Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama fitrah, yang artinya seluruh ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia. Karena itu, segala sesuatu yang berkenaan dengan fitrah manusia, Islam terlebih dahulu mengaturnya dalam bentuk ajaran-ajaran Islam atau lebih dikenali sebagai Syariat Islam. Dengan demikian, Islam sebagai sebuah cara hidup yang universal, syumul dan menjadi rahmat kepada seluruh alam, hadir dengan aturan-aturan yang menjadi petunjuk untuk manusia sejagat dan dapat diaplikasikan di setiap kondisi, masa dan tempat untuk menjaga ketertiban dan kemaslahatan bagi seluruh alam. Termasuk dalam hukum yang telah diatur oleh Islam adalah berkenaan dengan perundangan Islam. Dalam perundangan Islam, undang-undang jinayah merupakan undang- undang yang termasuk di dalamnya. Undang-undang jinayah merupakan undang- undang yang terkait dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang boleh didakwa dalam tindak pidana. 1 Berhubungan dalam undang-undang jinayah ini adalah pelaksanaan kehakiman. Menurut mantan mufti Negeri Sabah, Said Ibrahim dalam 1 Said Ibrahim, Qanun Jinayah Syariah, Kuala Lumpur: Darul Makrifah, 1996, h. 1 menentukan putusan mahkamah adalah tertakluk di bawah empat perkara yaitu: Hakim, pendakwa dan terdakwa, ada alat bukti, melakukan sumpah. Dalam penghakiman dan peradilan, sesuatu kasus yang dibawa ke mahkamah, persaksian seseorang saksi bagi sesuatu keterangan sebagai bukti menyokong, atau keterangan yang membawa penentuan adalah merupakan fakta penting bagi seseorang hakim untuk menetapkan sesuatu kasus atau menolaknya. 2 Kesaksian merupakan perkara penting yang terdapat di dalam proses perundangan. Dengan adanya pembuktian atau kesaksian yang kuat, maka hukuman yang tepat dan sesuai dapat diberikan. Keadilan juga dapat ditegakkan sesuai dengan apa yang dituntut di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Ketiadaan kesaksian, dapat membuka ruang kepada unsur penipuan serta kepalsuan. Akan tetapi, kesaksian yang telah diberikan, jika tidak diteliti, akan memberikan kesempatan kepada orang yang tidak berakhlak untuk mempengaruhi hakim sedangkan bukti yang diberikan itu sebenarnya tidak betul dan tidak beretika. Karena menyadari berbagai kemungkinan itulah maka kesaksian itu mestilah dipastikan antara benar atau salah. Dalam proses memberikan keterangan secara keseluruhannya, para ulama telah sepakat bahwa kesaksian merupakan unsur terpenting yang mesti diberi perhatian di samping keterangan yang lain, di atas asas tabii manusia yang melihat dan bercakap. Apatah lagi penekanannya diberikan oleh syara’ melalui al- Quran dan Sunnah Rasulullah SAW apabila melibatkan isu kehakiman. 2 Ibid, h. 315 Oleh disebabkan kepentingan yang tersebut, maka kedudukan saksi harus diambil perhatian agar tidak berlaku ketidakadilan kepada peradilan dalam membuat sesuatu putusan perkara. Hal ini disebabkan keadilan menjadi asas utama dalam konteks kehidupan manusia. Keadaan ini akan menjadi masalah apabila kita melihat kepada macam- macam manusia itu sendiri, dan ini sudah tentu akan mewujudkan kecenderungan yang tersendiri. Jika dilihat, mereka yang punya hubungan antara satu sama lain, tentulah akan memberikan keterangan dalam bentuk yang memihak kepada ikatan hubungan tersebut. 3 Dalam konteks dunia masa kini, pemberlakuan hukum tergantung kepada pemerintah masing-masing negara bagi menerapkan pendapat mana yang menjadi panutan rakyatnya dan seterusnya dirumus menjadi hukum positif di masing- masing negara. Di dalam Akta Keterangan Malaysia, alat bukti terbagi pada pengakuan, kesaksian, qarinah, dokumen dan pandangan para ahli. Begitu juga jika dilihat pada KUHAP, alat bukti yang diterima pakai ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam proses perundangan, keterangan sangat penting dan dalam bagian alat-alat bukti tersebut, saksi merupakan antara bentuk yang diiktiraf oleh syarak dan diterima dalam konteks perundangan di Malaysia juga di Indonesia. 3 Nasimah Hussin dkk, Undang-Undang Islam Jenayah, Keterangan dan Prosedur, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007, h.162-163 Justeru itu penulis berhasrat untuk meneliti kedudukan saksi dalam perkara pidana yang digunakan di Malaysia dan Indonesia. Penelitian yang ingin penulis lakukan berjudul KEDUDUKAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA. Ia juga dapat dilihat sebagai perbandingan antara dua negara. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan kepada kedudukan saksi yang terdapat di dalam Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia, maka persoalan yang timbul adalah seperti berikut: 1 Bagaimanakah pandangan Undang-Undang Acara Malaysia tentang kedudukan saksi ? 2 Bagaimanakah pandangan Undang-Undang Acara Indonesia tentang kedudukan saksi ? 3 Apa saja kesamaan dan perbedaan antara Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia tentang kedudukan saksi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian