Laporan Praktikum Pengamatan Matahari

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Geodesi satelit dapat didefinisikan sebagai sub-bidang ilmu geodesi yang menggunakan bantuan satelit (alam maupun buatan) untuk menyelesikan problem-problem geodesi. (Seeber 1983). Geodesi satelit meliputi teknik-teknik pengamatan dan perhitungan yang digunakan untuk menyelesaikan masalh geodesi dengan menggunakan pengukuran-pengukuran yang teliti ke, dari, dan antara satelit buatan yang umumnya dekat dengan permukaan bumi.

Dalam menentukan posisi suatu titik dipermukaan bumi dapat dilakukan dengan cara astronomi dan geodetik. Posisi astronomis dinyatakan dengan bujur dan lintang astronomis. Sedangkan posisi astronomis itu sendiri dapat didefinisikan sebagai posisi setiap titik dipermukaan bumi diwakili oleh posisi zenit astronomi titik itu di bola langit.

Penentuan posisi secara astronomi ini terlebih dahulu harus melakukan pengamatan matahari. Praktikum pengamatan matahari ini dilakukan untuk mendapatkan sudut azimuth matahari.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan praktikum pengamatan matahari ini adalah :

 Mahasiswa memahami konsep penentuan posisi secara astronomis

 Mahasiswa melakukan pengamatan matahari dengan menggunakan prinsip – prinsip pengamatan matahari yang benar

 Mahasiswa mampu mengidentifikasi kondisi matahari mana yang bisa diamati dan tidak

 Mahasiswa mampu menghitung azimuth matahari dari data yang telah diperoleh pada praktikum ini


(2)

BAB II DASAR TEORI

2.1 Astronomi Geodesi

Sistem Astronomi merupakan sistem geodesi satelit paling tua yang berbasiskan pengamatan pada bintang. Meski terbatas, sistem ini masih digunakan sampai saat ini untuk keperluan – keperluan khusus. Sesuai namanya astronomi geodesi merupakan suatu metode dalam penentuan posisi dengan mengamati bintang ataupun benda langit lainnya. Astronomi geodesi merupakan salah satu cara untuk menetukkan sudut jurusan dari dari dua buah titik yang ada di permukaan bumi. Pengamatan yang paling sering dilakukan adalah pengamatan matahari.

2.2 Azimuth

Azimuth berfungsi untuk mendapatkan arah suatu sisi terhadap arah utara. Pada alat ukur yang dilengkapi dengan kompas, pembacaan sudut horisontalnya ada ketentuan bahwa “azimuth adalah besar sudut yang dimulai dari arah utara atau selatan jarum magnet sampai obyektif garis bidik yang besarnya sama dengan angka pembacaan”. Azimuth dapat didapatkan melalui beberapa cara, yaitu :

- Cara Lokal

- Pengikatan pada dua buah titik tetap - Dengan kompas

- Pengamatan Astronomis 2.3 Pengamatan Tinggi Matahari

Pengukuran azimuth geografi dengan pengamatan tinggi matahari dapat dilakukan dengan cara ditadah, filter dan prisma roelofs. Pengamatan dilakukan dengan menempatkan penadah atau tabir, di belakang lensa okuler, penadah tersebut bisa sebuah kertas putih, sebagai layar yang menangkap bayangan matahari dan bayangan benang diafragma. Bayangan yang jelas dapat diatur sedemikian r-rpa dengan menekan tromol pengatur bayangan atau fokus.


(3)

2.1 Gambar azimuth matahari

2.4 Koreksi 1/2 d sudut vertikal

Pembidikan dikakukan terhadap tepi-tepi matahari, untuk mendapatkan tinggi ke pusat matahari, maka sudut vertikal harus diberi koreksi t/z diameter bayangan matahari. ('d) adalah sudut yang dibentuk oleh garis yang menghubungkan stasiun pengamatan ke tepi-tepi matahari. Makanya dinyatakan dalam satuan sudut. Namun karena jarak rnatahari ke burni berubah-ubah, maka harga ’d’ juga berubah-ubah sesuai dengan jarak bumi. Pada bulan Desember nilai d adalah 32'34" sedangkan pada bulan Juli nilainya 31 '35" . Untuk keperluan hitungan, diambil pembulatan rata-rata sebesar 32'. Koreksi d yang diberikan pada sudut vertikal tergantung pada kuadran berapa bayangan matahari ditempatkan.


(4)

2.2 Gambar Sistem kuadran dalam Geodesi

2.5 Koreksi ½ d sudut horizontal

Koreksi ½ d ini tidak hanya diberikan kesudut horizontal saja, akan tetapi juga diberikan ke sudut horizontal yang tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan sudut ke pusat matahari. Pemakaian tanda (+) / (-) juga dipengaruhi posisi bayangan, matahari dalam sistem kuadran.

2.3 Gambar sistem koreksi ½ Diameter untuk sudut horizontal


(5)

- Koreksi Paralaks horizontal

2.4 Gambar Koreksi Paralaks Horizontal Dimana:

D : jarak dari burni ke matahari (C-M) Z' : sudut zenith pengamat

Z : sudut zenith geosentris p : Z'-Z : paralaks horizontal R : jari-jari bumi (C-O) Perhatikan segitiga OCM :

Secara pendekatan :


(6)

Harga paralaks ini dapat diperoleh dari tabel yang terdapat pada Almanak Matahari dan bintang.

- Koreksi Refraksi

Faktor alam, seperti temperatur, tekanan, dan kelembaban udara adalah hal yang sangat berpengaruh terhadap pengukuran yang dilakukan. Hal ini jelas diketahui karena dapat memberikan efek pemuaian ataupun melengkungnya sinar yang masuk ke dalam teropong (refiaksi). Semua gejala ini dialami oleh hasil pengukuran sejak rnulai dari target yang dibidik sampai didalarn teropong itu sendiri. Oleh karenanya jadi diperlukan koreksi. Harga koreksi refraksi tersebut dapat diperoleh dari tabel pada Almanak tahunan Matahari dan Bintang, dengan rumus sebagai berikut :

Dimana:

Rm :Koreksi refraksi menengah ( pada p '=760mmHg ; t : l0"C; kelembaban nisbi 60%) dengan argumen adalah tinggi ukuran dari matahari.

Cp :Faktor koreksi barometric, dengan argumen adalah tekanan udara stasion pengamat atau ketinggian pendekatan dari stasion pengamat.

Cl :Factor koreksi temperature, dengan argument adalah temperatur udara stasion pengamat.

2.7 Segitiga Astronomi

Segitiga astronomi adalah segitiga bola langit yang dibatasi oleh lingkaran besar yang dibentuk oleh titik zenith, titik matahari atau bintang yang diamati dan sebuah titik kutub ( lndonesia mengambil kutub utara sebagai acuan). Penentuan azimuth geografi dengan metoda pengamatan tinggi matahari diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan data :

- Tinggi matahari (h) diperoleh dari hasil pengamatan dari stasion pengamat.

- Deklinasi matahari (6) yang diperoleh dari tabel pada almanak matahari dan bintang dengan argument adalah waktu, tanggal dan tahun pengamatan.


(7)

- Lintang (g) stasion pengamat yang diperoleh dari hasil interpolasi peta, yaitu dari peta topografi daerah pengamatan.

2.5 Gambar Bola Langit, posisi bintang terhadap Bumi dinyatakan A dan Z.

BAB III

METODOLOGI PELAKSANAAN


(8)

PERSIAPAN

PERENCANAAN

ORIENTASI MEDAN

PENGAMBILAN DATA/ PRAKTIKUM

PENGOLAHAN DATA

PEMBUATAN LAPORAN  Surveyor : Kelompok 2

 Waktu Pelaksanaan

o Hari, tanggal : Rabu, 30 Mei 2012 o Jam : 06.00 – 07.45 BBWI

 Tempat Pelaksanaan : Jurusan Teknik Geomatika ITS

 Kondisi Cuaca : Cerah

3.2 Peralatan :

1. Theodolit merk Nikon NT 3D 2. Paku payung

3. Statif

4. Alat tulis (Kertas HVS dan bolpoin)

3.3 Diagram Alur Pelaksanaan Praktikum:

KETERANGAN:

1. Persiapan : Kegiatan ini meliputi penentuan waktu praktikum serta tempat yang akan digunakan praktikum.


(9)

2. Perencanaan : Kegiatan pada tahap ini adalah peminjaman alat yang akan digunakan dalam pengukuran dilapangan. Sebelum melakukan pengukuran di persiapkan terlebih dahulu tempat yang akan digunakan untuk penempatan alat sebagai tempat untuk membidik tinggi bangunan sekaligus pengamatan matahari.

3. Orientasi medan : Kegiatan dalam tahap ini adalah melihat medan/ tempat yang akan digunakan untuk praktikum yang bertujuan untuk menentukan metode yang akan digunakan dan penempatan titik untuk pengamatan matahari.

4. Pengambilan data : Kegiatan ini adalah praktikum dilapangan, yaitu di tanah lapang sebelah timur jurusan Teknik Geomatika untuk pengamatan matahari.

5. Pengolahan data : Kegiatan yang dilakukan adalah mengolah data yang telah didapat yaitu menghitung deklinasi matahari dari data yang telah didapat.

6. Pembuatan laporan : Setelah praktikum selesai membuat laporan dari praktikum yang telah dilakukan dilapangan dan hasil pengamatan matahari di lapangan.

3.4 Metode Pelaksanaan

1. Hal pertama yang dilakukan adalah penentuan tempat yang akan digunakan untuk pengamatan matahari.

2. Setelah diketahui tempat yang akan digunakan untuk pengamatan matahari , kemudian tentukan titik yang akan digunakan untuk tempat berdirinya alat. Selanjutnya dirikan alat di titik yang telah ditentukan

3. Arahkan teropong kearah matahari. Pada saat mengarahkan teropong kearah matahari, letakan selembar kertas HVS putih di depan lensa okuler, kemudian amati bayangan matahari yang ada pada kertas HVS dengan visier. Atur fokus teropong theodolit sehingga bayangan matahari yang ada pada HVS menyentuh sumbu. Dengan menggunakan sekrup halus horisontal dan vertikal tempatkan bayangan matahari ke dalam kwadran( sesuai dengan waktu pengarnatan). Dengan sekrup gerak halus horisontal temparkan tepi bayangan matahari pada benang vertikal.

4. Posisi pengamat membelakangi matahari dan menghadap pada kertas tadi. Longgarkan sekrup pengunci horisontal dan vertikal, sehingga mudah untuk mengatur gerakkan teropong yang mengarah ke matahari sedemikian rupa sehingga bayangan matahari terlihat yang merupakan lingkaran penuh pada kertas tadah.

5. Kunci sekrup pengunci gerakan horisontal dan vertikal kemudian bayangan matahari dipertajam dengan menggunakan pengatur fokus dan benang diafragma diperjelas dengan pengatur benang diafrgma.

6. Setelah bayangan matahari sudah tampak dengan jelas di HVS, maka baca sudut vertikal dan horisontal pada theodolit melalui lensa okuler dan tidak lupa untuk


(10)

menutup teropong dengan buku atau sejenisnya supaya cahaya matahari tidak masuk ke dalam teropong.

7. Lakukan langkah kedua hingga keenam sebanyak tiga kali pengamatan untuk tiap sub kelompok.

8. Hitung hasil dari data yang telah didapat, maka akan mendapatkan hasil pengamatan dan hasil penghitungan azimuth matahari.

BAB IV

HASIL DAN ANALISA

Pengamatan matahari dilakukan pada hari Rabu tanggal 30 Mei 2012. Dari keadaan waktu dan lapangan diketahui data :

- Koordinat pengamat : -7016’46,8” LS dan 1120 47’43” BT

- Deklinasi : 21047’45,7”


(11)

- Tekanan : 760 mmHg

4.1 Hasil Perhitungan Kelompok 2A INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN TEKNIK GEOMATIKA

LEMBAR PENGAMATAN MATAHARI

UNTUK PENENTUAN AZIMUT METODE TINGGI MATAHARI

TITIK PENGAMAT : T-2 NO. THEODOLIT : NIKON NT-3D

TITIK ACUAN : PENANGKAL PETIR GEDUNG RISET BAYANGAN DALAM : TEGAK

TGL PENGAMATAN : 30 MEI 2012 THEODOLIT

DAERAH : TEKNIK GEOMATIKA CARA PENGUKURAN : TADAH

PENGAMAT : KELOMPOK 2A

KEDUDUKAN TEROPONG B LB LB B

KWADRAN I I III III

KEDUDUKAN MATAHARI (SEBENARNYA)

WAKTU PENGAMATAN 6:47:41,22 6:50:17,13 7:00:22,73 7:09:58,10

BACAAN LINGKARAN

TEGAK TERHADAP TEPI 16O9’50” 16O49’20” 18O16’10” 20O33’05”

PUSAT MATAHARI KOREKSI

1/2 D -15’48,2” -15’48,2” 15’48,2” 15’48,2”

TINGGI PUSAT MATAHARI =

hu 15O54’1,8” 16O33’31,8” 18O31’58,2” 20O48’53,2”

Rm 200,5134” 192,3264” 171,0250” 151,1447”

Cp 1 1 1 1

Ct 0,9385 0,9385 0,9385 0,9385

R” 188,1818” 180,4983” 160,5069” 141,8493”

P” 8,5” 8,4441” 8,3467” 8,2185”

TINGGI MATAHARI SEJATI (hs) 15O51’2,12”

16O30’39,75

” 18O29’26,04” 20

O46’39,57

BACAAN LINGKARAN MENDATAR:

- KE TITIK ACUAN (hs) 61O46’40” 241O46’40” 241O46’40” 61O46’40”

- KE TEPI/PUSAT MATAHARI

(HM) 344O19’40” 164O07’25” 164O18’15” 343O22’40”

SUDUT HORISONTAL: - TERHADAP TEPI MATAHARI

(Ψ ') 77O27’00” 77O39’15” 77O28’25” 78O24’00”

KOREKSI 1/2D / cos hu

(ΔΨ) -16’25,92” -16’29,23” 16’40,06” 16’54,41”

- TERHADAP PUSAT

MATAHARI (Ψ) 77O10’34,08”

77O22’45,77

” 77O45’5,06”

78O40’54,41

DEKLINASI (δ) 21 O47’43,2” 21O47’44,2” 21O47’48” 21O47’51,7”

Z (φP , MATAHARI) 64O49’32,51”

64O38’29,95

” 64O3’36,82”

63O19’47,06


(12)

φPA 142O0’6.59” 142

O1’15,72

” 141O48’41,88” 142

O0’41,47

RATA-RATA φPA 141O57’41,42”

4.2 Hasil Perhitungan Kelompok 2B INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN TEKNIK GEOMATIKA

LEMBAR PENGAMATAN MATAHARI

UNTUK PENENTUAN AZIMUT METODE TINGGI MATAHARI

TITIK PENGAMAT : T-2 NO. THEODOLIT : NIKON NT-3D

TITIK ACUAN : PENANGKAL PETIR GEDUNG RISET BAYANGAN DALAM : TEGAK

TGL PENGAMATAN : 30 MEI 2012 THEODOLIT

DAERAH : TEKNIK GEOMATIKA CARA PENGUKURAN : TADAH

PENGAMAT : KELOMPOK 2B

KEDUDUKAN TEROPONG B LB LB B

KWADRAN II II IV IV

KEDUDUKAN MATAHARI (SEBENARNYA)

WAKTU PENGAMATAN 7:32:24,46 7:26:9,82 7:37:38 7:33:53,87

BACAAN LINGKARAN

TEGAK TERHADAP TEPI 25O31’30” 24O2’20” 27O10’00” 26O22’03”

PUSAT MATAHARI KOREKSI

1/2 D 15’48,2” 15’48,2” -15’48,2” -15’48,2”

TINGGI PUSAT MATAHARI =

hu 25O47’18,2” 24O18’8,2” 26O54’11,8” 26O36’14,8”

Rm 119,2792” 127,5770” 113,6643” 115,1190

Cp 1 1 1 1

Ct 0,9385 0,9385 0,9385 0,9385

R” 111,9435” 119,7310” 106,6739” 108,0392”

P” 7,9212” 8” 7,8097” 7,8396”

TINGGI MATAHARI SEJATI (hs) 25O45’34,18” 24O16’16,47” 26O52’32,94” 26O34’34,6”

BACAAN LINGKARAN MENDATAR:

- KE TITIK ACUAN (hs) 164O45’15” 344O05’15” 344O05’15” 164O45’15”

- KE TEPI/PUSAT MATAHARI

(HM) 83O55’25” 264O26’10” 264O03’45” 84O23’30”

SUDUT HORISONTAL: - TERHADAP TEPI MATAHARI

(Ψ ') 80O49’50” 79O39’5” 80O1’30” 80O21’45”

KOREKSI 1/2D / cos hu

(ΔΨ) -17’33,08” -17’20,39” 17’43,28” 17’40,48”

- TERHADAP PUSAT

MATAHARI (Ψ) 80O32’16,92” 79O21’44,61” 80O19’13,28” 80

O39’25,48


(13)

Z (φP , MATAHARI) 61O29’18,07” 62O4’39,08” 61O1’19,85” 61O8’58,80”

φPA 142O1’34,99”

141O26’23,6

9” 141O20’33,13”

141O48’24,2 8”

RATA-RATA φPA 141O39’14,02”

4.3 Hasil Perhitungan Kelompok 2C INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN TEKNIK GEOMATIKA

LEMBAR PENGAMATAN MATAHARI

UNTUK PENENTUAN AZIMUT METODE TINGGI MATAHARI

TITIK PENGAMAT : T-2 NO. THEODOLIT : NIKON NT-3D

TITIK ACUAN : PENANGKAL PETIR GEDUNG RISET BAYANGAN DALAM : TEGAK

TGL PENGAMATAN : 30 MEI 2012 THEODOLIT

DAERAH : TEKNIK GEOMATIKA CARA PENGUKURAN : TADAH

PENGAMAT : KELOMPOK 2C

KEDUDUKAN TEROPONG B LB LB B

KWADRAN I I III III

KEDUDUKAN MATAHARI (SEBENARNYA)

WAKTU PENGAMATAN 7:44:38,20 7:49:8,54 7:50:36,08 7:52:51

BACAAN LINGKARAN

TEGAK TERHADAP TEPI 28O41’10” 29O12’45” 28O59’55” 29O30’00”

PUSAT MATAHARI KOREKSI

1/2 D -15’48,2” -15’48,2” 15’48,2” 15’48,2”

TINGGI PUSAT MATAHARI =

hu 28O25’21,8” 28O56’56,8” 29O15’43,2” 29O45’48,2”

Rm 106,5978” 104,3137” 102,9996” 100,9228”

Cp 1 1 1 1

Ct 0,9385 0,9385 0,9385 0,9385

R” 100,0420” 97,8984” 96,6651” 94,7160”

P” 7,7577” 7,7051” 7,6738” 7,6237”

TINGGI MATAHARI SEJATI (hs)

28O23’49,52

” 28

O55’26,61

” 29O14’14,21” 29

O44’21,11

BACAAN LINGKARAN MENDATAR:

- KE TITIK ACUAN (hs) 262O27’20” 82O27’30” 82O27’30” 262O27’20”

- KE TEPI/PUSAT MATAHARI

(HM) 180O26’30” 0O11’55” 0O38’45” 180O25’50”

SUDUT HORISONTAL: - TERHADAP TEPI MATAHARI

(Ψ ') 82O00’50” 82O15’35” 81O48’45” 82O01’30”

KOREKSI 1/2D / cos hu

(ΔΨ) -17’58,16” -18’3,6” 18’6,89” 18’12,29”


(14)

MATAHARI (Ψ) ”

DEKLINASI (δ) 21O48’4,9” 21O48’6,6” 21O48’7,1” 21O48’8”

Z (φP , MATAHARI) 60O21’4,07” 60O6’29,65” 59O57’41,20”

59O43’19,42

φPA 142O3’55,87” 142O4’1,05” 142O4’33,09” 142O3’1,71”

RATA-RATA φPA 142O3’52,93”

Dari data di atas dapat diketahui bahwa pengamatan tinggi matahari menggunakan sistem tadah sehingga diperlukan koreksi ½ D. Koreksi ½ D disini dikoreksikan terhadap sudut vertikal (900 – bacaan

sudut vertikal) dan sudut horizontal. Kedudukan matahari yang dihitung pada gambar di atas merupakan kedudukan matahari sebenarnya, bukan bayangannya. Oleh karena itu nilai koreksi ½ D tergantung letak kedudukan matahari. Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai + dan - . Sehingga diperoleh tinggi matahari (hu) dari sudut vertikal ± nilai koreksi

½ D.

Untuk memperoleh tinggi sejati (hs) diperlukan koreksi refraksi

dan koreksi paralaks. Koreksi refraksi diperoleh dari : R=Rm x Cp x Ct

Rm (refraksi menengah) merupakan refraksi normal, yang nilainya diketahui dari besarnya hu yang dilihat di tabel VI almanak. Untuk

memperoleh nilai Rm yang tepat maka harus di interpolasi terlebih dahulu. Contoh interpolasi :

28°2521,8−20' 40'−20' =

Rm−107,0 105,5−107,0

Rm

=

106,5978”

Untuk nilai koefisien tekanan dapat melihat tabel VIIa dan untuk koefisien suhu dapat dilihat di tabel VIII. Jika sudah diketahui semuanya maka dapat diperoleh harga refraksi. Koreksi paralaks juga diperoleh berdasarkan harga hu yang diinterpolasi pada tabel IX.

Jika sudah diperoleh nilai koreksi refraksi dan koreksi paralaks, maka dapat diperoleh tinggi sejati (hs) yaitu dengan rumus :

hs=huR+p

Sudut horizontal terhadap tepi matahari diperoleh dari pengurangan bacaan sudut horizontal ke titik dengan bacaan sudut


(15)

horizontal ke tepi matahari. Seperti halnya sudut vertikal, sudut horizontal juga perlu dikoreksi dengan ½ D. Namun koreksi disini berbeda dengan sudut vertikal. Besar koreksi diperoleh dari :

koreksi1 2D=

1 2D coshu

Hasil pengurangannya merupakan besar sudut horizontal terhadap pusat matahari.

Besarnya deklinasi matahari ditentukan oleh waktu pengamatan. Meskipun hari dan tanggal pengamatan sama, namun nilai deklinasinya berbeda. Hal ini dikarenakan deklinasi berubah tiap jamnya. Oleh sebab itu, nilai deklinasi pada ketiga tabel di atas berbeda. Perubahan deklinasi per jam dapat dilihat pada tabel I almanak.

Z merupakan sudut azimuth dari titik pengamat ke matahari. Nilai Z diperoleh dari :

Z=¿sinδ−sinh xsin cosh xcos

cos¿

Dengan h = tinggi sejati (hs)

Ø = lintang pengamat

φPA merupakan azimuth titik pengamat ke titik acuan. Diperoleh dari : φPA=Z+sudut horisontal ke pusat matahari(Ψ)

U

A

Z Ψ

P

Dari ketiga tabel di atas dapat diperoleh selisih pengukuran

SELISIH PENGUKURAN

1 2 3


(16)

5 9 7 |SELISIH 1-2|

0,30760

9 0

1 8

27,39 |SELISIH 2-3| 0,410807 0 24 38,91 |SELISIH 1-3| 0,103199 0 6 11,52

Kesalahan dalam pengukuran menyebabkan hasil dari perhitungan berbeda jauh dari data yang 1 dengan data lainnya sehingga menyebabkan pengukuran tidak presisi. Tidak presisinya hasil penghitungan tersebut di antaranya disebabkan oleh:

- Alatnya tidak center

- Bayangan matahari tidak jatuh tepat bersinggungan dgn benang diafragma

- Rentang waktu antar pengamatan terlalu jauh sehingga kemungkinan terjadi kesalahan cukup besar

- Waktu yg tercatat kurang tepat - Alat ukur yg sudah harus dikalibrasi


(17)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari praktikum pengukuran pengamatan matahari yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Pengukuran yang digunakan adalah pengamatan matahari dengan metode tadah.

2. Pada pengukuran azimuth matahari dibutuhkan posisi lintang pengamat, waktu pengamatan, sudut horisontal, sudut vertikal (zenith) matahari, suhu, dan tekanan udara.

3. Pengukuran azimuth matahari tidak boleh dilakukan di atas jam 9, karena pada saat itu matahari sudah mulai terbit ke atas, sehingga sudut vertikal (zenith) matahari cukup kecil. Hal itu menyebabkan susahnya dalam membaca sudut.

4. Kesalahan dalam pengukuran menyebabkan hasil dari perhitungan berbeda jauh dari data yang 1 dengan data lainnya sehingga menyebabkan pengukuran tidak presisi.

Tidak presisinya hasil penghitungan tersebut di antaranya disebabkan oleh: - Alatnya tidak center


(18)

- Bayangan matahari tidak jatuh tepat bersinggungan dgn benang diafragma

- Rentang waktu antar pengamatan terlalu jauh sehingga kemungkinan terjadi kesalahan cukup besar

- Waktu yg tercatat kurang tepat - Alat ukur yg sudah harus dikalibrasi

5.2Saran

1. Mengupayakan ketelitian dalam pembacaan sudut.

2. Mengusahakan pemilihan waktu pelaksanaan, keadaan cuaca yang cerah.

3. Melakukan pengukuran sebaiknya pada waktu pagi hari pukul 06.00 – 09.00.


(1)

Z (φP , MATAHARI) 61O29’18,07” 62O4’39,08” 61O1’19,85” 61O8’58,80”

φPA 142O1’34,99”

141O26’23,6

9” 141O20’33,13”

141O48’24,2 8”

RATA-RATA φPA 141O39’14,02”

4.3 Hasil Perhitungan Kelompok 2C

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN TEKNIK GEOMATIKA

LEMBAR PENGAMATAN MATAHARI

UNTUK PENENTUAN AZIMUT METODE TINGGI MATAHARI

TITIK PENGAMAT : T-2 NO. THEODOLIT : NIKON NT-3D

TITIK ACUAN : PENANGKAL PETIR GEDUNG RISET BAYANGAN DALAM : TEGAK

TGL PENGAMATAN : 30 MEI 2012 THEODOLIT

DAERAH : TEKNIK GEOMATIKA CARA PENGUKURAN : TADAH

PENGAMAT : KELOMPOK 2C

KEDUDUKAN TEROPONG B LB LB B

KWADRAN I I III III

KEDUDUKAN MATAHARI (SEBENARNYA)

WAKTU PENGAMATAN 7:44:38,20 7:49:8,54 7:50:36,08 7:52:51

BACAAN LINGKARAN

TEGAK TERHADAP TEPI 28O41’10” 29O12’45” 28O59’55” 29O30’00” PUSAT MATAHARI KOREKSI

1/2 D -15’48,2” -15’48,2” 15’48,2” 15’48,2”

TINGGI PUSAT MATAHARI =

hu 28O25’21,8” 28O56’56,8” 29O15’43,2” 29O45’48,2”

Rm 106,5978” 104,3137” 102,9996” 100,9228”

Cp 1 1 1 1

Ct 0,9385 0,9385 0,9385 0,9385

R” 100,0420” 97,8984” 96,6651” 94,7160”

P” 7,7577” 7,7051” 7,6738” 7,6237”

TINGGI MATAHARI SEJATI (hs)

28O23’49,52

” 28

O55’26,61

” 29O14’14,21” 29

O44’21,11

BACAAN LINGKARAN MENDATAR:

- KE TITIK ACUAN (hs) 262O27’20” 82O27’30” 82O27’30” 262O27’20”

- KE TEPI/PUSAT MATAHARI

(HM) 180O26’30” 0O11’55” 0O38’45” 180O25’50”

SUDUT HORISONTAL: - TERHADAP TEPI MATAHARI

(Ψ ') 82O00’50” 82O15’35” 81O48’45” 82O01’30” KOREKSI 1/2D / cos hu

(ΔΨ) -17’58,16” -18’3,6” 18’6,89” 18’12,29”


(2)

MATAHARI (Ψ) ”

DEKLINASI (δ) 21O48’4,9” 21O48’6,6” 21O48’7,1” 21O48’8” Z (φP , MATAHARI) 60O21’4,07” 60O6’29,65” 59O57’41,20”

59O43’19,42

φPA 142O3’55,87” 142O4’1,05” 142O4’33,09” 142O3’1,71”

RATA-RATA φPA 142O3’52,93”

Dari data di atas dapat diketahui bahwa pengamatan tinggi matahari menggunakan sistem tadah sehingga diperlukan koreksi ½ D. Koreksi ½ D disini dikoreksikan terhadap sudut vertikal (900 – bacaan

sudut vertikal) dan sudut horizontal. Kedudukan matahari yang dihitung pada gambar di atas merupakan kedudukan matahari sebenarnya, bukan bayangannya. Oleh karena itu nilai koreksi ½ D tergantung letak kedudukan matahari. Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai + dan - .

Sehingga diperoleh tinggi matahari (hu) dari sudut vertikal ± nilai koreksi

½ D.

Untuk memperoleh tinggi sejati (hs) diperlukan koreksi refraksi

dan koreksi paralaks. Koreksi refraksi diperoleh dari :

R=Rm x Cp x Ct

Rm (refraksi menengah) merupakan refraksi normal, yang nilainya

diketahui dari besarnya hu yang dilihat di tabel VI almanak. Untuk

memperoleh nilai Rm yang tepat maka harus di interpolasi terlebih dahulu. Contoh interpolasi :

28°2521,8−20' 40'−20' =

Rm−107,0 105,5−107,0

Rm

=

106,5978”

Untuk nilai koefisien tekanan dapat melihat tabel VIIa dan untuk koefisien suhu dapat dilihat di tabel VIII. Jika sudah diketahui semuanya maka dapat diperoleh harga refraksi. Koreksi paralaks juga diperoleh berdasarkan harga hu yang diinterpolasi pada tabel IX.

Jika sudah diperoleh nilai koreksi refraksi dan koreksi paralaks, maka dapat diperoleh tinggi sejati (hs) yaitu dengan rumus :

hs=huR+p

Sudut horizontal terhadap tepi matahari diperoleh dari pengurangan bacaan sudut horizontal ke titik dengan bacaan sudut


(3)

horizontal ke tepi matahari. Seperti halnya sudut vertikal, sudut horizontal juga perlu dikoreksi dengan ½ D. Namun koreksi disini berbeda dengan sudut vertikal. Besar koreksi diperoleh dari :

koreksi1 2D=

1 2D coshu

Hasil pengurangannya merupakan besar sudut horizontal terhadap pusat matahari.

Besarnya deklinasi matahari ditentukan oleh waktu pengamatan. Meskipun hari dan tanggal pengamatan sama, namun nilai deklinasinya berbeda. Hal ini dikarenakan deklinasi berubah tiap jamnya. Oleh sebab itu, nilai deklinasi pada ketiga tabel di atas berbeda. Perubahan deklinasi per jam dapat dilihat pada tabel I almanak.

Z merupakan sudut azimuth dari titik pengamat ke matahari. Nilai Z diperoleh dari :

Z=¿sinδ−sinh xsin cosh xcos

cos¿

Dengan h = tinggi sejati (hs)

Ø = lintang pengamat

φPA merupakan azimuth titik pengamat ke titik acuan. Diperoleh dari :

φPA=Z+sudut horisontal ke pusat matahari(Ψ) U

A

Z Ψ

P

Dari ketiga tabel di atas dapat diperoleh selisih pengukuran

SELISIH PENGUKURAN

1 2 3


(4)

5 9 7 |SELISIH 1-2|

0,30760

9 0

1 8

27,39 |SELISIH 2-3| 0,410807 0 24 38,91 |SELISIH 1-3| 0,103199 0 6 11,52

Kesalahan dalam pengukuran menyebabkan hasil dari perhitungan berbeda jauh dari data yang 1 dengan data lainnya sehingga menyebabkan pengukuran tidak presisi. Tidak presisinya hasil penghitungan tersebut di antaranya disebabkan oleh:

- Alatnya tidak center

- Bayangan matahari tidak jatuh tepat bersinggungan dgn benang diafragma

- Rentang waktu antar pengamatan terlalu jauh sehingga kemungkinan terjadi kesalahan cukup besar

- Waktu yg tercatat kurang tepat - Alat ukur yg sudah harus dikalibrasi


(5)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari praktikum pengukuran pengamatan matahari yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Pengukuran yang digunakan adalah pengamatan matahari dengan metode tadah.

2. Pada pengukuran azimuth matahari dibutuhkan posisi lintang pengamat, waktu pengamatan, sudut horisontal, sudut vertikal (zenith) matahari, suhu, dan tekanan udara.

3. Pengukuran azimuth matahari tidak boleh dilakukan di atas jam 9, karena pada saat itu matahari sudah mulai terbit ke atas, sehingga sudut vertikal (zenith) matahari cukup kecil. Hal itu menyebabkan susahnya dalam membaca sudut.

4. Kesalahan dalam pengukuran menyebabkan hasil dari perhitungan berbeda jauh dari data yang 1 dengan data lainnya sehingga menyebabkan pengukuran tidak presisi.

Tidak presisinya hasil penghitungan tersebut di antaranya disebabkan oleh: - Alatnya tidak center


(6)

- Bayangan matahari tidak jatuh tepat bersinggungan dgn benang diafragma

- Rentang waktu antar pengamatan terlalu jauh sehingga kemungkinan terjadi kesalahan cukup besar

- Waktu yg tercatat kurang tepat - Alat ukur yg sudah harus dikalibrasi 5.2Saran

1. Mengupayakan ketelitian dalam pembacaan sudut.

2. Mengusahakan pemilihan waktu pelaksanaan, keadaan cuaca yang cerah.

3. Melakukan pengukuran sebaiknya pada waktu pagi hari pukul 06.00 – 09.00.