pertama, Golput mampu menyeruak menjadi basis atas ketidakpercayaan pada kader Parpol. Fenomena Golput juga dapat menjadi simbol ‘pembelajaran’ bagi
setiap Parpol. saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua, Golput mencoba diakui sebagai sebuah peradaban semacam ideologi hak asazi
manusia dengan alasan kapok karena Parpol yang ada dianggap tidak capable, dan melanggar janjinya.
Ketiga, persoalan ekonomi, masyarakat lebih mengutamakan adanya pendapatan dan pekerjaan. Mereka tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk
memilih, karena merasa jenuh dan tidak mau terlibat politik. Yang penting bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan teknis yaitu
proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib dan banyak manipulasi data pemilih. Dengan kata lain, koordinasi antar departeman yang terlibat belum
terlihat jelas dan masih tumpang tindih, terutama data jumlah pemilih dan mekanisme yang panjang dan menjelimet
Dengan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti Faktar-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih Golput Suatu Studi
Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara
2. Perumusan Masalah Faktor-Faktor Apa Saja Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih pada
masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara dalam Pemilu Legislatif 2009 ?
Universitas Sumatera Utara
3. Tujuan Masalah
Atas dasar perumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh beberapa faktor terhadap tingginya Golput pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara dalam Pemilu Legisltaif 2009. 2.
Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas tingginya Golput pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara dalam Pemilu Legisltaif 2009.
4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah : 1.
Secara teoritis; penelitian ini sebagai salah satu kajian antropologi politik dan ilmu politik, terutama berkaitan dengan Golput dalam budaya politik
masyarakat Kecamatan Tarutung Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli
2. Secara praktis; penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi pemerintah daerah dan masyarakat khususnya penyelenggara pemilu KPU.
5. Tinjauan Pustaka
HAM Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat
diganggu gugat siapa pun.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan
lain sebagainya.
5
Secara isilah hak asazi itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa
manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri kodrati, bukan merupakan pemberian manusia atau negara.
6
Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat Declaration of Independence of USA dan tercantum dalam UUD 1945 Republik
Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
Jenis hak asasi manusia HAM:
7
1.
Hak untuk hidup.
2.
Hak untuk memperoleh pendidikan.
3.
Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
4.
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
5.
Hak untuk mendapatkan pekerjaan. Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
8
1. Hak asasi pribadi personal Right
5
www.perpustakaanonlien.com, Pengertian, Macam dan Jenis Hak Asasi Manusia HAM yang Berlaku Umum Global, 13 Juli 2006
6
Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.127
7
Ibid
8
Ibid
Universitas Sumatera Utara
− Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah
tempat −
Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat −
Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan −
Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik Political Right
− Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
− Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
− Hak membuat dan mendirikan parpol partai politik dan organisasi
politik lainnya −
Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi 3.
Hak azasi hukum Legal Equality Right −
Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
− Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil pns
− Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi Property Rigths
− Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
− Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
− Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-
piutang, dll −
Hak kebebasan untuk memiliki susuatu −
Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
Universitas Sumatera Utara
5. Hak Asasi Peradilan Procedural Rights
− Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
− Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan,
penahanan dan penyelidikan di mata hukum. 6.
Hak asasi sosial budaya Social Culture Right −
Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan −
Hak mendapatkan pengajaran −
Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai bagian dari hak dasar manusia, yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik Pasal 25 dan juga dijamin dalam konstitusi UUD 1945.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada bagian Komentar Umum Pasal 25 menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak
setiap warganegara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.
9
Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa Negara wajib menjamin hak memilih right to vote dan hak untuk dipilih right to be elected. Karenanya,
setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa
diskriminasi berdasarkan apa pun memperoleh kesempatan yang efektif
9
Siaran Pers YBHI, Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak Untuk Tidak Memilih Dalam Pemilu, diakses tanggal 24 April 2009
Universitas Sumatera Utara
menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara bebas freely turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-
wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Karenanya, hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi,
berserikat dan berkumpul freedom of expression, assembly and association.
10
Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak. Hak untuk berbuat menurut cara tetentu seringkali ditafsirkan sebagai suatu keleluasaan
permission. Seseorang atas keinginan atau kehendaknya sendiri, mungkin menggunakan atau tidak menggunakannya.
11
Dalam disiplin hak asasi manusia, tidak ada standar dan norma apa pun yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih dan dipilih. Sebaliknya yang
diatur adalah kewajiban negara untuk memastikan hak ini dijamin pemenuhannya secara bebas. Apabila dikaitkan dengan keberadaan Golput, negara tetap
berkewajiban untuk menghormati dan melindungi warganegara yang mengambil pilihan untuk berpartisipasi secara pasif dalam bentuk Golput tersebut.
12
Hak-hak politik diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi warga negara yang berperan serta dalam pemerintahan, dalam
pembentukan ‘kehendak’ negara. Hak Politik yang menentukan di dalam demokrasi tidak langsung adalah hak suara, yakni hak warga negara untuk
berperan serta dalam pemilihan parlemen, kepala negara, dan organ-organ pembuat dan pelaksana hukum yang lain.
13
10
Ibid
11
Hans Kelsen,2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media Penerbit Nuansa, Bandung, hlm. 109-117
12
op.cit
13
op.cit
Universitas Sumatera Utara
Sejarah politik Indonesia pernah diwarnai oleh pengalaman buruk terkait campur tangan Negara dalam hal hak untuk memilih dan dipilih pada masa Orde
Baru, ketika terjadi kriminalisasi besar-besaran terhadap kaum yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu Golput. Sejarah buruk itu akan
berulang, apabila Negara melakukan stigmatisasi, apalagi kriminalisasi, terhadap kaum Golput dalam Pemilu 2009.
Golput memang merupakan masalah klasik dan universal dalam kehidupan politik. Pembicaraan tentang ini selalu menjadi berita menarik menjelang pemilu
di negara mana pun. Istilah golput dalam peta politik Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1971, terhadap mereka yang tidak menggunakan hak suaranya
untuk memilih. Dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.102008, disebutkan di pasal 19
ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudahpernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas kata
yang tercantum adalah “hak”, bukan “kewajiban”.
14
Lebih tinggi lagi, dalam produk hukum tertinggi di negara kita yaitu Undang-Undang Dasar UUD 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, juga
tercantum hal senada. Dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak
memilih di sini termaktub dalam kata bebas. Artinya bebas digunakan atau tidak. Terserah pemilihnya.
15
14
Bhayu M.H, Memilih Atau Tidak Memilih Dalam Pemilu Adalah Hak , www.lifeschool.wordpress.com
diakses Jumat 24 April 2009
15
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Secara teoriotis, ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori
mengenai perilaku pemilih voter behavior. Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih voting turnout dilacak pada
sebab-sebab dari individu pemilih. Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih
ditinjau dari sudut pemilih ini. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu,
seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya.2 Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak. Kedua,
teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin
dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan.
Ketiga, teori ekonomi politik. Teori ini menyatakan keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan
dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan
sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.
Selain teori yang memusatkan perhatian pada individu pemilih, fenomena voting turnout juga bisa dijelaskan dengan teori dari sisi struktur. Di sini besar
kecilnya partisipasi pemilih tidak diterangkan dari sudut pemilih, tetapi dari
Universitas Sumatera Utara
struktur atau sistem suatu negara. Paling tidak ada tiga penjelas yang umum dipakai oleh pengamat atau ahli. Pertama, sistem pendaftaran registrasi pemilih.
Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa mempengaruhi minat
seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang dalam pemilihan.
Dari sudut hukum, jelas sekali kalau memilih dan dipilih adalah hak, demikian pula secara hak asasi. Hak untuk memilih merupakan hak perdata warga
negara, demikian juga hak untuk berpendapat. Tidak ada hukum apa pun yang menyebutkan mereka yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam
Pemilu, akan dikenakan sanksi atau dikriminalkan oleh negara. Secara hukum memang tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat
menghalang-halangi seseorang untuk bersikap golput atau tidak menggunakan hak pilihnya. Namun, untuk menghilangkan golput barangkali perlu dikaji lebih dalam
kenapa sampai muncul orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai wujud dari hak kedaulatan yang ada pada dirinya.
Setidaknya secara umum ada beberapa faktor yang cukup signifikan memengaruhinya :
16
Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin menggunakan hak pilihnya disebabkan beberapa kemungkinan, seperti rasa tidak percaya
kepada sistem pemilu. Bagi masyarakat, pelaksanaan pemilu di Indonesia
16
Oksidelfa Yanto, Golput dan Pentingnya Pendidikan Politik, Media Indonesia edisi 17 September 2003
Universitas Sumatera Utara
dinilai masih sekadar pesta demokrasi yang tidak akan membawa perubahan apa-apa dalam kehidupan politik selanjutnya.
Kedua, ketidakpercayaan kepada kontestan partai politik. Mereka menganggap bahwa tidak ada figur andalan yang dapat mewakili aspirasi
mereka. Ini dibuktikan dengan beberapa kali penyelenggaraan pemilu. Para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih tidak dapat berfungsi
mengemban aspirasi politik mereka. Kondisi kehidupan politik yang lebih baik setelah pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung di tengah
kehidupan masyarakat. Malah yang muncul justru konflik berkepanjangan antar elite politik atau parpol pemenang pemilu.
Melihat kondisi seperti itu maka jelas rakyat akan merasa semakin kecewa. Sehingga, akhirnya mereka tidak lagi percaya kepada elite politik dan parpol yang
ada. Masyarakat merasa elite politik belum mampu membawa makna yang cukup berarti dalam menyalurkan aspirasinya. Hal tersebut ditambah lagi dengan tidak
seriusnya wakil rakyat dalam sidang-sidang membahas agenda penting bangsa. Akibatnya, membuat Dewan selalu lamban dalam merespons suatu masalah. Dari
kondisi ini, mereka menganggap bahwa pelaksanaan pemilu tidak ada gunanya, hanya membuang energi dan waktu saja.
Tolok ukur keberhasilan pemilu adalah peran serta aktif dalam pemilih di luar golongan putih. Sebagai tolok ukur paradoksalnya ketidakberhasilan adalah
rendahnya peran serta parpol terhadap pendidikan politik serta kekecewaan terhadap terhadap praktik politik parpol dan elit politik memberikan wacana
Universitas Sumatera Utara
negatif di benak pemilih. Dengan minimal empat faktor di mana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu menurut Syamsudin Haris :
17
1. Kekecewaan sebagian publik terhadap parpol;
2. Parpol sebagian kaya akibat money politik;
3. KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society;
4. Sistem pemilu yang rumit.
Golput dalam pemilu bisa juga muncul karena kerumitan teknis mencoblos nomor dan atau tanda gambar dan atau nama caleg.
18
Di Indonesia saat ini masalah Golput menjadi perdebatan yang cukup menarik. Berdasarkan Data dari Lingkaran Survei Indonesia LSI, misalnya,
menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat, buat apa memilih jika
parpol tidak memberikan kepuasan. Dan, buat apa menyalurkan hak pilih bila pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Artinya, kekuatan politik di DPR
tidak bisa mewakili aspirasi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan suatu pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar ke depan tidak mengecewakan
rakyat. Masalahnya adalah bagaimana para elite politik negeri ini mampu meyakinkan masyarakat bahwa lembaga perwakilan rakyat bisa berperan secara
jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan rakyat.
19
17
Tataq Chidmad, SH, 2004, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, hlm.57
18
Ibid
19
Refly Harun, Menggugat Hilangnya Hak Pemilih, Harian Tempo, Edisi Rabu 15 April 2009
Bila angka ini benar, tidak salah bila golput ditahbiskan sebagai
Universitas Sumatera Utara
pemenang pemilu, mengingat untuk saat ini partai Demokrat paling unggul dibandingkan partai lainnya dengan perolehan suara lebih dari 20 .
20
Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu KPU dan jajarannya.
Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini
membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga
negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar.
Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak
berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung
dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen. Di negeri ini, menggunakan hak memilih casting vote masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum
menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap
DPT, soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.
21
Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar
semua pemilih yang berhak memilih. Namun, sejak zaman otoriter hingga
20
Pemilu Indonesia, Dari Mana Suntikan Perolehan Suara Demokrat?, diakses Rabu, 28 April 2009
21
Ibid
Universitas Sumatera Utara
demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid,
yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan
presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu. Persoalan administrasi kependudukan dan pendataan pemilih
mencerminkan belum bagusnya sistem pengelolaan potensi penduduk Indonesia. Padahal, validitas data pemilih juga menjadi indikator terhadap integritas pemilu
di Indonesia.
22
Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana
komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju.
Jika data pemilih tidak valid, tidak akurat, kemungkinan pemilih dalam menjalankan hak memilihnya menjadi semakin rendah. Karena itu,
legitimasi politik dalam pemilu sangat dipertaruhkan di sini.
23
Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan
hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap. Sebagian dari mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa
bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka
22
Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009
23
Eep Saifulloh Fatah, Dosa-Dosa Besar Pemilu 2009, www.kompasonline.com
, diakses pada Jumat Tanggal 24 April 2009
Universitas Sumatera Utara
menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik mereka, mereka terabaikan.
24
Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara ain Arief
Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan,
cenderung dinjak-injak.
25
Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilihn memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih.
Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum
golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara.
Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban
Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, disamping PPP,Golkar, dan
PDI. Namun jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90 persen, persisinya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29
Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak
menggunakan hak politiknya untuk memilih.
24
Ibid
25
Putra, Fadilah, Partai poltik dan kebijakan publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Hal.104.
Universitas Sumatera Utara
mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggung jawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak
hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontesan pemilu.
26
Dalam artikelnya di Kompas 28 Juli 2004
27
Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput.
, Indra J.Piliang menyatakan bahwa golongan putih golput0 dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-
partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu:
Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an ,
yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan
rakyat. Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional
betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut pemilu, tidak akan berdampak atas diri si pemilih. Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan
akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah
akibat sistemnya sebagian mergugikan mereka.
28
26
httpwww.kompas.com
27
httpkompas.com
28
Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1992, hal.22
Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak
Universitas Sumatera Utara
mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik ini tidak sampai ke
tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau mereka
menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik.
Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi
partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya No Easy Choice Politicall Participation in Developing Countries memaknai partisipasi politik
sebagai:
29
Dalam artikelnya di Kompas 28 Juli 2004
30
“By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or
collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. partisipasi politik adalah
kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud , Indra J.Piliang menyatakan
bahwa golongan putih golput0 dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai- partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi
orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjad
29
Huntington, S.P. Nelson, J. 1977. No easy choice political participation in developing countries. Cambridge: Harvard University Press.
30
httpkompas.com
Universitas Sumatera Utara
untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi biasa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif”.
Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara
atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist
professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the social sciences
menyatakan bahwa:
31
“By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or less directly animed at influencing the selection of
“The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or
indirectly, in the formation of public policy partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.
Nie dan Verba dalam Handbook of Political Science mengemukakan bahwa:
31
McClosky, H. 1972. Political participation, international encyclopedia of the social science, 2nd ed.. New York: The Macmillan Company and Free Press.
Universitas Sumatera Utara
governmental personel andor the actions they take partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warganegara yang legal yang sedikit banyak langsung
bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara danatau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”.
Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai partisipasi politik adalah:
“Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah public policy. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan contacting dengan pejabat
Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya”.
32
Secara faktual fenomena Golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasipun juga
menghadapi fenomena Golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50 sd 60, begitu pula di
Dalam tahapan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural, golput adalah manifestasi politik, dimana rakyat tidak berpartisipasi politik menggunakan hak
pilihnya secara sukarela dalam pemilihan umum sebagai pesta demokrasi.
32
Budiardjo, M. 1996. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi parlementer dan demokrasi Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Universitas Sumatera Utara
Perancis dan Belanda yang angka capaian partisipasi politik pemilihnya berkisar 86.
Secara kondisional faktor penyebab munculnya Golput di negara berkembang dan di negara maju tentunya berbeda. Sebagaimana dikemukakan Varma 2001:295
bahwa: “Di Negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat
terhadap kinerja pemerintahan hasil Pemilu yang kurang amanah dan memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat.
Kondisi ini jelas akan mempengaruhi proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadi paradoks demokrasi atau terjadi
kontraproduktif dalam proses demokratisasi”. Karenanya menghadapi fenomena Golput yang terjadi lebih disebabkan oleh
faktor kekecewaan publik terhadap kinerja partai politik dan pemerintah yang belum efektif, maka menjadi pembelajaran bagi partai politik dan pemerintah
untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja demokrasi yang efektif dan memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good public governance.
Ketidakmampuan partai politik dan pemerintah menampilkan kinerja tersebut, maka fenomena Golput akan mengkristal menjadi faktor internal demokrasi yang
potensial menimbulkan pembusukan demokrasi atau pembusukan politik political decay, sehingga akan berimplikasi melumpuhkan demokrasi, dimana
partai politik sebagai mesin pebangkit partisipasi politik dalam demokrasi secara moral ikut bertanggungjawab.
Dalam mindset Golput, demokrasi di Indonesia saat ini lebih dimaknai oleh publik, yaitu baru sebatas kebebasan untuk mengkritik Pemerintah dan
Universitas Sumatera Utara
mengganti pemerintahan melalui Pemilu secara reguler, dan belum menyentuh substansi pembangunan demokrasi di bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Fenomena tersebut, kiranya perlu mendapatkan apresiasi dan solusi oleh para aktor-aktor pemerintahan penyelenggara negara menghadapi Pemilu tahun
2009 agar pesta demokrasi lebih efisien dan berkualitas secara sistemik, baik dalam tataran input, process, dan output, dan malah bukan bersifat kontra
produktif dalam berdemokrasi. Dalam arti proses demokrasi malah menurunkan tingkat partisipasi politik pemilih di satu sisi, dan di sisi lain malah makin
meningkatnya jumlah Golput yang berimplikasi negatif bagi pembangunan kualitas demokrasi.
Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian budaya dan politik. Budaya berasal dari bahasa sansekerta
yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi. Kebudayaan adalah
segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya. Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai yang berkembang
dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu
negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam
membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Budaya politik kebudayaan politik merupakan dimensi psikologis dari sistem politik, maksudnya adalah budaya politik bukan lagi sebagai sebuah sistem
Universitas Sumatera Utara
normatif yang ada di luar masyarakat, melainkan kultur politik yang berkembang dan dipraktekkan oleh suatu masyarakat tertentu. Dalam setiap masyarakat
terdapat budaya politik yang menggambarkan pandangan masyarakat tersebut mengenai proses politik yang berlangsung di lingkungannya. Tingkat kesadaran
dan partisipasi mereka biasanya menjadi hal penting untuk mengukur kemajuan budaya politik yang berkembang. Perbedaan budaya politik dalam masyarakat
secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga budaya politik, yaitu :
1. Budaya politik apatis acuh, masa bodoh, pasif
2. Budaya politik mobilisasi didorong atau sengaja dimobilisasi
3. Budaya politik partisipatif aktif
Perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
1. Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan
budaya politik masyarakat 2.
Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomisejahtera masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
3. Reformasi politikpolitical will semangat merevisi dan mengadopsi sistem
politik yang lebih baik 4.
Supremasi hukum adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas
5. Media komunikasi yang independen berfungsi sebagai kontrol sosial,
bebas, dan mandiri
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, Almond dan Verba mengemukakan, bahwa budaya politik suatu masyarakat dihayati melalui kesadaran masyarakat akan pengetahuan,
perasaan, dan 1.
Orientasi kognitif, merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah
pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah 2.
Orientasi afektif, merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan
masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.
3. Orientasi evaluatif, merupakan keputusan dan pendapat masyarakat
tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan nilai moral yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang
mereka miliki. Ciri-ciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut :
1. Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu
terutama hak pilih aktif 2.
Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan sikap :
a. Menerima sebagaimana adanya b. Menolak dengan alasan tertentu atau
c. Ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa 3
Memiliki komitmen kuat terhadap partai politik yang menjadi pilihannya
Universitas Sumatera Utara
4 Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau
musyawarah Budaya politik yang berkembang di setiap negara sangat beragam, hal
ini di pengaruhi oleh karakter budaya politiknya masing-masing. Untuk mengetahui karakter budaya politik suatu bangsa dapat diukur melalui beberapa
dimensi yang berkembang dalam masyarakat, yaitu : 1.
Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai sistem politik negaranya, seperti pengetahuan tentang sejarah, letak
geografis, dan konstitusi negaranya 2.
Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat suatu kebijakan
3. Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi masukan opini
dari masyarakat dan media massa kepada pemerintah 4.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik dan bernegara, serta pemahmanya akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga
negara Perbedaan dimensi tersebut menurut Almond dan Verba melahirkan
beberapa tipe budaya politik yang berkembang dalam negara, yaitu : 1.
Buda ya Politik Parokial parochial political culture, dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut
diatas sangat rendah. Tidak ada peran-peran politik masyarakat yang bersifat khusus, sehingga peranan politik, baik yang bersifat politis,
ekonomis, maupun religius sepenuhnya diserahkan kepada pengambil kebijakanpemimpin yang biasanya dipegang oleh seorang kepada
Universitas Sumatera Utara
sukuadat, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat yang peranannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
2. Budaya Politik Subjek subject political culture, dimana pada tingkat
tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi pengetahuan dan pemahaman cukup tinggi, tetapi masih bersifat pasif, artinya masyarakat
sudah memiliki pengetahuan, pemahaman, namun mereka belum memiliki orientasi dimensi pemahaman mengenai penguatan kebijakan dan
partisipasi dalam kegiatan politik, mereka tidak memiliki keinginan dan kemauan untuk mencoba menilai, menelaah, atau mengkritisi kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah, mereka menerima apa adanya, sehingga sikap masyarakat terhadap suatu kebijakan pemerintah terbagi menjadi dua
kelompok, ada yang menerima atau menolak. 3.
Budaya Politik Partisipan participan political culture, dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi
tersebut diatas lebih baik, masyarakat mulai bersifat aktif dalam peran- peran politik, meskipun perasaan dan evaluasi masyarakat terhadap peran
tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Clifford Geerts, seorang antropolog berkebangsaan Amerika mengemukakan tentang tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu :
1. Budaya Politik Abangan, yaitu budaya politik masyarakat yang lebih
menekankan pada aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap roh halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Ciri khas dari budaya
politik abangan ini adalah tradisi selamatan, yang berkembang pada
Universitas Sumatera Utara
kelompok masyarakat petani pada era tahun 60-an, diyakini dapat mengusir roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Kelompok masyarakat
abangan sering kali berafiliasi dengan partai semacam PKI dan PNI. 2.
Budaya Politik Santri, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada aspek-aspek keagamaan, khususnya agama Islam sebagai agama
mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok masyarakat santri biasanya diidentikan dengan kelompok masyarakat yang sudah menjalankan ibadah
atau ritual agama Islam. Pendidikan mereka ditempuh melalui pendidikan pesantren , madrasah, atau mesjid. Kelompok masyarakat santri biasanya
memiliki jenis pekerjaan sebagai pedagang. Kelompok masyarakat santri pada masa lalu sering kali berafiliasi dengan partai NU atau Masyumi,
namun pada masa sekarang mereka berafiliasi pada partai, seperti PKS, PKB, PPP, atau partai-partai lainnya yang menjadikan Islam sebagai
dasarnya. 3.
Budaya Politik Priyayi, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada keluhuran tradisi. Kelompok priyayi sering kali dikontraskan dengan
kelompok petani, dimana kelompok priyayi dianggap sebagai kelompok atas yang menempati pekerjaan sebagai birokrat pegawai pemerintah.
Pada masa lalu kelompok masyarakat priyayi berafiliasi dengan partai PNI, sekarang mereka berafiliasi dengan partai Golkar
Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, dengan sel kata dari bahasa latin colere yang berarti ‘mengolah tanah’. Dari defenisi tersebut,
berkembanglah istilah culture sebagai ‘segala daya upaya serta tindakan manusia
Universitas Sumatera Utara
untuk mengolah tanah dan mengubah alam’.
33
a. a general state or habits of mind suatu kebiasaan umum atau
kebiasaan pemikiran Dalam bahasa Inggris, kata culture
dalam abad yang lalu mengalami pergeseran arti sebagai berikut:
b. The general state of intellectual development in society as a whole
kedaaan umum dari pengembangan intelektual dari masyarakat secara keseluruhan
c. the general body of arts bagian umum dari seni
d. a whole way of life, material, intellectual and spiritual keseluruhan
cara hidup, material, intelektual, dan spiritual
34
Menurut Linton 1940 Budaya adalah keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola prilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan
oleh suatu anggota masyarakat tertentu
35
Menurut Kluckhohn dan Kelly 1945 Budaya adalah semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik eksplisit maupun implisit, rasional,
irasional, dan nonrasional, yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang potensial bagi perilaku manusia
.
36
33
Haryono, Drs. P. 1996. Memahami Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: Kanisius. Hal 46
34
Harsojo. Prof. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung : Binacipta. Hal. 93
35
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. hal 68
36
Keesing, Roger M. 1992. ibid
.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kroeber 1948 Budaya adalah keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan dan
perilaku yang ditimbulkannya
37
Dapat disimpulkan bahwa arti kebudayaan amat luas, meliputi seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus
didapatkan dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat
38
Ciri-ciri budaya sebagai berikut .
Ciri-ciri budaya
39
1. Dapat dipelajari.
:
2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun
tertulis, baik disengaja maupun tidak disengaja. 3.
Memiliki simbol-simbol tertentu. Setiap budaya memiliki simbol-simbol yang memiliki makna khusus biasanya
dimengerti oleh masyarakatnya. 4.
Selalu berubah. Tidak ada budaya yang statis. Budaya suatu masyarakat selalu dinamis dan terus berubah sesuai dengan
perkembangan Zamannya 5.
Memiliki sistem integral. Setiap unsur kebudayaan terkait satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, satu unsur kebudayaan tidak
37
Keesing, Roger M. 1992. ibid
38
Harsojo. Prof. 1984.Op. cit. Hal. 93
39
Kaentjaraningrat, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan . Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 3
Universitas Sumatera Utara
dapat berdiri sendiri, tetapi menyangkut unsur-unsur yang lain dalam suatu jaringan yang kompleks
6. Sifatnya adaftif. Kebudayaan berubah untuk beradaptasi
dengan dunia yang berubah. Koentjaraningrat menyarankan agar kebudayaan dibedakan sesuai dengan
empat wujudnya. Dari bagian terluar sampai bagian terdalam adalah sebagai berikut
40
1. Bagian yang paling luar merupakan kebudayaan sebagai artifacts, atau
benda-benda fisik. Yakni berupa benda-benda hasil karya manusia yang bersifat kongkret yang dapat diraba. Misalnya bangunan,
peralatan, dan benda teknologi. Sebutan bagi budaya dalam bentuk konkret ini adalah kebudayaan fisik
2. Bagaian kedua terluar merupakan wujud dan tingkah laku manusia.
Wujud berikut ini masih bersifat konkret. Dapat difoto ataupun di film. Semua gerak-gerak yang dilakukan dari waktu ke waktu.
Merupakan pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola tingakah laku manusia disebut sistem sosial.
3. Bagian ketiga merupakan wujud gagasan dari kebudayaan, dan
tempatnya ada didalam diri warga kebudayaan. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat abstrak. Dan hanya dapat diketahui dan dipahami
setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik dengan wawancara intensif atau dengan membaca literatur yang sudah ada. Kebudayaan
40
Koentjaraningrat, Esther. 2006. ibid.
Universitas Sumatera Utara
dalam wujud gagasan juga berpola berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut sistem budaya.
4. Bagian keempat merupakan bagian yang terdalam, merupakan
gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak usia dini dan karenanya sukar diubah. Istilah untuk
menyebut unsur-unsur kebudayaan yang menjadi pusat dari semua unsur yang lain adalah nilai-nilai budaya, yang menentukan sifat dan
corak dari pikiran, cara berfikir, serta tingkah laku manusia sebuah kebudayaan.
Unsur-Unsur Kebudayaan Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi kedalam suatu jumlah unsur
yang tak terbatas jumlahnya. Unsur kebudayaan yang terkecil sampai kepada yang merupakan gabungan yang terbesar bersama-sama merupakan unsur kebudayaan.
Cara menganalisa kebudayaan dalam strukturnya seperti tersebut diatas sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan kebudayaan itu sendiri, dan dirasakan
terlalu mekanis. Akan tetapi cara analisa seperti itu dapat memberikan kepada kita gambaran ilmiah yang lebih baik tentang hakekat kebudayaan.
Koentjaraningrat mengumukakan konsep unsur-unsur kebudayaan menjadi 7, yaitu
41
1. sistem religi dan upacara adat
:
2. sistem organisasi sosial dan kemasyarakatan
3. sistem ilmu pengetahuan
4. bahasa
41
Koentjaraningrat. 1996. Ibid. Hal. 81
Universitas Sumatera Utara
5. kesenian
6. sistem ekonomi dan mata pencaharian
7. sistem alat dan teknologi
Ketujuh unsur kebudayaan tersebut sering disebut sebagai unsure kebudayaan universal kultural universal. Kesatuan kebudayaan dimanapun
dimuka bumi ini, mulai dari masyarakat yang sederhana samapai masyarakat yang modern, akan dapat ditemukan tujuh unsur kebudayaan tersebut di dalamnya.
Mas’oed menyatakan politik pembangunan desa lebih tertuju pada aspek politik dan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan ditingkat desa. Program
pembangunan desa untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang masa depan yang diinginkan. Proses pembangunan desa menghasilkan tata
kehidupan politik yang menumbuhkan demokrasi. Sehingga keputusan politik terhadap program pembangunan pedesaan bertujuan untuk mengembangkan
kapasitas masyarakat, untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan kesejahteraan masyarakat desa
Berkaitan dengan entitas ekonomi dalam politik pembangunan yaitu tidak mengejar keuntungan pribadi atau kelompok untuk jangka pendek, tetapi
menanamkan hakekat pembangunan desa yang transparan, bertanggung jawab, menguntungkan semua pihak dan berlangsung secara menyeluruh serta
berkesinambungan. Weaver, politik pembangunan menyangkut keberhasilan pembangunan desa bisa dicapai, bila usahausaha pembangunan langsung
ditujukan untuk memperbaiki kehidupan masy arakat menjadi lebih baik dan masyarakat memiliki akses pada sumber-sumber ekonomi dan politik, serta
sebagai usaha memberdayakan masyarakat secara langsung.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi masyarakat pada partisipasi politik 1.
Faktor Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan
jumlah keluarga. 2.
Faktor Politik Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu
produk akhir. Faktor politik meliputi : a.
Komunikasi Politik. Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai
konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik.
42
b. Kesadaran Politik.
Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika.
Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat
kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau
pembangunan
42
Nimmo, Dan. Polical Communication and Public Opinion in America , Goodyear Publishing
Co, 1993
Universitas Sumatera Utara
c. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses pengambilan keputusan
Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan menentukan corak dan arah suatu
keputusan yang akan diambil d.
Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat
menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan. Kontrol untuk mencegah
dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of
directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan ide, gagasan tanpa intimidasi
yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan
pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan
3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan
Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan
semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan
pranatanya.
Universitas Sumatera Utara
4. Faktor Nilai Budaya
Nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik Soemitro
1999:27 atau peradaban masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
6. Metode Penelitian 6.1. Jenis Penelitian