Pandangan hukum Islam terhadap perlindunagn saksi dalam perkara pidana di Indonesia menurut UU No.13 tahun 2006

(1)

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA MENURUT UU NO. 13

TAHUN 2006 Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: ABDUL ROZAK NIM: 103043227981

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA MENURUT UU NO. 13

TAHUN 2006 SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S. H. I)

Oleh: ABDUL ROZAK NIM: 103043227981

Di bawah Bimbingan

Pembimbing I, Pembimbing II,

DR. HA. Juaini Syukri, LCS, MA Dedy Nursyamsi, M. Hum NIP : 150 256 969 NIP : 150 264 001

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZDHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1429 H / 2008 M


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA MENURUT UU NO. 13 TAHUN 2006” Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 3 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Program Studi Perbandingan Hukum.

Jakarta, 3 Juni 2008 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma. SH.,MA.,MM NIP: 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua: Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag : ……… NIP: 150 275 509

Sekertaris:H. Muhammad Taufiqi. M.Ag : ……… NIP: 150 290 159

Pembimbing I: Dr. HA. Juaini Syukri, LCS, MA : ……… NIP: 150 256 969

Pembimbing II: Dedy Nursyamsi. SH.,M. Hum : ……… NIP: 150 264 001

Penguji I: H. Zoebir Laini, SH : ……… NIP: 150 009 273

Penguji II: Dr. Yayan Sopyan, M.Ag : ……… Nip: 150 277 991


(4)

ﺮ ا

نﺎ ﺮ ا

ﷲا

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT. Pencipta dan Pemelihara alam semesta, yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya. Sehingga dengan izin dan iradat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam yang selalu tercurah keharibaan Nabi besar Muhammad SAW dan segenap para sahabat-sahabatnya.

Penulis sangat menyadari, bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak, oleh karenanya dari renung hati yang paling dalam, penulis ucapkan terima kasih yang tiada hingga kepada yang terhornat:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. beserta jajarannya yang telah memberikan dukungan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji MA. dan Sekertaris Program Studi Bapak H. Muhammad Taufiqi M.Ag. serta para dosen dan karyawan di Fakultas Syariah Dan Hukum.

3. Kepada Bapak Dr. HA. Juaini Syukri, LCS, MA dan Bapak Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing yang telah mengerahkan waktu, tenaga dan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(5)

4. Kepada Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum serta karyawan dan pegawai yang telah membantu dalam pencarian sumber bacaan buku dan referensi.

5. Kepada para Dosen penulis haturkan banyak terima kasih, khususnya dari civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum yang telah berkontribusi positif bagi khazanah dialetika pemikiran penulis selama proses pendidikan berlangsung demi memahami kondisi kontemporer dengan penuh kearifan. Terutama kepada Bapak Dr. JM. Muslimin, dan Bapak Alfitra SH, MH, serta para dosen yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu dan tidak mengurangi rasa hormat penulis.

6. Kepada Ayahanda tercinta Bapak Satiri dan Ibunda Rohani yang selalu setia menanti ananda dalam meraih gelar kesarjanaan. Berkat jasa dan doa beliaulah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan Ayah dan Ibu. Amin.

7. Kepada Keluarga besar Kedoya Jak Bar: Satiri Mansyur {Bapak}, Satria, Saanah, Suhatih, Sitinah, Rohani {Ibu}, Royani, Rohadi, Rohmat, Rozak. Terutama untuk kakakku Bang Roy, Ka Amril, Bang Madun, Mpo Ana, Mpo Titin yang selalu memberikan suport serta dukungan morilnya kepada penulis. Dari merekalah penulis sangat terinspirasi dan termotivasi untuk menyelesasikan skripsi ini dengan baik. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan mereka.


(6)

8. Kepada Ibunda Ustadzah Diah {Istri almarhum KH. Ahmad Dimiyati} dan Ustadz Yazid {Putra almarhum KH. Ahmad Dimiyati}, yang telah memberikan semangat dan do’a kepada penulis. Dan kepada rekan-rekan Alumni Ponpes Daarul Uluum Lido, Arif, Indra, Firdaus, Heri, Juniardi, Cucum, dan sahabat-sahabat lainnya. Yang banyak memberikan dorongan moril dan nasihatnya bagi penulis. Thanks for all.

9. Rekan-rekan seperjuangan dan sepenanggungan anak-anak Perbandingan Hukum angkatan 2003, sengaja saya paparkan semua teman sekelas agar tidak terlupakan satu diantara kalian, walaupun ada yang tidak sampai akhir perjuangan: A. Zaenudin, A. Qodir, A. Rozak, Abdulazim, Abdurrahman, Agung Gunawan, Agus Hermawan, Ahmad Hafidz, Ahmad Ratomi Zaen, Ahmad Zaki, Alwanih, Anhar Kurniawan, Azwardi, Firdaus Ahmad, Harun Rosyid, Imroah, Istiamah, Maysaroh, Makiyah, Miftah Faridh, Mohammad Syaiban, M. Abdul Fatah HS, M. Alif Yusuf, M. Fathurrahman, M. Iqbal, M. Jauhar Haekal, M. Syukron, Mukhtar Efendi, Neni Syafrida, Nur Hasan, Salman Faris, Sunarti, Syadat M. Nur, Syahril Aili, Teguh Widyantarto, Unun Ru’yatul Hilal, Yakobus Liga, Yustam Syahril. Dan lebih spesial dari kawan gue yang sudah banyak bantu, kepada: Aal, Tomi, Maman, Syadat, Ucup, Fathur, Miftah {Ustadz}, Qodir, Narti, Unun, thanks abiz atas apa yang telah kamu berikan kepadaku dan jangan pernah lupakan KKS Subang yang begitu manis dan indah. Dan juga kepada Dadan, Bondan, Solihin, Gozali, Miftah Dirosat, dan Ujang yang banyak membantu dalam menyelesaikan tugas skripsi.


(7)

Semoga segala partisipasi, dan motivasi serta doa kepada penulis memohonkan ridha di sisi-Nya. Harapan terakhir, semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembangunan ke Ilmuan, ke Islaman dan ke Indonesian. akhirnya, hanya kepada-Nya segala urusan dan akan kembali pula kepada-Nya. Tiada daya dan upaya hanya milik-Nya, lalu kita memohon hidayah dan ampunan-Nya.

Jakarta, 29 Jumadil Ula 1429 H 4 Juni 2008


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DALAM HUKUM ISLAM A. Saksi Menurut Hukum Islam ... 14

1. Pengertian... 14

2. Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi ... 18

3. Hak-hak Saksi dan Tujuan Saksi ... 29

4. Dasar Hukum ... 38

B. Saksi Menurut Hukum Positif... 41

1. Pengertian... 41

2. Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi ... 42

3. Hak-hak dan Tujuan Saksi ... 44


(9)

C. Tujuan Perlindungan Saksi ... 46

1. Menurut Hukum Islam ... 46

2. Menurut Hukum Posistif ... 48

BAB IIIPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PADA PERKARA PIDANA DALAM U A. Saksi Dalam Perkara Pidana ... 50

1.Perkara Pidana ... 50

2.Saksi Sebagai Alat Bukti ... 52

3.Faktor Penyebab Perlunya Perlindungan Saksi Dalam Undang -undang Nomor 13 Tahun 2006 ... 54

B. UU No. 13 Tahun 2006... 56

1.Sejarah Terbentuknya ... 56

2.Tujuan Pembentukannya ... 58

3.Landasan Hukumnya ... 59

4.Susunan dan Isi ... 59

C. Perlindungan Hukum Dalam UU No. 13 Tahun 2006 Terhadap Saksi ... 61

1.Perlindungan Hukum Dari Ancaman Terhadap Saksi ... 61

2.Pemberian Restitusi, Pelayanan Rehabilitasi Kesehatan, dan Sosial ... 67


(10)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM UU NO. 13 TAHUN 2006

A. Analisis Terhadap Perlindungan Saksi Dari Ancaman ... 72 B. Analisis Terhadap Restitusi ... 75 C. Analisis Terhadap Rehabilitasi ... 83 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 89 B. Saran-saran... 91 DAFTAR PUSTAKA... 93


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang paling dimuliakan Allah. Allah SWT menciptakannya dengan tangan (kekuasaan)-Nya sendiri, meniupkan ruh dari-Nya kepadanya, memerintahkan sujud semua Malaikat kepadanya, menundukkan semua apa yang ada dilangit dan dibumi kepadanya, menjadikan kholifah-Nya dibumi, dan membekalinya dengan kekuatan serta bakat-bakat agar ia dapat menguasai bumi ini, dan supaya ia dapat meraih dengan semaksimal kemampuannya akan kesejahteraan kehidupan materil dan spirituilnya.1

Islam adalah agama yang universal dalam mengatur segala hal dan permasalahan. Tidak ada satupun dari aspek kehidupan dialam semesta ini yang lepas dari kontrol dan aturan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, demikian pula dalam hal sistem persaksian sudah tercakup didalamnya.

Syari’at Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang aturan persaksian, termasuk didalamnya mengatur tentang kewajiban saksi terhadap kejadian yang telah dialaminya.2 Firman Allah SWT menyatakan :

و

ﺛاء

ﺎﻬ ﻜ

و

ةدﺎﻬ ا

اﻮ ﻜ

)

ةﺮ ا

:

283

(

1

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj (Bandung : Al-Ma’arif, 1987), Cet ke-2 h. 13 2

Ahmad ad-Da’ur, terj- Syamsuddin Ramadlan., Hukum Pembuktian dalam Islam, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2002), Cet. ke- 1, h. 21


(12)

Artinya: “…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya ….” (Q. S Al-Baqarah : 283).

Sementara dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi juga telah diatur pula dalam persaksian, baik itu mengenai hak-hak bagi para saksi atau lainnya, seperti yang tercantum pada pasal 5 yang berbunyi “ Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, dan sebagainya.3

Hak yang paling utama dijamin oleh Islam adalah hak hidup, hak pemilikan, hak memiliki kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan, dan hak menuntut ilmu pengetahuan. Hak paling penting dan yang sangat diperlukan dalam perhatian diantara hak-hak tersebut adalah hak hidup, tidak dibenarkan secara hukum dilanggar kemuliaannya dan tidak boleh dianggap remeh eksistensinya.

Manusia juga sebagai makhluk hidup yang sempurna, tentu saja memiliki akal serta pikiran yang sehat. Di dalam kehidupan yang dijalani, pasti muncul persoalan-persoalan yang dihadapi, entah antara individu dengan individu, individu dengan golongan, atau golongan dengan golongan. Untuk mengatasi hal ini, maka manusia membentuk aturan-aturan yang kita kenal dengan hukum. Dalam memperhatikan fungsi hukum dimasyarakat yang dapat berjalan tanpa

3

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006), Cet. ke- 1. h. 3


(13)

menerima pelayanan hukum. Keadaan ini menjadi lebih jelas lagi apabila kita berhadapan dengan masyarakat yang tidak lagi tradisional dimana kontak-kontak pribadi serta konflik-konflik kepentingan terjadi dengan lebih efektif.4

Untuk menyelesaikan konflik yang ada, maka dibentuklah badan-badan peradilan untuk menyelesaikan berbagai konflik yang muncul didalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Jika manusia ingat bahwa kebenaran dapat dicapai dengan usaha-usaha pikiran dan lainnya, maka manusia mempunyai dasar yang sehat dalam agama. Manusia tidak menjadi orang berharga jika percaya dengan mudah atau menolak sesuatu kepercayaan dengan mudah pula, dengan tidak memakai penyelidikan yang seksama. Oleh karena sebuah pendapat adalah lebih dekat kepada kebenaran dari pada pendapat yang lain, maka kewajiban manusia adalah mengetahui pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran itu. Kebenaran akan menjadi lebih terlihat dengan adanya saksi dan bukti, tapi disamping itu manusia harus membedakan antara saksi yang benar dan yang tidak benar, dan harus belajar menarik kesimpulan dari pada saksi yang mutlaq.5

Sesungguhnya keadilan itu dapat diwujudkan dengan menyampaikan setiap hak kepada yang berhak dan dengan melaksanakan hukum-hukum yang

4

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung : Angkasa, 1979), Cet ke-4 h. 11 5

David Trueblood, terj- M. Rasjidi, Filsafat Agama, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1965), Cet. ke- 1, h. 30


(14)

telah disyari’atkan Allah SWT serta dengan menjauhkan hawa nafsu melalui pembagian yang adil diantara sesama manusia.6

Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Di dalam peradilan yang terkandung perintah menyuruh ma’ruf dan mencegah yang mungkar, menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila peradilan itu tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang kacau balau.7

Walaupun tidak sepenuhnya dipercaya, pengadilan tetap merupakan tumpuan masyarakat dalam mengusung keadilan yang dicita-citakan. Hal ini meniscayakan lembaga pengadilan untuk mampu mengeluarkan keputusan yang tidak memihak, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Inilah doktrin idealisme dari aliran pemikiran hukum liberal (Liberal Legal Thought School).8

6

Sayyid Sabiq, terj- Mahyuddin Syaf, Fiqih Sunnah (Bandung : Al-Ma’arif, 1994), Cet ke- 4, Jilid 14, h. 17

7

Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta : Al-Ma’arif, 1964), h. 7

8

Ifdhal Kasim, Berkenaan dengan “Critical Legal Studies” dalam Roberto M. Unger,

Gerakan Studi Hukum Kritis, (terj), (Jakarta : ELSAM, 1999), Cet. Ke- 1, h. XI (Kata Pengantar). Gerakan ini dipelopori antara lain oleh Ronald Dworkin. Lihat Karya Ronald Dworkin, A Matter Of Principle,(Cambridge : Harvard University Press, 1985)


(15)

Satu hal yang menarik adalah, sehubungan dengan kedudukan peradilan sebagai lembaga yang secara resmi diberi wewenang untuk menentukan suatu keputusan demi terciptanya keadilan kepastian hukum di tengah masyarakat, pengadilan sering kali dituduh tidak memihak kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan.9

Kenyataan ini memang kerap kali terjadi pada taraf pengambilan keputusan. Barangkali penyebabnya adalah tidak terpenuhinya sumber-sumber atau dasar-dasar yang dapat meyakinkan hakim secara sempurna dalam proses ini, sedangkan hakim tertuntut secara yuridis untuk menjatuhkan satu ketetapan yang mengikat pihak-pihak berperkara itu, sesuai dengan azas hukum acara, bahwa hakim mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya.10

Sumber-sumber yang dipergunakan seorang hakim dalam mengambil keputusan disebut sebagai “alat bukti”. Setiap alat bukti berbeda-beda kekuatan satu dengan yang lainnya. Yang secara langsung dapat mempengaruhi keputusan yang dihasilkan. Jika kekuatan alat bukti dapat diakui, maka seorang hakim untuk memutuskan perkara memerlukan waktu yang tidak singkat, sehingga hakim merasa yakin dengan keputusannya.

Hakim sebagai salah satu unsur atau bagian dari proses penegakan hukum yang berada dalam suatu institusi peradilan. Dalam memutuskan suatu perkara

9

Inilah fokus dari titik gerakan Critical Legal Studies bahwa proses-proses hukum tidak pernah bekerja dalam ruang hampa, melainkan berlangsung dalam realitas yang tidak netral dari nilai yang ada dibelakangnya ialah subyektif. Ibid., h. XVI (Kata Pengantar)

10

A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), Cet. ke- 3, h. 11


(16)

baik perkara perdata maupun perkara pidana, yang diajukan oleh seseorang. Tentulah seorang hakim memerlukan alat bukti untuk menganalisa suatu perkara dengan yakin.

Pembuktian dengan saksi yang merupakan salah satu alat bukti adalah pembuktian yang sangat banyak dipergunakan. Tapi dengan mempergunakan pembuktian dengan saksi perlu diperhatikan bahwa keterangan seorang saksi tidak selalu sesuai dengan kenyataannya. Lain daripada itu yang sangat disayangkan ialah bahwa seorang saksi tanpa disadari, dapat memberikan keterangan yang sebetulnya tidak betul.11

Dalam permasalahan kesaksian, sebagaimana diungkapkan dalam buku Hukum Pembuktian dalam Islam oleh Ahmad ad-Daur, bahwa kesaksian adalah dasar pembuktian.12 Terjadi pembedaan yang mendasar dalam Hukum Islam dan Hukum Positif pada “jumlah saksi”. Dimana dalam peradilan Islam ada sebuah ketegasan yang terperinci dalam jumlah saksi.

Adapun menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan saksi ahli, surat, petunjuk serta keterangan terdakwa. Kalau dilihat dari urutannya keterangan saksi adalah pembuktian yang paling utama. Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimoniom De Auditu. Kedudukan seorang saksi dalam proses

11

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian : Menurut Undang-undang Hukum Perdata (RW), (Jakarta : PT Bina Aksara, 1986), Cet. ke- 3, h. 204

12

Ahmad ad-Da’ur, terj- Syamsuddin Ramadlan., Hukum Pembuktian dalam Islam, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2002), Cet. ke- 1, h. 18


(17)

persidangan amatlah penting dalam peranannya, sebab tanpa kehadiran saksi acara persidangan dapat ditunda atau bisa saja gagal tanpa adanya saksi. Oleh karena itu masyarakat sangat memerlukan perlindungan hukum atas saksi, agar rasa prihatin masyarakat dapat teratasi.

Usaha penegakan hukum pidana ditanah air acap kali terganjal oleh susahnya memperoleh alat bukti dalam proses peradilan pidana berupa keterangan saksi dan korban. Para saksi dan korban kerap kali mengalami intimidasi, ancaman, tekanan dari pihak pelaku atau pihak tertentu yang tak ingin kejahatannya terbongkar, akibatnya, para saksi dan korban tidak bisa secara leluasa menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang kejadian yang mereka dengar, lihat, dan alami sendiri.

Sebelumnya memang telah ada peraturan yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, namun dikhususkan untuk tindak pidana tertentu, sehingga belum dapat menampung perlindungan terhadap saksi dan korban untuk tindak pidana secara umum yang semakin beragam dan kompleks pada zaman sekarang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, akhirnya pada tanggal 18 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan saksi dan korban.13 Dengan demikian, bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif dalam menyikapi tindak perlindungan saksi di Indonesia.

Beranjak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih jauh tentang :

13


(18)

“PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA MENURUT UU NO 13 TAHUN 2006”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar permasalahan ini lebih terarah dan terfokus berdasarkan latar belakang dari uraian di atas, dalam hal ini penulis akan mencoba membatasi penelitian ini hanya mengenai masalah yang menyangkut: Saksi dalam perkara pidana, pandangan hukum Islam terhadap perlindungan saksi dalam perkara pidana di Indonesia, menurut UU No 13 Tahun 2006”

Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

D. Bagaimana Hukum Islam memposisikan saksi dalam perkara pidana ?

E. Faktor apa yang menyebabkan saksi dalam perkara pidana perlu mendapat perlindungan hukum oleh undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 ?

F. Bagaimana Undang-undang No. 13 Tahun 2006 memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam perkara pidana ?

G. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai perlindungan hukum terhadap saksi dalam perkara pidana menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2006 ?


(19)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka dapat diakui bahwa :

1. Tujuan Penelitian :

a Untuk mengetahui posisi saksi dalam perkara pidana menurut hukum Islam.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perlindungan hukum terhadap saksi oleh undang-undang Nomor 13 Tahun 2006.

c. Untuk mengetahui tentang perlindungan hukum terhadap saksi perkara pidana dalam undang-undang perlindungan saksi.

d. Untuk Mengetahui pandangan hukum Islam terhadap saksi perkara pidana dalam undang-undang perlindungan saksi nomor 13 tahun 2006.

2. Kegunaan Penelitian :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum baik hukum Islam maupun hukum positif.

b. Diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran dan memperkaya kepustakaan (Khasanah intelektual khususnya dalam bidang hukum), dan dapat menambah wawasan para pembaca tentang Perlindungan Saksi di Indonesia khususnya yang berkenaan dengan pelanggaran dalam perlindungan saksi kejahatan. Seperti tindak kejahatan terhadap saksi.


(20)

D. Metode Penelitian 1. Jenis Data

Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan melakukan pendekatan deskriptif yaitu yang bertujuan untuk membuat gambaran yang sistematis dan akurat tentang fakta-fakta, sifat dan hubungan fenomena yang ada dalam objek yang diteliti. Sedangkan kualitatif adalah sebuah pemaparan dan penjelasan terhadap masalah yang diangkat sehingga pada akhirnya akan membangun kesimpulan-kesimpulan dari permasalahan yang ada dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata atau bahasa, pada konteks yang lebih khusus.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan salah satu bagian yang terpenting dalam penelitian ini. Maka pencarian data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari :

a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli tidak melalui perantara. Data primer ini diperoleh dari data bahan hukum primer diantaranya Undang-Undang, dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits, yang mengatur masalah yang diangkat.


(21)

b. Data Skunder

Data skunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Jenis data skunder dapat berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) baik telah dipublikasikan maupun tidak dipublikasikan. Bahan data skunder ini penulis peroleh dari Al-Qur'an, As-Sunah, Buku-buku ilmu Hukum, dokumen-dokumen, makalah dan data-data lain yang relevansi dan berkaitan dengan judul skripsi ini.

3. Teknik Pengumpul Data

Studi kepustakaan seperti buku, dokumen dan lain sebagainya, dengan cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang terdapat didalam skripsi ini.

4. Analisis data :

Dalam analisis data, penulis menggunakan content analisis atau analisis isi, yaitu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi, dengan rumusan:

1. Analisis teks al-Qur’an 2. Analisis teks al-Hadits

3. Analisis teks undang-undang No. 13 tahun 2006


(22)

5. Tekhnik penulisan :

Dalam penulisan proposal ini, penulis sepenuhnya menggunakan buku pedoman skripsi yang di terbitkan Tahun 2007 oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sehingga penulisan ini tidak melenceng dari aturan teknik penulian yang ada. 14

Dokumen yang penyusun peroleh, maka penyusun racik dan memaparkan secara deskriptif, koporatif, dan analisis konstruktif. Tiga pendekatan semacam ini lazim dipakai dalam penelitian kualitatif ini. Maka penyusun kombinasikan untuk menghasilkan sebuah konstruksi yang sinergis dan ilmiah.

Dalam tekhnik penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan disertai yang disusun oleh Tim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

E. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memperinci gambaran dari penulisan skripsi ini, penulis menyusun penulisan menjadi lima bab yang saling berkaitan satu sama lainnya dengan perincian sebagai berikut :

Bab I Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

14

Tim Penulis dari Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Buku Panduan Skripsi, (Jakarta : Fak. Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


(23)

Bab II Merupakan bab yang membahas tinjauan umum tentang perlindungan saksi dalam hukum Islam dan positif, yang isinya tentang pengertian saksi, macam-macam, syarat-syarat, hak-hak, dan tujuan saksi. Dasar hukumnya dalam hukum Islam dan positif. Tujuan perlindungan hukum terhadap saksi dalam hukum Islam dan hukum Positif.

Bab III Perlindungan hukum terhadap saksi pada perkara pidana dalam UU no. 13 tahun 2006. Bab ini menguraikan tentang pengertian perkara pidana, saksi sebagai alat bukti, faktor penyebab perlunya perlindungan saksi, proses penyusun undang-undang, yang berkaitan dengan perlindungan dari ancaman terhadap saksi dan korban, pemberian restitusi dan rehabilitasi. Bab IVAnalisis hukum islam mengenai perlindungan hukum terhadap saksi

menurut dan uu no. 13 tahun 2006. Merupakan bab yang membahas tentang analisis terhadap perlindungan saksi dari ancaman, restitusi, dan rehabilitasi.

Bab V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis terkait permasalahan yang dibahas.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DALAM HUKUM ISLAM

A. Saksi Menurut Hukum Islam 1. Pengertian

Kesaksian menurut bahasa adalah (ﺪﻬ -ﺪﻬ ) yang berarti mengamati atau memberi kesaksian.15 Kemudian kata saksi dalam bahasa Arab adalah (وﺪﻬ ﺎ ﺮ ىﺬ اﺪهﺎ ) atau (ﺪهﺎ ) lafadz (ﺪﻬ ) yaitu orang yang mengetahui dan menerangkan apa yang diketahuinya, kata jamaknya adalah (ءاﺪﻬ ) masdarnya adalah (ةدﺎﻬ ا) yang berarti kabar yang pasti.16

Dikatakan pula bahwa kesaksian (ةﺪﻬ ا) semakna dengan kata “ ا” (Pemberitahuan), berdasarkan firman Allah SWT :

أ

ا

ﺪﻬ

إ

إ

ﻮه

...

)

اﺮ ا

ن

/

3

:

18

(

Artinya:“ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia”… (al-Imran/3: 18).

15

Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), ed. 2, h. 746

16


(25)

Disini arti ﺪﻬ adalah (mengetahui). Syahid adalah orang yang membawa kesaksian dan menyampaikannya, sebab dia menyaksikan apa yang tidak diketahui orang lain.17

Dalam hukum Islam, kesaksian disebut dengan ةﺪﻬ yang dapat didefinisikan sebagai berikut. Dalam kitab Qolyubi wa Umairah dijelaskan bahwa kesaksian adalah:

أ

ا

رﺎ

ﺮ ا

أ

.

18

Artinya: “Bahwasanya kesaksian itu adalah memberitahukan dengan sebenarnya hak seseorang terhadap orang lain dengan lafadz aku bersaksi”.

ا

رﺎ

ق

تﺎ

ا

دﺎ

ة

ا

ءﺎ

19

Artinya: “Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian didepan sidang pengadilan”.

ا

دﺎ

ة

رﺎ

ة

ا

رﺎ

ق

ا

ا

دﺎ

ة

تﺎ ﺛ

ا

20

Artinya: “Kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar didepan sidang pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menerapkan suatu hak terhadap orang lain”.

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kesaksian itu harus memenuhi unsur-unsur yaitu :

1. Adanya suatu persengketaan dalam perkara sebagai objek.

2. Dalam objek tersebut terdapat hak yang harus ditegakkan oleh hakim.

17

Sayyid Sabiq, terj –Mahyuddin Syaf, Fiqih Sunnah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1994), Cet ke-4, Jilid 14, h. 55

18

Mahalli, Hasyiyatan Qaliyubi wa’ Umairah, (Riyadh: al-Riyadh al-Hadits, 1995), Jilid 4, h. 318

19

Ibnul Hamman, Syarah Fathul Qadir, (Mesir : Mustofa Al Babil Halabi, 1970), Jilid 7, h. 415

20

Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar Nadhatu al-Arabiyyah, 1964), h. 83


(26)

3. Adanya orang yang memberitahukan apa yang diketahuinya.

4. Orang yang memberitahukan objek tersebut harus berita yang sebenarnya. 5. Pemberitahuan itu diberitahukan kepada yang berhak menerimanya, dan

pemberitahuan itu dengan suatu ucapan kesaksian.

Kesaksian merupakan salah satu alat bukti yang kuat bagi hakim dalam menetapkan suatu hukum Eksistensinya kesaksian sebagai salah satu alat bukti terdapat dalam Firman Allah SWT :

...

نﺎ أﺮ او

ر

ﺎ ﻮﻜ

نﺈ

ﻜ ﺎ ر

ﺪ ﻬ

اوﺪﻬ او

ﺮآﺬ

ﺎ هاﺪ إ

نأ

ﺎ هاﺪ إ

نأ

ءاﺪﻬ ا

نﻮ ﺮ

ﺎ هاﺪ إ

ﻷا

و

ىﺮ

ذإ

ءاﺪﻬ ا

بﺄ

اﻮ د

ا

) ...

ةﺮ ا

/

2

:

282

(

Artinya: “…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua laki-laki, maka boleh seorang lelaki dan orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…” (Al-Baqaroh: 2 - 282). Bagian akhir ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang saksi tidak boleh menolak diminta keterangannya. Sebab memberi kesaksian hukumnya adalah “Fardhu Kifayah”.21 Sebab tuntutan untuk memberi atau mendatangkan kesaksian bersifat pasti. 22 Allah SWT berfirman:

...

و

ﺛاء

ﺎﻬ ﻜ

و

ةدﺎﻬ ا

اﻮ ﻜ

) ...

ةﺮ ا

:

2

:

283

(

21

Fardhu Kifayah, ialah Suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila tidak ada yang mengerjakan kewajiban tersebut maka seluruh penduduk wilayah tersebut berdosa. Abdullah bin Muhammad. Terj—Abd. Ghaffar, Tafsir Ibnu Katsir, (Pustaka Imam asy- Syafi’I, 2001), Cet. ke 1, Jilid 1, h. 565

22

Ahmad ad-Da’ur, terj- Syamsuddin Ramadlan., Hukum Pembuktian dalam Islam, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2002), Cet. ke- 1, h. 21


(27)

Artinya: “…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya …”. (Al-Baqoroh/ 2 - 283). Ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pendapat Jumhur Ulama. Sedangkan yang dimaksud dengan bagian akhir ayat diatas, yakni untuk melaksanakan kesaksian, karena hakekat mereka sebagai saksi. Seorang saksi hakekatnya adalah pihak yang bertanggung jawab. Jika dipanggil, maka ia berkewajiban untuk memenuhinya. Jadi hal itu sebagai Fardhu ‘Ain. Jika tidak,23 maka berkedudukan sebagai Fardhu Kifayah.

Menurut al-Jauhari dalam kitab Subulus Salam, Juz IV yang dikutip oleh Abdur Rahman Umar mengatakan :

بﺎ ﺎ ﺪهﺎ

ﻷﺎﻬ دﺆ و

ةدﺎﻬ ا

ﺎ ﺪهﺎ او

24

Artinya: “Saksi adalah orang yang mempertanggung jawabkan kesaksian dan mengemukakannya, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya”.

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan atau kesaksian didepan pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar sendiri, yang dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara. Menurut sifatnya saksi dapat dibagi dua bagian antara lain:

1. Saksi kebetulan

Saksi kebetulan adalah saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi perkara. Saksi

23

Fardhu ‘ain, ialah kewajiban yang harus dilakukan oleh tiap orang yang mukallaf (dewasa). Abd. Ghaffar, Ibid

24

Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), Cet. I h. 37


(28)

demikian misalnya para tetangga, orang yang secara kebetulan melihat ataupun mendengar peristiwa tersebut.

2. Saksi Sengaja

Saksi sengaja adalah saksi yang pada perbuatan hukum itu dilakukan sengaja telah meminta untuk menyaksikannya, misalnya kepala desa, camat, notaris dan lain-lain.25

2. Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi

Para Ulama Menetapkan, bahwa dalam hal ini diperlukan jumlah bilangan saksi. Karena ini termasuk urusan ta’abudi, walaupun menurut logika, kebenaran itu berdasarkan keadilan dan kejujuran orang yang memberi kesaksian itu, bukan kepada jumlah bilangan saksi.

a. Macam-macam saksi

Dengan demikian macam-macam saksi tersebut dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Kesaksian empat orang laki-laki

Seluruh madzhab menetapkan bahwa dalam masalah zina diharuskan adanya empat orang saksi. Ketentuan ini ditegaskan oleh al-Qur’an sendiri:

او

ﺔ رأ

اوﺪﻬ ﺎ

ﻜ ﺎ

ﺔ ﺎ ا

) ...

ءﺎ ا

/

4

:

15

(

25

Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menganani Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), h. 180


(29)

Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)”. (An-Nisaa/ 4-15).

ﺎ ﺛ

هوﺪ ﺎ ءاﺪﻬ ﺔ رﺄ اﻮ ﺄ

تﺎ

ا

نﻮ ﺮ

ﺬ او

ةﺪ

) ...

رﻮ ا

:

24

/

4

(

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. … (An-Nuur/ 24-4).

Nabi Muhammad SAW bersabda:

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ﺮ

لﺎ

ةدﺎ

:

ارأ

ءاﺪﻬ

ﺔ رﺄ

ﻰ ا

ﻬ ا ر

ﻰ أﺮ ا

تﺪ و

.

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

و

ﷲا

:

).

اور

(

26

Artinya: “Dari Sa’id bin Ubadah, ia berkata kepada Rasulullah: sependapatkah engkau andai kata aku mendapati laki-laki lain bersama istriku lalu kutunda dahulu (menuduh istriku lalu berbuat zina) sampai aku mendapatkan empat orang saksi laki-laki? Nabi Muhammad SAW menjawab: ya !”. (H.R. Imam Malik).

Berdasarkan dalil-dalil diatas, jelaslah bahwa untuk dapat membuktikan seseorang telah berbuat zina diharuskan mendatangkan empat orang saksi laki-laki yang benar-benar menyaksikan perbuatan zina tersebut. Hukuman zina baru dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi empat orang saksi laki-laki.

26

Sulaiman bin al-Asy ‘as Abu Daud al-Sajastani al-Azadi, Sunan Abu Daud, (Mesir: Daarul Fikr) tt., Juz 2, h. 589


(30)

2. Kesaksian tiga orang laki-laki

Kesaksian tiga orang laki-laki diperlukan untuk membuktikan bahwa benar seseorang yang telah diketahui oleh masyarakat adalah orang kaya yang jatuh pailit.27

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Qubaidhah bin Mukhariq yang berbunyi:

لﺎ

ﻬ ا

قرﺎ

:

لﺎ

ا

ﺔ ﺎ

...

ﻰ ا

ىوذ

ﺔﺛ ﺛ

لﻮ

ﻰ ﺔ ﺎ

ﺎ ا

رو

ا

ﺔ ﺎ اﺎ

ﺎ ا

.

) ..

دوادﻮ ا

اور

(

28

Artinya: “Dari Qubaidhah bin Mukhariq Al-Hilali, Ia berkata: aku menagguh suatu penderitaan (permasalahan) lalu aku mendatangi Nabi (untuk mengadukannya). Maka Nabi bersabda: … dan seseorang yang jatuh pailit, sampai berkata tiga orang laki-laki dari kaumnya: sesungguhnya si fulan telah jatuh pailit. Maka dengan demikian lepaslah si fulan dari persoalannya itu (kewajiban berzakat)”. (H.R Abu Daud).

3. Kesaksian dua orang laki-laki tanpa wanita

Dalam masalah selain zina dan pembunuhan, cukuplah dua orang saksi saja. Seluruh madzhab sependapat dalam masalah ini. Mereka berpegang pada ayat Al-Qur’an dan Hadits:

ﺔ ﻮ ا

تﻮ ا

آﺪ أ

اذإ

ةدﺎﻬ

اﻮ اء

ﺬ ا

ﺎﻬ أﺎ

آﺮ

ناﺮ اء

وأ

لﺪ

اوذ

نﺎ ﺛا

) ...

ةﺪ ﺎ ا

:

5

:

106

(

27

Abdur Rahman Umar, Ibid, h. 59 28


(31)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu …”(Al-Maidah/5: 106).

Dan hadits Nabi mengatakan:

ﺎ ﺎﻬ

ﷲا

ر

ﺔ ﺎ

:

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

:

لﺪ

يﺪهﺎ و

ﺪ ﺮ

ا

حﺎﻜ

) .

اور

(

29

Artinya: “Dari Aisyah ra ia berkata: bersabda Rosulullah SAW tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. (HR. al-Bayhaqi).

Kesaksian dua orang laki-laki yang tidak adil, diperlukan oleh seluruh fuqoha dalam segala rupa hukuman had, terkecuali zina. Dan diperlukan pula dua saksi laki-laki oleh Malik dan Ahmad dalam masalah-masalah yang biasanya hanya disaksikan oleh laki-laki seperti perkawinan dan perceraian. Dalam hal ini, dan Ahmad tidak menerima kesaksian wanita. Dalam pada itu Atha Hammad dan Imam Daud az-Zahiri menerimanya.30

4. Kesaksian dua orang lelaki, atau seorang lelaki dua orang wanita

Jumlah kesaksian ini adalah berdasarkan Al-Qur’an mengenai kesaksian utang piutang yang ditentukan waktu pembayarannya. Allah SWT berfirman:

29

Baihaqi al-Jalil Abi Bakr Ahmad ibn Ali al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, (Beirut: Dar al-Sadir, tt), Jilid 7, h. 125

30


(32)

...

ر

ﺎ ﻮﻜ

نﺈ

ﻜ ﺎ ر

ﺪ ﻬ

اوﺪﻬ او

نﺎ أﺮ او

...

)

ةﺮ ا

:

2

:

282

(

Artinya: …“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi (diantara kamu), jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki dan dua orang wanita…. (Al-Baqarah/ 2: 282). Berdasarkan ayat ini, seluruh mazhab menerima kesaksian ini dalam masalah harta, seperti jual beli, hutang piutang dan sebagainya. Golongan Hanafiah menerima kesaksian ini dalam segala urusan perdata, baik mengenai harta maupun nikah dan talak. Dalam pada itu, tidak diterima terhadap hak-hak Allah yaitu dalam masalah-masalah pidana.31

5. Kesaksian Khusus Wanita

Semua mazhab menerima kesaksian wanita yang tidak disertai laki-laki, hanya saja terbatas dalam hal-hal yang pada lazimnya diketahui oleh wanita saja dan tidak dapat dilihat oleh orang laki-laki. Seperti peristiwa kelahiran bayi, keperawanan, cacat pada tubuh wanita sebagainya.

Para ulama berselisih tentang ketentuan jumlahnya: mazhab Hanafi dan Hambali mencukupkan kesaksian seorang wanita. Sementara Imam Malik dan Syafi’I mengharuskan paling sedikit adanya empat orang saksi wanita. Pendapat ini berdasarkan pertimbangan bahwa kedudukan wanita sama dengan dua orang saksi laki-laki, dimana

31


(33)

Allah telah memerintahkan adanya kesaksian dua orang laki-laki dalam perkara-perkara selain zina.

Imam-imam lain mengatakan, ketentuan saksi wanita itu adalah dua orang. Tapi dalam masalah penyusuan bayi pada saat kelahirannya, terjadi pula perbedaan pendapat. Abdurrahman mengatakan, bahwa Imam Syafi’i:

“Tetap mengharuskan adanya saksi empat orang wanita dan dapat menerima kesaksian wanita yang menyusukan dengan tiga wanita lainnya. Sedangkan Ibnu Abbas dan Imam Ahmad bin Hanbal menerima kesaksian wanita yang menyusukan anak tersebut sendirinya”.32

Berdasarkan hadits dari Uqabah:

لﺎ

ﷲا

ر

ثرﺎ ا

:

تءﺎ

ةاﺮ ا

وﺰ

و

ﷲا

ا

ﺎ ﺎ ﻜ

راﺪ

ﻰ ا

ةاﺮ ا

لﺎ

ﻮ وا

ﻚ ﺎﻬ د

ﺪ و

آو

)

ىرﺎ ا

اور

(

33

Artinya: “Dari Uqbah bin Haris RA: ia berkata aku mengawini seorang wanita, lalu datang seorang wanita yang berkata: sesungguhnya aku telah menyusukan kamu berdua. Lantas aku menghadap kepada Nabi SAW. Lalu beliau bersabda: bagaimana jadinya, sedangkan wanita itu telah mengatakannya. Tinggalkanlah (ceraikan) istrimu atau perkataan lain seperti itu”. (H.R Bukhori).

32

Abdur Rahman Umar, Ibid, h. 67 33

Ahmad bin Husein bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan Baihaqi al-Kubra, (Mekkah al-Mukarromah: Maktabah Daarul Baaz, 1994), Juz 7, h. 463


(34)

Adapun Imam Malik dalam masalah ini mencukupkan kesaksian dua orang wanita. Imam Abu Hanifah menilai, penyusuan anak termasuk hak-hak badan yang dapat diketahui laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang wanita. Kesaksian wanita yang menyusukan itu saja tidak cukup karena hal itu hanya pengakuan terhadap perbuatannya.34

Uraian-uraian diatas menyatakan bahwa kesaksian khusus wanita adalah diterima dalam hal-hal tertentu yang dapat dilihat oleh wanita saja. Dan kesaksian wanita dipandang setengah dari kesaksian laki-laki.

6. Kesaksian seorang laki-laki dan sumpah si penggugat. 7. Kesaksian seorang laki-laki.

b. Syarat-syarat 1. Islam

Dalam suatu kesaksian diperlukan syarat-syarat yang sesuai dengan ketentuan, sehingga kesaksian tersebut dapat diterima, dalam hal ini para ahli hukum Islam telah memberikan persyaratan yang harus dipenuhi bagi orang saksi. Sebagai hasil dari ijtihad yang dilakukan, sudah barang tentu terdapat perbedaan di sana-sini yang terlepas dari faktor sosio-kultural pada waktu itu.

34


(35)

Secara umum ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam hal kesaksian dan berlaku sama terhadap setiap perkara yang memerlukan saksi sebagai alat bukti.35

Saksi adalah benar-benar orang yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Sebagaimana firman Allah SWT:

...

ر

ﺎ ﻮﻜ

نﺈ

ﻜ ﺎ ر

ﺪ ﻬ

اوﺪﻬ او

نﺎ أﺮ او

ءاﺪﻬ ا

نﻮ ﺮ

...

)

ةﺮ ا

/

2

:

282

(

Artinya: “…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua laki-laki, maka boleh seorang lelaki dan orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi…” (QS. al-Baqaroh/ 2 - 282).

Prof. M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa yang dimaksud dua orang saksi sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat diatas adalah saksi-saksi laki-laki yang merupakan anggota masyarakat Muslim.36 Dengan demikian syarat keharusan beragama Islam sangat penting terhadap suatu kesaksian karena nilai-nilai agama dapat mempengaruhi tinggi rendahnya moral seseorang.

2. Baligh

35

Abdur Rahman Umar, Ibid, h. 43-52 36

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. ke-1, Vol. 1, h. 566


(36)

Baligh adalah syarat diterimanya kesaksian, karena kedewasaan telah mampu untuk berfikir dan bertindak secara sadar dan baik, dalam segala tindakannya. Allah berfirman:

...

ﻜ ﺎ ر

ﺪﻬ

اوﺪﻬ او

) ...

ةﺮ ا

:

2

/

282

(

Artinya: “… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (diantara kamu)”… (Q. S Al-Baqarah/ 2: 282). Pemakaian lafadz ﺮ ا menunjukkan pengertian orang yang

sudah baligh, bukan anak-anak.37 Sedangkan untuk laki-laki yang belim baligh, anak-anak dalam istilah Arab dikenal dengan . 3. Berakal

Orang gila tidak dapat menjadi saksi, apabila untuk menerima kesaksian. Karena orang gila adalah orang yang setiap tindakannya tidak dapat mempertimbangkan dengan akalnya. Disamping itu, akal yang sehat pun tidak dapat menerima kesaksian mereka, serta mereka jelas bukan termasuk orang yang disenangi untuk menjadi saksi. Allah berfirman:

...

ءاﺪﻬ ا

نﻮ ﺮ

) ...

ةﺮ ا

:

2

/

282

(

Artinya: “… dari saksi-saksi yang kamu ridhoi”… (Q.S Al-baqarah: 2 : 282)

4. Adil

Sifat adil dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi saksi sesuai dengan firman Allah:

37


(37)

ةدﺎﻬ ااﻮ او

لﺪ

يوذاوﺪﻬ او

)

ق ﻄ ا

:

2:65

(

Artinya: “…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”… (Q.S Ath-thalak: 65: 2).

5. Dapat Berbicara

Seorang saksi sudah seharusnya orang yang dapat berbicara untuk dapat menyampaikan dan menerangkan kepada hakim yang telah disaksikannya. Oleh karena itu, dapatnya saksi berbicara adalah sangat penting dan merupakan suatu keharusan.

Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang kesaksian orang bisu yang isyaratnya dapat dipahami dan pandai menulis, diantaranya ialah:38

a). Madzhab Hambali: tidak menerima dengan isyarat walaupun dimengerti, tetapi menerima bila ia sanggup menulis;

b). Madzhab Maliki: dapat menerima kesaksian orang bisu yang dapat dimengerti isyaratnya;

c). Madzhab Syafi’I: dalam madzhab ini ada beberapa pendapat, pertama dapat menerima dengan isyaratnya, dalam masalah perkawinan dan thalak. Adapun yang tidak menerimanya, oleh karena itu isyarat orang bisu hanya bisa diterima dalam keadaan darurat;

38


(38)

d). Madzhab Hanafi: tidak menerima baik dengan isyarat maupun ia pandai menulis.

6. Baik Ingatan dan Teliti

Kesaksian bagi orang yang daya ingatnya sudah tidak normal, pelupa dan sering salah, maka jelas kesaksian ini diragukan kebenarannya. Sebab hal ini akan banyak mempengaruhi ketelitiannya baik dalam ingatan maupun mengemukakan kesaksiannya. Maka kesaksiannya tidak dapat dipegang.

7. Tidak Tuhmah

Yang dimaksud dengan tidak tuhmah disini adalah tidak ada sangkaan buruk terhadap maksud baik dan kejujuran seseorang dalam mengemukakan kesaksiannya.39 Karena tuhmah adalah orang yang disangsikan dalam mengemukakan kesaksian, mungkin karena benci atau karena terlalu sangat cintanya terhadap orang yang disaksikannya seperti: Kesaksian Ayah terhadap anaknya atau kesaksian sesorang terhadap musuhnya.

3. Hak-hak dan Tujuan saksi a. Hak-hak

Disini akan dijelaskan bahwa ada dua bagian dalam hak-hak saksi, diantaranya adalah:

1. Hak Allah

39


(39)

2. Hak Adami. a. Hak Allah

Hak-hak Allah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:

1. Tidak dapat diterima saksi yang kurang dari empat orang laki-laki. Yaitu zina. Keempat orang laki-laki tersebut memandang perbuatan zina dengan tujuan bersaksi.40

Allah SWT. berfirman:

ﻮ ﺮ

ﺬ او

هوﺪ ﺎ

ءاﺪﻬ

ﺔ رﺄ

اﻮ ﺄ

تﺎ

ا

ن

) .

رﻮ ا

:

13

(

Artinya: Dan Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan

empat orang saksi, maka deralah mereka. (QS. An Nur:

4).

Dalam ayat diatas ditegaskan, bahwa tuduhan itu dapat mengakibatkan dera karena tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka demikian pula zina, tidak bisa dianggap tanpa ada empat orang saksi.

Allah SWT. berfirman:

او

ﺔ رأ

اوﺪﻬ ﺎ

ﻜ ﺎ

ﺔ ﺎ ا

.

)

ءﺎ ا

:

15

(

Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). (QS. An Nisa’: 15).

40


(40)

Dan firman Allah dalam haditsul ifki, yaitu tuduhan terhadap Aisyah RA. Telah berbuat serong:

ذﺈ

ءاﺪﻬ

ﺔ رﺄ

اوءﺎ

ﻚ وﺄ

ءاﺪﻬ ﺎ

اﻮ ﺄ

نﻮ ذﺎﻜ ا

ه

ا

).

رﻮ ا

:

13

(

Artinya: Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (QS. An Nur: 13).

Jika mereka sengaja memandangnya untuk selain kesaksian, maka mereka fasik dan kesaksian mereka ditolak.

Jika seseorang mengaku bahwa dia melakukan zina, maka saksinya cukup dua orang laki-laki menurut pendapat yang paling jelas.

2. Hak kedua dari hak-hak Allah adalah hak dimana diterima kesaksian dua orang laki-laki. Penyusun menjelaskan hal ini dengan ucapan: yaitu hukuman selain hukum zina, hukuman minuman arak.

Allah SWT. berfirman:

...

ﻜ ﺎ ر

ﺪ ﻬ

اوﺪﻬ او

) ...

ةﺮ ا

:

2

:

282

(

Artinya: ... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantaramu)…. (QS. Al Baqarah: 282).


(41)

...

لﺪ

يوذ

اوﺪﻬ أو

)...

ق ﻄ ا

:

2

(

Artinya: … Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki yang adil ... (QS. Ath Thalaq: 2).

Dan juga perkataan az Zuhri:

ا

او

ﺔ ا

ﻰ ءﺎ ا

ةدﺎﻬ زﻮ

دوﺪ ا

)

ﻚ ﺎ

اور

(

41

Artinya: Sunah telah berlaku bahwasanya tidak boleh diterima kesaksian orang-orang wanita dalam had-had.

3. Hak ketiga dari hak-hak Allah adalah hak dimana diterima kesaksian seorang laki-laki. Yaitu hilal bulan Ramadhan saja, bukan bulan lainnya.

Dari Ibnu Umar RA., ia berkata:

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

تﺮ ﺄ

ل ﻬ ا

سﺎ ا

ىءاﺮ

ﻰ أ

سﺎ اﺮ او

ار

) .

دوادﻮ ا

اور

.(

42

Artinya: Orang-orang pada melihat-lihat bulan, maka aku mengkabarkan kepada Rasulullah SAW. bahwa aku telah melihat bulan. Dan Rasulullah pun berpuasa dan memerintahkan agar orang-orang berpuasa. (HR. Abu Daud

Hikmah dari diterimanya kesaksian orang seorang dalam hal ini adalah untuk berhati-hati dalam urusan berpuasa. Sebab keliru dalam mengerjakan ibadah akan lebih ringan mafsadahnya dari

41

Al-Musnaf, Ibid

42


(42)

pada keliru meninggalkan ibadah. Karena itulah dalam hal menetapkan tanggal satu syawal tidak dapat diterima kecuali sedikitnya ada dua orang saksi.

b. Hak Adami

Hak Adami ada tiga macam. Yaitu:

1. Macam pertama adalah hak di mana tidak dapat diterima, kecuali dua saksi laki-laki.43

Allah SWT. berfirman:

تﻮ ا

آﺪ أ

اذإ

ةدﺎﻬ

اﻮ اء

ﺬ ا

ﺎﻬ أﺎ

لﺪ

اوذ

نﺎ ﺛا

ﺔ ﻮ ا

)...

ةدءلﺎ ا

:

106

(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu. (QS. Al-Maidah: 106).

Dan firman Allah dalam masalah talaq:

لﺪ

يوذ

اوﺪﻬ أو

فوﺮ

هﻮ رﺎ

وأ

فوﺮ

هﻮﻜ ﺄ

)...

ق ﻄ ا

:

2

(

Artinya: Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu: (QS. Ath Thalaq: 2).

Dan hadits Nabi SAW. Dalam masalah perkawinan:

ل

ىﺪهﺎ وﺪ ﺮ

ﻰ ﻮ إ

حﺎﻜ

44

43


(43)

Artinya: Tidak sah nikah kecuali dengan wali yang pandai dan dua orang saksi yang adil.

Dalam ketiga nash diatas, saksi-saksi disebutkan dengan lafadz mudzakkar. Maka untuk hak-hak sejenis yang tidak ada disebutkan dalam ayat/hadits, diqiaskan dengan hal diatas.

2. Disini dapat diterima salah satu dari tiga hal: dua orang saksi laki-laki, seorang laki-laki dan dua orang wanita atau satu saksi dan sumpah pendakwa. Namun sumpahnya harus dilakukan setelah kesaksian saksinya dan saksi itu dinyatakan adil.45

Pendakwa dalam sumpahnya harus menyebutkan bahwa saksinya benar mengenai apa dimana dia bersaksi untuk pendakwa. Jika pendakwa tidak bersumpah dan menuntut terdakwa untuk bersumpah, maka dia berhak demikian. Jika terdakwa tidak mau bersumpah, maka pendakwa boleh untuk sumpah balik menurut pendapat yang lebih jelas.

Allah SWT. berfirman:

ر

ﺪ ﻬ

اوﺪﻬ او

ر

ﺎ ﻮﻜ

نﺈ

ﻜ ﺎ

نأ

ﺎ هاﺪ إ

نأ

ءاﺪﻬ ا

نﻮ ﺮ

نﺎ أﺮ او

آﺬ

ﺎ هاﺪ إ

ا

ﺎ هاﺪ إ

ىﺮ ﻷ

.

)

ةﺮ ا

/

2

:

282

(

Artinya: Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantaramu). Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari

44

Muhammad bin Ali Muhammad Saukaniy, NailulAuthar Min Ahaadits Akhyar, (Sarah Muntaqa Akhbar), Juz 6, (t. tmpt: Idaarah at-Thabaa’ah al-Muniyriya, tt), Juz 6, h. 138

45


(44)

saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. (QS. al Baqarah: 282).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA:

ﺪهﺎ و

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

نا

) .

اور

(

46

Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah menghukumi dengan sumpah dan seorang saksi laki-laki. (HR. Muslim).

3. Macam ketiga adalah hak dimana bisa diterima salah satu dari dua hal. Boleh seorang laki-laki dan dua orang wanita, boleh empat orang wanita. Penyusun menjelaskan hak ini dengan perkataan: Hak ini adalah sesuatu yang biasanya tidak disaksikan oleh kaum laki-laki, namun jarang, misalnya bersalin, haidh dan susuan.

Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dari Zuhriy rahimahullah ia berkata:

ةد و

هﺮ

ﻄ ﺎ ءﺎ ا

ةدﺎﻬ زﻮ

ﺔ ا

ﻬ ﻮ وءﺎ ا

.

47

Artinya: Sunah telah berlaku bahwa sesungguhnya boleh diterima kesaksian orang-orang perempuan dalam hal yang tidak dilihat kecuali oleh mereka, seperti kelahiran, dan cela mereka. (Iqna’: II/.297).

Ketahuilah, bahwa tak ada hak yang bisa diteatapkan berdasarkan kesaksian dua wanita dan sumpah.

46

Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi (India: Majlis al-Nizomiah al-Kaainah, 1344 H), Cet. ke-1, Juz 2. h.335

47

Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kuufi, al-Musnad fil Ahaadits wal Atsaar (Riyadh: Maktabah al-Rasyadih, 1409), Cet, ke-1, Juz 4. h. 329


(45)

Adapun hak-hak Allah, kesaksian wanita tidak diterima, hanya kesaksian laki-laki saja yang diterima.

Diriwayatkan dari Zuhri, ia berkata:

ﻰ ءﺎ ا

ةدﺎﻬ زﻮ

ا

او

ﺔ ا

دوﺪ ا

)

ﻚ ﺎ

اور

(

48

Artinya: Sunah telah berlaku bahwasanya tidak boleh diterima kesaksian orang-orang wanita dalam had-had. (HR. Malik). Iqna’: II/.296.

b. Tujuan Saksi

Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafadz-lafadz kesaksian dihadapan sidang pengadilan. Inilah definisi kesaksian. Kata ةدﺎﻬ ا sendiri merupakan bentuk musytaq (pecahan) dari ةﺪهﺎ ا, yang memiliki arti ﺔ ﺎ ا (sesuatu yang disaksikan secara langsung). Kadang-kadang juga disebut dengan memberikan kesaksian (ةدﺎﻬ ا ىد ا). Sebab ﺔ ﺎ ا merupakan sebab bagi pemberian kesaksian (ةدﺎﻬ اىد ا). Kesaksian hanya akan terwujud bila ada ﺔ ﺎ ا, atau hal-hal yang serupa dengan ﺔ ﺎ ا. Seperti mendengar, melihat dan hal-hal lain yang serupa. Oleh

48


(46)

karena itu sebab satu-satunya untuk menyampaikan kesaksian dinamakan dengan memberi sebuah kesaksian.49

Kesaksian tidak boleh didasarkan pada dzan. Semua bukti yang berasal dari jalan ﺔ ﺎ ا atau yang serupa dengan ﺔ ﺎ ا, seperti bukti meyakinkan yang berasal dari penginderaan oleh satu panca indera, maka masyarakat dibolehkan bersaksi dengan bukti-bukti semacam itu. Semua bukti yang tidak berasal melalui jalan ini, maka kesaksian atas bukti-bukti itu tidak diperbolehkan. Sebab, kesaksian tidak ditegakkan kecuali dengan sesuatu yang meyakinkan.

Dengan demikian kesaksian tidak boleh ditetapkan dengan jalan as-sama’ (mendengar dari orang lain). Artinya, orang yang hendak bersaksi tidak boleh memberi kesaksian yang menyatakan: ‘Saya mendengar dari orang’, atau ‘Saya mendengar bahwa orang-orang berkata’, atau yang lain. Namun demikian dikecualikan pada 9 kasus. Pada 9 kasus tersebut boleh memberikan kesaksian dengan as-sama’. Yaitu pada kasus pernikahan, nasab, kematian, dan peradilan. Pada empat kasus ini tidak dijumpai adanya perbedaan pendapat tentang diterimanya kesaksian dengan jalan as-sama’.

Jadi jelaslah bahwa maksud dari kesaksian adalah menyampaikan kebenaran. Jelas pula bahwa hakekat kesaksian adalah menyampaikan kebenaran, yaitu berita yang benar dan meyakinkan yang disampaikan

49


(47)

oleh orang yang jujur/benar. Kesaksian merupakan upaya untuk membuktikan kebenaran. Bukti juga disyari’atkan untuk menampakkan kebenaran. Berdasarkan hal ini maka kesaksian dengan penyangkalan murni tidak akan diterima. Kesaksian dengan pengingkaran tidak diterima, sebab hal ini bertentangan dengan definisi kesaksian.

Namun jika pengingkaran lebih dulu diawali dengan sebuah pembuktian, maka kesaksian dengannya diperbolehkan. Karena, kesaksian itu secara otomatis bukan lagi menjadi kesaksian dengan pengingkaran, akan tetapi kesaksian didalam pembuktian. Oleh karena itu dikatakan ‘tidak bolehnya memberi kesaksian dengan penyangkalan murni, tidak dikatakan penyangkalan saja’, karena dibolehkan memberi kesaksian dengan penyangkalan yang diperkuat dengan bukti.

4. Dasar Hukumnya

Dalam Al-Qur’an ditegaskan, Allah SWT berfirman:

ﷲءاﺪﻬ

ﻂ ا

ب

ﻮ اﻮ ا

ﺬ اﺎﻬ أﺎ

) ...

ءﺎ ا

/

3

:

135

(

Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah …”, (Q.S. An-Nisa/3: 135).

Kesaksian itu wajib ditunaikan apabila saksi mampu menunaikannya tanpa adanya bahaya yang menimpa baik badannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya.

Apabila saksi itu banyak dan tidak dikhawatirkan kebenaran akan disia-siakan, maka kesaksian pada saat yang demikian menjadi sunnah, sehingga


(48)

bila seorang saksi terlambat menyampaikannya tanpa alasan, maka ia tidak berdosa.

Apabila persaksian telah ditentukan, maka haram mengambil upah atas persaksian itu kecuali bila saksi keberatan dalam menempuh perjalanan untuk menyampaikannya, maka ia boleh mengambil ongkos itu, apabila kesaksian itu tidak ditentukan, maka saksi boleh mengambil upah atas kesaksiannya.

Kesaksian itu fardhu ‘ain bagi orang yang memikulnya, bila dia dipanggil untuk itu dikhawatirkan kebenaran akan hilang, bahkan wajib apabila dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk itu.

Seperti yang telah ditegaskan dalam firman-Nya:

...

ﺛا

ﺈ ﺎﻬ ﻜ

و

ةدﺎﻬ ااﻮ ﻜ و

) ...

ةﺮ ا

/

2

:

283

(

Artinya: …“Janganlah kamu menyembunyikan persaksian, dan barang siapa yang menyembunyikan, maka ia adalah orang yang berdosa hatinya”…. (Q.S al-Baqarah: 283).

Hukum mengemukakan kesaksian ada dua jalan, sebelum peristia terjadi dan sesudah peristiwa terjadi. Yang dimaksud sebelum peristiwa terjadi adalah kesediaan menjadi saksi dalam peristiwa tersebut, dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat: 282 yang berbunyi:

...

اﻮ دﺎ اذاءاﺪﻬ ا

بﺄ

و

) ...

ةﺮ ا

:

282

(

Artinya: “... dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil ...” (Q.S Al-Baqarah : 282).

Berdasarkan ayat diatas, kesediaan menjadi saksi sebelum peristiwa terjadi, hukumnya tergantung kepada tingkat kebutuhan adanya saksi dalam


(49)

peristiwa itu sendiri, dalam suatu peristiwa dimana adanya saksi menjadi salah satu syarat sahnya peristiwa tersebut seperti saksi akad nikah. Menurut mazhab Syafi’I, maka hukumnya fardhu kifayah. Sedangkan terhadap orang yang diminta menjadi saksi, hukumnya fardhu ‘ain.

Adapun dalam peristiwa dimana adanya saksi tidak menjadi syarat sahnya peristiwa tersebut, kemudian menjadi saksi hukumnya adalah sunnah, karena dengan adanya saksi dapat ditetapkan adanya hak baik seseorang jika dikemudian hari terjadi perselisihan tentang hak tersebut.

Kemudian kesaksian setelah peristiwa terjadi, menurut tujuan syara’, menjadi saksi dan mengemukakan adalah wajib. Oleh sebab itu, barang siapa menemui peristiwa yang ia saksikan sendiri dan didasari oleh pikiran dan perasaannya, maka menyembunyikan kesaksian dapat diibaratkan memenjarakan kesaksian itu didalam hatinya.

Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad SAW bersabda:

لﺎ

و

ﷲا

ﻰ ا

نأ

،ﻰ ﻬ اﺪ ﺎ

ﺪ ز

:

آﺮ أ

أ

ﺎﻬ ﺄ

نأ

ةدﺎﻬ ﺎ

ﻰ ﺄ

ىﺬ اﻮه

؟ءاﺪﻬ اﺮ

)

اور

(

50

Artinya: “Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Apakah tidak kukabarkan kepada kamu tentang sebaik-baiknya saksi? Itulah orang yang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta untuk mengemukakannya”. (HR. Muslim).

Khusus terhadap seseorang dimana hanya dia yang mendapat mengemukakan kesaksiannya. Sedangkan hak didalam peristiwa tersebut

50


(50)

tidak akan dapat ditegakkan tanpa adanya kesaksian tersebut, maka hukum mengemukakan kesaksian baginya adalah fardhu ‘ain.51

Dalam hukum positif, saksi adalah alat bukti yang cukup vital. Keterangan saksi dijadikan alat bukti seperti dalam pasal 185 ayat 1 KUHAP, yaitu bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan.

B. Saksi Menurut Hukum Positif 1. Pengertian

Menurut Bahasa: “saksi” adalah sebuah kata benda dalam bahasa Indonesia Yang berarti “orang yang melihat atau mengetahui”.52 Dalam kamus hukum dikatakan, ‘saksi adalah orang yang mengetahui dengan jelas mengenai sesuatu karena melihat sendiri atau karena pengetahuannya’.53 Sementara itu Prof. Subekti, SH., dalam kamus hukumnya mengatakan: saksi adalah orang yang didengar keterangannya dimuka pengadilan; orang yang

51

Abdur Rahman Umar, Ibid, h. 41 52

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 825. lihat juga Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Cet. ke-1, h. 517

53

J.C.T. Simorangkir, et. Al, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), Cet. ke-3, h. 163


(51)

mendapat tugas menghadiri suatu peristiwa perlu dapat didengar keterangannya di muka pengadilan.54

Jadi saksi adalah orang yang didengar keterangannya dimuka pengadilan, karena melihat atau mengetahui sendiri dengan jelas atau karena

pengetahuannya, mengenai sesuatu;

Menurut KUHAP Pasal 1 butir 26 bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. didalam kitab Undang-undang perlindungan saksi tentang pengertian saksi, namun demikian pengertian kesaksian adalah,

“kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan”.

2. Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi a. Macam-macam

Kesaksian dalam hukum acara pidana tidak cukup hanya satu orang saja melainkan harus ada keterangan-keterangan dari satu saksi lainnya atau lebih. Sebagaimana dikenal dengan istilah asas unus testis nullus testis ialah asas yang menentukan satu saksi saja tanpa didukung alat bukti lainnya tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Alat bukti lainnya ini dapat berupa keterangan satu saksi lainnya atau berupa alat-alat

54

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2000), Cet. ke-13, h. 97


(52)

bukti selain keterangan saksi. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 185 ayat 1 dan 2 KUHAP, yang isinya adalah:

Pasal 185

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

b. Syarat-syarat

Agar suatu kesaksian mempunyai nilai dan kekuatan pembuktian sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut: 1. Syarat obyektif

a. Tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa

b. Tidak boleh ada hubungan keluarga (pasal 168 KUHAP)

c. Mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan (pasal 171 KUHAP) 2. Syarat Formil

a. Kesaksian harus diucapkan dalam sidang

b. Kesaksian tersebut harus diucapkan dibawah sumpah, kecuali ditentukan lain oleh KUHAP

c. Tidak terkena asas unus testis nullus testis 3. Syarat subyektif/materiil

a. Saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri.


(53)

b. Dasar atau alasan tentang saksi yang saksi lihat, dengar dan alami tersebut

Jadi penulis mengambil analisa tentang adanya perbedaan syarat-syarat saksi antara hukum Islam dan hukum positif, yakni pada poin bahwa seorang saksi harus muslim yaitu sebagaimana berikut: “Sebenarnya syarat seorang saksi haruslah muslim tidak ditemukan satu dalil/argumenpun dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang mensyaratkan saksi haruslah muslim hanyalah berdasarkan ijtihad ulama fiqih. Sedangkan menurut hukum positif sebagaimana diterapkan dalam Peradilan Agama tidak ada ketentuan seorang saksi harus muslim.

Singkatnya, kedudukan antara saksi muslim dan non muslim itu sama saja, saksi non muslim dapat diajukan kepengadilan apabila benar-benar saksi yang beragama Islam tidak diketemukan. Seorang saksi non muslim hanya berkewajiban menerangkan atas apa yang ia lihat, dengar dan diketahui tentang peristiwa tersebut yang berlangsung didepan sidang pengadilan, dengan catatan, saksi tersebut tidak boleh menyimpulkan dari apa yang terdapat dalam peristiwa tersebut.

3. Hak-hak dan Tujuan Saksi a. Hak-hak

Dari beberapa syarat dalam saksi kita harus ketahui pula tentang hak-hak saksi, bahwa hak-hak-hak-hak saksi memiliki beberapa penjelasan, yang dijelaskan dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 2006


(54)

Kita harus ketahui bahwa jelas setiap manusia selalu ingin mendapat hak-hak kehidupan, baik itu hak sosial, hak kesejahteraan, ketentraman, keamanan, dan hak perlindungan. Jadi disini telah diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 pasal 5 No. 1-2, pasal 6, dan pasal 7 No. 1-3, bahwa isi pasal ini menjelaskan dan juga menguraikan isi hak-hak tersebut. Yaitu yang telah dijelaskan dalam pasal 5 Nomor 1-2 menerangkan saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan

keamanan, yang pengertiannya akan dijelaskan lebih terarah dalam pasal 5 ayat 1-2 yaitu:

(1). Bahwa Seorang Saksi dan Korban berhak:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. adapun saksi harus ikut serta dalam proses memilih dan

menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;


(55)

j. mendapatkan tempat kediaman baru;

k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Jadi sebagaimana hak-hak yang dimaksud pada ayat 1 ini bahwa saksi dalam mendapat perlindungan dari LPSK, yang akan diterangkan pada pasal 5 ayat 2 bahwa:

(2). Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Dan dijelaskan pula lebih dalam saksi memiliki hak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi yang tertuai dalam pasal 6, yaitu:

Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Dari beberapa hak bantuan tersebut, saksi disini bila meminta bantuan melalui LPSK, dia juga berhak untuk mengajukan haknya kepengadilan, yaitu berupa hak atas kompensasi dan restitusi dalam


(56)

kasus HAM yang sebagaimana diterangkan dalam pasal 7 ayat 1-3 yaitu:

(1). Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.

(2). Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Tujuan saksi

Untuk memberikan keterangan-keterangan dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP.

Pasal 1

(27) “Keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.


(57)

4. Dasar Hukum

Dasar hukum saksi dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP dan UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlinduangan Saksi dan Korban, di antaranya:

Dasar Hukum Saksi dalam KUHAP:

1. Pemeriksaan saksi: Pasal 159 s/d 174 KUHAP

2. Keterangan saksi: Pasal 184 ayat (1) hurup a dan Pasal 185 KUHAP

Dasar Hukum Saksi dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlinduangan Saksi dan Korban:

Ketentuan tersebut diatur dalam Bab I dalam Ketentuan Umum pada Pasal 2 s/d 4 UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. C. Tujuan Perlindungan Saksi

1. Menurut Hukum Islam

Tujuan Perlindungan Saksi menurut hukum Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia itu sendiri, yaitu mengabdi kepada Allah. Hukum buat agama Islam hanya berfungsi mengatur kehidupan manusia, baik pribadi maupun dalam hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kehendak Allah, untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan diakhirat. Dengan kata lain, hukum dalam agama Islam terlingkung dalam masalah ta’abbudi.

Sesuai dengan tujuan hukum Islam (ta’abbudi) diatas, maka metode penemuan hukumnya adalah deduktif dan kasuistik. Setiap peristiwa hukum haruslah diatur menurut aturan-aturan pokok yang ada dalam sumber-sumber


(58)

pokok hukum Islam—Al Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam Islam adanya hukum terlepas dari ada atau tidaknya suatu masyarakat.55

Dalam hukum Islam, martabat dan hak hidup manusia serta hak-hak yang melekat padanya telah mendapatkan perhatian yang maksimal. Dengan demikian manusia memiliki hak Al-Karamah (hak pemuliaan) dan hak Al Fadhilah (pengutamaan manusia). Apalagi misi Rasulullah SAW adalah rahmatan lil ‘alamin, dimana kemaslahatan atau kesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan alam semesta. Misi atau tujuan hukum Islam diatas disebut sebagai al khams (lima prinsip dasar) yang meliputi:56

a. Hifzhud-din, memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk

memelihara agama dan keyakinan. Sementara itu Islam juga menjamin sepenuhnya atas kelompok agama yang bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan agama.

b. Hifzhun-Nafs, jaminan hak atas setiap jiwa manusia, untuk tumbuh dan

berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan hak kemerdekaan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.

c. Hifzhul-aql, adanya suatu jaminan atas kebebasan berkreasi, kebebasan

mengeluarkan opini. Dalam hal ini Islam melarang terjadinya pengrusakan akal dalam bentuk penyiksaan, minuman keras dan lain-lain.

d. Hifzhul-nasl, jaminan atas kehidupan privacy setiap individu, perlindungan atas profesi, jaminan masa depan dan keturunan. Free sex, zina, serta

55

Ahmad ad-Da’ur., Ibid, h.24 56


(59)

homoseksual, menurut syara’ adalah perbuatan yang dilarang karena bertentangan dengan hifzhul-nasl.

e. Hifzhul-mal, jaminan atas pemilikan harta benda dan lain-lain. Dan

larangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti.

Mencuri, korupsi, monopoli, dan lain-lain. 2. Menurut Hukum Positif

Undang-undang tentang saksi memberikan perlindungan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Dalam hal ini Perlindungan saksi berasaskan pada:

a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia b. Rasa aman

c. Keadilan

d. Tidak diskriminatif dan e. Kepastian hukum

Tujuan saksi menurut Hukum Positif di atur dalam pasal 4 UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang isinya adalah:

Pasal 4

“Perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”.57

57

Lihat UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Koban, Bab I Ketentuan Umum


(60)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PADA PERKARA PIDANA DALAM UU NO. 13 TAHUN 2006

A. Saksi Dalam Perkara Pidana 1. Perkara Pidana

Pengertian Perkara menurut bahasa adalah persoalan atau perkara yang perlu diselesaikan atau dibereskan. Sedangkan pengertian pidana adalah hukuman, dan hal ini juga ada hubungannya dengan pasal hukum pidana58.

Jadi yang dimaksud dengan perkara pidana adalah suatu perkara yang harus diselesaikan dengan memerlukan cara melalui ketentuan hukum pidana (hukum acara pidana) dalam hukum pidana pengaturan penyelesaian perkara pidana diatur dalam hukum acara pidana, adapun tahapan penyelesaian perkara pidana adalah penyidikan, penuntutan, dan mengadili. dari beberapa faktor tersebut dapat dijelaskan bahwa:

Penyidikan adalah usaha dari kepolisian dan kejaksaan dalam pemeriksaan pendahuluan untuk mencari dan mengumpulkan keterangan dan bukti-bukti yang menyangkut suatu tindak pidana. Sedangkan menurut KUHAP Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.59

58

Sudarsono. Kamus Hukum (Jakarta : Rineka Cipta, 2005). Cet. Keempat, h. 355 59


(1)

meminta bantuan kepada peraturan pemerintah dalam undang-undang perlindungan saksi no 13 Tahun 2006, agar saksi bisa tenang sehingga saksi dapat kembali hidupnya menjadi lebih baik dimasa mendatang.


(2)

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim

Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terjemahan, Bandung: Ar-Risalah, 1992, Cet. Ke- 1

Al-Da’ur, Ahmad, terj: Syamsuddin Ramadlan, Hukum Pembuktian dalam Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002, Cet. ke- 1

Al-Aushari, Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Cairo: Daru al-Misr, tt. Juz 4 Al-Bayhaqi, Baihaqi al-Jalil Abi Bakr Ahmad ibn Ali, al-Sunan al-Kubra, Beirut: Dar al-Sadir, tt, Jilid 7

Al-Baihaqi, Ahmad bin Husein bin Ali bin Musa Abu Bakar, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Mekkah al-Mukarromah: Maktabah Daarul Baaz, 1994, Juz 7

Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali, Sunan al-Baihaqi India: Majlis al-Nizomiah al-Kaainah, 1344 H, Cet. ke-1, Juz 2

Al-Bigha, Musthafa Dieb, Fiqh Sunnah, Surabaya: Insan Amanah, 1424 H Al-Kuufi, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, al-Musnad fil Ahadits wal Atsaar Riyadh: Maktabah al-Rasyadih, 1409, Cet, ke-1, Juz 4 Al-Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997, ed. 2

Al-Azadi, Sulaiman bin al-Asy ‘as Abu Daud al-Sajastani, Sunan Abu Daud, Mesir: Daarul Fikr, tt., Juz 2

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta: Al-Ma’arif, 1964

Arto, A. Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, Cet. ke- 3.

Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian: Menurut Undang-undang Hukum Perdata (RW), Jakarta: PT Bina Aksara, 1986, Cet. ke- 3


(3)

Az-Zarqawi, Syarah Muwatta Al-Imamu Malik, Mesir: Mustofa al-Babil Halabi, 1962, Juz. 5

Baihaqi, al-Jalil Abi Bakr Ahmad ibn Ali al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, Beirut: Dar al-Sadir, tt, Jilid 7

Bukhari, Shahih Bukhari, Kairo: Nur Ats Tsaqapatil Islamiyyah, tt., Jilid 1, Juz 3

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar BAru Van Hoeve, 1997, Cet. ke- 1.

Daud, Abu, As-Sunan, Mesir: Mustafa al-Babil Halabi, 1371 H / 1952 M, Juz 3

“Faktor Penyebab Adanya Perlindungan Saksi” artikel diakses pada 1 Mei 2008 dari http:// www. Balitbangham. Go. It./Agendas/2007-2012.

“Faktor Penyebab Adanya Perlindungan Saksi” artikel diakses pada 1 Mei 2008 dari http:// www. Balitbangham. Go. It./Agendas/2007-2012.

Marbun, Kamus Hukum Indoneia, Jakarta, Pustaka Sina Harapan, 2006, Cet. Ke. 1

Muhammad, bin Abdullah. Fardhu Kifayah, ialah Suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila tidak ada yang mengerjakan kewajiban tersebut maka seluruh penduduk wilayah tersebut berdosa.. Terj — Abd Ghaffar, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam asy- Syafi’I, 2001, Cet. ke 1, Jilid 1

Hamman, Ibnul, Syarah Fathul Qadir, Mesir: Mustofa Al Babil Halabi, 1970

Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, Cet. ke-1 Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlusunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971

Husein, Yunus, "Sang Pelapor dan Perlindungan Saksi”Saturday 12 January 2008 I:/index.php.htm.

Kasim, Ifdhal, Berkenaan dengan “Critical Legal Studies” dalam Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, (terj), Jakarta : ELSAM, 1999, Cet. Ke- 1


(4)

Madzkur, Muhammad Salam, al-Qadha fi al-Islam, Kairo: Dar al-Nadhatu al-Arabiyyah, 1964

Mahalli, Hasyiyatan Qaliyubi wa’ Umarah, Beirut: Daar al-Fikr, 1995, Jilid 4

Mujib, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994 Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976

Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menganani Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat Bandung: Angkasa, 1979, Cet ke-4

Sabiq, Sayyid, terj –Mahyuddin Syaf, Fiqih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994, Cet ke-4, Jilid 14

Saukaniy, Muhammad bin Ali Muhammad, Nailul Authar Min Ahaadits Akhyar, Sarah Muntaqa Akhbar, Juz 6, t. tmpt: Idaarah at-Thabaa’ah al-Muniyriya, tt, Juz 6

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000, Cet. ke-1, Vol. 1

Simorangkir J.C.T., et. Al, Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1983, Cet. ke-3

Sudarsono. Kamus Hukum Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Cet. Keempat, h. 355

Suharto, RM. Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet. ke- 3

Trueblood, David, terj- M. Rasjidi, Filsafat Agama, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1965, Cet. ke- 1


(5)

Tjitrosudibio R, dan R. Subekti., Kamus Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2000, Cet. ke-13

Umar, Abdur Rahman, Kedudukan Saksi dalam Peradilan menurut Islam, Jakarta: Al-Husna, 1986, Cet. Ke-1

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006, Cet. ke- 1.

Ya’sub, Mauqi, Sunan al-Kubra al-Baihaqi, Juz. 7

Yunus Husein, "Sang Pelapor dan Perlindungan Saksi” Saturday 12 January 2008 I:/index.php.htm.


(6)