Prosiding Hasil Penelitian PPM 2015
145 Lebih lanjut diungkapkan dalam
PSAK 105 par.10 bahwa Jika dari pengelolaan
dana mudharabah
menghasilkan keuntungan, maka porsi jumlah bagi hasil untuk pemilik dana dan
pengelola dana ditentukan berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil usaha
yang diperoleh selama periode akad. Jika dari
pengelolaan dana
mudharabah menimbulkan kerugian, maka kerugian
finansial menjadi tanggungan pemilik dana.
Padaparagraph 11
juga menyampaikan prinsip pembagian hasil
usaha.Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi
hasil atau bagi laba. Jika berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dasar pembagian
hasil usaha adalah laba bruto gross profit bukan total pendapatan usaha omset.
Sedangkan jika berdasarkan prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah laba neto
net profit yaitu laba bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan
dana mudharabah.
C. Konsep Interpretif Pada Pembiayaan Mudharabah
Dasar intepretasi atas pembiayaan mudharabah
dibatasi pada
posisi pengakuan recognition dan pengukuran
measurement dari standar akuntansi pada PSAK 105. Intepretasi tersebut akan
dilakukan dengan membangun sebuah jembatan yang dapat menghubungkan
antara praktek riil dalam penerapan aturan di dalam standar yang berlaku,
dengan nilai
syariah Islam
yang seharusnya melekat sebagai jiwa yang
menghidupkan aturan
tersebut. Pendekatan
yang digunakan
untuk mengintepretasikan
pengakuan dan
pengukuran supaya memiliki nilai syariah yang kaffah dengan dimensi Ilmu Sosial
Profetik Triyuwono, 2002.
Secara umum konsep intepretasi dengan pendekatan dimensi ilmu sosial
profetik tidak lain merupakan sebuah transformasi
pembebasan. Dimensi
syariah yang utama adalah, bagaimana sebuah
standar bisa
melakukan transformasi pada nilai-nilai pembebasan
sebagai wujud dari fitrah manusia. Sehingga nilai nilai yang terkandung di
dalam ketetuan standar mudharabah PSAK 105, seharusnya mampu mencerminkan
aspek kerja sama yang tidak sekedar berorientasi materi, namun memiliki dasar
filosofis humanis,
emansipatoris,
transendental dan teleologikal. METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Metodologi
Kondisi yang terjadi pada ranah praktek akuntansi mudharabah, baik
menggunakan PSAK 59 maupun PSAK 105, merupakan
cerminan atas
ketidakberdayaan manusia sebagai bagian dari pengaruh arus modernitas. Pada
dasarnya akuntansi merupakan hasil dari modernisasi
transaksi yang
bersifat kapitalis.
Karakter kapitalis
selalu berorientasi pada nilai materi sebagai
indicator keberhasilan kinerja, sehingga sering berbenturan dengan sifat kodrati
manusia. Etika
utilitarianism yang
dijadikan sandaran keilmuannya, justru mengantarkan pada tataran interaksi yang
sangat radikal dan eksploitatif. Ukuran dan takaran yang besifat ekonomis telah
Prosiding Hasil Penelitian PPM 2015
146 mengubah
kodrat manusia
sebagai kalifatullah fil ardh Afifudin, 2004.
Bergesernya nilai kodrati manusia disebabkan oleh tidak adanya kesadaran
atas keyakinan diri manusia pada nilai Tauhid. Seharusnya konsepsi inilah yang
menjadi dasar bagi manusia untuk meyakini ajaran agama juga mengatur
tetang muamalah. Islam telah banyak mengajarkan
konsepsi dan
aturan muamalah di dalam Al Qur’an dan Al
Hadist. Tetapi masih dalam bentuk perintah normatif yang perlu penafsiran
dan jembatan untuk bisa dijadikan dasar nilai operasional pada ranah praktek. Oleh
karena itu dibutuhkan metodologi yang mampu menjembatani arus dua arah yang
berasal dari perintah normatif ke dalam dunia praktek secara riil secara lebih
bersinergi dan seimbang balance. Kaitanya dengan transformasi arus
dua arah tersebut, Kuntowijoyo 1998, 288 membuat gagasan ilmu sosial
profetik. Menurut Pribadi dan Haryono 2002, 305-309, pendekatan ilmu sosial
profetik berasal dari enam gagasan besar. Pertama, Islam sebagai agama, ideologi,
tuntunan hidup,
juga memiliki
kepentingan pada pengembangan filsafat dan
perubahan sosial
terhadap masyarakat sesuai dengan visi dan cita-cita
luhurnya. Kedua, transformasi sosial yang dibangun dalam Islam merupakan jawaban
atas pemahaman amar ma’ruf nahi
munkar, yang dijabarkan dalam nilai humanis, emansipatoris dan liberasi.
Ketiga, transformasisosial yang dilakukan dilandasi dengan prinsip dasar Islam,
sehingga menjadi langkah praktis bagi proses realisasi upaya transformatif.
Artinya diperlukan penerjemahan nilai normatif Islam menjadi perangkat ilmu
sosial metodologis,
yang dapat
menjelaskan realitas
sosial secara
sosiologis dan
memberikan jalan
keluarnya. Keempat, sebagai konsekuensi dari
transformasi pada ilmu sosial metodologis, maka proses transformasi sosial harus
diikuti proses intelektual dalam wilayah kognitif umat Islam. Artinya, transformasi
sosial yang dilakukan harus mampu membawa kepada tatanan intelektual
umat Islam menuju pada kesadaran ilmiah. Sehingga diharapkan nantinya mampu
memberikan petunjuk
nyata bagi
perubahan sosial yang lebih baik. Kelima, sebagai
jawaban keilmiahan
dalam transformasi sosial, maka perumusan nilai
sosial yang dilakukan merupakan sinergi dua kekuatan besar normatif-empirik.
Artinya ilmu sosial Islam selain merujuk pada nilai normatif, seharusnya juga
mampu menjelaskan
realitas sosial
empirik masyarakat. Keenam, kesimpulan dari pembahasan tersebut adalah ilmu
sosial Islam haruslah berfungsi profetik. Artinya ilmu sosial Islam benar-benar
secara konkret
berfungsi humanis,
emansipatoris, transendental
dan teleologikal.
B. Ilmu Sosial Profetik; Alat Analisis Transformatif