Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu

Hubungan Perubahan Luas Hutan terhadap Jumlah Run off Limpasan permukaan run off merupakan respon DAS terhadap curah hujan akibat perbedaan tutupan lahan. Dalam rangka melihat pengaruh luasan hutan terhadap run off, maka dari hasil simulasi terlihat bahwa hubungan antara luas hutan dalam suatu DAS terhadap run off bersifat linear negatif, artinya luasan hutan bertambah maka akan sangat signifikan dalam menurunkan total run off, sebaliknya juga berlaku berkurangnya luasan hutan dalam suatu DAS akan meningkatkan run off. Hubungan antara luasan hutan dalam Sub DAS Cisadane dengan limpasan permukaan sangat signifikan dengan nilai R 2 = 0,961, seperti ditunjukkan pada Gambar 37 Limpasan maksimum terjadi ketika tidak ada hutan. Bertambahnya proporsi luasan hutan dalam suatu DAS maka limpasan permukaan semakin menurun. Setiap bertambahnya 1 ha luasan hutan, limpasan permukaan berkurang 8,07 mmtahunha hutan atau sebesar 8,06 juta m 3 tahun. Gambar 37. Hubungan luas hutan dengan jumlah run off di Sub DAS Cisadane Hulu Hubungan luasan hutan dengan tingkat kadar air tanah juga bersifat linier positif, sehingga luasan hutan dalam suatu DAS dapat meningkatkan kadar air tanah. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 38 di mana luasan hutan menyebabkan SurQ = -8,0687FRST + 1892,9 R² = 0.961, n=11 500 1000 1500 2000 2500 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Jum lah SurQtahun m m FRST kadar air tanah naik dari rata-rata 174,5 mmth menjadi 187,5 mmth dengan R 2 sebesar 0,66 dan hubungan antara luasan hutan dan kadar air tanah disajikan pada Gambar 38. Gambar 38. Hubungan antara prosentase luas hutan dengan kadar air tanah KAT Perubahan Luas Hutan terhadap Evapotranspirasi Aktual Evapotranspirasi hutan sangat berpengaruh dalam mengendalikan air, karena evapotranspirasi hutan dikendalikan oleh luas daun LAI. Umumnya nilai LAI hutan sangat besar umumnya di atas 3, sehingga hubungan antara laju evapotranspirasi aktual di Sub DAS Cisadane Hulu dengan luasan hutan bersifat linier positif dengan nilai R 2 = 0,679 seperti yang disajikan pada Gambar 39. Perubahan luasan penutupan lahan berupa semak belukar, sawah, lahan tegalan, dan sedikit kebunperkebunan, jumlah evapotranspirasi aktualnya per tahun sekitar 679,89 mm 12,32 juta m 3 tahun. Dengan bertambahnya luas hutan, jumlah evapotranspirasi aktualnya semakin meningkat. Setiap pertambahan 1 ha luas hutan, evapotranspirasi aktual bertambah 0,3393 mmtahun 339,3 m 3 thha, sehingga dengan adanya kenaikan konsumsi air sebesar 0,3393 SW = 0,1322FRST + 174,51 R² = 0,6693, n=11 100 120 140 160 180 200 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Ju ml ah SW ta h u n mm FRST mmthha ternyata hutan mengurangi limpasan sebesar 8,07 mmth, sehingga hutan sangat positif menyimpan air sebesar 7,73 mmthha. Gambar 39. Hubungan antara persen luas hutan dengan laju evapotarnspirasi aktual Luas Hutan terhadap Jumlah Aliran Air Tanah ground water flow Hubungan luasan hutan dengan ground water dalam suatu DAS bersifat linear positif seperti yang ditunjukkan oleh base flow dalam setahun terhadap proporsi luasan hutan R 2 =0,8502 seperti pada Gambar 40. Pada saat tidak ada hutan dengan penutupan lahan berupa semak belukar, sawah, lahan tegalan, dan sedikit kebunperkebunan, jumlah base flow per tahun sebesar 130,73 mm. Dengan bertambahnya luas hutan, jumlah base flow semakin meningkat. Setiap pertambahan 1 ha luas hutan, menambah base flow bertambah 1,24 mmha atau 1.240 m 3 dalam setahun, sehingga grafik ini secara empiris membuktikan bahwa semakin banyak hutan semakin banyak air tanah yang akan memperbanyak mata air, dan meningkatkan cadangan mata air sehingga dengan demikian hutan adalah induk dari sungai dan menjaga ketersediaan mata air dalam suatu DAS. ET = 0,3393FRST + 676,89 R² = 0,679, n=11 500 550 600 650 700 750 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Jum lah ETT ahun m m FRST Gambar 40. Hubungan antar persen luas hutan terhadap jumlah base flow Kenaikan jumlah base flow akibat meningkatnya jumlah hutan akan diikuti dengan menurunnya rasio QmaxQmin rata-rata bulanan dalam suatu DAS. Pada saat hutan tidak ada rasio QmaxQmin sebesar 148,8 dan pada saat hutan 10 rasio QmanQmin akan menurun menjadi 47. Hal ini membuktikan bahwa hutan sangat berperan dalam menurunkan debit masimum dan menjaga debit minimum pada musim kemarau. Hubungan antara luasan hutan dan perbandingan QmaxQmin mempunyai nilai R 2 = 0,736 sebagaimana disajikan Gambar 41. Gambar 41. Perbandingan QmaxQmin rata-rata bulan dan luas hutan GWQ = 1,2392FRST + 130,73 R² = 0,8502 50 100 150 200 250 300 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Jum lah GW Qtahu n mm FRST QmaxQmin = -1,0128FRST + 148,84 R² = 0,7363 50 100 150 200 250 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Rat a-ra ta Qmax Q m in FRST Pada kondisi tutupan hutan maksimum rasio QmaxQmin rataan bulanan adalah 41 dan apabila tidak ada hutan sama sekali, maka rasio QmaxQmin akan naik menjadi 149, sehingga terjadi hubungan linier negatif antara proporsi luas hutan dengan rasio QmaxQmin dengan nilai R 2 = 0,73. Setiap penebangan hutan pengurangan luas hutan 1 hutan di DAS Cisadane Hulu akan menyebabkan menaikkan rasio 1,13 rasio QmaxQmin debit rata-rata bulanan, atau setiap penambahan hutan 1 ha menyebabkan pengurangan rasio QmaxQmin sebesar -1,012. Hubungan antara luasan hutan dan rasio base flow dan pada berbagai skenario disajikan pada Gambar 42. Hutan sangat berperan dalam mengendalikan limpasan, menaikan base flow karena pada kondisi hutan 100 maka rasio base flow dengan total debit dalam 1 tahun adalah 42,4 dan pada kondisi hutan 0 merupakan aliran base flow paling rendah dari seluruh skenario yang ada. 5.2.Simulasi Luas Tutupan Hutan di Sub DAS Gumbasa Skenario simulasi luas tutupan hutan di Sub DAS Gumbasa dilakukan dengan 10 ulangan simulasi perubahan luasan hutan alam FRSE dengan memperhatikan hasil validasi dan kalibrasi sebelumnya. Skenario perubahan tutupan lahan secara lengkap disajikan pada Tabel 16. Proses warming up model menggunakan data Tahun 2001-2003 dan kalibrasi menggunakan data Tahun 2004. Hubungan antara luasan hutan dengan debit di Sub DAS Gumbasa secara lengkap disajikan pada Gambar 43. S Gambar 4 S Skenario 0 l Skena 42. Perband skenar Skenario 1 H luas hutan ario 2 luas dingan ras rio luasan hu Hutan 100 55,6 , exi hutan 0 sio base flo utan rasio ba isting rasio rasio basef ow dan dir aseflow 42, o base flow flow 26,9 rect run off ,4 30,3 ff pada ber rbagai Tabel 16. Luas tutupan hutan pada berbagai simulasi di Sub DAS Gumbasa No Simulasi Luas Hutan Ha Rasio Kondisi Existing hutan every green 88.152 71,6 1 Semua lahan menjadi hutan every green kecuali tubuh air 119.235 96,9 2 Hutan ever green menjadi semak belukar 0,0 3 Hutan ever green hanya terdapat di lahan dengan lereng 25 56.675 46,0 4 Hutan ever green hanya terdapat diketinggian 1000 m 76.657 62,3 5 Hutan ever green hanya terdapat diketinggian 2000 m 1.978 1,6 6 Hutan ever green hanya terdapat diketinggian 2000 m 86.164 70,0 7 Hutan ever green hanya terdapat diketinggian 1000 m 11.486 9,3 8 Hutan every green hanya terdapat di lahan dengan lereng 25 31.467 25,6 9 Kebunperkebunan berubah menjadi hutan every green 111.290 90,4 10 Hutan ever green bertambah dari lahan dengan lereng 25 98.405 80,0 Gambar 43. Hubungan antara jumlah Qoulflow blue water di Sub DAS Gumbasa y = -1.1986FRSE2 + 159.25FRSE + 7526.7 R² = 0.883, n=11 300 2300 4300 6300 8300 10300 12300 14300 16300 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 Ju m la h Q Ou tflo w Ta h un m 3 s Luas FRSE Distribusi Q outflow blue water akan meningkat seiring dengan meningkatnya water yield WYLD di Sub DAS Gumbasa, hubungan ini sangat erat dengan nilai R 2 = 0,99 sebagaimana disajikan pada Gambar 44. Gmbar 44. Hubungan antara water yield dengan Q ouflow di Sub DAS Gumbasa Gambar 45. Hubungan antara luasan hutan dengan QmaxQmin di Sub DAS Gumbasa Meningkatnya jumlah water yield akan mengatur keseimbangan dan distribusi debit aliran. Hal ini terlihat pada Gambar 45 dari hasil simulasi bahwa rasio rata-rata debit maksimum Q mxQ min bulanan pada saat hutan QOutflow = 13.653WYLD + 115.39 R² = 0.9926, n=11 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 400 500 600 700 800 900 1000 Jumlah QOu tflo wTahu n m3s Jumlah WYLDTahun mm QmaxQmin= ‐1.2817FRSE+ 129.27 R² = 0.84, n=11 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 Luas FRSE sedikit 0 menjadi korelasi 0, yang ada dalam me Da terlihat pa pada Gam sekitar 2 pada saa ,84. Hubun di Taman engendalika ampak peru ada musim h mbar 46. Skenar Skenari r 130 dan ak at seluruh ngan hasil si Nasional L an limpasan ubahan tutu hujan. Perb rio luasan hu io luasan hu kan turun ra DAS tutup imulasi mem Lore Lindu dan fluktua upan lahan andingan o utan 96,1 utan 71,6 asionya Qm pannya be mberikan pe u menujukk asi debit Su terhadap v utput simul rasio base rasio bas maxQmin rupa hutan enjelasan ba kan bahwa ngai di Sub volume alira lasi antar sk e flow 45,6 e flow 37,0 menjadi h n dengan tin ahwa hutan sangat berp b DAS Gum an, sangat kenario disa hanya ngkat n alam peran mbasa. nyata ajikan Gambar 4 Peru Da sedimenta dengan m merupakan Skenario dan open 16.63 h lahan setia Un merupakan CH+25 tahun 20 rata-rata c hujan ini mana pe Skena 46. Rasio DAS G ubahan lua alam rangk asi dan per menggunaka n kondisi e 2 S1, sek forest beru hutan alam ap skenario ntuk peruba n rata-rata , jumlah c 004. Sken curah hujan menggunak eriode simu ario luasan total base f Gumbasa s hutan ter ka melihat rubahan ikl an 3 skena existing; pe kitar 23,39 ubah menja FRSE be ditunjukkan ahan jumlah curah huj curah hujan nario 3 CH kondisi pad kan feature ulasinya da hutan 0 r flow pada b rhadap cur t perubaha lim input ario peruba enutupan la lahan, gr di hutan al erubah menj n pada Gam h curah huja jan kondis n bertambah H-25, jum da Tahun 20 e weather g ari Tahun 2 rasio base f berbagai sk ah hujan, e an tutupan curah huj ahan tutupa ahan dengan rass land, c lam FRSE jadi semak mbar 47. an ada 3 sk si awal T h 25 dari mlah curah 004. Skena generator y 2002 – 205 flow 34.6 kenario luas erosi dan se lahan te an dilaku an lahan S n total luas coffee, coco . Skenario belukar. Pe kenario. Ske ahun 2004 i rata-rata c hujan berk ario perubah yang tersed 50 dengan r san hutan d edimentasi erhadap ukan perub Skenario 1 s hutan 71, onut, agricu o 3 S2, se eta sebaran t enario 1 CH 4. Skenar curah hujan kurang 25 han jumlah ia di SWA resolusi bul di Sub i erosi, bahan S0 ,6 . ulture ekitar tupan H0 rio 2 awal dari curah AT, di lanan. Kombinas yang digun . Gamb Tabel 17. Skenario S1 S 0 S 2 Ket : CH Pa luas S1 si skenario nakan dalam bar 47. Tutu Kombina Gumbasa FRSE 5.33 71.60 96.90 H= curah hu ada Gamba menghasil A perubahan m simulasi t A. Skena B. Skena C. Skena upan lahan p asi skenario a CH S2- S0-C S1-C ujan FRSE ar 48 terlih lkan debit curah hujan tersebut dis ario S2: F ario S0: F ario S1: F pada berbag perubahan J H-25 CH-25 CH-25 CH-25 E = forest e hat bahwa p lebih tingg B n dan tutup ajikan pada RSE hutan FRSE hutan FRSE hutan gai skenario curah hujan Jumlah Cura CH0 S2-CH0 S0-CH0 S1-CH0 every green pada simula gi pada be pan lahan di a Tabel 17 n alam 55. n alam 71. n alam 96. o di Sub DA n dan tutup ah Hujan S 0 S0 0 S asi luasan h eberapa har C i DAS Gum 33 , 6 9 AS Gumbasa an lahan di CH+25 S2-CH+25 0-CH+25 1-CH+25 hutan yang ri setelah h mbasa a DAS lebih hujan, sehingga fungsi regulator air dan penurunan limpasan hutan sangat berperan, dibandingkan dengan luasan hutan yang lebih kecil pada skenario S0 dan S2. Gambar 48. Perbandingan water yield pada berbagai skenario luasan hutan Gambar 49. Perbandingan pola evapotranspirasi aktual ETA antar skenario 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 319 326 42 49 416 423 430 57 514 Cur ah hu ja n m m Q m 3 s Tanggal CH Existing FRSE 71.96 S0 FRSE 95.35 S1 FRSE 55.33 S2 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 11 21 31 41 51 61 71 81 91 101 111 121 E v ap otr ans p ira si m m Tanggal ExistingFRSE 71.96 S0 FRSE 95.35 S1 FRSE 55.33 S2 P tinggi pad evapotrans ETP. Da tinggi juga dibanding Jum 267 hari jumlah ev evapotrans skenario S aktual ini dibanding Da kadar air Pada Gamba da musim hu spirasi aktu alam hal ini a diimbang kan dengan mlah curah hujan. Has vapotranspir spirasi dari S0 903 mm i berdampak kan S0 dan Gambar 50 ari Gambar tanah bera ar 49 terliha ujan karena ual ETA i hutan sela gi dengen ke n jenis tutup hujan selam sil simulasi rasi aktual a i S1 947 m dan S2 8 k pada juml S2 seperti y 0. Perbandin 51 terlihat ada di ten at bahwa laj faktor kete sama den ain mempun emampuan pan lahan lai ma simulasi i menunjuk akan semaki mm relat 811 mm. M lah curah h yang terliha ngan curah t bahwa pad ngah, sedan u evapotran rsediaan ka ngan laju nyai kemam meresapkan innya. i sekitar 1.7 kkan semak in tinggi. H tif lebih tin Meningkatn hujan netto at pada Gam h hujan nett da skenario ngkan pada nspirasi aktu adar air tana evapotrans mpuan meng n air yang j 22 mm yan kin luas hu Hal ini tercer nggi diban nya jumlah CH-ET ya mbar 50. to setiap ske o hutan lebi skenario ual terjadi p ah, sehingg spirasi pote guapkan air jauh lebih t ng tersebar d utan alami rmin dari ju dingkan de evapotransp ang lebih re enario ih luas distr S3 akan te paling a laju ensial yang tinggi dalam maka umlah engan pirasi endah ribusi erjadi pengurangan kadar air tanah secara signifikan, sehingga pada Bulan September dan Oktober akan mengalami kondisi hampir mendekati titik layu permanen. —Žƒ Gambar 51. Dinamika kadar air tanah pada berbagai skenario di Sub DAS Gumbasa Hubungan antara laju erosi dan sedimentasi dengan luasan hutan di Sub DAS Gumbasa sangat jelas, makin luas hutan maka sedimen menurun dan sedimentasi juga akan menurun. Pada kondisi Tahun 2004 laju sedimentasi 1,5 juta tontahun dan akan mengalami kenaikan menjadi 2,2 juta tontahun apabila luas lahan hutan berkurang menjadi hanya 55,3 data selengkapnya disajikan pada Gambar 52. Jumlah sedimentasi yang akan terjadi pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Rekapitulasi output sedimentasi setiap skenario di Sub DAS Gumbasa Variable Skenario Luas Hutan Alam S0 S1 S2 Sediment Yield tonhathn 13.904 11.037 18.527 Sediment out tontahun 1.517.023 1.328.895 2.228.415 250 270 290 310 330 350 370 390 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rata- rata KAT mm S0 S1 S2 ƒ’ƒ•‹–ƒ•ƒ’ƒ‰ ‹–‹ƒ›—‡” ƒ‡ Gambar 52. Hubungan antara luasan hutan dengan laju sedimentasi di Sub DAS Gumbasa Hubungan antara curah hujan simulasi dengan curah hujan hasil pengukuran disajikan pada Gambar 53, dengan nilai korelasi R 2 = 0,96, sehingga data bangkitan hujan dari SWAT cukup memadai dan bisa digunakan untuk memprediksi curah hujan ke depan. Gambar 53. Perbandingan curah hujan hasil simulasi dan hasil pengukuran di Sub DAS Gumbasa S2 S0 S1 Sedimen = -17,903FRSE + 3E+06 R² = 0,8328 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 60000 70000 80000 90000 100000 110000 120000 Ju m la h s ed im en Ju ta to n ta hu n FRSE Ha 50 100 150 200 250 300 50 150 250 Cur ah Hu jan Obs m m Curah Hujan model mm CH-25 CH0 CH+25 DataCH = 1,0021SimCH R2 = 0,9656 50 100 150 200 250 300 50 150 250 350 Curah Hujan model mm Skenario perubahan input curah hujan 1.722 mmth dan akan menjadi 2.152 mm apabila terjadi kenaikan hujan 25 dan akan menjadi 1.291 mmth apabila terjadi perubahan pola hujan yang berkurang 25. Ketersediaan air setiap bulan pada berbagai skenario perubahan curah hujan dan perubahan pola penutupan lahan secara lengkap disajikan pada Lampiran 8. Sementara kombinasi antara luasan hutan dengan perubahan pola curah hujan sampai dengan tahun 2050 dari hasil simulasi dam keluaran model disajikan pada Lampiran 9 - 12. Dari data tersebut pola pengurangan hutan lebih signifikan dibandingkan dengan adanya perubahan curah hujan.

VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN

6.1. Pemodelan dan Aplikasi Model SWAT

Analisis sensitivitas dan ketidakpastian uncertainty dalam proses kalibrasi model SWAT adalah tahapan yang paling penting. Dalam beberapa literatur disebutkan beberapa parameter memberikan efek signifikan dalam output model SWAT. Pendekatan kalibrasi dapat dilakukan secara manual atau otomatis dan dapat dievaluasi setiap tahapannya, baik secara grafik maupun statistik. Spruill et al. 2000, melakukan analisis sensitivitas secara manual untuk 15 parameter input SWAT untuk DAS seluas 550 ha dengan hasil yang akurat di Kentucky USA dengan kondisi batuan karst. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa konduktivitas hidrolika, faktor alpha base flow, panjang aliran, luas DAS, lebar sungai adalah karakteristik yang mempengaruhi debit aliran. Arnold et al. 2000 menunjukkan bahwa run off, base flow, debit dan evaporasi tanah sangat dipengaruhi oleh curve number, kapasitas ketersediaan air tanah, dan koefisien evaporasi dari tanah. Kalibrasi manual dengan kemampuan keahlian pakar dapat juga digunakan dalam menentukan kalibrasi manual. Efek resolusi peta topografi DEM, peta tanah dan penggunaan lahan dikemukakan oleh Bosh et al. 2004 yang menyatakan bahwa pendugaan debit dari model SWAT untuk Sub DAS Little River dengan luas 2.210 ha di Goergia, USA akan lebih akurat jika menggunakan resolusi lebih tinggi. Menurut Cotter et al. 2003, resolusi DEM merupakan input yang paling kritis dalam simulasi SWAT. Di Luzio et al. 2005 mengemukakan aplikasi SWAT dengan luasan 2.103 ha di Sub DAS Goodwin di Missisipi, pengaruh resolusi tutupan lahan dan DEM sangat signifikan tetapi resolusi peta tanah tidak terlalu signifikan. Dengan data DEM 90 m dan peta tanah dengan skala 1:250.000 dan pada tutupan lahan skala 1:100.000 sudah dianggap mewakili untuk aplikasi pemodelan DAS di Indonesia hal ini dibuktikan dengan hasil akurat baik di Sub DAS Cisadane Hulu maupun di Sub DAS Gumbasa. Chaplot et al. 2005 menganalisis bahwa distribusi penakar curah hujan dalam simulasi model SWAT mempengaruhi output model. Pada luasan 4 juta km 2 di daratan Afrika dengan jarak interval 0.5 o memberikan prediksi yang terbaik dalam menduga debit di Afika Barat termasuk DAS Nigeri, DAS Volta dan DAS Sinegal. Hasil yang diperoleh di Sub DAS Gumbasa dengan 7 penakar hujan untuk luasan 120.00 ha dan di Bogor dengan 1 unit penakar hujan untuk luasan 1.800 ha telah memberikan hasil yang baik, sehingga di Indonesia dapat diaplikasikan 1 penakar hujan mewakili 2.000 ha di daerah pegunungan. Van Liew et al. 2003 membandingkan antara model SWAT dengan HSPF pada delapan Sub DAS di Sungai Litel Washita di Oklahoma, menyimpulkan bahwa model SWAT lebih konsisten, pada berbagai kondisi iklim. Dalam jangka panjang model SWAT paling konsisten untuk aplikasi investigasi perubahan iklim. Aplikasi model SWAT di Sub DAS Gumbasa dengan penggunaan aplikasi pembangkit data iklim sampai 2050 menunjukkan bahwa model SWAT ini dapat digunakan di Indonesia untuk antisipasi perubahan iklim.

6.2. Perubahan Luas Hutan terhadap Jumlah Blue Water dan Green Water

Pengaruh perubahan penutupan lahan terhadap hasil air dari suatu DAS dapat digambarkan dengan water yield, karena hal ini akan menggambarkan jumlah air netto setelah dikurangi dengan laju evapotranspirasi. Hubungan antara debit sungai di Sub DAS Cisadane Hulu dengan water yield bersifat linier dengan R 2 = 0,996, seperti yang disajikan pada Gambar 52, sehingga kalau ingin debit dan sumber daya air meningkat maka hakekatnya yang paling murah adalah mengatur water yield karena air akan tersimpan di dalam DAS. Gambar 54. Hubungan jumlah water yield dengan jumlah debit sungai Qout flow Pola hubungan total debit Qout flow yang dihasilkan oleh Sub DAS Cisadane dengan proporsi luas hutan disajikan pada Gambar 55. Hubungan antara jumlah water yield dengan proporsi luas hutan terhadap luas Sub DAS Cisadane Hulu ditunjukkan pada Gambar 56. Hubungan terbaik ditunjukkan pola polynomial quadratik R 2 = 0,77. QOutflow = 13,653WYLD + 115,39 R² = 0,9926, n=11 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 400 500 600 700 800 900 1000 Ju m lah QOu tfl ow T ah u n m 3s Jumlah WYLDTahun mm