Hakim Tindak Pidana Korupsi.

3. Hakim Tindak Pidana Korupsi.

Salah satu unsur yang sangat substantif dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah Hakim. Karena Hakim adalah salah satu unsur aparat penegak Hukum yang mempunyai posisi yang sangat strategis, sehingga dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibutuhkan personal-personal Hakim yang mempunyai integritas tinggi, dan komitmen yang tinggi dalam memberantas korupsi di Indonesia, sebab tanpa itu akan mustahil korupsi bisa diberantas. Undang-undang secara tegas telah mengatur sistem rekruitmen Hakim Tindak Pidana Korupsi baik dari Hakim karir maupun untuk Hakim Ad Hoc sebagai berikut : 1 HAKIM KARIER Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Tindak Pidana Korupsi seorang Hakim Karier harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 sepuluh tahun; b. berpengalaman menangani perkara pidana; c. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas; d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin danatau terlibat dalam perkara pidana; e. memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung; dan Universitas Sumatera Utara f. telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2 HAKIM AD HOC Sedang untuk menjadi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a warga negara Republik Indonesia; b bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c sehat jasmani dan rohani; d berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 lima belas tahun untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 20 dua puluh tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung; e berumur sekurang-kurangnya 40 empat puluh tahun pada saat proses pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 50 lima puluh tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung; f tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; g jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik; h tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik; i melaporkan harta kekayaannya; Universitas Sumatera Utara j bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan k bersedia melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lain selama menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Undang – undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur jelas tentang komposisi dan status Hakim Tindak Pidana Korupsi yang akan menyidangkan perkara-perkara korupsi dimana dalam Bab IV bagian ke tiga disebutkan sebagai berikut 23 a Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc. : b Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung c Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 selama menangani perkara tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. d Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. e Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat 4 diangkat untuk masa jabatan selama 5 lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 satu kali masa jabatan. 23 ibid Universitas Sumatera Utara Ketentuan penunjukan hakim adhoc sesuai dengan pasal 13 undang –undang no.46 tahun 2009 : a Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan transparan. b Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan sebagai Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 4 diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. Dalam memangku sebuah jabatan hakim ad hoc, seorang hakim akan dilantik terlebuh dahulu dan harus membacakan sumpah yang telah diatur dalam undang – undang nomor 46 tahun 2009, dalam pasal 14 dikatakan bahwa : 1. Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh: 1 Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung; 2 Ketua pengadilan tinggi untuk Hakim ad hoc pada pengadilan tinggi; 3 Ketua pengadilan negeri untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Sumatera Utara 2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berbunyi sebagai berikut: Sumpah: ”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Janji: “Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Hakim adhoc pada dasarnya hampir sama dengan hakim biasa, hal ini jika dilihat dari fungsi serta larangan – larangan yang telah diatur dalam pasal 15 undang – undang nomor 46 tahun 2009 yang isinya adalah : Hakim ad hoc dilarang merangkap menjadi: a. pelaksana putusan pengadilan; b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya; c. pimpinan atau anggota lembaga negara; Universitas Sumatera Utara d. kepala daerah; e. advokat; f. notarisPejabat Pembuat Akta Tanah; g. jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan perundang- undangan; atau h. pengusaha. Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Hakim ad hoc yang memangku jabatan struktural danatau fungsional harus melepaskan jabatannya. Dengan telah dirumuskannya segala persyaratan, sumpah dan ketentuan hakim tindak pidana korupsi, menurut penulis maka hendaknya dalam memilih dan menyeleksi hakim tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang sebenanrnya sesuai dengan undang – undang yang telah mengaturnya. Universitas Sumatera Utara BAB III PENGERTIAN PEJABAT NEGARA DAN BUKAN PEJABAT NEGARA DALAM PASAL 2 ayat 1 DAN PASAL 3 UU NO.31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pejabat menurut UU No.28 Tahun 1999 dan peraturan Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Per Undang – udangan lainnya dan kaitannya dengan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 3 undang – undang no.31 tahun 1999 adalah “setiap orang”, ini mengandung arti bahwa pelaku adalah semua orang dengan tidak membedakan status Hukum, apakah ia sedang, atau mempunyai jabatan, mempunyai kewenangan, tertentu atau tidak asal perbuatannya itu bertentangan dengan hukum yang berpotensi menimbulkan kerugian Negara, jadi kerugian secara nyata dari Negara tidak diperlukan dalam Pasal ini, sedang dalam pasal 3, ditentukan bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu “jabatan atau kedudukan” hanya orang perseorangan, maka menurut penulis tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 3 hanya dapat dilakukan oleh orang perseorangan, atau dengan kata lain yang dimaksud dengan korporasi dalam pasal ini adalah pengurusnya dan bukan Badan Hukumnya karena badan hukum meskipun secara hukum adalah subjek hukum tetapi ia tidak dapat melakukan tindak pidana ; 34 Universitas Sumatera Utara Jika diteliti ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 3, akan ditemukan unsur-unsur sebagai berikut : 1. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ; 2. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan ; 3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ; Yang dimaksudkan dengan “menguntungkan” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya 24 Didalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat didalam pasal 3 tersebut juga terdapat kata “ jabatan” dan “kedudukan”. Menurut E.Utrecht – Moh.Saleh Djindang . Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan melakukan sesuatu sehingga diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, memperoleh suatu keuntungan. Dan keuntungan tersebut adalah merupakan tujuan dari sipelaku atau dader tindak pidana korupsi itu. 25 24 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan 1 CV.Karya Gemilang – Jakarta ,hal.143 25 E.Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet.IX, Ichtar Baru - Jakarta :1990 , hal.144 yang dimaksudkan dengan “Jabatan” adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap kring van vaste werkzaamheden yang Universitas Sumatera Utara diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara kepentingan umum atau yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara, sedang yang dimaksudkan dengan suatu lingkungan pekerjaan tetap adalah suatu lingkungan pekerjaan yang sebanyak – banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat teliti zoveel mogelijk nauwkeuring omschreven dan yang bersifat “duurzaam” atau tidak dapat diubah begitu saja. Khusus untuk pegawai negeri sipil, yang termasuk pengertian Pegawai negeri menurut pasal 1 angka 2, di dalam penjelasan pasal 17 ayat 1 undang – undang nomor 43 tahun 1999 antara lain disebutkan 26 Pengertian pejabat jika dilihat dari pasal 1 UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, kolusi dan neportisme adalah seseorang yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan , yang dimaksud dengan “jabatan” adalah kedudukan yang menunjukan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam satuan organisasi negara. Jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintahan adalah merupakan jabatan karier. Untuk jabatan karier ini dapat dibedakan dalam 2 dua jenis, yaitu jabatan yang secara tegas telah ada dalam struktur organisasi, ini biasa disebut jabatan struktural. Dan jabatan fungsional adalah jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi, sesuai dengan fungsinya seperti peneliti, dokter, pustakawan, dan lain – lain. 26 Undang – undang No.43 tahun 1999, Cet.I, Citra Umabara-Bandung, 2000, Universitas Sumatera Utara di dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 dijelaskan pula yang termasuk pejabat negara adalah penyelenggara negara yang meliputi : a Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; b Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c Menteri; d Gubernur; e Hakim; f Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku; dan g Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Jika dilihat dari segi Hukum Administrasi Negara Pejabat Negara adalah Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 11 UU No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian yaitu : Presiden dan Wakil presiden Ketua, Wakil ketua, dan anggota MPR ketua, Wakil ketua dan anggota DPR ketua , Wakil ketua, ketua muda dan Hakim Agung MA serta semua badan peradilan Ketua, Wakil ketua dan anggota DPA sudah dibubarkan Ketua, Wakil ketua dan anggota BPK, Menteri dan jabatan setingkat Menteri Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar, Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati Walikota dan Wakil BupatiWakil Walikota, Pejabat Negara lain yang ditentukan oleh Undang-Undang. Setelah jelas dilihat dari pengertian Pejabat dari undang – Universitas Sumatera Utara undang No.28 tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan undang – undang No.43 tahun 1999 tentang kepegawaian maka jika dikaitkan dengan pasal 3 undang – undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dimaksud kan dengan Pejabat dalam rumusan undang – udang No.31 tahun 1999 adalah sesuai dengan undang – undang No.28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan undang – undang No.43 tahun 1999 tentang kepegawaian. B. Pengertian umum tentang seseorang yang bukan sebagai Pejabat Negara dan kaitannya dengan Pasal 2 ayat 1 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari pembahasan yang telah di jelaskan dalam sub bab sebelumnya telah diketahui bahwa siapa yang dikatakan sebagai pejabat. Dan dalam rumusan undang – undang No.31 tahun 1999 pasal 2 ayat 1 yang terdapat kalimat “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” di dalam penjelasan tidak terdapat definisi orang yang melakukan, kata “setiap orang” membuat penulis menafsirkan adalah siapapun orang yang melakukan tindak pidana korupsi kecuali pejabat Negara karena sudah diatur secara khusus dalam pasal 3 undang – undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan kata lain penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Universitas Sumatera Utara setiap orang dalam rumusan pasal 2 ayat 1 adalah seseorang yang unsur – unsurnya tidak terdapat dalam peraturan perundag – undangan yang mengatur tentang pengertian Pejabat Negara atau penyelenggara Negara. Dari pendapat pakar dan penjelasan peraturan perundang – undangan tersebut, jelaslah apa yang dimaksudkan dengan “jabatan” dalam pasal 3, sehingga dengan demikian kata “jabatan” tersebut hanya dipergunakan untuk pegawai negeri sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang memangku suatu jabatan, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Penulis beranggapan dengan adanya perbedaan aturan hukuman minimal dalam rumusan undang – undang tersebut mangakibatkan adanya ketidak adilan. Seharusnya di depan hukum tidak boleh ada perbedaan antara keduanya, sebab hampir semua negara mengakui adanya asas persamaan didepan hukum atau equality before the law, seperti asas hukum rule of law yang dipakai dalam negara Anglo Saxon bahwa rule of law melingkupi supremacy of law, equality before the law, constitution based on human rights. Secara eksplisit UUD 1945 juga menganut prinsip tersebut, sebagaimana tertuang dalam pasal 27, bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Universitas Sumatera Utara BAB IV PEMIDANAAN DALAM PASAL 2 AYAT 1 DAN PASAL 3 UNDANG – UNDANG NO.31 TAHUN 1999. A. Unsur Pemidanaan dalam Pasal 2 dan pasal 3 Undang – Undang No.31 Tahun 1999. Undang – undang No. 31 tahun 1999 dibentuk berdasarkan perubahan dari Undang – undang No. 3 tahun 1971 karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum di masyarakat yang diharapkan agar lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Namun perubahan yang dilakukan masih terdapat kekurangan. Kekurangan yang dimaksud dalam merumuskan pasal – pasal terutama pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Undang – undang no.31 tahun 1999 yang didalam pasal tersebut terdapat perbedaan aturan hukuman minimal straf Minimum Rule yang terbalik. Perbedaan yang dimaksud adalah adanya ketidak adilan dalam penjatuhan hukuman minimal terhadap dua insan yang berbeda dalam bentuk profesi yang dianutnya. Dalam pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, disebutkan bahwa : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan 40 Universitas Sumatera Utara denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.” Dari bunyi pasal yang demikian, jelas pasal 2 ayat UU Tipikor, menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah “setiap orang”. Istilah “setiap orang” dalam konteks hukum pidana harus dipahami sebagai orang perorangan Persoonlijkheid dan badan hukum Rechtspersoon. Untuk konteks UU Tipikor, para koruptor itu bisa juga korporasi lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan berbadan hukum atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat, pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini. Sedangkan bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, akan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, pada pasal 2 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang Universitas Sumatera Utara meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat di pidana mati. Keseluruhan sanksi yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan khususnya yang terdapat dalam pasal 2 ayat 1 pada dasarnya menganut 3 sifat dari ancaman pidana, yakni : pertama, kata “dan atau” yang tertuang dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat komulatif dan alternatif. Kedua, kata “dan” yang terdapat dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut adalah bersifat komulatif. Ketiga, kata “atau” yang tertera dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat alternatif 27 a. Pertama, adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara Melawan Hukum. . Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, juga menghendaki agar istilah korupsi diartikan sebagai setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Itu berarti, unsur yang terkandung dalam pasal ini dan harus dibuktikan berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah : 27 Darwin Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, P.T. Citra Aditya Bakti – Jakarta , hal.45 Universitas Sumatera Utara b. Kedua, tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain Atau Korporasi. c. Ketiga, akibat perbuatan tersebut adalah Dapat Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara. 1. Unsur Melawan Hukum. Perbuatan melawan hukum dalam pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, seharusnya dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berati perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melawanbertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 8 Tahun 1981, Tentang KUHP, UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, PP No. 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, PP No. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 110 Tahun 2000, dan tentang kedudukan keuangan DPRD. Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak bertentangan peraturan perundang-undangan yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana. Universitas Sumatera Utara Perluasan unsur “melawan hukum” ini sangat ditentang oleh sebagian ahli hukum dan sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum sekarang. Alasan dari pihak yang menolak perluasan unsur melawan hukum ini adalah jika unsur “melawan hukum” ini diartikan secara luas, maka pengertian melawan hukum secara materil Materiele Wederrechttelijkeheid dalam Hukum pidana diartikan sama dengan pengertian “melawan hukum Onrechtmatige Daad” dalam pasal 1365 KUH Perdata dan ini sangat bertentangan dengan asas legalitas yang dalam bahasa Latin, disebut : “Nullum Delictum Sine Previera Lege Pravie Poenali” yang dalam hukum pidana Indonesia pengertiannya telah diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi : “suatu perbuatan tidak dapat dihukumdipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan yang telah ada”. Alasan dari para pihak yang menolak perluasan unsur “melawan hukum” ini pada dasarnya dapat di terima oleh akal sehat, namun belum tentu bertolak dari suatu pemikiran akal yang sehat karena perlu diingat juga bahwa Mahkamah Agung MA sebenarnya sudah sejak lama mengakui dan menerapkan Materiele Wederrechttelijkeheid dalam berbagai perkara tindak pidana korupsi 28 Disamping Yuresprudensi yang sudah ada, dalam teori hukum juga diakui bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu tidak saja bertentangan dengan hukum yang dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang ditaati oleh masyarakat . 29 28 http:www.unsoed.ac.idnewcmsfakUserFileHUKUMAgus20Raharjo202.htm 29 R.Soeroso, Teori dan Hukum Konstirusi, Sinar Grafika – Jakarta 2000 , hal.65 . Teori hukum ini sangat penting, mengingat suatu putusan yang Universitas Sumatera Utara benar tidak hanya didasarkan pada Undang-undang atau yurisprudensi saja, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat, traktat, doktrin dan pendapat ahli hukum. Dalam kaitannya dengan perlusan unsur melawan hukum ini, Marwan Effendi berpendapat bahwa mengingat karakteristik tindak pidana korupsi yang muncul akhir-akhir ini, idealnya unsur perbuatan melawan hukum harus dipahami baik secara formil maupun materil karena : Pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efesiensi tinggi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga di golongkan sebagai kejahatan yang luar biasa Extra Ordinary Crime, maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa Extra Ordinary Efforts. Kedua, dalam merespon perkembangannya kebutuhun hukum di dalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit 30 Argumen dari Marwan Effendi ini, pada dasarnya sesuai dengan dictum menimbang huruf b dan Penjelasan umum alenia tiga UU No. 31 Tahun 1999, serta dictum menimbang huruf a penjelasan umum alinea kedua UU No. 20 Tahun 2001, sehingga sangat masuk akal apabila perbuatan melawan hukum dalam . 30 http:bataviase.co.idbataviasesearch?search_block_form=JAM20Pidsus20Marwa n20Effendi, dikses tanggal 3 Februari 2010. Universitas Sumatera Utara pembuktian suatu tindak pidana korupsi, harus di pahami dan dibuktikan secara materil dan atau formil. 2. Unsur Dapat Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain Atau Korporasi Kata kunci dari unsur ini adalah kata “memperkaya”. Secara harfiah, kata “memperkaya” merupakan suatu kata kerja yang menunjukan perbuatan setiap orang untuk bertambah kaya atau adanya pertambahan kekayaan. Itu berarti, kata “memperkaya” dapat juga dipahami sebagai perbuatan yang menjadikan setiap orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi lebih kaya. Mengingat bahwa seseorang itu dapat disebut sebagai kaya sangat subyektif sekali, misalnya seseorang dikota besar mempunyai rumah besar dan mobil belum dapat disebut kaya sedangkan didesa seseorang yang mempunyai satu TV dapat disebut kaya, maka dalam konteks pembuktian suatu tindak pidana korupsi kata “memperkaya” harus dimaknai sebagai perbuatan setiap orang yang berakibat pada adanya pertambahan kekayaan. Ada tiga hal yang harus di dikaji dalam unsur ini berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi, yaitu : a. Pertama, Memperkaya Diri Sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri. b. Kedua, Memperkaya Orang Lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati Universitas Sumatera Utara bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung. c. Ketiga, Memperkaya Korporasi, yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, suatu korporasi, yaitu kumpulan orang-atau kumpulan kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum Pasal 1 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Unsur ini pada dasarnya merupakan unsur yang sifatnya alternatif. Artinya jika salah suatu hal diantara ketiga point ini terbukti, maka unsur “memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” ini dianggap telah terpenuhi. Pembuktian unsur ini sangat tergantung pada bagaimana cara dari orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana korupsi memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau memperkaya korporasi, yang hendaknya dikaitkan dengan unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” yang terkandung dalam pasal 3 UU Tipikor ini. Dalam pasal 3 UU Tipikor ini disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan Universitas Sumatera Utara atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.” Dari bunyi pasal pasal 3 UU Tipikor yang seperti ini, maka perlu dipahami bahwa yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsinya adalah korporasi dan orang-perorangan Persoonlijkheid. Namun jika di pahami secara teliti, maka kalimat “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ...”, menunjukan bahwa pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 UU Tipikor haruslah orang-perorangan Persoonlijkheid dalam hal ini seorang pejabat pegawai negeri. Menurut pasal 1 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan pegawai negeri meliputi : Pertama, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang kepegawaian UU No. 8 Tahun 1974. Kedua, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 92 KUHP. Ketiga, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara. Keempart, orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. Kelima, Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Unsur menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan dari pasal 3 UU tipikor ini pada dasarnya menyerupai unsur dalam pasal 52 KUHP. Namun, rumusan yang Universitas Sumatera Utara menggunakan istilah umum “menyalahgunakan” ini lebih luas jika dibandingkan dengan pasal 52 KUHP yang merincinya dengan kata, “… oleh karena melakukan tindakan pidana, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari jabatannya…”. Untuk membuktikan suatu tindak pidana korupsi berkaitan dengan unsur yang bersifat alternatif ini, maka ada tiga hal yang harus dikaji, yakni : a. Pertama, menyalahgunakan kewenangan, berarti menyalahgunakan kekuasaan hak yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. b. Kedua, menyalahgunakan kesempatan, berarti menyalahgunakan waktu moment yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. c. Ketiga, menyalahgunakan sarana, artinya menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Kata “wewenang” berarti mempunyai mendapat hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Itu berarti, seseorang dengan jabatan atau kedudukan tertentu akan memiliki wewenang tertentu pula dan dengan wewenangnya tersebut, maka ia akan memiliki kekuasaan atau peluang untuk melakukan sesuatu. Kekuasaan atau peluang untuk melakukan sesuatu inilah yang dimaksud dengan “kesempatan” 31 31 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka – Jakarta 1952 . Sementara itu, seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan biasanya akan mendapat sarana tertentu pula dalam rangka menjalankan kewajiban dan kewenangannya. Kata “sarana” sendiri menurut Universitas Sumatera Utara Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan 32 3. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara. . Seseorang dengan jabatan atau kedudukan tertentu akan memiliki wewenang, kesempatan dan sarana tertentu yang dapat ia gunakan untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Wewenang, kesempatan dan sarana ini diberikan dengan rambu-rambu tertentu. Bila kemudian rambu-rambu itu dilanggar atau bila wewenang, kesempatan, dan sarana tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya, maka telah terjadi penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukannya. Hal yang harus dibuktikan dalam unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah : a. Merugikan Keuangan Negara. Menurut penjelasan UMUM UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena : pertama, berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat pusat 32 Ibid. Universitas Sumatera Utara maupun daerah. Kedua, berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMNBUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. b. Perekonomian Negara. Yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disususun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang bertujuan memberi manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat 33 33 Penjelasan Umum UU No.31 Tahun 1999. . Kedua hal dalam unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” ini adalah bersifat alternatif. Jadi untuk membuktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi atau tidak, berkaitan dengan unsur ini, maka cukup hanya dibuktikan salah satu point saja. Namun, yang harus diingat dan diperhatikan dalam pembuktian unsur ini ialah Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara“ menunjukan bahwa Pasal 2 ayat 1 UU tipikor mengamanatkan agar tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai delik formil dan bukannya delik materil. Universitas Sumatera Utara Delik formil Delict Met Formeele Omschrijiving delik dengan perumusan formil adalah delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana tanpa timbulnya akibat berkaitan dengan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan yang dimaksud dengan delik materil Delict Met Materieele Omschrijiving delik dengan perumusan materil ialah delik yang baru dianggap terlaksana penuh apabila telah timbulnya akibat yang dilarang 34 B. Perbandingan ancaman Pidana antara Tindak Pidana korupsi dengan Tindak pidana umum lainnya yang berkaitan dengan Pejabat Negara dan Bukan pejabat Negara. . Dari pemahaman seperti ini, maka disimpulkan bahwa adanya tindak pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang atau korporasi dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Sebagaimana telah penulis uraikan diatas, bahwa unsur Jabatan dan kewenangan yang melekat pada seorang pejabat, seyogianya dijadikan alasan pemberat, dan jika ditinjau lagi seorang pejabat yang sebelum memangku jabatannya haruslah disumpah terlebih dahulu sesuai dengan undang – undang yang telah mengaturnya, namun ternyata dalam Pasal 3 UU Tipikor, unsur ini malah dianggap sebagai unsur yang meringankan, jika dibandingkan dengan Pasal 34 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana : Himpunan Catatan Kuliah, s.n – Jakarta 1979.hal.44 Universitas Sumatera Utara 2 UU Tipikor, padahal jika kita bandingkan pula dengan beberapa Pasal yang ada dalam KUHP Indonesia. Unsur jabatan dan kewenangan yang ada pada si pelaku dader, justru menjadi unsur yang memberatkan, atau setidak-tidaknya sama beratnya sebagai contoh, ketentuan yang mengatur demikian itu diantaranya Pasal. 294 1 KUH.P, Pegawai Negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya, Pasal. 300 1 KUHP, menjual atau menyuruh minum minuman yang memabukkan, jika kejahatan itu dilakukan dalam jabatannya maka disamping hukuman pokok ia juga akan dikenakan hukuman tambahan, Pasal. 349 kejahatan terhadap jiwa, jika dilakukan karena jabatannya hukumannya ditambah sepertiganya, Pasal. 374 Penggelapan yang dilakukan dalam jabatan, hukumannya lebih tinggi satu tahun jika dibandingkan dengan Penggelapan biasa Pasal. 372, dari beberapa Pasal yang kami kutip diatas dapat diketahui bahwa seseorang yang sedang memangku jabatan dan kemudian melakukan tindak Pidana diancam dengan pidana yang lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan Pidana pokoknya, sehingga jika bandingkan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999, tentang Tindak Pidana Korupsi, terdapat kejanggalan karena pidana minimum yang ditetapkan untuk seorang yang melakukan tindak pidana korupsi ketika ia memegang jabatan ternyata lebih rendah dari yang tidak memegang jabatan, meskipun ancaman pidana maksimumnya sama, tapi kondisi tersebut menyebabkan pemikiran bahwa pembuat undang-undang membuat celah untuk melindungi pejabat yang korup. Universitas Sumatera Utara BAB V BAGAIMANA PENERAPAN STRAF MINIMUM RULE TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG. A. Kasus Tindak Pidana Korupsi yang pernah terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan Pejabat Negara dan Bukan Pejabat Negara. Dalam pekembangan di era reformasi ini semakin banyak kasus tindak pidana korupsi yang semakin membuat Indonesia buruk di mata dunia. Jikalau orang mendengar istilah korupsi biasanya yang tergambar ialah adanya seorang pejabat tinggi yang rakus menggelapkan uang, mengumpulkan komisi atau menggunakan uang negara lainnya bagi kepentingan pribadi. Di Indonesia tindak pidana korupsi kian merajalela, dan karena itu pula rakyat menuntut pemerintah agar bersikap terbuka dan berupaya memberantas korupsi. Dengan kata lain perlu adanya serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku 35 Pergeseran kekuasaan paska otonomi daerah membawa implikasi pada pergeseran praktek korupsi dari pusat ke daerah tidaklah keliru. Faktanya, kasus . Namun jika Undang – udang yang berlaku pun masih memberi celah pada pelaku tindak pidana korupsi maka, korupsi yang sudah berjalan lama di dunia khusunya indonesia tidak akan kunjung selesai. 35 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakkan Hukum Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Bandung, Citra Aditya Bakti hal.12 54 Universitas Sumatera Utara korupsi yang dimotori oleh aparat pemerintah daerah maupun DPRD bukan lagi berita aneh, bahkan menjadi suguhan informasi sehari-hari bagi masyarakat luas. Lingkupnya pun sudah seperti judul sebuah lagu wajib, dari Sabang sampai Merauke. Disana ada korupsi APBD Padang, Cirebon, Jawa Barat, Pontianak, NTT hingga korupsi Bupati Nabire, Papua. Namun demikian, hipotesis pula yang hendak mengatakan bahwa pusat korupsi sesungguhnya masih berada di kota metropolitan, DKI Jakarta 36 Dari kalkulasi Revrisond Baswir, seorang pengamat ekonomi dari UGM, dana yang berputar di Jakarta masih sekitar 70 dari total dana yang beredar. Untuk APBD DKI Jakarta tahun 2004 telah dianggarkan dana sebesar Rp 13 triliun. Dibandingkan dengan Jawa Barat yang hanya Rp 3,114 triliun, tentu angka ini tidak ada apa-apanya. Apalagi jika disejajarkan dengan daerah minus seperti NTT atau NTB yang mayoritas anggarannya sangat bergantung Dana Alokasi Umum DAU dari pusat. Artinya, kue pembangunan yang menggunung merupakan lahan empuk bagi para pencoleng untuk dapat ikut menikmatinya. Dengan kata lain, semakin besar dana yang dikelola satu daerah semakin tinggi pula kemungkinan tingkat korupsi yang terjadi . 37 Di indonesia sendiri telah ada lembaga yang mengawasi tingkat korupsi dan tindak pidana korupsi di indonesia salah satunya adalah ICW Indonesian Corruption Watch yang dimana lembaga ini selalu mengawasi perkembangan tidak pidana korupsi di indonesia dan ICW adalah lembaga nirlaba yang terdiri . 36 http:antikorupsi.orgdocsMetropolitanMetroKorupsilapmasjanjun. diakses tanggal 21 Januari 2010. 37 Revrisond Baswir, Mafia berkeley dan krisis ekonomo indonesia, Jakarta ; Pustaka Indonesia 2001 hal.32 Universitas Sumatera Utara dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktek korupsi, atau ICW adalah sebuah organisasi non-pemerintah NGO yang mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang demokratis, bersih dan bebas korupsi. 38 Data ICW Indonesian Corruption Watch menyebutkan bahwa Data praktek korupsi sejak Januari hingga April 2004 setidaknya menunjukkan gejala serupa. Sebanyak 74 kasus korupsi yang masuk dalam kurun waktu 4 bulan, 22 kasus diantaranya terjadi di DKI Jakarta sebagai pusat kekuasaan, sekaligus pusat uang. Diikuti Sumatera Utara dan Jawa Barat masing-masing 6 kasus. Jawa Timur berada diurutan ketiga dengan jumlah kasus 5 buah. Empat kasus korupsi terjadi di Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan Dengan demikian, khusus untuk DKI Jakarta, rata-rata satu bulan sekali terjadi 5,5 kasus korupsi. Angka ini relatif kecil mengingat sumber utama data ini diolah dari laporan masyarakat. Asumsinya, laporan dari masyarakat yang masuk ke ICW frekuensinya tidak tetap. Artinya, tidak semua kasus korupsi yang terjadi lantas dilaporkan ke ICW. 39 Bisa jadi masyarakat langsung melaporkan temuan mereka ke media massa atau institusi pengawas. Faktor yang lebih signifikan, tingkat keberanian 38 http:antikorupsi.orgindoindex2.php?option=com_contentdo_pdf=1id=12961 diakses tanggal 10 februari 2010. 39 http:id.wikipedia.orgwikiIndonesia_Corruption_Watch diakses 10 februari 2010. Universitas Sumatera Utara masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi itu sendiri tidak sama. Angka diatas kemungkinan besar akan melonjak drastis jika digabungkan dengan berita di media massa, laporan inspektorat jenderal, BPKP, BPK dan lembaga pengawas lainnya. 40 Beberapa contoh kasus perkara korupsi di Indoensia yang sudah diproses ataupun tidak sempat diproses yang sempat menggemparkan Indonesia, antara lain 41 1. SOEHARTO : Kasus Soeharto Bekas Presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora Rp 1,4 triliun. Semasa beliau masih hidup dan Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh, namun pada kenyataannya Soeharto telah meninggal dunia dan belum ada jelas penyelesaian yang didapat. 2. PERTAMINA Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract TAC antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas UPG tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita 40 ibid 41 http:kumpulanperkarakorupsi.blogspot.com200808kasus-kasus-korupsi-di- indonesia.html. diakses tanggal 12 februari 2010. Universitas Sumatera Utara dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abdaoe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo. Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented Exxor I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut. Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak BBM di Jawa Pipianisasi Jawa, melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abdaoe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US 31,4 juta. 3. Korupsi di BAPINDO Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia Bapindo dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun. 4. HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernest Young Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun versi Masyarakat Transparansi Indonesia. Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto. Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus Universitas Sumatera Utara korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Dan Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah. Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri HTI PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya. 5. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI.Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo, telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik- komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono Bank Aspac, David Nusa Widjaja Bank Servitia, Hendra Rahardja Bank Harapan Santosa, Sjamsul Universitas Sumatera Utara Nursalim BDNI, dan Samadikun Hartono Bank Modern. Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus B. Penjatuhan hukuman yang digunakan Hakim Dalam Mengadili Perkara Tindak Pidana Korupsi untuk menentukan hukuman bagi pelaku tindak pidana Korupsi yang berkaitan dengan Pejabat negara dan Bukan Pejabat. Banyak perkara korupsi yang terjadi di Indonesia, namun hakim dalam menentukan putusan nya harus berdasarkan ketuhanan yang maha esa dan berlandasakan keadilan dan undang – undang serta keyakinan hakim dalam menentukaan suatu hukumannya. Dalam hal ini penulis akan menganalisis putusan Mahkamah Agung yang mana putusan ini sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dan penulis akan mengkaji dua Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan Pejabat Negara dan Bukan Pejabat Negara dalam penjatuhan hukuman baik dari tingkat pertama , banding dan Kasasi. Putusan tersebut antara lain : 1. Putusan Mahkamah Agung No. 1186 Pan.Pid.Sus 2269 K PID.SUS 2008, dengan atas nama Terdakwa SYAFRUDDIN LI,Spd yang dimana terdakwa adalah seorang Pegawai Negeri Sipil dan Menjabat sebagai Bendahara Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa dan telah dilantik dan diambil sumpahnya sebelumnya, sesuai dengan unsur pasal 2 UU No.28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme maka penulis Universitas Sumatera Utara beranggapan bahwa terdakwa adalah seorang Pejabat Negara dan telah melakukan Tindak Pidana Korupsi dengan merugikan keuangan Negara. Didalam putusan Mahkamah Agung tersebut Hakim Agung melakukan pertimbangan hukum dengan membaca tuntutan Jaksa Penutut Umum pada tingkat Pengadilan Negeri, serta membaca putusan Pengadilan Negeri Sumabawa Besar, dan juga membaca Putusan Pengadilan Tinggi Mataram. Dalam Amar Putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar No.92 PID.B 2008 PN.SBB Tanggal : 1 Juli 2008 dikatakan bahwa Terdakwa SYAFRUDDIN LI,Spd terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi Secara Berlanjut dan Hakim Tindak Pidana Korupsi pada tigkat Pengadilan Negeri Sumbawa Besar menjatukan hukuman pidana penjara selama 3 tiga tahun dan menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp.60.000.000 enam puluh juta rupiah dengan hukuman subsider selama 3 bulan serta menghukum terdakwa untuk mengembalikan kerugian negara yang telah diambilnya sebesar Rp. 228.801.417 dua ratus dua puluh delapan juta delapan ratus satu ribu empat ratus rupiah yang dimana Hakim menentukan hukumannya dengan berdasarkan pertimbangan hukum nya adalah pasal 3 Jo.Pasal 18 ayat 1,2 dan 3 Undang – undang RI Nomor 31 tahun 1999 sebgaimana telah dirubah dengan Undang – undang nomor 20 tahun 2001 Jo.pasal 64 ayat 1 KUH Pidana. Dengan bunyi putusan yang telah dijelaskan diatas maka Jaksa Penuntut umum mengajukan memori Banding ke Pengadilan Tinggi Universitas Sumatera Utara Mataram dan Pengadilan Tinggi Mataram mengeluarkan putusannya dengan Nomor : 143 PID 2008 PT.MTR tertanggal : 22 September 2008 dengan bunyi amar putusan nya adalah, menerima banding dari Jaksa Penuntut Umum dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar sekedar mengenai pidana khsusunya apabila terdakwa tidak cukup atau tidak mampu membayar uang pengganti, dan selanjutnya mengenai hukuman pokoknya tetap pada putusan Pengadilan Negeri Sumbawa,dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar. Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Mataram yang memutuskan perkara ini tetap pada peritmbangan hukumnya adalah pasal 3 Jo.Pasal 18 ayat 1,2 dan 3 Undang – undang RI Nomor 31 tahun 1999 sebgaimana telah dirubah dengan Undang – undang nomor 20 tahun 2001 Jo.pasal 64 ayat 1 KUH Pidana. Sampai pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung memutuskan perkara tindak pidana Korupsi ini tidak jauh bedanya dengan putusan – putusan sebelumnya yang dimana Mahkamah Agung menguatkan Putusan pada tingkat banding, adapun isi putusan dari Mahkamah Agung adalah Menolak pemohon Kasasi yang dalam hal ini selaku pemohon adalah Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sumbawa Besar. Berdasarkan putusan diatas dalam memutuskan hukuman yang diberikan oleh Hakim Tindak pidana Korupsi baik dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah agung tetap berdasarkan pada Pasal 3 Jo.Pasal 18 ayat 1, 2 dan 3 Undang – undang RI Nomor 31 tahun 1999 sebgaimana Universitas Sumatera Utara telah dirubah dengan Undang – undang nomor 20 tahun 2001 Jo.pasal 64 ayat 1 KUH Pidana. Menurut pendapat penulis hukuman penjara selama 3 tahun yang diberikan sangat tidak sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh si terdakwa karena mengambil uang negara untuk kepentingan diri sendiri adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji. Harusnya hukuman yang dilakukan oleh seorang pejabat negara ataupun aparatur negara yang harusnya menjadi contoh bagi masyarakat dan penganyim masyarakat harus lebih berat ataupun bahkan sangat berat untuk memberi efek jera bagi pejabat – pejabat negara lainnya maupun aparatur negara lainnya. Namun dalam hal ini penegak hukum yakni Hakim Tindak Pidana Korupsi telah melakukan tugasnya sesuai dengan undang – undang yang telah berlaku karena undang – undang telah mengatur hukuman minimal bagi seorang yang memenuhi unsur sebagai pejabat negara adalah 1 tahun hukuman penjara, sedang kan Hakim dalam melakukan putusannya memberikan hukuman selama 3 tahun penjara, yang dimana hukuman tersebut sudah sesuai dengan undang – undang yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang - undang. Dalam hal ini jika kita menyalahkan penegak hukum yang memberikan hukuman sangat lah tidak adil, karena undang – undang telah mengatur tentang hal apabila setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dilihat dari pekerjaannya Pejabat dan Non Pejabat dalam menentukan hukumannya dan juga jelas – jelas mengatur tentang hukuman Universitas Sumatera Utara minimal telah jelas diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang – undang nomor 31 tahun 1999. Dengan adanya rumusan undang – undang yang seperti ini maka aparat penegak hukum hanya melakukan pekerjaannya sesuai dengan undang - undang dasar dan undang – undang yang berlaku. Maka yang salah dalam hal ini adalah undang – undang nya, dalam hal ini pembuat undang – undang di Indonesia adalah DPR bersamaan dengan Presiden, maka dengan ini hendaknya pembuat undang – udang membuat rumusan yang jelas dan tidak mengenyampingkan rasa keadilan dalam merumuskannya. Jika saja undang – undang yang ada dalam undang – undang ini jelas dan tidak membedakan siapa saja orang yang melakukan tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi dalam hal ini adalah Pejabat Negara ataupun bukan Pejabat negara maka hukuman yang ada mungkin akan lebih terasa adil. 2. Putusan Mahkamah Agung No : 1558 K Pid 2005 dengan atas nama Terdakwa Andre Nugraha Achmad Nouval dan Yakub A. ARUPALAKA yang dimana keduanya bekerja sebagai wiraswasta dan sebagai debitur Kredit Jamsostek di Bank Mandiri, penulis beranggapan para terdakwa adalah Bukan Pejabat Negara, karena unsur – unsur yang terdapat dalam UU No.28 tahun 1999 dan UU No.43 tahun 1999 tidak ada berkaitan dengan para terdakwa. Didalam putusan Mahakamah Agung tersebut Hakim Agung melakukan pertimbangan hukum dengan membaca tuntutan Jaksa Penutut Universitas Sumatera Utara Umum pada tingkat Pengadilan Negeri, serta membaca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan juga membaca Putusan Pengadilan DKI Jakarta. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 6 April 2004 Nomor : 1257Pid.B2003PN.JKT.PST dalam amar putusannya Hakim Tindak Pidana Korupsi Pada Tingkat Pengadilan Negeri dikatakan bahwa kedua Terdakwa Andre Nugraha Achmad Nouval dan Yakub A.Arupalaka telah terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dengan pertimbangan hukum Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Pasal 43 A Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Terdakwa telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan seperti tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut yang amarnya berbunyi : Menyatakan Terdakwa I : ANDRE NUGRAHA ACHMAD NOUVAL dan Terdakwa II : YAKUB A. ARUPALAKKA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa I : ANDRE NUGRAHA ACHMAD NOUVAL selama 10 sepuluh tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- satu milyar rupiah, subsidair 6 enam bulan kurungan dan Terdakwa II : YAKUB A. ARUPALAKKA selama 10 sepuluh tahun dan denda sebesar Rp. 1.000. 000.000,- satu milyar rupiah, Subsidair 6 enam bulan kurungan. Menghukum Terdakwa - Terdakwa membayar uang pengganti, Untuk Terdakwa I : ANDRE NUGRAHA ACHMAD NOUVAL sebesar Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah dan Universitas Sumatera Utara jika Terdakwa tidak membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara 1 satu tahun ; Untuk Terdakwa II : YAKUB A. ARUPALAKKA sebesar Rp100.000.000,- seratus juta rupiah dan jika Terdakwa tidak membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara selama 1 satu tahun. Dalam putusan pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi DKI dengan Nomor : 156 PID 2004PT.DKI tanggal 14 Desember 2004 dikatakan bahwa dalam putusan nya hakim tinggi Merubah Putusan dari Pengadilan Negeri atau yang amarnya berbunyi : Menerima permintaan pemeriksaan dalam tingkat banding dari Pembanding Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa I dan Terdakwa II tersebut , Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 6 April 2004 Nomor : 1257Pid.B2003PN. JKT PST, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Menyatakan Terdakwa I : ANDRE NUGRAHA ACHMAD NOUVAL dan Terdakwa II : YAKUB A. ARUPALAKKA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA. Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa I : ANDRE NUGRAHA ACHMAD NOUVAL, selama 6 enam tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000,- lima ratus juta rupiah dan bilamana denda itu tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurugan selama 3 tiga bulan, Terdakwa II : YAKUB A. ARUPALAKKA selama 6 enam tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000,- lima ratus juta rupiah dan bilamana denda itu tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 tiga bulan. Universitas Sumatera Utara Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti pada Terdakwa- Terdakwa, masing-masing : Untuk Terdakwa I : ANDRE NUGRAHA ACHMAD NOUVAL sebesar Rp 50.000.000,- lima puluh juta rupiah dan dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama 1 satu tahun, Untuk Terdakwa II : YAKUB A. ARUPALAKKA sebesar Rp 100.000.000,- seratus juta rupiah dan dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama 2 dua tahun. Sampai dengan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung, baik dari pihak Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa sama – sama mengajukan permohonan Kasasi. Dalam putusan kasasi pada tingkar Mahkamah Agung, Hakim Agung memutuskan Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri JAKARTA PUSAT dan Pemohon Kasasi II para Terdakwa : 1. Terdakwa ANDRE NUGRAHA ACHMADNOUVAL dan Terdakwa YAKUB A. ARUPALAKKA tersebut. Membebankan Pemohon KasasiTerdakwa I dan Terdakwa II tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,- dua ribu lima ratus rupiah. Penulis baranggapan bahwa Putusan yang di berikan walaupun telah sampai pada upaya hukum yang terakhir namun pada dasarnya putusan tetap pada porsi di tingkat Pengadilan Tinggi yang dimana putusan pada tingkat Universitas Sumatera Utara Pengadilan Tinggi tidak jauh berbeda dengan putusan pada tingkat pengadilan Negeri. Dan putusan yang diberikan kepada terdakwa tidak sesuai dengan rasa keadilan jika dibandingkan dengan Putusan terhadap putusan yang menimpa pada pejabat negara, sesuai dengan apa yang penulis katakan sebelumnya hal ini terjadi karena undang – undang yang telah salah mengaturnya terlebih dahulu. Jika kita fikirkan dengan logika manusia yang sempurna sangatlah tidak adil jika Seorang Pejabat Negara yang seharusnya menjadi penganyom masyarakat dan melakukan tindakan yang tidak terpuji khususnya Tindak Pidana korupsi di beri dengan hukuman yang jauh lebih sedikit dari pada seorang yang Bukan pejabat Negara yang telah kita ketahui dengan melihat ringkasan isi Putusan ke dua diatas. Seorang wiraswasta yang melakukan tindak pidana korupsi yang nota bene hanyalah seorang warga sipil yang tidak mempunyai jabatan dihukum dengan hukuman penjara 6 tahun penjara sedangkan seorang pejabat negara yang nota bene warga sipil yang di beri kepercayaan oleh masyarakat untuk menjalankan struktur pemerintahan dihukum dengan pidana lebih rendah dibandingkan dengan seroang wiraswasta atau bukan pejabat. Dan jika dilihat dari peluangnya, maka pejabat negara lebih besar peluangnya untuk melakukan tindak pidan korupsi dari pada seorang yang bukan pejabat negara, tapi mengapa hukuman miniman yang diatur dalam undang – undang sangat kecil. Universitas Sumatera Utara Jika pemerintah serius dalam memberantas korupsi maka seharusnya yang dilakukan pembuat undang – undang yaitu DPR dan Presiden melakukan perubahan terhadap undang –udndang korupsi No.31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang – undang nomor 20 tahun 2001 yang berlaku sekarang ini, jangan menjadikan terkesan setengah – setengah apalgi dengan rumusan undang – undang yang mengatur tentang masalah hukuman minimal ini terkesan adanya perlindungan bagi penjahat kerah putih. Universitas Sumatera Utara BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana K

1 41 110

Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidan

9 105 110

Analisis Yuridis Fungsi Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan BUMN

1 54 163

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

Undang Undang Nomor 31 Republik Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 1

Undang-Undang Nomor 31 Republik Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 29

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 15

Putusan Bebas Terhadap UDdalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - Ubaya Repository

0 0 9

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14

MELAWAN HUKUM KHUSUS/FACET DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PASAL 2 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 juncto UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 18