Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana telah diketahui, bahwa peradilan dapat diidentifikasikan sebagai bagian dari pranata hukum, sedangkan hukum dapat diidentifikasikan sebagai pranata sosial. Hukum tergantung pada apa yang terjadi dengan kondisi- kondisi kekuasaan dan wewenang politik, dan kondisi tersebut ditentukan oleh beragam kekuatan sosial, budaya dan ekonomi. Apabila kondisi-kondisi tersebut berubah, maka hukum pun mengalami perubahan. Dalam perubahan tersebut, bukan hal yang tidak mungkin terdapat perselisihan untuk menegakkan keadilan hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan pengendali kehidupan masyarakat yang berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan, persengketaan, dan bentuk-bentuk pertentangan lainnya sehingga hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat diperoleh. Atau, ketertiban dapat diwujudkan dalam kehidupan bersama-sama dan masing-masing memperoleh ketenteraman. Untuk memperoleh ketenteraman dalam menjalankan hidup, setiap insan manusia selalu memiliki rasa saling membutuhkan orang lain dalam kehidupan sehari-hari yang sering disebut sebagai makhluk sosial, termasuk dalam ikatan perkawinan. Rasa saling membutuhkan inilah yang menjadi landasan manusia 1 untuk saling berinteraksi, baik dari segi ibadah, munakahat, muamalah, dan jinayah. 1 Semua tingkah laku umat manusia telah diatur dalam Islam baik yang tertuang dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, apalagi sebagaimana menurut Aristoteles 384-322 SM menjuluki manusia dengan zoon politicon, yaitu sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya makhluk bermasyarakat. 2 Salah satu dari sekian interaksi dalam kehidupan yaitu perkawinan, yakni perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita suami dan isteri yang mengandung nilai ibadah kepada Allah, di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Oleh karena itu, hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dan isterinya. Ikatan perkawinan adalah suatu hal yang sangat sakral, baik menurut ajaran agama ataupun kedudukannya dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengertian lebih luas dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terkandung dalam pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan 1 Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, cet. Ke-4, h. 67. 2 J.C.T. Simorangkir dan Worjono Satropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia, Djakarta: Gunung Agung, 1959, h. 7. membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir batin dan tanggung jawab yang berkelanjutan, tidak hanya hubungan keperdataan semata, tetapi hubungan antara sesama manusia baik di dunia maupun di akhirat. 3 Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci mitsaqan galizha yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera mawaddah wa rahmah dapat terwujud. 4 Dalam sistem hukum perkawaninan, di dalamnya mencakup pula mengenai persoalan pertalakan. Karena, suatu ikatan perkawinan tidak akan cukup menjawab persoalan hati manusia yang selalu membutuhkan pasangan hidup. Adakalanya manusia itu memiliki rasa kecewa, kurangnya kepuasan lahir maupun batin terhadap pasangannya, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, perlu adanya hukum pertalakan dalam rumah tangga, walaupun perkara yang halal untuk dilakukan tetapi dibenci oleh Allah adalah pertalakan, bukan tidak mungkin Allah mengijinkan pasangan suami-isteri untuk bertalak dalam keadaan tertentu. 3 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum PerdataBW, Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981, cet. Ke 1, h. 7. 4 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, cet. Ke-3, h. 206. Islam telah mengatur mengenai pertalakan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Ketentuan Islam mengenai pertalakan perlu disosialisasikan agar orang mengetahui bagaimana Allah SWT. menjelaskan adab dan tuntunan kepada mereka yang akan bertalak. Kerap timbul anggapan bahwa apabila seorang suami sudah mengucapkan kata “talak” kepada isterinya, maka jatuhlah talak itu. Seorang lelaki, apabila dalam keadaan emosi, tidak sedikit yang mengeluarkan ungkapan untuk bertalak. Apalagi dalam keadaan ekonomi seperti saat ini, kebutuhan hidup semakin sulit dan lapangan pekerjaan susah, sementara harga bahan baku semakin mahal dan tekanan hidup semakin berat, potensi terjadinya pertentangan dan keributan dalam rumah tangga amat besar. Bisa jadi dalam rumah tangga yang masih terasa harmonis, dapat terjadi sedikit salah paham, bertengkar, dan akhirnya dalam keadaan emosi terucap kata “talak” dalam waktu sesaat. Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya suami-isteri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya rasa kasih sayang itu tidak dirawat bisa menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian. Jika kebencian sudah datang, dan suami-isteri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu, upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi kebencian. Akan tetapi perlu pula diingat, bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali menjadi kasih sayang. 5 Seperti halnya yang terjadi pada sebagian masyarakat di wilayah Tigaraksa, yaitu terdapat pihak yang melakukan talak di luar Pengadilan. Berawal dari rasa kepercayaan dan cinta kasih yang dalam, dan pada akhirnya sepakat antara keduanya untuk memutus tali perkawinan. Akan tetapi, tidak melakukan perceraian di muka sidang Pengadilan. Pada dasarnya, perceraian merupakan wewenang suami terhadap isterinya. Dalam kitab-kitab fikih klasik dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan pula bahwa perceraian bisa terjadi dengan segala cara yang mengindikasikan berakhirnya suatu hubungan suami-isteri, baik talak yang dijatuhkan oleh suami atau cerai gugat khulu’ yang diajukan oleh pihak isteri atau sebab lainnya. Dengan tujuan mempersulit terjadinya perceraian tersebut, maka ditentukanlah: untuk melakukan perceraian, harus ada cukup alasan bukti bahwa antara suami-isteri tersebut tidak dapat hidup rukun lagi. Perceraian itu seperti disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9 Tahun 1975 jo. UU No. 7 Tahun 1989 jo. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam mesti terjadi di hadapan sidang Pengadilan. 6 5 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004, ed. 1, cet. Ke-2, h. 96. 6 K. Wanjtik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghali Indonesia, h. 37. Dengan kata lain, perceraian yang sah menurut prosedural hukum yang berlaku di Indonesia ialah harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan. Perceraian yang dilakukan di luar prosedur pengadilan dianggap tidak terjadi perceraian. Namun, akibat dari proses prosedural ini dapat menimbulkan polemik-polemik baru bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupan dalam rumah tangga, khususnya dampat dari akibat perceraian tersebut perceraian di luar pengadilan. Untuk lebih memahami dan menjawab segala permasalahan yang mencakup terhadap perceraian yang dilakukan di luar prosedur Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harus paham terhadap penjelasan masalah perceraian dalam Undang-Undang tersebut serta pandangan Hakim Pengadilan Agama. Karena, baik Undang-Undang maupun Hakim adalah satu kesatuan yang terdapat dalam ranah hukum yang keduanya memiliki peran sangat penting demi tercapainya suatu keteraturan dalam bermasyarakat sehingga menimbulkan ketenteraman. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tergugah untuk membahas: “PROBLEMATIKA TALAK DI LUAR PENGADILAN BAGI MASYARAKAT DI WILAYAH TIGARAKSA.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah