment... .” 14

11 UNCTAD, supra, note 7, hlm. 136.

12 UNCTAD, supra, note 7, hlm. 136.

13 Untuk teks the Havana Charter, lihat: United Nations Conference on Trade and Employment, Final Act and Related Documents, ECONF. 2/78. Teks

tersebut juga termuat dalam buku klasik mengentai ITO: Clair Wilcox, A Charter for World Trade (New York: Macmillan, 1949), hlm. 227-319. The Havana Charter tidak pernah berlaku karena adanya kondisi-kondisi pada waktu itu. Pasal 103 Charter, tidak terpenuhi dalam jangka waktu yang ditetapkan. Keengganan Amerika Serikat untuk meratifikasi the Charter merupakan penyebab utama kegagalannya.

14 Article 12:1 Havana Charter. Analisis lebih lanjut dan latar belakang sejarah Bab III dan pasal-pasal mengenai penanaman modal dalam Charter,

lihat: Clair Wilcox, supra note 13, hlm. 140-148.

Piagam Havana tidak meletakkan persyaratan terhadap negara- negara anggotanya untuk mempraktekkan perlakuan non-diskriminatif atau perlakuan nasional terhadap PMA. 15 Di samping itu, Piagam juga tidak mengatur isu-isu penting lainnya, seperti penggunaan insentif penanaman modal atau persyaratan-persyaratan pelaksanaan oleh negara penerima. Piagam juga tidak mengatur penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal

antara negara tuan rumah dan investor asing. 16

Beberapa sarjana berpendapat bahwa salah satu alasan gagalnya ITO adalah karena adanya ketentuan mengenai penanaman modal sebagaimana diatur dalam Pasal 12 tersebut. Salah satu pendapat menyatakan bahwa pasal tersebut terlalu memberi perlindungan kepada negara berkembang. Dalam hal ini, Sylvia Ostry menyatakan sebagai berikut:

“The ITO did include investment as well as trade but the provisions were heavily circumscribed, reflecting the fears of many developing countries strong pro-investment rules would lead to foreign control over natural resources and

'strategic' industries.” 17

GATT yang semula direncanakan sebagai suatu dokumen yang dilampirkan kepada Piagam ITO tidak menyebut suatu ketentuan apa pun mengenai penanaman modal. Dapat dimaklumi, GATT sejak semula hanya direncanakan untuk mengatur tarif dan perdagangan.

15 Edward M. Graham, 'Should There Be Rules on Foreign Direct Investment,' dalam: John H. Dunning, (ed)., Governments, Globalization,

and International Business (New York: Oxford U.P., 1997), hlm. 484.

16 Edward M. Graham, Ibid., hlm. 484.

17 Sylvia Ostry, A New Regime for Foreign Direct Investment (Washington DC: Group of Thirty, 1997), hlm. 3. Cf., Eric M. Burt, 'Developing

Countries and the Framework for Negotiations on Foreign Direct Investment in the World Trade Organization,' 12:6 Am. U.J.Int'l.L & Pol'y 1028 (1997) (mengupas keinginan negara sedang berkembang bahwa