Hubungan Tingkat Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran pada Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang Siantar Tahun 2010

(1)

HUBUNGAN TINGKAT PEMAPARAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PENGEMUDI BECAK MESIN

DI KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2010

SKRIPSI

Oleh

041000001 Ishari Wida Utami

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

HUBUNGAN TINGKAT PEMAPARAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PENGEMUDI BECAK MESIN

DI KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2010

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh 041000001

ISHARI WIDA UTAMI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judu l:

HUBUNGAN TINGKAT PEMAPARAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PENGEMUDI BECAK MESIN DI KOTA

PEMATANG SIANTAR TAHUN 2010

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh

NIM. 041000001 ISHARI WIDA UTAMI

Telah Diuji Dan Dipertahankan Dihadapan Timpenguji Skripsi Pada Tanggal 23 Juli 2010

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes

NIP. 19700219 199802 2 001 NIP. 19680320 199303 2 001 Ir. Evi Naria, Mkes

Penguji II Penguji III

Ir. Indra Cahaya S, MSi Dr.Dra Irnawati Marsaulina, MS NIP. 19681101 199303 2 005 NIP. 19650109 199403 2 002

Medan, September 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

NIP.19610831 198903 1 001 Dr.Drs. Surya Utama, MS


(4)

ABSTRAK

Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki, defenisi ini menunjukkan bahwa bising itu sangat subjektif, tergantung dari masing-masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunisasi, gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku pemukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari. Saat ini kebisingan telah menjadi masalah yang banyak di hadapi penduduk. Untuk kegiatan pembangunan secara fisik seperti sarana transportasi harus dikendalikan tingkat kebisingannya sehingga tidak melampaui batas.

Penelitian ini dilakukan di Kota Pematang Siantar yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar .

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Adapun variabel yang diukur adalah tingkat pemasaran kebisingan dan gangguan pendengaran. Pengukuran tingkat kebisingan menggunakan Sound Level Meter, pengukuran ketulian dengan menggunakan alat Audiometri dan pengukuran tinnitus dan vertigo dengan menggunakan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengemudi becak yang berjumlah 57 orang dan pengambilan sample dengan menggunakan rumus Lemeshow.

Hasil penelitian menunjukkan hanya 15 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami ketulian, sebanyak 27 responden menyatakan tidak mengalami ketulian. hanya 12 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami tinitus, sedangkan sebanyak 30 responden menyatakan tidak mengalami tinitus. Dan 18 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami vertigo, sebanyak 24 responden menyatakan tidak mengalami vertigo. Hasil analisis yang lain menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kebisinga dengan terjadinya ketulian (p=0,001), tinnitus (p=0,000) dan vertigo (p=0,011).

Berdasarkan hasil penelitian disarankan diharapkan kepada pengemudi becak untuk mengurangi kebisingan dengan cara mengganti motor dengan sepeda motor yang tidak mengakibatkan polusi udara, penggunaan APD yang dapat mengurangi tingkat paparan kebisingan pada telinga, apabila terpapar kebisingan yang sangat tinggi sebaiknya pengendara becak melakukan istirahat beberapa saat ditempat yang intensitas suara rendah (tidak bising) untuk menormalkan fungsi pendengaran (telinga), diharapkan kepada instansi terkait seperti dinas Kesehatan, DLLAJ dan instansi terkait lainnya melakukan penyuluhan kepada pengemudi becak tentang pengaruh kebisingan dan cara pengendaliannya.


(5)

ABSTRACT

Noise is the sound or noise that disturbs or is not desired, this definition shows that the noise is very subjective, depending on each individual, time and place of occurrence of noise. Special influence in the form of hearing loss due to noise, interruptions of pregnancy, infant growth, impaired communication are, the disturbance of rest, sleep disturbances, psikofisiologis, mental disorders, performance, influence on settlement behavior, inconvenience, and disruption of daily activities. Current noise has become a problem that many people face. For physical development activities such as transportation facilities must be controlled so that noise levels do not exceed the limits. This research was conducted in the city Pematang Siantar which aims to find out the correlation between noise exposure with hearing loss in rickshaw driver in the city of Pematang Siantar machine.

Type a descriptive study with quantitative approach. The variables measured is the level of marketing noise and hearing loss. Measurement of noise levels using a Sound Level Meter, measurement of hearing loss by using audiometry and measurement of tinnitus and vertigo with the use of interviews using a questionnaire. The population in this study are all pedicab drivers who numbered 57 people and taking sample using the formula Lemeshow.

Results showed that 15 respondents who were above the noise threshold states experiencing deafness, as many as 27 respondents said no experience of deafness. only 12 respondents who were above the noise threshold states experiencing tinnitus, while as many as 30 respondents said not having tinnitus. And 18 respondents who were above the noise threshold states experienced vertigo, a total of 24 respondents said not experience vertigo. The result of another analysis showed a significant correlation between the occurrence of deafness kebisinga level (p = 0.001), tinnitus (p = 0.000) and vertigo (p = 0.011).

Based on this research are expected to cycle rickshaw is recommended to reduce noise by replacing the motor with a motorcycle that does not cause air pollution, use of PPE that can reduce noise exposure level of the ears, when exposed to very high noise pedicab driver should do some time resting place of the low-intensity sound (no noise) to normalize the function of hearing (ears), is expected to relevant agencies such as health services, DLLAJ and other relevant agencies to educate about the effect of pedicab drivers and how to control noise.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ishari Wida Utami

Tempat/ Tanggal lahir : Pematang Siantar, 8 Desember 1985

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Nama Orang Tua :

Ayah : Iskandar

Ibu : Hartini

Anak ke : 1 (satu) dari 2 bersaudara

Alamat Rumah Orang Tua : Kompleks RS. Laras PTPN IV, Ser Belawan

Alamat : Jl. Seksama Gg. Adil No.17

Riwayat Pendidikan

Tahun 1991-1993 : TK Melati Pematang Siantar Tahun 1993-1999 : SD Negeri 091250 Marihat Ulu

Tahun 1999-2001 : SMP Swasta Sultan Agung Pematang Siantar Tahun 2001-2004 : SMA Negeri I Dolok Batu Nanggar


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat kasih dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Hubungan Tingkat Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran pada Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang Siantar Tahun 2010”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dibuat untuk dapat menyelesaikan pendidikan Strata I pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan dari berbagai hal. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangu n demi kebaikan isi skripsi ini.

Selama proses pendidikan dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. DR. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Indra Cahaya, MSi selaku ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Devi Nuraini Santi, Mkes selaku Dosen Pembimbing skripsi I yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulis dalam


(8)

4. Evi Naria, MKes, selaku Dosen Pembimbing skripsi II yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Prof.dr. Rozaini Nst, SKM selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Teristimewa kepada kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Iskandar, Ibunda Hartini dan Adikku tersayang Winda Lesmana yang telah banyak memberikan doa, dukungan moril dan materi selama penulis mengikuti dan menyelesaikan perkuliahan ini.

8. Teman-temanku seperjuangan stambuk 2004 Ika, Youlan, Yabin, Yani, Dome , Fitri, Zie Zie, Marila Sari yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Adik-adik Kelasku yang telah banyak membantu Sylvia Azhari, Gabriella Septiani, Asri Budiningsih, Hendra Dinata, Fadillah Widyaningsih, Widya Agnesia, Neni Simanjuntak, Olvariani Sitepu, Elfrida, Iskandar, Andriansyah Munthe.

10. Terkhusus buat Musrijal yang telah banyak membantu dan memberi masukan dan dukungan bagi penulis.


(9)

Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa akan membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah penulis terima selama ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan berkat dan rahmatNya bagi kita semua. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya keluarga besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, Juli 2010 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan

Abstrak ... i

Daftar Riwayat Hidup ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... x

Daftar Lampiran ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Umum ... 5

1.3.2. Tujuan Khusus ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Bunyi ... 7

2.1.1. Defenisi Bunyi ... 7

2.2. Anatomi Telinga Dan Mekanisme Mendengar ... 7

2.3. Defenisi Kebisingan ... 8

2.3.1. Bunyi dan Mekanisme Kebisingan ... 8

2.3.2. Jenis Kebisingan... 10

2.3.2.1. Kebisingan Tetap ... 10

2.3.2.2. Kebisingan Tidak Tetap ... 10

2.3.3. Sumber- sumber Bising ... 11

2.3.4. Pengukuran Kebisingan ... 11

2.3.5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan ... 12

2.3.6. Pengaruh Kebisingan Pada Pendengaran ... 13

2.3.7. Pembagian Efek Kebisingan Terhadap Pendengaran ... 15

2.3.8. Keluhan Pendengaran ... 16

2.3.8.1. Ketulian ... 17

2.3.8.2. Tinitus ... 18

2.3.8.2.1. Patofisiologi Tinitus ... 19

2.3.8.3. Vertigo ... 20

2.3.8.4. Kaitan Kebisingan Dengan Produktifitas Kerja ... 23

2.3.8.5. Pengendalian Kebisingan ... 24

2.4. Kerangka Konsep ... 25


(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1. Jenis Penelitian ... 26

3.2. Lokasi dan Tempat Penelitian ... 26

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 26

3.2.2. Tempat Penelitian ... 26

3.3. Populasi dan Sampel ... 26

3.3.1. Populasi ... 26

3.3.2. Sampel ... 26

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 27

3.4.1. Data Primer ... 27

3.4.2. Data sukunder ... 27

3.4.3. Cara Kerja Penelitian/ Pengukuran ... 28

3.4.3.1.Audiometer ... 28

3.4.3.2. Sound Level Meter ... 29

3.5. Defenisi Operasional ... 30

3.6. Aspek Pengukuran ... 31

3.7. Analisis Data ... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 33

4.1. Gambaran umum Kota Pematang Siantar ... 33

4.1.1. Geografi ... 33

4.1.2. Kependudukan ... 33

4.1.2.1. Pertumbuhan Penduduk ... 33

4.1.2.2. Mata Pencarian Penduduk ... 33

4.2. Hasil Penelitian ... 35

4.2.1. Identitas Responden ... 35

4.2.2. Gangguan Pendengaran pada Responden ... 36

4.2.3. Gangguan Akibat Bising pada Responden ... 37

4.2.4. Tingkat Pemaparan ... 38

4.2.5. Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengurangi Kebisingan ... 39

4.3. Analisa Statistik ... 39

BAB V PEMBAHASAN ... 42

5.1. Karakteristik Responden ... 42

5.2. Gangguan Pendengaran pada Pengemudi Becak ... 43

5.3. Tingkat Pemaparan Kebisingan ... 44

5.4. Upaya Mengurangi Kebisingan Becak Mesin ... 45

5.5. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ... 45

5.5.1. Ketulian ... 45

5.5.2. Tinitus ... 46


(12)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1. Kesimpulan ... 48 6.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA

KUESIONER PENELITIAN

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Pengukuran Audiometri

Lampiran 2. Tabel Hasil Penelitian dan Pengukuran Sound Level Meter Lampiran 3. Tabel Kuesioner Hasil Penelitian Responden

Lampiran 4. Tabel Distribusi Frekuensi dan Crosstab Lampiran 5. Foto Penelitian


(13)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 2.1. Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan ... 12

Tabel 4.1. Luas daerah, Jumlah Kepala keluarga, Rata-rata jiwa dan Kepadatan Penduduk diperinci menurut kecamatan di Kota Pematang Siantar

tahun 2010 ... 35 Tabel 4.2. Distribusi penduduk menurut tingkat pendidikan Kota Pematang

Siantar tahun 2007 ... 35 Tabel 4.3. Distribusi responden menurut identitas responden pengemudi

becak mesin di Kota Pematang Siantar

Tahun 2010... 36 Tabel 4.4. Gangguan pendengaran pada responden pengemudi

becak mesin di Kota Pematang Siantar

Tahun 2010... 37 Tabel 4.5. Gangguan Akibat Bising pada Responden pengemudi

becak mesin di Kota Pematang Siantar

Tahun 2010... 39 Tabel 4.6 Tingkat Pemaparan Kebisingan yang diterima responden

pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar

Tahun 2010... 39 Tabel 4.7. Penggunaan APD pada Responden pengemudi

becak mesin di Kota Pematang Siantar

Tahun 2010... 40 Tabel 4.8. Alasan tidak menggunakan APD pada Responden

pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar

Tahun 2010... 40 Tabel 4.9 Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Ketulian

Pada Pengemudi Becak Mesin Tahun 2010 ... 41 Tabel 4.10.Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Tinitus

Pada Pengemudi Becak Mesin Tahun 2010 ... 41 Tabel 4.11. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan vertigo


(14)

ABSTRAK

Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki, defenisi ini menunjukkan bahwa bising itu sangat subjektif, tergantung dari masing-masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunisasi, gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku pemukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari. Saat ini kebisingan telah menjadi masalah yang banyak di hadapi penduduk. Untuk kegiatan pembangunan secara fisik seperti sarana transportasi harus dikendalikan tingkat kebisingannya sehingga tidak melampaui batas.

Penelitian ini dilakukan di Kota Pematang Siantar yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar .

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Adapun variabel yang diukur adalah tingkat pemasaran kebisingan dan gangguan pendengaran. Pengukuran tingkat kebisingan menggunakan Sound Level Meter, pengukuran ketulian dengan menggunakan alat Audiometri dan pengukuran tinnitus dan vertigo dengan menggunakan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengemudi becak yang berjumlah 57 orang dan pengambilan sample dengan menggunakan rumus Lemeshow.

Hasil penelitian menunjukkan hanya 15 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami ketulian, sebanyak 27 responden menyatakan tidak mengalami ketulian. hanya 12 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami tinitus, sedangkan sebanyak 30 responden menyatakan tidak mengalami tinitus. Dan 18 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami vertigo, sebanyak 24 responden menyatakan tidak mengalami vertigo. Hasil analisis yang lain menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kebisinga dengan terjadinya ketulian (p=0,001), tinnitus (p=0,000) dan vertigo (p=0,011).

Berdasarkan hasil penelitian disarankan diharapkan kepada pengemudi becak untuk mengurangi kebisingan dengan cara mengganti motor dengan sepeda motor yang tidak mengakibatkan polusi udara, penggunaan APD yang dapat mengurangi tingkat paparan kebisingan pada telinga, apabila terpapar kebisingan yang sangat tinggi sebaiknya pengendara becak melakukan istirahat beberapa saat ditempat yang intensitas suara rendah (tidak bising) untuk menormalkan fungsi pendengaran (telinga), diharapkan kepada instansi terkait seperti dinas Kesehatan, DLLAJ dan instansi terkait lainnya melakukan penyuluhan kepada pengemudi becak tentang pengaruh kebisingan dan cara pengendaliannya.


(15)

ABSTRACT

Noise is the sound or noise that disturbs or is not desired, this definition shows that the noise is very subjective, depending on each individual, time and place of occurrence of noise. Special influence in the form of hearing loss due to noise, interruptions of pregnancy, infant growth, impaired communication are, the disturbance of rest, sleep disturbances, psikofisiologis, mental disorders, performance, influence on settlement behavior, inconvenience, and disruption of daily activities. Current noise has become a problem that many people face. For physical development activities such as transportation facilities must be controlled so that noise levels do not exceed the limits. This research was conducted in the city Pematang Siantar which aims to find out the correlation between noise exposure with hearing loss in rickshaw driver in the city of Pematang Siantar machine.

Type a descriptive study with quantitative approach. The variables measured is the level of marketing noise and hearing loss. Measurement of noise levels using a Sound Level Meter, measurement of hearing loss by using audiometry and measurement of tinnitus and vertigo with the use of interviews using a questionnaire. The population in this study are all pedicab drivers who numbered 57 people and taking sample using the formula Lemeshow.

Results showed that 15 respondents who were above the noise threshold states experiencing deafness, as many as 27 respondents said no experience of deafness. only 12 respondents who were above the noise threshold states experiencing tinnitus, while as many as 30 respondents said not having tinnitus. And 18 respondents who were above the noise threshold states experienced vertigo, a total of 24 respondents said not experience vertigo. The result of another analysis showed a significant correlation between the occurrence of deafness kebisinga level (p = 0.001), tinnitus (p = 0.000) and vertigo (p = 0.011).

Based on this research are expected to cycle rickshaw is recommended to reduce noise by replacing the motor with a motorcycle that does not cause air pollution, use of PPE that can reduce noise exposure level of the ears, when exposed to very high noise pedicab driver should do some time resting place of the low-intensity sound (no noise) to normalize the function of hearing (ears), is expected to relevant agencies such as health services, DLLAJ and other relevant agencies to educate about the effect of pedicab drivers and how to control noise.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pembangunan Indonesia dilaksanakan pada segala bidang guna mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materi maupun spiritual. Visi pembangunan kesehatan di Indonesia yang dilaksanakan adalah Indonesia Sehat 2010 dimana penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2002).

Menurut teori yang dikemukakan oleh H.L. Blum bahwa status kesehatan sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan. Sedangkan untuk meningkatkan status kesehatan seseorang diperlukan lingkungan yang kondusif. Salah satu cara adalah bebas dari polusi, baik polusi udara maupun polusi suara. Akan tetapi lingkungan yang bebas polusi sangat jarang kita temui pada saat sekarang ini. Hal ini terjadi karena bertambahnya urbanisasi sehubungan dengan bertambahnya transportasi yang pesat dan pertambahan penggunaan mesin-mesin baru, yang lebih besar dan berkekuatan dimana-mana, bising telah menjadi hasil sampingan yang tidak dapat diabaikan dari kehidupan kita yang telah dimekanisasi dan merupakan bahaya yang serius pula terhadap kesehatan kita (Doelle,1993).

Suara yang tidak diinginkan akan memberikan efek yang kurang baik terhadap kesehatan. Suara merupakan gelombang mekanik yang dihantarkan oleh suara medium yaitu umumnya oleh udara. Kualitas dan kuantitas suara ditentukan suara antara lain oleh


(17)

intensitas (loudness), frekuensi, periodesitas (kontinue atau terputus) dan durasinya. Faktor-faktor tersebut juga ikut memperngaruhi dampak suatu kebisingan terhadap kesehatan (Mansyur, 2003).

Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki, defenisi ini menunjukkan bahwa bising itu sangat subjektif, tergantung dari masing-masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Sedangkan secara audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekwensi (Adriana, 2005).

Pengaruh buruk kebisingan, didefenisikan sebagai suatu perubahan morfologi dan fisiologi suara organisme yang mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional untuk mengatasi adanya stress tambahan atau peningkatan kerentanan suatu organisme terhadap pengaruh efek faktor lingkungan yang merugikan, termasuk pengaruh yang bersifat sementara maupun gangguan jangka panjang terhadap suatu organ atau seseorang secara fisik, psikologis atau sosial.

Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunisasi, gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku pemukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari (Mansyur, 2003). Cacat pendengaran akibat kerja (occupational deafness/ noise induced hearing loss) adalah hilangnya sebahagiaan atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja (Adriana, 2003).


(18)

Saat ini kebisingan telah menjadi masalah yang banyak di hadapi penduduk kota besar (Wardhana, 2004). Kebisingan merupakan salah satu faktor penting penyebab terjadinya stress dalam kehidupan modern (Chandra, 2007). Karena merupakan suatu unsur lingkungan yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan hidup. Untuk kegiatan pembangunan secara fisik seperti sarana transportasi harus dikendalikan tingkat kebisingannya sehingga tidak melampaui batas.

Berdasarkan survei “Multi Center Study” di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Sementara itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta-140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara (Depkes RI, 2004).

Sektor transportasi telah dikenal sebagai salah satu sektor yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi yang menyeluruh. Namun sektor ini dikenal pula sebagai salah satu sektor yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan misalnya udara (polusi) dan kebisingan mesin alat transportasi seperti mobil, taksi, angkutan kota, sepeda motor dan becak mesin.

Becak mesin merupakan salah satu alat transportasi yang banyak terdapat di kota-kota besar. Suara yang dihasilkan menjadi sumber kebisingan di jalan raya. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Bangun (2003), bahwa hasil pengukuran tingkat pemaparan kebisingan becak mesin di Kota Binjai diatas 85 dB sebanyak 24 orang dan tingkat


(19)

pemaparan kebisingan becak mesin dibawah 85 dB sebanyak 6 orang, serta hampir semua responden (87,7%) mengalami keluhan kesehatan akibat pemaparan kebisingan.

Salah satu transportasi yang paling banyak diminati oleh masyarakat khususnya Kota Pematang Siantar adalah becak mesin. Sehingga kota Siantar sering juga dikenal masyarakat dengan sebutan kota becak mesin. Selain itu juga, hampir seluruh masyarakat memiliki pekerjaan sebagai pengemudi becak mesin. Becak mesin yang ada di kota Siantar memiliki bentuk yang unik dari yang lain,sehingga menambah kekhasannya di banding daerah lainnya.

Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh peneliti, didapat data dari kantor Dinas Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJ) Kota Pematang Siantar bahwa banyaknya becak motor yang beroperasi didaerah tersebut adalah 357 unit. Becak motor ini tersebar di setiap sudut kota Pematang Siantar. Masyarakat kota Pematang Siantar sering mengeluhkan suara bising becak mesin yang melintas dekat rumah saat mereka istirahat maupun lokasi tempat mereka beraktifitas. Lokasi pangkalan becak terletak di pinggir-pinggir jalan raya sehingga tidak ideal karena sekitarnya terdapat sekolah dan kantor yang memerlukan suasana tenang dan tidak bising.


(20)

Suara bising yang ditimbulkan becak mesin di Pematang Siantar dapat melebihi Nilai Ambang Batas yang dapat mengakibatkan gangguan pada pendengaran. Sehingga hal tersebut menjadi dasar bagi peneliti guna mengetahui hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar tahun 2010.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar Tahun 2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik pengemudi becak. 2. Untuk mengetahui tingkat kebisingan suara becak.

3. Untuk mengetahui gangguan pendengaran yang terjadi pada pengemudi becak. 4. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pemaparan kebisingan dengan

gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar.


(21)

1. Bagi pengemudi becak sebagai bahan informasi mengenai kebisingan dan akibat yang ditimbulkannya.

2. Bagi Fakultas, sebagai bahan bacaan dan masukan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya.

3. Bagi pihak Pemerintah Kota Pematang Siantar sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

4. Bagi peneliti sebagai sarana untuk memperdalam pengetahuan serta mengembangkan ilmu yang telah dipelajari selama perkuliahan.


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bunyi

2.1.1 Defenisi Bunyi

Bunyi atau suara di defenisikan sebagai serangkaian gelombang yang merambat dari suara sumber getar sebagai akibat perubahan kerapatan dan juga tekanan udara (J.F.Gabriel, 1996). Defenisi lain suara adalah sensasi yang dihasilkan apabila getaran longitudinal molekul dari lingkungan luar, yaitu pemadatan dan perenggangan dari molekul-molekul yang silih berganti, mengenai membran timpani. Pola dari gerakan ini digambarkan sebagai perubahan-perubahan tekanan pada membran timpani tiap unit waktu merupakan sederatan gelombang dan gerakan ini dalam lingkungan sekitar kita umumnya dinamakan gelombang suara. Bunyi merupakan perubahan tekanan dalam udara yang ditangkap oleh gendang telinga dan disalurkan ke otak (Eko, 2003).

2.2. Anatomi Telinga Dan Mekanisme Mendengar

Telinga terdiri dari 3 bagian utama yaitu : 1. Telinga Bagian Luar

Terdiri dari daun telinga dan liang telinga (audiotory canal), dibatasi oleh membran timpani. Telinga bagian luar berfungsi sebagai mikrofon yaitu menampung gelombang suara dan menyebabkan membran timpani bergetar. Semakin tinggi frekuensi getaran semakin cepat pula membran tersebut bergetar begitu pula sebaliknya.


(23)

Terdiri dari osside yaitu 3 tulang kecil (tulang pendengaran yang halus). Martil landasan-sanggurdi yang berfungsi memperbesar getaran dari membran timpani dan meneruskan getaran yang telah diperbesar ke oval window yang bersifat fleksibel. Oval window ini terdapat pada ujung dari cochlea.

3. Telinga Bagian Dalam

Yang juga disebut cochlea dan berbentuk rumah siput. Cochlea mengandung cairan, di dalamnya terdapat membran basiler dan organ corti yang terdiri dari sel-sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran. Getaran dari oval window akan diteruskan oleh cairan dalam cochlea, mengantarkan membran basiler. Getaran ini merupakan implus bagi organ corti yang selanjutnya diteruskan ke otak melalui syaraf pendengar (Buchari, 2007).

2.3. Defenisi Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Kep MENLH No : Kep-48/MENLH/11/1996). Kebisingan adalah suara atau bunyi yang tidak dikehandaki atau dapat diartikan pula sebebagai suara yang salah pada tempat dan waktu yang salah (Chandra, 2007).

2.3.1. Bunyi Dan Mekanisme Kebisingan

Bunyi dinyatakan sebagai sensasi pendengaran yang lewat telinga dan timbul karena penyimpangan tekanan udara. Penyimpangan ini biasanya disebabkan oleh beberapa benda yang bergetar, misalnya dawai gitar yang dipetik atau garpu tala yang dipukul. Sewaktu fluktuasi tekana udara ini membentur gendang pendengaran(membran timpani) dari telinga


(24)

kita maka membran ini akan bergetar sebagai jawaban pada fluktuasi tekanan udara tersebut. Getaran ini melalui saluran dan proses tertentu akan sampai diotak kita dimana hal ini diinterprestasikan sebagai suara.

Pada kondisi atau aktifitas tertentu, misalnya saat seseoarang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan perbedaan tingkat ketinggian lokasi cukup besar dalam waktu relatif singkat, akan timbul perbedaan tekanan udara antara bagian depan dan belakang gendang telinga. Akibatnya gendang telinga tidak dapat bergetar secara efisien, dan sudah barang tentu pendengaran akan terganggu (Tambunan, 2005).

Suara bising akan dapat terjadi apabila ada 3 (tiga) hal yaitu : sumber bising, media/udara, dan penerima. Dari sumber bising, suara akan merambat melalui udara dalam bentuk gelombang sampai suara tersebut diterima oleh pendengar/penerima. Kebisingan tidak akan terjadi tanpa adanya media/udara. Pengurangan kebisingan dapat dilakukan dengan jalan penggunaan isolasi/isolator antara sumber dan penerima (Doelle, 1993).

Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya bekisar antara 20-20.000Hz dan dengan frekuensi suara sekitar 80 dB (batas aman) (Chandra, 2007). Lebar responden telinga manusia diantara 0 dB-140 dB yang dapat didengar. Dan batas intensitas suara tertinggi adalah 140 dB dimana untuk mendengarkan suara itu sudah timbul perasaan sakit pada alat pendengaran (Doelle, 1993). Pajanan terhadap suara atau bunyi yang melampaui batas aman di atas dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya ketulian sementara atau permanen (Chandra, 2007).

2.3.2. Jenis Kebisingan


(25)

1. Kebisingan tetap (steady noise)

2. Kebisingan tidak tetap (non steady noise)

2.3.2.1.Kebisingan Tetap (steady noise)

Kebisingan tetap (steady noise) dibedakan menjadi dua, yaitu : (Tambunan, 2005) a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frekuensi noise)

Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam,contohnya suara mesin, suara kipas dan sebagainya.

b. Broad Band Noise

c. Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan nada murni).

2.3.2.2.Kebisingan Tidak Tetap

Kebisingan tidak tetap (non steady noise) dibedakan menjadi tiga, yaitu : a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)

Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu. b. Intermitten noise

Sesuai dengan terjemahannya, intermitten noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas.

c. Impulsive noise

Kebisingan impulsive dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga) dalam waktu relative singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya.


(26)

2.3.3. Sumber-Sumber Bising

Sumber bising adalah suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi sebagai asal atau aktivitas yang menghasilkan suara bising yang merusak pendengaran baik bersifat sementara ataupun permanen. Sumber bising utama dalam pengendalian bising lingkungan diklasifikasikan dalam kelompok :

a. Bising interior, berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, mesin gudang dan aktifitas di dalam ruangan atau gedung.

b. Bising luar, bising yang dikategorikan berasal dari aktifitas diluar ruangan seperti transportasi udara, termasuk bus, mobil, sepeda motor, transportasi air, kereta api dan pesawat terbang dan bising yang berasal dari industri. Untuk bising transportasi yang paling penting diketahui bahwa makin besar kendaraan akan semakin keras suara bising yang dihasilkan (Doelle, 1993).

2.3.4 Pengukuran Kebisingan

Beberapa alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan, yaitu :

1. Audiometer, biasanya dipakai untuk mengukur kebisingan yaitu dengan membandingkan dengan suara yang intensitasnya diketahui.

2. Noisemeter, alat ini mengambil suara dalam sebuah mikrofon dan memindahkan energinya ke impuls listrik. Hasil pengukurannya merupakan energi total, dicatat sebagai aliran listrik yang hampir sama dengan kebisingan yang ditangkap.

3. The Equivalent Continous Level, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan yang sangat fluktuatif, misalnya kebisingan lalu-lintas.


(27)

4. Octave Band Analizer, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan dengan spektrum frekuensi yang luas (Oloan, 2005).

5. Sound Level Meter, Alat ini digunakan untuk mengukur kebisingan antara 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari mikrofon, amplifier, dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lain. Sound Level Meter dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti A, B, C dan D. Skala A, contohnya adalah rentang skala pembobotan yang melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga manusia normal. Sementara itu skala B, C dan D digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet (Sihar, 2005).

2.3.5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Pengawasan kebisingan berpedoman pada nilai ambang batas (NAB) seperti pada tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1. Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan Waktu pemaparan tiap hari (jam) Batas suara (dB.A)

16 80

8 85

4 90

2 95

1 100

½ 105

¼ 110

1/8 115

Sumber : Depkes RI, 1999

Dengan adanya pemaparan 8 jam tiap hari, batas suara yang masih diperbolehkan adalah 85 dB A.


(28)

Tingkat kebisingan maksimum yang dianjurkan maupun diperbolehkan adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang hari, petang hari dan malam hari. Siang hari adalah waktu yang digunakan oleh kebanyakan orang untuk bekerja dan berpergian. Petang hari adalah waktu yang digunakan oleh kebannyakan orang untuk istirahat di rumah tetapi belum tidur. Malam hari adalah waktu yang digunakan kebanyakan orang untuk tidur.

Pembagian waktu pagi, siang dan malam hari disesuaikan dengan kegiatan kehidupan masyarakat setempat. Biasanya pagi hari adalah pukul 06.00 - 09.00, siang hari adalah pukul 14.00 – 17.00 dan malam hari adalah pukul 17.00 – 22.00 (Kep MENLH No : Kep-48/MENLH/11/1996).

2.3.6. Gangguan Kebisingan Pada Pendengaran

1. Adaptasi bila telinga terpapar oleh kebisingan

Mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu keras seperti pada awal pemaparan.

2. Peningkatan ambang dengar sementara

Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula-mula terjadi pada frekuensi 4000 Hz, tetapi bila pemaparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai


(29)

ambang pendengarannya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing individu.

3. Peningkatan ambang dengar menetap

Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada frekuensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan audiogram.

Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat beberapa jam (1-2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama (10-15 tahun) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ corti sampai terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Umumnya frekuensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas adalah antara 3000-6000 Hz dan kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang terberat terjadi pada frekuensi 4000 Hz (4 K notch). Ini merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan audiometri.


(30)

Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan menyabar ke frekuensi percakapan (500-2000 Hz). Pada saat itu pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaraan sekitarnya (Tri, 2005).

2.3.7. Pembagian Efek Kebisingan Terhadap Pendengaran

Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori yaitu : (Andriana, 2003)

1. Noise Induced Temporary Threshold Shift (NITTS)

Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch” yang curam pada frekuensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch.

Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat kembali normal.

2. Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS)

Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “occupational hearing loss” atau kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau mana lainnya ketulian akibat bising.

Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja dilingkungan bising selama 10-15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :


(31)

b. Kepekaan seseorang terhadap suara bising

NIPTS biasanya terjadi disekitar frekuansi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat dan menyebar ke frekuensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila sudah menyebar sampai ke frekuensi yang lebih rendah (2000 Hz dan 3000 Hz) keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekuensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah. Notch bermula pada frekuensi 3000-6000 Hz, dan setelah beberapa waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekuensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada frekuensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.

2.3.8. Keluhan Pendengaran

Keluhan pendengaran adalah perubahan pada tingkat pendengaran yang berakibat kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami pembicaraan.

No Gradasi Parameter

1 Norma Tidak mengalami kesulitan dalam percakapan biasa (6 m) 2 Sedang Kesulitan dalam percakapan sehari-hari mulai jarak > 1,5 m 3 Menengah Kesulitan dalam percakapan keras mulai jarak > 1,5 m


(32)

4 Berat Kesulitan dalam percakapan keras/teriak mulai jarak >1,5 m 5 Tuli total Kehilangan kemampuan pendengaran dalam berkomunikasih Sumber : Buchari, 2007

2.3.8.1.Ketulian

Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekuensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi. Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising (noise induced hearing loss) adalah :

a. Bersifat sensorineural b. Hampir selalu bilateral

c. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing loss) derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB.

d. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan.

e. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekuensi 4000 Hz.

f. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10-15 tahun.


(33)

Selain pengaruh terhadap pendengaran (auditori), bising yang berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi bicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.

Derajat ketulian menuru ISO adalah : (Buchari, 2007) 1. Jika peningkatan ambang batas antara 0-<25 normal. 2. Jika peningkatan ambang batas antara 26-40 tuli ringan. 3. Jika peningkatan ambang batas antara 41-60 tuli sedang. 4. Jika peningkatan ambang batas antara 61-90 tuli berat. 5. Jika peningkatan ambang batas antara >9 tuli sangat berat.

2.3.8.2.Tinitus

Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan mendengarkan bunyi tanpa ada rangsangan bunyi dari luar. Keluhan ini dapat berupa bunyi mendengung, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi yang lain.

Tinitus dapat dibagi atas 2, yaitu :

a. Tinitus obyektif, bila suara tersebut dapat juga didengar oleh pemeriksa atau dengan auskultasi di sekitar telinga. Tinitus obyektif bersifat vibritorik, berasal dari transmisi vibrasi sistem vaskuler atau kardoivaskuler di sekitar telinga.

b. Tinitus subjektif, bila suara tersebut hanya didengar oleh pasien sendiri, jenis ini sering terjadi. Tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan oleh proses iritatif atau perubahan degeneratif traktus auditorius mulai dari sel-sel rambut getar koklea sampai pusat saraf pendengar (Husnul, 2009).


(34)

2.3.8.2.1.Patofisiologi Tinitus

Pada tinitus terjadi aktifitas elektrik pada area auditorius yang menimbulkan perasaan adanya bunyi, namun implus yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber implus abnormal di dalam tubuh pasien sendiri.

Implus abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah, seperti bergemuruh atau nada tinggi, seperti berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul terdengar.

Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan konduksi, biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa berdenyut (tinitus pulsasi).

Tinitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada sumbatan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media, otosklerosis, dan lain-lain.

Tinitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa gangguan pendengaran merupakan gejala dini yang penting pada tumor glomus jugulare. Tinitus objektif sering ditimbulkan oleh gangguan vaskuler. Bunyinya seirama dengan denyut nadi, misalnya pada aneurisma dan aterosklerosis. Gangguan mekanis dapat juga mengakibatkan tinitus objektif, seperti tuba eustachius terbuka, sehingga ketika bernafas membran timpani bergerak dan terrjadi tinitus. Kejang klonus muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius, serta otot-otot palatum dapat menimbulkan tinitus objektif.


(35)

Bila ada gangguan vaskuler di telinga tengah, seperti tumor karotis (carotid-body tumour), maka suara aliran darah akan mengakibatkan tinitus juga. Pada tuli sensorineural, biasanya timbul tinitus subjektif nada tinggi (sekitar 4000 Hz). Pada intoksikasi obat seperti salisilat, kina, streptomysin, dehidro-streptomysin, garamysin, digitalis, kanamysin, dapat terjadi tinitus nada tinggi, terus menerus atau hilang timbul.

Pada hipertensi endolimfatik seperti penyakit meniere dapat terjadi tinitus pada nada rendah dan tinggi, sehingga terdengar bergemuruh atau berdengung. Ganguan ini disertai dengan tuli sensorineural dan vertigo.

Gangguan vaskuler koklea terminalis yang terjadi pada pasien yang stres akibat gangguan keseimbangan endokrin, seperti menjelang menstruasi, hipometabolisme atau saat hamil dapat juga timbul tinitus atau gangguan tersebut akan hilang bila keadaannya sudah kembali normal.

2.3.8.3.Vertigo

Vertigo atau yang disebut juga dizziness, giddiness, dan lightheadedness adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul, terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit.

Vertigo adalah perasaan olah penderita bergerak atau berputar, atau seolah-olah benda di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan. Hal ini bisa berlangsung beberapa menit, sampai beberapa jam, bahkan hari. Penderita vertigo merasa lebih baik jika berbaring diam, namun demikian serangan vertigo bisa terus berlanjut meskipun penderita tidak bergerak sama sekali.


(36)

Gejala-gejala vertigo meliputi : 1. Pusing

2. Kepala terasa ringan 3. Rasa terapung, terayun 4. Mual

5. Keringat dingin 6. Pucat

7. Muntah

8. Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan 9. Nistagmus

Gejala-gejala di atas dapat diperhebat dengan berubahnya posisi kepala. Secara garis besar, vertigo ada dua, yaitu vertigo perifer dan vertigo sentral.

a. Vertigo Perifer

Vertigo perifer (peripheral vertigo) disebabkan oleh disfungsi struktur perifer hingga ke batang otak (brain stem).

b. Vertigo Sentral

Vertigo sentral (central vertigo) melibatkan proses penyakit yang mempengaruhi batang otak (brain stem) atau cerebellum.

Perbadaan vertigo perifer dengan vertigo sentral :

1. Vertigo perifer beronset akut (waktunya singkat atau serangannya cepat terjadi), sedangkan vertigo sentral beronset kronis atau perlahan (gradual). Dengan kata lain,


(37)

durasi gejala pada vertigo perifer terjadi dalam hitungan menit, harian, mingguan, namun berulang (recurrent).

2. Penyebab umum vertigo perifer adalah infeksi (labyrinthitis), neuronitis, iskemia, trauma, toksin. Penyabab umum vertigo senterl adalah vaskuler, demyelinating, neoplasma.

3. Intensitas vertigo perifer sedang hingga berat, sedangkan vertigo sentral ringan hingga sedang.

4. Mual (nausea) dan muntah (vomiting) umumnya terjadi pada vertigo perifer dan jarang terjadi pada vertigo sentral.

5. Vertigo perifer umumnya berhubungan dengan posisi (positionally related), sedangkan vertigo sentral jarang berhubungan dengan posisi.

6. Kehilangan pendengaran (hearing loss) hingga ketulian umumnya terjadi pada vertigo perifer dan jarang terjadi pada vertigo sentral.

7. Tinitus (telinga berdenging) sering kali menyertai vertigo perifer. Pada vertigo sentral, biasanya tidak disertai tinitus.

8. Pada vertigo perifer tidak ada defisit neurologis. Defisit neurologis umumnya terjadipada vertigo sentral.


(38)

Tingkat kebisingan yang membahayakan daya dengar di tempat kerja tergantung pada tingkat kebisingan tertentu dan berapa lama pekerja terpapar terhadap kebisingan setiap hari (Alfaris, 2008).

Pengaruh-pengaruh dari kebisingan antara lain : a. Gangguan

Menurut WHO, kebisingan adalah suara-suara yang tidak dikehendaki. Besarnya gangguan bergantung pada jenis dan intensitas suara kebisingan. Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba dan tidak terduga. Pengaruh kebisingan akan sangat teras apabila sumber kebisingan tersebut tidak diketahui.

b. Komunikasi dengan pembicara

Resiko potensial pada pendengaran terjadi, apabila komunikasi dengan pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan komunikasi semacam itu dapat menyebabkan gangguan pada pekerja atau bahkan mengakibatkan kesalahan dan kecelakaan kerja terutama pada pekerja baru.

Pengaruh pada komunikasi percakapan dapat dipastikan dengan cara mengukur rata-rata intensitas oktaf-oktaf diantara 600-1200; 1200-1400; dan 2400-4800 Hz. Nilai yang dihasilkan disebut tingkat gangguan pembicaraan (speech interference level).

c. Efek pada pekerjaan

Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi pekerja pada pekerjaannya, terutama suara yang bernada tinggi, karena dapat menimbulkan reaksi psikologis dan kelelahan. Pada


(39)

pekerja yang lebih banyak menggunakan otak, kebisingan sebaiknya ditekan serendah mungkin.

d. Reaksi masyarakat

Apabila kebisingan akibat suara proses produksi sudah demikian hebatnya, pengaruhnya pasti sangat besar. Masyarakat sekitarpun pasti mengajukan protes dan menentut agar kegiatan produksi tersebut segera dihentikan (Chandra, 2007).

Telah diuraikan sebelumnya bahwa lingkungan dan kondisi kerja yang tidak sehat merupakan beban tambahan kerja bagi karyawan atau tenaga kerja. Sebaliknya lingkungan yang higienis disamping tidak menjadi beban tambahan, juga meningkatkan gairah dan motivasi kerja (Notoatmodjo, 2003).

2.3.8.5. Pengendalian Kebisingan

Kebisingan dapat dikendalikan dengan berbagai cara (Chandra, 2007). Dikenal beberapa cara pengendalian kebisingan yaitu :

a. Mengurangi vibrasi sumber kebisingan, berarti mengurangi tingkat kebisingan yang dikeluarkan sumbernya

b. Menutupi sumber suara

c. Melemahkan kebisingan dengan bahan penyerap suara atau peredam suara d. Menghalingi merambatnya suara (penghalang)

e. Melindungi ruang tempat manusia atau makhluk lainnya berada dari suara f. Melindungi telinga dari suara (Doelle, 1993)

Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga dapat mengurangi kebisingan sekitar 20-25 dB. Tetapi penggunaan tutup telinga ini pada umumnya tidak disenangi oleh pekerja,


(40)

karena terasa risih adanya benda asing di telinganya. Untuk itu penyuluhan terhadap mereka agar menyadari pentingnya tutup telinga bagi kesehatannya, dan akhirnya mau memakainya (Notoatmodjo, 2003)

2.4. Kerangka Konsep

2.5. Hipotesis Penelitian

Ho = Tidak ada hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin.

Ha = Ada hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin.

- Ketulian

- Tinitus

- Vertigo

Karekteristik :

- Penggunaan APD

- Lama bekerja

- Usia Kebisingan

≤ 85 dB ≥ 85 dB


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei deskriptif dengan populasi seluruh pengemudi becak yang berpangkalan disekitar Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka.

3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di pangkalan Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka Pematang Siantar pada tahun 2010.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan bulan Februari- April 2010.

3.3. Populasi Dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah pengemudi becak mesin di Kota Pematang Siantar Tahun 2010 yang berjumlah 357 unit.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari pengemudi becak karena pengemudi becak yang paling sering terpapar dengan kebisingan yang ditimbulkan oleh becak. Jumlah sampel yang akan diteliti dihitung dengan menggunakan rumus Lemeshow (1994), sebagai berikut :


(42)

) 1 ( . ) 1 .( ). 1 ( . 2 2 2 P P Z N d N P P Z n − + − − = ) 5 , 0 1 ( 5 , 0 . 645 , 1 ) 1 357 .( 1 , 0 357 ) 5 , 0 1 ( 5 , 0 . 645 , 1 2 2 2 − + − − = n 25 , 0 . 70 , 2 ) 356 ( 01 , 0 ) 357 ( 25 , 0 . 70 , 2 + = n 675 , 0 56 , 3 975 , 240 + = n 90 , 56 =

n = 57 responden

Keterangan :

N = Besar Populasi (357 unit) n = Besar Sampel

d = Galat pendugaan (0,1)

Z = Tingkat kepercayaan (90%=1,645) P = Proporsi populasi (0,5)

Setelah dilakukan perhitungan menggunakan rumus di atas maka diketahui jumlah sampel dari populasi 357 orang didapat sampel penelitian sebanyak 57 responden.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer


(43)

a. Melakukan pengukuran kebisingan pada becak mesin saat berjalan dan tingkat kebisingan di pangkalan becak Kota Pematang Siantar menggunakan Sound Level Meter.

b. Melakukan pengukuran ketulian responden dengan menggunakan Audoimeter. c. Observasi terhadap pengemudi becak dan kondisi becak responden (karena

pengemudi becak yang langsung terpapar oleh kebisingan becak) d. Wawancara dengan menggunakan kuesioner.

3.4.2. Data Sekunder

Diperoleh dari kantor Dinas Lalu Lintas Dan Angkut an Jalan Raya (DLLAJ) Kota Pematang Siantar dan instansi terkait lainnya serta mengumpulkan literatur / teori yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

3.4.3. Cara Kerja Penelitian / Pengukuran

3.4.3.1.Pengukuran Kebisingan Dengan Alat Audiometer

a. Wawancara dengan menggunakan kuesioner.

b. Sebelum pemeriksaan sampel harus terbebas dari paparan bising selama 8 jam agar didapatkan gambaran audiogram yang dapat dipercaya.

c. Pengenalan nada pada sampel, sampel diminta menekan tombol bila mendengar nada.

d. Pemerisaan pendengaran dilaksanakan berturut-turut dari frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz dan 8000 Hz.

e. Responden dikatakan tuli jika responden tidak dapat mendengar pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz dan 8000 Hz.


(44)

f. Pada tiap-tiap frekuensi diberikan intensitas bunyi mulai dari 40-50 dB untuk pasien normal, kemudian dinaikkan secara bertahap dan diturunkan lagi hingga batas dimana sampel terakhir masih bisa mendengar nada yang diberikan.

g. Pemeriksaan dilakukan pada telinga kanan selanjutnya telinga kiri. h. Mencatat hasil pemeriksaan pada lembar data.

3.4.3.2. Pengukuran Kebisingan Dengan Alat Sound Level Meter

a. Tekan tombol “ON/OFF” sampai dilayar muncul menu

b. Lakukan navigasi sesuai dengan kebutuhan menu yang diinginkan .Perubahan menu dilakukan dengan cara menekan tombol tanda panah kearah kanan-kiri ,atas-bawah sesuai menu yang diinginkan,kemudian tekan tombol enter.

c. Untuk Perubahan Set-Up dasar yang terdiri dari : d. Waktu dan tanggal

e. Karakter Display

f. Lampu Pencahayaan layer g. Kontras ,bahasa

h. Kondisi kekuatan batterei

i. Tempatkan alat pada titik pengukuran yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan keamanan dan keselamatan peralatan.

j. Tekan tombol “Run”,untuk memulai pengumpulan data

k. Tekan tombol “Pause” untuk menghentikan sementara pengumpulan data dan dilanjutkan kemudian.


(45)

m. Matikan alat dengan menekan tombol ON/OFF sampai layar mati n. Mencatat hasil pemeriksaan pada lembar data.

3.5. Defenisi Operasional

1. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) adalah pekerja yang memakai alat-alat pelindung dirinya seperti helm penutup yang sesuai standar seperti helm.

2. Lamanya bekerja adalah jumlah jam kerja pengemudi becak setiap hari dan dalam penelitian ini khususnya bagi yang telah memiliki masa kerja lebih dari 3 tahun. 3. Usia adalah umur responden saat dilakukan penelitian yang dilihat dari KTP. 4. Tingkat pemaparan kebisingan adalah intensitas suara bising yang dialami

pengemudi becak selama bekerja yang dirata-ratakan selama satu hari. Dikategorikan berdasarkan Nilai Ambang Batas (NAB) :

a. Kategori baik apabila Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan < 85 dB. b. Kategori tidak baik apabila Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan > 85 dB. 5. Gangguan pendengaran adalah gangguan yang dirasakan oleh pengendara becak

yang meliputi ketulian, tinitus dan vertigo.

a. Ketulian adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan pada pendengaran dan terjadi kerusakan yang diukur dengan Audiometri dengan frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz dan 8000 Hz.

b. Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan mendengarkan bunyi tanpa ada rangsang bunyi dari luar (telinga mendenging). c. Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau


(46)

otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit (pusing, perasaan berputar-putar).

6. Pengukuran dengan Sound Level Meter adalah pencatatan angka yang terbaca di alat ukur kebisingan (Sound Level Meter), untuk mengetahui berapa tingkat kebisingan pada pengemudi becak.

7. Pengukuran dengan Audiometer adalah pencatatan angka yang terbaca di alat ukur ketulian (Audiometer), untuk mengetahui ada atau tidak gangguan pendengaran pengemudi becak.

3.6. Aspek Pengukuran

Aspek pengukuran adalah untuk melihat gambaran hubungan tingkat pemaparan kebisingan terhadap gangguan pendengaran (ketulian, vertigo, tinitus) yang dirasakan oleh pengemudi becak mesin tersebut melalui metoda wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan.

3.7. Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin menggunakan Uji Chi-Square.

a. Ho adalah tidak ada hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran.

b. Ha adalah ada hubungan tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran. Ho ditolak apabila sρ < α dengan α = 0,05 yang artinya ada hubungan antara tingkat kebisingan dengan gangguan pendengaran dan sebaliknya. Penyajian data dilakukan


(47)

dengan menggunakan SPSS. Hasil yang diperoleh digunakan untuk penarikan kesimpulan, dan pengujian hipotesis.


(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Kota Pematang Siantar

4.1.1. Geografi

Secara geografis wilayah Kota Pematang Siantar berada antara 3o01’ 09”-2o54’ 40” Lintang Utara dan 99o 6’ 23”-99o 1’ 10” dengan luas wilayah 79,97 km2 dengan batas-batas sebagai berikut :

Batas Utara : Kabupaten Simalungun Batas Selatan : Kabupaten Simalungun Batas Timur : Kabupaten Simalungun Batas Barat : Kabupaten Simalungun

Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Siantar Martoba (40,75 km2) sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Siantar Selatan (2,02 km2). Struktur geologis wilayah ini adalah berada pada ketinggian 0,5-5 meter di atas permukaan laut dengan permukaan tanah yang berbukit-bukit.

4.1.2. Kependudukan

4.1.2.1. Pertumbuhan Penduduk

Jumlah penduduk Kota Pematang Siantar berdasarkan profil pada tahun 2002 adalah 242.124 jiwa sedangkan pada tahun 2007 adalah 542.124 jiwa dengan demikian dapat dilihat laju pertumbuhan penduduk yaitu sebesar 2,23% pertahun.

4.1.2.2. Mata Pencarian Penduduk

Pada tahun 2007, sektor industri memberikan kontribusi utama pada perekonomian Kota Pematang Siantar. Sedangkan mata pencarian penduduk kota Pematang Siantar masih


(49)

relative lebih di sektor perdagangan 35,14 %, disusul sector perdagangan, hotel dan restoran sebesar 23,40% dan sector-sektor jasa lainnya sebesar 12,60%. Sedangkan lainnya (18,62%) meliputi pengangkutan dan komunikasi, listrik, gas dan air bersih, bangunan, pertanian, keuangan, pertambangan dan penggalian.

Tabel 4.1. Luas Daerah, Jumlah Kepala Keluarga, Rata-rata Jiwa dan Kepadatan Pendudduk diperinci Menurut Kecamatan di Kota Pematang Siantar Tahun 2007

No Kecamatan Luas Daerah (Ha) Jumlah Kelurahan Jumlah Rumah Tangga Rata-rata Jiwa/KK Kepadatan Penduduk

1 Siantar Marihat 25,83 7 6082 6,08 8013

2 Siantar Selatan 2,02 9 11578 11,57 2474

3 Siantar Barat 3,21 8 8114 8,11 1357

4 Selatan Utara 3,65 7 9235 9,25 2096

5 Selatan Timur 4,52 6 6544 6,54 3248

6 Selatan Martoba 40,75 6 4567 5,16 5201

Kotamadya 79,97 43 46121 46,71 22389

Sumber : Biro Pusat Statistik Kota Pematang Siantar, 2007

Kecamatan yang memiliki luas daerah terluas adalah Selatan Martoba yaitu 40,75 Ha, Jumlah kelurahan terbanyak yaitu Siantar selatan sebanyak 9, Sedangkan jumlah penduduk terbanyak pada Kecamatan Siantar Marihat sebesar 8013 jiwa. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat pendidikan Kota Pematang Siantar tahun 2007

No Tingkat Pendidikan Jumlah (%)

1 Tingkat tamat SD 20,13%

2 Belum pernah sekolah 4,61%

3 Tamat SD 24,08%

4 SLTP 27,69%

5 SLTA 26,04%

6 Akademi/perguruan tinggi 3,50%


(50)

Untuk tingkat pendidikan masyarakat Kota Pematang Siantar yang terbanyak tamatan SLTP sebesar 27,96% dan yang paling sedikit adalah tamatan Akademi/perguruan tinggi sebesar 3,50%.

4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Identitas Responden

Identitas responden yang dinilai pada penelitian ini antara lain umur, masa kerja, jam kerja dan kondisi knalpot.

Tabel 4.3. Distribusi Responden Menurut Identitas Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010

No Identitas Responden Jumlah (orang) %

1 Umur 18-23 tahun 24-29 tahun 30-35 tahun 36-41 tahun 42-47 tahun 48-53 tahun >54 tahun 9 13 16 9 5 4 1 0,2 22,8 28,1 15,8 8,8 7,0 1,8

Total 57 100,0

2 Masa Kerja 3-9 tahun 10-16 tahun 17-23 tahun 24-30 tahun >30 tahun 25 17 8 4 3 43,9 29,8 14,0 7,0 5,3

Total 57 100,0

3 Jam Kerja 8 jam 9 jam 10 jam 12 jam 35 12 3 7 61,4 21,1 5,3 12,3

Total 57 100,0

4 Kondisi Kenalpot

Standart 57 100,0


(51)

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa berdasarkan kelompok umur responden yang terbanyak adalah pada umur 30-35 tahun yaitu sebanyak 16 orang (28,1%), sedangkan responden yang paling sedikit adalah 1,8% pada usia >54 tahun.

Pada tabel diatas juga dapat dilihat sebanyak 43,9% mempunyai masa kerja 3-9 tahun, dan sebanyak 3 responden memiliki masa kerja >30 tahun. Sedangkan untuk jam kerja responden adalah 35 responden bekerja selama 8 jam dan hanya 3 orang responden yang menyatakan bahwa responden bekerja selama 10 jam setiap harinya.

Berdasarkan kondisi knalpot maka dapat diketahui bahwa semua responden yaitu 57 responden (100,0) memiliki kondisi knalpot yang standart.

4.2.2.Gangguan Pendegaran pada Responden

Dari kuesioner dapat dilihat adanya hubungan kebisingan terhadap terjadinya gangguan pendengaran (ketulian, tinnitus, vertigo) pada responden yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.4. Gangguan Pendengaran pada Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010

No Keterangan Jumlah (orang) %

1 Pengetahuan responden tentang hubungan kebisingan dengan ketulian

Ya Tidak

27 30

47,4 52,6

Total 57 100,0

2 Mengetahui penyebab ketulian Ya

Tidak

49 8

86,0 14,0


(52)

Total 57 100,0

No Keterangan Jumlah (orang) %

3 Hubungan kebisingan terhadap tinitus (telinga berdengung)

Ya Tidak

20 37

35,1 64,9

Total 57 100,0

4 Hubungan kebisingan terhadap vertigo

Ya Tidak

23 34

40,4 59,6

Total 57 100,0

Tabel diatas dapat menunjukkan bahwa sebanyak 30 responden (52,6%) menyatakan tidak ada hubungan kebisingan terhadap terjadinya ketulian, dan 27 responden (47,4%) menyatakan ada hubungan kebisingan terhadap ketulian. Sedangkan penyebab ketulian sendiri, sebanyak 49 responden (86,0%) mengetahui penyebab ketulian, dan sisanya sebanyak 8 responden (14,0%) menyatakan tidak mengetahui penyebab ketulian.

Dari 57 responden, sebanyak 37 responden (64,9%) menyatakan tidak ada hubungan kebisingan terhadap terjadinya tinitus, hanya 20 responden (35,1%) menyatakan ada hubungan antara kebisingan terhadap terjadinya tinitus. Sebanyak 34 responden (59,6%) menyatakan tidak ada hubungan kebisingan terhadap vertigo, dan sisanya sebanyak 23 responden (40,4%) menyatakan ada hubungan antara kebisingan terhadap vertigo.


(53)

4.2.3. Gangguan Akibat Bising pada Responden

Dari kuesioner dapat dilihat adanya gangguan akibat bising pada responden yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 4.5. Gangguan Akibat Bising pada Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010

No Gangguan Akibat Bising Jumlah (orang) %

1 Mengalami Gangguan pendengaran karena kebisingan selama mengemudi becak Ya

Tidak

30 27

52,6 47,4

Total 57 100,0

2 Gangguan pada alat

pendengaran

Susah mendengar orang lain Telinga berdengung

Telinga terasa panas

25 32 0

43,9 56,1 0,0

Total 57 100,0

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebesar 52,6% responden menyatakan mengalami gangguan pendengaran karena kebisingan selama mengemudi becak dan 27 responden (47,4%) menyatakan tidak mengalami gangguan, sedangkan 32 orang (56,1%) menyatakan mengalami gangguan pada alat pendengaran berupa telinga berdengung, 43,9% susah mendengar orang lain.

4.2.4. Tingkat Pemaparan

Hasil pengukuran yang dilakukan pada responden di klasifikasikan berdasarkan tingkat kebisingan dengan Nilai Ambang Bising 85 db A sebagai batas yang diperbolehkan untuk paparan 8 jam per hari.


(54)

Tabel 4.6. Tingkat Pemaparan Kebisingan yang Diterima Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010

No Tingkat Kebisingan Jumlah (orang) %

1 Dibawah Nilai Ambang Bising 15 26,3

2 Diatas Nilai Ambang Bising 42 73,7

Total 57 100,0

Tabel diatas menunjukkan sebesar 42 responden (73,7%) berada diatas nilai ambang bising dan sisanya sebesar 26,3% berada dibawah nilai ambang bising.

4.2.5. Upaya yang dilakukan Untuk Mengurangi Kebisingan

Obeservasi terhadap responden maka didapatkan hasil bahwa banyak responden yang tidak Alat Pelindung Diri selama bekerja, seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 4.7. Penggunaan APD pada responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010

No Penggunaan APD Jumlah (orang) %

1 Ya 7 12,3

2 Tidak 50 87,7

Total 57 100,0

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat sebanyak 50 responden tidak menggunakan Alat pelindung diri (APD) dan hanya 7 orang (12,3%) yang menggunakan Alat pelindung diri (APD).

Tabel 4.8. Alasan tidak menggunakan Alat pelindung diri (APD) pada Responden Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010

No Alasan tidak menggunakan APD

Jumlah (orang) %

1 Mengganggu aktivitas 12 19,4

2 Tidak tahu alatnya apa 2 3,2

3 Tidak tahu kegunaannya 25 40,3

4 Merasa tidak perlu 18 29,0

Total 57 100,0

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa yang menjadi alasan responden untuk tidak menggunakan Alat Pelindung Diri adalah karena tidak tahu kegunaan APD yaitu


(55)

sebanyak 25 responden (40,3%), dan hanya 2 orang (3,2%) responden yang tidak mengetahui alat apa yang digunakan sebagai APD.

4.3. Analisa Statistik

Analisa statistika untuk menguji apakah ada hubungan antara tingkat kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pengemudi becak mesin di kota Pematang Siantar dipakai analisa dengan Uji Chi-square dapat di tunjukkan dengan Crosstabs dan didapat hasil sebagai berikut :

Tabel 4.9. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Ketulian pada Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010

No Tingkat Kebisingan Ketulian Total

Ya % Tidak %

1 Dibawah Ambang Bising 15 26,3 0 0,0 15

2 Diatas Ambang Bising 21 36,8 21 36,8 42

Total 36 61,2 21 36,8 57

P= 0,001

Tabel 4.9 diatas dapat diketahui bahwa responden yang berada diatas ambang bising dan mengalami ketulian yaitu sebanyak 21 orang (36,8%). Dari uji Chi-square yang

dilakukan diperoleh p(0,001)< α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara

tingkat pemaparan kebisingan dengan ketulian pada pengemudi becak di Kota Pematang Siantar.

Tabel 4.10. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Tinitus pada Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang siantar tahun 2010

No Tingkat Kebisingan Tinitus Total

Ya % Tidak %

1 Dibawah Ambang Bising 15 26,3 0 0,0 15

2 Diatas Ambang Bising 20 35,1 22 35,6 42

Total 35 61,4 22 35,6 57


(56)

Tabel 4.10 diatas dapat diketahui bahwa responden yang berada diatas ambang bising dan mengalami tinitus yaitu sebanyak 20 orang (35,1%). Dari uji Chi-square yang

dilakukan diperoleh p(0,000)< α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara

tingkat pemaparan kebisingan dengan tinitus pada pengemudi becak di Kota Pematang Siantar.

Tabel 4.11. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Vertigo pada Pengemudi Becak Mesin di Kota Pematang Siantar Tahun 2010

No Tingkat Kebisingan Vertigo Total

Ya % Tidak %

1 Dibawah Ambang Bising 14 24,6 1 1,7 15

2 Diatas Ambang Bising 24 24,1 18 31,6 42

Total 38 66,6 19 33,3 57

P = 0,011

Tabel 4.11 diatas dapat diketahui bahwa responden yang berada diatas ambang bising dan mengalami vertigo yaitu sebanyak 24 orang (24,1%). Dari uji Chi-square yang dilakukan diperoleh p (0,011)< α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pemaparan kebisingan dengan vertigo pada pengemudi becak di Kota Pematang Siantar.


(57)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Responden (Penggunaan APD, lama kerja)

Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa usia responden yang terbanyak adalah pada usia 30-35 tahun yaitu sebanyak 16 orang (28,1%), sedangkan responden yang paling sedikit adalah 1,8 % pada usia >54 tahun. Umumnya responden berada pada usia 30-35 tahun tahun, dimana usia ini merupakan usia produktif. Usia produktif ini merupakan usia yang sangat giat untuk bekerja, responden dapat bekerja melebihi waktu yang biasa dilakukan orang lain. Dan pada usia ini organ atau alat tubuh masih berfungsi secara optimal sehingga kemungkinan untuk terkena gangguan pendengaran semakin rendah dibanding dengan responden dengan usia lebih tua. Umur juga akan mempengaruhi kesehatan, karena organ atau alat-alat tubuh akan semakin menurun fungsinya apabila umur seseorang semakin tua.

Hal ini sesuai dengan penelitian Eva (2008) yang menyatakan bahwa umur mempengaruhi seseorang dalam pekerjaannya, seseorang yang berada di umur yang produktif lebih giat dalam bekerja dibanding umur lainnya. Hal ini terjadi karena fisik maupun alat-alat tubuh masih berfungsi secara optimal.

Berdasarkan tabel 4.3. diketahui sebanyak 43,9% mempunyai masa kerja 3-9 tahun, sedangkan sebanyak 3 responden memiliki masa kerja > 30 tahun. Masa kerja seseorang akan mempengaaruhi paparan sumber kebisingan . Hal ini sesuai dengan penelitian Arifin (2007) dimana apabila seseorang memiliki masa kerja yang telah lama maka orang tersebut akan lebih sering terpapar terhadap sumber pencemaran dibanding orang yang memiliki masa kerja yang belum lama. Sehingga jika masa kerjanya masih baru maka kemungkinan


(58)

terkena sumber pencemaran masih sedikit dibanding yang telah memiliki masa kerja yang lama. Begitu juga dengan pengemudi becak yang memiliki masa kerja lebih dari 3 tahun, ia akan terkena paparan kebisingan yang cukup lama dibandingkan yang masa kerjanya dibawah 3 tahun. Sehingga untuk masa kerja lebih 3 tahun resiko gangguan pendengaran (ketulian, tinnitus, dan vertigo) lebih besar.

Asumsi peneliti adalah responden yang memiliki masa kerja 3-9 tahun beresiko terkena gangguan pendengaran yaitu ketulian, tinnitus dan vertigo karena frekuensi terkena paparan kebisingan cukup lama.

5.2. Gangguan Pendengaran pada Pengemudi Becak

Berdasarkan tabel 4.4. dapat diketahui bahwa 30 responden (52,6%) menyatakan bahwa tidak ada hubungan kebisingan dengan terjadinya ketulian dan sebanyak 27 responden (47,4%) menyatakan bahwa ada hubungan kebisingan dengan terjadinya ketulian. Sedangkan penyebab ketulian, hanya 8 responden (14,0%) yang tidak mengetahui penyebab ketulian. Hal ini sesuai dengan penelitian Yuri (2007) terhadap 78 pengemudi becak menyatakan bahwa hanya 12% dari responden yang menyatakan tidak ada hubungan kebisingan dengan terjadinya ketulian.

Jika dilihat hubungan kebisingan dengan terjadinya tinnitus, sebanyak 37 responden (64,9%) menyatakan tidak ada hubungan antara kebisingan dengan terjadinya tinnitus dan sebanyak 34 orang (59,6%) responden menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kebisingan dengan terjadinnya vertigo. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andi (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kebisingan dengan terjadinya tinnitus dan vertigo. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang


(59)

dilakukan oleh survey independent tentang kebisingan yang menyatakan bahwa kebisingan selain menimbulkan ketulian, dapat juga menimbulkan tinnitus dan vertigo.

5.3. Tingkat Pemaparan Kebisingan

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan tabel 4.6. menunjukkan bahwa 73,7 % responden berada ditas nilai ambang bising dan hanya 26,3% responden yang berada dibawah nilai ambang bising

Sesuai dengan peraturan Depkes RI tahun 1991, dengan pemaparan suara 85 db waktu yang diperbolehkan maksimal 8 jam. Apabila lebih akan menimbulkan gangguan kesehatan pada seseorang seperti perubahan ketajaman pendengaran, gangguan pembicaraan, dan gangguan lainnnya. Apabila terkena kebisingan dan lamanya paparan menurut Effendy (1998) dapat mengakibat hal sebagai berikut : (1) Kehilangan pendengaran secara tetap (Noise Induce Permanent Threshold= NIPTS) bila terkena rata-rata tingkat kebisingan >85 dbA selama 8 jam/hari selama beberapa tahun, 2) Pada kebisinngan 80-90 dbA akan mengalami ketulian 50 % , 3) apabila tingkat kebisingan rata-rata <80 dbA tak akan ada ketulian, 4) Kebisingan sedang yang terus-menerus tidak akan menimbulkan kekebalan padda pendengaran dan menimbulkna tekanan fisiologis yang akan mempengaruhi syaraf pengatur saluran darah, tegangan-tegangan oto, keluarnya hormone adreal yang menyebabkan syaraf pengatur saluran darah, tegangan-tegangan oto, keluarnya hormone adrenal yang menyebabkan syaraf menjadi tegang dan denyut jantung meningkat. Hal ini didukung oleh Ida (2008) yang menyatakan bahwa seseorang yang berada diatas nilai ambang bising secara terus-menerus dapat mengakibatkan terjadinya penurunan pendengaran.


(60)

5.4. Upaya mengurangi Kebisingan Becak Mesin

Tingkat kebisingan yang terpapar pada pengendara becak sebenarnya dapat dikurangi misalnya dengan melakukan suara bising dari sumbernya misalnya dengan modifikasi knalpot, menggunakan alat pelindung telingan atau upaya lain seperti memberikan waktu istirahat telingan dari mendengarkan suara bising.

Tabel 4.8. menunjukkan sebanyak 50 orang (87,7%) responden tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) pada saat bekerja dan hanya 12,3% responden menggunakan alat pelindung diri (APD) selama bekerja. Salah satu yang menjadi alasan responden tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) yaitu sebanyak 25 responden (40,3%) menyatakan tidak mengetahui kegunaan alat pelindung diri, 18 responden (29,0%) merasa tidak perlu menggunakan alat pelindung diri (APD). Dan hanya 2 responden (3,2%) menyatakan tidak mengetahui alat apa yang akan digunakan sebagai alat pelindung diri (APD).

5.5. Hubungan Tingkat pemaparan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran 5.5.1. Ketulian

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi square di dapatkan nilai P = 0,001. Hal ini menunjukkan pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran ( ketulian).

Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran (ketulian) pengemudi becak di Kota Pematang Siantar. Ketulian dapat disebabkan oleh paparan kebisingan secara terus-menerus.

Paparan bising merupakan salah satu penyebab ketulian di Indonesia serta negara-negara manapun, yang kasusnya mencapai 0,4 persen dari total jumlah penduduk. Disini


(61)

dapat dilihat bahwa semakin lama pemaparan (masa kerja) maka semakin besar pula keluhan yang dirasakan tenaga kerja untuk tingkat kebisingan yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB). Hal ini menunjukan dengan semakin lama masa kerja seseorang maka akan semakin lama terpapar kebisingan yang pada akhirnya dapat menyebabkan keluhan subyektifitas seperti gangguan fikir,konsentrasi, emosi meningkat dan gangguan tidur.

Pengalaman juga dapat mempengaruhi seorang pekerja dalam terjadinya gangguan akibat kerja. Penyebab adanya keluhan yang dialami pekerja diantaranya yaitu ada sebagian pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga secara teratur. Artinya dalam melakukan pekerjaannya terkadang sumbat telinga tersebut terlepas dengan sendirinya atau sengaja dilepas karena alasan tertentu dan tidak dipasang kembali.

5.5.2. Tinnitus

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi square di dapatkan nilai P = 0,000. Hal ini menunjukkan pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran (tinnitus).

Dampak Tinnitus hampir sama dengan terjadinya ketulian, dimana tinnitus dapat terjadi karena adanya pemaparan terus menerus dari sumber kebisingan.

Hal itu bisa disebabkan karena masa kerja responden yang lebih 3 tahun, yang memungkinkan pemaparan yang cukup lama dari sumber kebisingan. Tinnitus merupakan suatu tanda gejala awal terjadinya gangguan pendengaran . Gejala yang ditimbulkan yaitu telinga berdenging. Orang yang dapat merasakan tinnitus dapat merasakan gejala tersebut pada saat keadaan hening seperti saat tidur malam hari atau saat berada diruang pemeriksaan audiometri (ILO, 1998).


(62)

5.5.3. Vertigo

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi square di dapatkan nilai P = 0,011. Hal ini menunjukkan pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara pemaparan kebisingan dengan gangguan pendengaran (vertigo).

Dampak Vertigo hampir sama dengan terjadinya ketulian dimana tinnitus dapat terjadi karena adanya pemaparan terus menerus dari sumber kebisingan.

Hal itu bisa disebabkan karena masa kerja responden yang lebih 3 tahun, yang memungkinkan pemaparan yang cukup lama dari sumber kebisingan. Sehingga dengan adanya pemaparan kebisingan secara terus-menerus bias menyebabkan terjadi vertigo. Selain itu umur juga bias mempengaruhi trejadinya vertigo pada seseorang


(63)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Umur responden yang terbanyak adalah pada 30-35 tahun yaitu sebanyak 16 orang (28,1%), Sedangkan responden yang paling sedikit adalah 1,8 % pada usia > 54 tahun. Sebanyak 43,9% responden mempunyai masa kerja 3-9 tahun, sedangkan sebanyak 3 responden memiliki masa keja > 30 tahun. Sebanyak 35 responden bekerja selama 8 jam, 3 orang responden yang menyatakan bahwa responden bekerja selama 10 jam setiap harinya. Dan 57 orang (100,0) memiliki kondisi knalpot yang standart.

2. Jumlah responden yang mengalami gangguan pendengaran, 30 responden (52,6%) menyatakan bahwa tidak ada hubungan kebisingan dengan terjadinya ketulian dan sebanyak 27 responden (47,4%) menyatakan bahwa ada hubungan kebisingan dengan terjadinya ketulian. Sebanyak 37 responden (64,9%) menyatakan bahwa ada hubungan antara kebisingan dengan terjadinya tinitus, dan sebanyak 35,1 % menyatakan bahwa tidak ada hubungan kebisingan dengan terjadinya tinitus. Sebanyak 34 responden ( 59,6%) menyatakan tidak ada hubungan antara kebisingan terhadap vertigo, dan sisanya sebanyak 23 responden (40,4%) menyatakan ada hubungan antara kebisingan terhadap vertigo.

3. Berdasarkan hasil pengukuran dengan Sound Level Meter diketahui tingkat pemaparan kebisingan becak mesin menunjukkan bahwa 42 responden (73,7%)


(1)

Apakah ada gangguan kebisingan trhdp ketulian

27 47,4 47,4 47,4

30 52,6 52,6 100,0

57 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Apakah anda tahu penyebab ketulian

49 86,0 86,0 86,0

8 14,0 14,0 100,0

57 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Apakah ada hub kebisingan thdp tinitus

20 35,1 35,1 35,1

37 64,9 64,9 100,0

57 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Apakah ada hub keabisingan thdp vertigo

23 40,4 40,4 40,4

34 59,6 59,6 100,0

57 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Apakah ada gangguan pendengaran krn kebisingan yg saudra rsakan selama mengemudi becak

30 52,6 52,6 52,6

27 47,4 47,4 100,0

57 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(2)

gapa saja yg saudra rsakan pd alat pendengaran

25 43,9 43,9 43,9

32 56,1 56,1 100,0

57 100,0 100,0

susah mendengar org lain

telinga berdengung Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Apakah saudara terganggu akibat kebisingan yg ditimbulkan suara becak mesin

16 28,1 28,1 28,1

41 71,9 71,9 100,0

57 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Apakah selama bekerja saudara menggunakan APD

7 12,3 12,3 12,3

50 87,7 87,7 100,0

57 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Apakah kesulitan berbicara dgn penumpang

21 36,8 36,8 36,8

36 63,2 63,2 100,0

57 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Apakah sdh pernah memodifikasi becak

57 100,0 100,0 100,0

tidak pernah Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Apakah pernah mmeriksa telinga k dokter

57 100,0 100,0 100,0

tidak pernah Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(3)

Hasil pemeriksaan pd telinga

1 1,8 1,8 1,8

1 1,8 1,8 3,5

4 7,0 7,0 10,5

4 7,0 7,0 17,5

5 8,8 8,8 26,3

1 1,8 1,8 28,1

5 8,8 8,8 36,8

5 8,8 8,8 45,6

4 7,0 7,0 52,6

8 14,0 14,0 66,7

8 14,0 14,0 80,7

8 14,0 14,0 94,7

1 1,8 1,8 96,5

1 1,8 1,8 98,2

1 1,8 1,8 100,0

57 100,0 100,0

70 74 78 80 83 84 86 87 88 89 90 92 95 97 98 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Tingkat kebisingan

15 26,3 26,3 26,3

42 73,7 73,7 100,0

57 100,0 100,0

<85 >85 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

kategori kebisngan

15 26,3 26,3 26,3

42 73,7 73,7 100,0

57 100,0 100,0

Dibawah ambang batas Diatas ambang batas Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(4)

Gambar 1. Alat Pengukur Gangguan Pendengaran (Audiometri)

Gambar 2. Pengukuran pendengaran responden menggunakan Audiometri

Lampiran 5. Foto Penelitian


(5)

Gambar 3. Becak yang sedang mangkal di jalan Sutomo


(6)