Peningkatan PAD dan Pembangunan Daerah

Pasar terapung merupakan pasar tradisional yang berada di sungai Kuin, menampilkan kearifan lokal dalam bidang perekonomian masyarakat. Yang menarik di pasar terapung ini adalah dalam melakukan transaksi pembeli dan penjual berada diatas perahu masing-masing.

G. Peningkatan PAD dan Pembangunan Daerah

Diundangkannya UU No. 32 pengganti UU No. 221999 mengenai otonomi daerah telah mengisyaratkan semakin otonomnya peranan Pemerintah Daerah di dalam menyusun perencanaan pembangunan daerah. Kebijaksanaan pembangunan yang sentralistik dan tidak sesuai dengan sifat keragaman ekosistem dan budaya semakin bergeser ke pendekatan paradigma pembangunan yang baru yang lebih bersifat lokal. Otonomisasi sekaligus dapat dipandang sebagai semakin terbukanya peluang perencanaan pembangunan terpadu yang lebih berbasis ”Wilayah”, dalam arti keterpaduan sistem wilayah akan menjadi dominan dibanding dengan sistem pembangunan dengan pendekatan yang lebih menekankan pendekatan sektoral. Keterbatasan dana pembangunan dari ”pusat” telah mengharuskan pemerintahan daerah meningkatkan sumber-sumber penerimaan pemerintahan daerah ” sources of growth” yang menjanjikan karena selama ini dianggap belum banyak dikembangkan secara optimal karena secara potensial dianggap masih memiliki peluang pengembangan yang sangat besar. Harapan sektor perikanan dan kelautan dijadikan sektor yang dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan PAD telah sering diterjemahkan dengan peningkatan retribusi komoditas- komoditas pariwisata. Namun sebagaimana dijelaskan pada paparan di atas, penerapan kebijakan resource rent tax yang tidak tepat pada gilirannya akan menurunkan daya kompetitif sektor tersebut di dalam pembangunan daerah. Sebaliknya ”sinyal” kebijakan mengembangkan yang tepat dapat meningkatkan daya kompetisi dan berbagai dampak ganda multiplier pembangunan secara lintas sektor, lintas regional dan lintas pelaku, yang pada gilirannya justru akan meningkatkan sumber-sumber pendapatan pemerintah secara lebih sustainable. Di lain pihak, perkembangan sektor-sektor yang berbasis pada sumber daya-sumber daya lokal sering diidentifikasikan secara tidak tepat. Tujuan pembangunan daerah sebagaimana halnya pembangunan skala makro seyogyanya tidak direduksi menjadi tujuan-tujuan mengejar pertumbuhan atau penerimaan pemerintah daerah. Pembangunan daerah memiliki dimensi yang sangat luas, yang secara umum dapat dipilah atas tiga tujuan utama, yakni 1 pertumbuhan, 2 pemerataan, 3 ekosistemlingkungan. Ketiganya memiliki keterkaitan yang erat dan tidak saling terpisahkan. Kegagalan pencapaian satu tujuan dapat menggagalkan pencapaian tujuan lainnya secara timbal balik. Penekanan yang berbeda atas perubahan struktur yang dapat diamati dalam literatur pembangunan ekonomi adalah antara lain: kenaikan dalam tingkat akumulasi Rostow, dan Lewis, pergeseran dalam komposisi sektoral pada suatu perekonomian industrialisasi dengan fokus awal pada aspek alokasi kesempatan kerja Fisher, 1935, 1939; dan Clark, 1940, dan kemudian fokus pada perubahan produksi dan penggunaan faktor Kuznets, dan Chenery; dan perubahan dalam alokasi aktivitas ekonomi urbanisasi serta berbagai aspek terkait lainnya dengan industrialisasi seperti transisi demografik dan distribusi pendapatan. Pendekatan historis yang lebih menekankan pentingnya transformasi sektoral adalah pendekatan tahapan pertumbuhanpembangunan ekonomi dari Rostow 1960, dependency approach yang lebih mengidentifikasi bahwa socio- economic structures sebagai akar penyebab underdevelopment, dan leading sector Hirschman, 1958 dan 1977; dan Myrdal, 1957 dengan pendekatan staples. Pada pendekatan disebut terakhir inilah pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi dinyatakan dalam bentuk karakteristik produksi yang lebih didominasi sumberdaya alam staples: pertanianperikanan akan dieksploitasi untuk pasar ekternal; terdapat surplus untuk merespon permintaan eksternal, yang ketika kemudian faktanya bahwa proses transformasi ekonomi banyak melahirkan situasi stagnasi, mendorong pula munculnya kembali sentimen dependency approach. Kemudian, konsep utama pembagunan ekonomi sejak 1950an adalah versi dinamik model Keynesian yaitu Harror-Domar, dual- economy model Lewis, demand complementarity, balanced growth, dan big-push dengan fokus perhatian pada dua komponen inti dari transformasi ekonomi yaitu: akumulasi dan komposisi sektoral. Pada waktu hampir bersamaan, muncul teori neo-classik sebagai respon terhadap model Harror-Domar dengan lebih supply side Solow, 1956 dengan menyatakan bahwa tidak terdapat surplus tenaga kerja dan pertumbuhan jangka panjang adalah sesungguhnya independen terhadap tingkat tabungan. Berbagai studi kemudian menunjukkan adanya stylized facts dari suatu proses pertumbuhan dan transformasi yaitu yang paling utama adalah menurunnya share output dan kesempatan kerja sektor pertanian dan tingginya total factor productivity TFP pada sektor industri modern dibanding sektor pertanianperikanan. Sebenarnya, akumulasi modal fisik dan sumberdaya manusia dan pergeseran dalam komposisi permintaan, perdagangan, produksi, dan kesempatan kerja memang dapat dipandang sebagai economic core dari suatu transformasi ekonomi dimana keterkaitannya dengan berbagai proses perubahan soial-ekonomi dapat saja dianggap sebagai dampak ikutan. Dalam perpektif inilah mungkin, penentuan sektor pertanian dan perikanan sebagai basis pengembangan ekonomi KTI, menarik untuk lebih dicermati sehingga selanjutnya dapat dikaji bagaimana strategi dan proses transformasi yang akan dilakukan dalam sektor ini sendiri secara lebih tepat dengan mempertimbangkan aspek wilayah. Baru pada dekade 1960an para pakar ekonomi pembangunan mulai secara serius melihat bagaimana peranan sektor pertanian bila dikaitkan dengan industri, dalam proses pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah. Sektor pertanian tidak dapat berkembang tanpa kaitan yang kuat dengan sektor industri dan jasa. Sejak itu perkembangan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan sektor industri dan jasa. Namun, sejalan dengan teori neoklasik, terlihat bahwa sektor pertanian dan agro-industri di Indonesia, semakin dipinggirkan dari prioritas pembangungan ekonomi sejak pertengahan 1980an. Sejumlah indikatornya dapat dilihat antara lain: i Share sektor pertanian terhadap PDB turun, seiring dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Begitu juga tingkat pertumbuhannya, jauh dibawah pertumbuhan rata-rata PDB, kecuali pada saat krisis. ii Trend penurunan harga riil komoditas pertanian. Misal, harga riil beras pada tahun 1950 adalah 500 per ton, menurun sampai dibawah 200 per ton saat ini, demikian pula dengan harga gandum, gula, kedelai dan CPO. Turunnya harga riil tersebut menjadi alasan yang kuat oleh perumus kebijakan untuk tidak mengalokasikan dana yang besar di sektor pertanian. iii Pelebaran spread antara harga dunia dan harga domestik, atau harga ditingkat produsen dan konsumen. iv Rendahnya dana riset untuk mendukung pengembangan teknologi pertanian yang nilainya hanya 0,05 dari PDB pertanian. v Sebagian besar kredit dikucurkan oleh perbankan adalah ke sektor non-pertanian Surono, 2005. Sejumlah indikator di atas agaknya kembali perlu dijadikan fokus acuan perhatian dan pertimbangan motivasi untuk menciptakan industrialisasi sektor pertanian dan perikanan sebagai basis pengembangan ekonomi di KTI. Masih diperlukan suatu pemahaman fakta empiris yang lebih baik tentang kondisi riel sektor pertanian dan perikanan di KTI ini Surono 2005. Sebab memang benar bahwa perubahan struktur adalah suatu konsukuensi wajar dari pertumbuhan ekonomi, namun hal ini juga merupakan suatu proses yang dapat digangu disruptive process. Implikasinya adalah berbagai segmen perokonomian akan bertumbuh dengan tingkat yang berbeda dan apakah benar bahwa kelompok pelaku ekonomi yang mengalami pertumbuhan yang relatif melambat akan menjadi korban dibandingkan dengan kelompok pelaku yang berada pada sektor bertumbuh cepat. Sebenarnya, kebutuhan tingginya pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan perikanan bersamaan dengan menurunnya share baik dalam ouput maupun kesempatan kerja bukanlah hal yang kontradiktif. Namun, kondisi tersebut memang mendorong lahirnya kesalahan persepsi bahwa sektor pertanian menjadi tidak penting lagi, seperti bahwa tidak lagi membutuhkan pengalihan sumberdaya dan perlunya keberpihakan kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, paradigma beserta strategi dengan penurunan share pertanian demi sektor lain yang lebih dinamis akan selalu berhasil apabila dimulai sejak awal dengan pertumbuhan yang tinggi pula pada sektor pertanian Jepang dan Eropa Barat. Di lain pihak, apabila sektor pertanian berangkat dari awal dengan teknologi tradisional dengan produktivitas dan standar hidup yang rendah kemiskinan, maka upaya untuk menekan share sektor ini tentu akan melahirkan suatu stagnasi bukannya melahirkan suatu pertumbuhan ekonomi. Pada kasus ini adalah tentu sangat diperlukan suatu pola yang tepat untuk melakukan transformasi sektor pertanian dan perikanan agar kita dapat berharap bahwa industrialisasi akan benar memiliki efek ril seperti yang diharapkan, termasuk industrialisasi di sektor pertanian sendiri.

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

Pembangunan ekonomi masyarakat Alalak dan sekitarnya, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan ekonomi Kota Banjarmasin secara keseluruhan. Namun demikian secara empiris kondisi ekonomi masyarakat Alalak dan sekitarnya yang dulunya sangat terbantu dengan adanya usaha-usaha kayu yang ada disekitar Alalak, sekarang relatif mulai harus mencari solusi baru untuk menggantikan usaha bidang perkayuan tersebut. Pendekatan pembangunan ekonomi masyarakat Alalak dan sekitarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sedapat mungkin dilaksanakan berdasarkan Potensi Ekonomi Wilayah. Pembangunan ekonomi masyarakat Alalak dan sekitarnya harus didasarkan pada prinsip local base economi. Disamping itu pengembangan ekonomi masyarakat Alalak dan sekitarnya harus mempertimbangkan pula potensi sumber daya manusia wilayah Alalak dan sekitarnya sebagai salah satu driving factor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Kondisi lain yang tidak dapat diabaikan dalam pembangunan ekonomi masyarakat Alalak dan sekitarnya adalah aspek kelembagaan ekonomi yang ada dalam masyarakat, demikian pula halnya dengan kondisi social capital masyarakat Alalak dan sekitarnya.