Fenomena pencerahan di luar pengadilan Agama (studi di Wilayah Kecematan Ciomas Serang Banten

(1)

FENOMENA PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA

(

Studi Di Wilayah Kecamatan Ciomas Serang Banten )

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Deni kurniawan

Nim : 207044100383

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1431 H/2011 M


(2)

PENGESAHAN PANITIAUJIAN

Skripsi berjudul FENOMENA PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN AGAMA (STUDI DIWILAYAH KECAMATAN CIOMAS SERANG BANTEN) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 24 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. Sy) pada program studi Ahwal Al-Syakhshiyyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 24 Maret 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma,SH,MA.MM(...) NIP. 195505051982031012

2. Sekretaris : Mufidah, SH.I (...) NIP.

3. Pembimbing 1 : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA (...) NIP. 1950030619763031001

4. Penguji I : Dr. Djawahir Hejazziey, SH. MA (...) NIP.

5. Penguji II : DR. H. Supriyadi Ahmad, M.A (...) NIP. 195828111994031001


(3)

FENOMENA PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN AGAMA (Studi Di Wilayah Kecamatan Ciomas Serang Banten)

Skripsi

Diajukan kapada fakultas syariah dan hukum

Untuk memenuhi persyaratan memeproleh gelar sarjana syariah (S.Sy) Oleh :

Deni Kurniawan NIM :207044100383

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. NIP. 195003061976031001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1431 H/2011 M


(4)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakam :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yan gdiajukan untuk memenuhi salahs atu persayaratan memperoleh gelar S.1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakann dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,24 Maret 2011 Penulis


(5)

KATA PENGANTAR ميحرلا نمحرلا ها مــســـب

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, karunia, hidayah, dan inayah-Nya yang telah melimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat meneyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tetap tercurahkan kepada Nabi pembawa perubahan, revolusioner di dalam segala aspek kehidupan dan rahmat sekalian alam, baginda Nabiyullah Muhammad SAW besrta keluarga dan para sahabatnya dan juga orang-orang yang tetap istiqamah menegakan dinul islam hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Fenomena Perceraian Diluar Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Kecamatan Ciomas Serang-Banten”. Penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S1) pada Jurusan Al-Akhwal Al-Syakhsiyyah Program Studi Peradilan Agama Fakultas Syari‟ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulus ungkapan hati penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan skripsi ini tidak begitu saja terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak baik moril dan materil. Oleh karena itu penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak :

1. Prof., Dr., H. Muhammad Amin Summa, S.H., M.A., M.M, Selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Dan Hukum.


(6)

2. Drs., H.A. Basiq Djalil, S.H., M.A selaku ketua program studi dan sekaligus dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran, guna memberikan bimbingan dana arahanya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibunda Dan Ayahanda H. Sar‟i Dan Hj. Titin, Serta Kakak-Kakak Dan Adikku Yang Penulsi Hormati Dan Sayangi Yang Senantiasa Memberikan Motivasi Dan Do‟anya Kepada Penulis, Memberikan Bimbingan Moril Maupun Materil, Semoga Hari-Hari Selalu Bahagia Dan Dilindindungi Allah SWT.

4. Seluruh Bapak Dan Ibu Dosen Dilingkungan Fakultas Syari‟ah Dan Hukum yang telah mengabadikan seluruh ilmu pengetahunaya kepada penulis selama duduk dibangku kuliah.

5. Teman-teman PA (Peradilan Agama) Angkatan 2007 yang selalu memberikan motivasi dan bantuanya selama masa belajar dan penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Lembaga Pengadilan Agama (PA) Kementrian Agama Kabupaten Serang, Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciomas (KUA ciomas), Rukun Tangga (RT), dan juga masyarakat di kecamatan ciomas yang telah memebrikan bantuan, data-data, ilmu dan pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis. Mudah-mudahan apa yang dilakukan menjadi amalan yang baik dan dibalas oleh Allah SWT. Amien.

7. Teman-teman masyarakat cimoyan yang telah membantu kelancaran dalam penelitian skripsi ini.

Akhirnya penulis dengan segala kerendahan dan hati berharap, semoga kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan kepad penulis akan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan belum sempurna. Oleh akrena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulsi harapkan.


(7)

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dikemudian hari dan memebrikan manfaat bagi semua pihak serta rekan-rekan yang membacanya.

Jakarta,24 Maret 2011 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ...iii

DAFTAR TABEL...V BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah...10

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Metode Penelitian... 12

E. Sistematika Penulisan... 15

BAB II PERRCERAIAN DAN TATA CARANYA... 17

A. Pengertian Perceraian... 17

B. Alasan Perceraian ... 29

C. Dasar Hukum Perceraian... 36

D. Macam-Macam Perceraian Dan,... 38

E. Tata Cara Perceraian... 49

F. Akibat Perceraian... 52

BAB III KONDISI MASYARAKAT CIOMAS... 56

A. Letak Geografis Dan Batas Wilayah...56

B. Kondisi Obyektif Masyarakat Kecamatan Ciomas ... 63

C. Daftar Perceraian... 64


(9)

BAB IV PERCERAIAN DI BAWAH TANGAN... 74

A. Pelaksanaan Perceraian Di Kecamatan Ciomas... 74

B. Factor Penyebab Tidak Meyelesaikan Perceraian ...77

C. Peran Pemerintah Dalam Meminimalisir Perceraian.. 81

D. Analisis penulis...85

BAB V PENUTUP... 88

a. Kesimpulan... 88

b. Saran-Saran... 89

DAFTAR PUSTAKA... 91 LAMPIRAN :

A. Surat Keterangan Wawancara B. Surat Pernyataan Perceraian


(10)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Desa-Desa Yang Termasuk Kecamatan Ciomas 59 2. Tabel 2 Jumlah Penduduk Kecamatan Ciomas Menurut Tingkat Usia 60

3. Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian 61

4. Tabel 4 Distribusi Pasangan Kawin Yang Melaukan Perceraian Di Kecamatan

Ciomas 68

5. Tabel 5 Pasangan Suami Isteri Yang Bercerai Berdasarkan Pendidikanya 70 6. Tabel 6 Pengetahuan Responden Tentang Keharusan Pelaksanaan Perceraian Di


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat berpasang-pasangan dan saling mencintai dalam ikatan perkawinan dan memperoleh keturunan serta hidup dalam kedamaian dengan perintah Allah SWT dan petunjuk rasul.

Umat islam Indonesia di harapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sejalan dengan tumbuh berkembangnya pembangunan nasional terutama sejak masa orde baru yang mengutamakan stabilitas nasional sebagai dasar tumbuh dan berkembangnya pembangunan di segala bidang. oleh karena itu, pembinaan kehidupan beragama perlu semakin ditingkatkan seiring dengan semakin meningkatnya perkembangan sains dan teknologi yang begitu cepat.1

Untuk mendukung pelaksanaan pembinaan kehidupan beragama khusunya bagi umat islam telah dibuat Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang diundangkan pada tanggal 29 desember 1989 dengan lembaran Negara republic Indonesia Tahun 1989 Nomor 49. Salah satu substansinya adalah bertujuan mempertegas kekuasaan kehakiman. Kekuasaan absolute dipertegas dengan mendefinisikan bidang-bidang hukum perdata yang menjadi kewenangan peradilan agama, sehingga jelaslah yuridiksi kewenangan absolute bidang-bidang hukum perdata antara peradilan dengan lingkungan pengadilan agama dengan lingkunan pengadilan umum.2

1

Wahid Marzuki dan Rumadi, fiqh mazhab Negara (kritik atas politik hukum indonesia,(Yogyakarta: LKIS, 2001), cet ke-1, h. 3

2


(12)

Substansi tersebut telah diformulasikan pada pasal 49 yang secara tegas menggariskan bahwa garis batas wilayah hukum bidang-bidang perdata yang menjadi wewenang pengadilan agama adalah bidang-bidang hukum seperti perkawinan (munakahat), kewarisan (faraidh), wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqoh bagi golongan rakyat yang beragama islam.

Agama islam sendiri telah mengatur tentang masalah perceraian bagi umat islam, apabila pergaulan suami isteri setelah diusahakan sedemikian rupa ternyata tidak dapat mencapai tujaun rumah tangga atau bahkan menimbulkan kebencian, percekcokan, permusuhan dan bahkan sampai membahayakan keselamatan jiwa salah satu pihak, maka dengan keadilan Allah dibuka suatru jalan keluar untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan, guna memberikan kebebasan kepada masing-masing pihak untuk menentukan nasibnya sendiri-sendiri dengan cara perceraian, tentu saja perceraian ini merupakan suatu upaya terakhir, bila upaya yang lain tidak dapat berhasil mendamaikan.

Berdasarkan penjelasan diatas, salah satu prinsip dalam perkawinan adalah mempersulitnya perceraian (cerai talak), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia.3

Salah satu yang menjadi wewenang pengadilan agama adalah tentang perceraian. Secara tertulis masalah perceraian diatur dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) jo Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang salah satu persyaratan untuk melakukan perceraian, yaitu harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama atau dengan kata lain perceraian tidak lah sah secara hukum yang berlaku di Indonesia,

3

Hilman adikusuma,hukum perkawinan di Indonesia menurut perundangan, hukum adat. Hukum dan agama,(bandung:mandar maju,1990),cet. Ke-I,hlm.60.


(13)

apabila dilakukan diluar sidang pengadilan agama (cerai bawah tangan). Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.4

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sejak berlakunya undang-undang perkawinan secara efektif yaitu sejak tanggal 1 Oktober 1975 tidak dimiungkinkan terjadinya perceraian diluar Pengadilan Agama. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.

Adapun perceraian atau putusnya perkawinan antara seorang pria dengan wanita. Putus ikatan berarti salah satu dari mereka meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang dari keduanya pergi ketempat jauh kemudian tidak ada kabar beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal, berdasarkan semua itu,dapat berarti ikatan perkawinan suami dan istri sudah putus.5

Perceraian dalam hukum Islam adalah suatu perbuatan yang halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan Hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya :

اًط ا ها ي إ احْا ضغْبا

6

suatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak/perceraian. (Riwayat

Abu Dawud, Ibn Majah, Dan Al Hakim).

4

Kompilasi hukum islam dan peradilan dalam sitem hokumnasional,(Jakarta:Logos,199)cet, ke.I.

5

Mukti arto,praktek perkara perdata pada peradilan agama,(Yogyakarta: pustaka pelajar,1996)

6 Abi abdilah Muhamad Bin Yazid al-Qudzhaini, sunnah ibnu majah, (Beirut, dar al-Fikr, tth), juz 1,


(14)

Berdasarkan Hadis tersebut, menunjukan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi keutuhanya dan kelanjutanya. Sifat alternative terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan tehnik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui hakam dari belah pihak maupun langkah-langkah dan tehnik yang diajarkan oleh Al Qur‟an dan Hadis.7

Kalau persoalan putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam Pasal 38 sampai dengan pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Namun, tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai dengan 36 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan teknisnya diatur dalam peraturan menteri agama No 3 Tahun 1975 Tentang kewajiban Pegawai Pencatat Nikah Dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Yang Beragama Islam.

Pasal 38 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan : Perkawinan putus karena :

1.Kematian

2.Perceraian, dan

3.Keputusan pengadilan

Pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan :

1. Peceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan keduanya belah pihak.

7


(15)

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagaimana suami istri

Tata cara perceraian di depan pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pasal 40 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan : 1. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan

2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan-undangan tersendiri.8

Selain rumusan hukum dalam undang-undang perkawinan tersebut, Pasal 113 sampai dengan pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 KHI sama dengan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 14 mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian maka dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 KHI mempertegas bunyi Pasal 39 undang-undang perkawinan yang sesuai dengan konsern KHI, yaitu untuk orang islam : perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran islam apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak terwujud atau terealisasi

8


(16)

sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam undang-undang Nomor No 3 Tahun 2006 (selanjutnya disebut UUPA) dan Pasal 115 KHI.9

Tata cara perceraian bisa dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya peceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut :

1. Cerai talak (suami yang bermohon untuk bercerai)

Apabila suami yang mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujuinya itu disebut cerai talak. Hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA.

2. Cerai gugat (istri yang bermohon untuk bercerai)

Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke pengadilan agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu, khulu‟ seperti yang telah diuraikan pada sebab putusnya peceraian perkawinan temasuk cerai gugat. Cerai gugat diatur dalam Pasal 73 UUPA.10

Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat 4 disebutkan pegawai pencatat nikah adalah pada kantor urusan agama.11

Jadi sesuai pasal 39 ayat 1 menyebutkan “peceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

9

Hilman adikusuma,hukum perkawinan di Indonesia menurut perundangan, hukum adat. Hukum dan agama,(bandung:mandar maju,1990),cet. Ke-I,hlm.60.

10

Zainudin Ali., hokum perdata islam di Indonesia, (Jakarta : SINARGRAFIKA, 2006). Cet ke-1 h. 80

11


(17)

Dan dalam KHI juga disebutkan dalam pasal 129 KHI yaitu seorang suami yang akan mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Agama islam sendiri telah mengatur tentang masalah perceraian bagi umat islam, apabila pergaulan antara suami istri setelah diusahakan sedemikian rupa ternyata tidak dapat mencapai tujuan berumah tangga atau bahkan menimbulkan kebencian, percekcokan, permusuhan dan bahkan sampai membahayakan keselamatan jiwa salah satu pihak, maka dengan keadilan Allah dibuka suatu jalan keluar untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, guna memberikan kebebasan kepada masing-masing pihak untuk menentukan nasibnya sendiri-sendiri yakni dengan cara perceraian. Tentu saja perceraian ini merupakan suatu upaya terakhir, bila upaya yang lain tidak dapat berhasil mendamaikan.

Disinilah Nampak ada suastu ketimpangan antara hukum formal dengan hukum fiqh. Di suatu pihak menghendaki adanya suatu bentuk tertib administrasi dalam perceraian, disisi lain perceraian pada masyarakat awam dapat terjadi tanpa putusan dari hakim, padahal sudah jelas masalah perceraian sudah diatur dalam undang-undang. Perbedaan antara keduanya itu menimbulkan istilah perceraian di bawah tangan yang belakangan ini muncul dalam masyarakat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tetapi sekarang nampaknya perceraian itu sudah jarang sekali terjadi dibanding keadaan terdahulu, dikarenakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mempersulit terjadinya perceraian.12

12


(18)

Jelas bahwa setiap orang yang beragama islam baik penggugat atau tergugat dalam masalah perceraian harus dilaksanakan didepan sidang pengadilan.dan KUA hanya bertugas. Mencatatkan pernikahan.

Akan tetapi masih banyak fenomena yang terjadi di masyarakat, khusunya masyarakat Kecamatan Ciomas Serang Banten, dimana pasangan suami istri sering melakukan perceraian tanpa melalui pengadilan agama, sehingga hak-hak istri dan anak setelah perceraian nyaris diabaikan, seolah-olah setelah percraian itu tidak ada lagi beban yang harus ditanggung oleh suami. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pengawasan dari aparat pemerintah dan sanksi hukum yang di berlakukan.

Semua ini terjadi karena tidak paham akan hukum, atau mungkin menganggap sepele terhadap akibat pekawinan sehingga begitu mudah melakukan perceraian. Dengan munculnya fenomena perceraian di bawah tangan, atau peceraian yang tidak diajukan ke pengadilan agama, penulis tertarik untuk melakukan kajian atau penelitian dalam rangka penulisan skripsi.

Maka dari itu, berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik dan bermaksud untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Fenomena Perceraian Diluar Pengadilan Agama (Studi Di Kecamatan Ciomas Serang Banten)”

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Maslaah

Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas dan menimbulkan interpretasi yang berbeda dari tujuan penulisan skripsi, maka penulis membatasi masalah dalam skripsi ini pada fenomena Perceraian diluar Pengadilan Agama Di Kecamatan Ciomas. Perceraian


(19)

diluar Pengadilan Agama dibatasi pada perceraian yang dilakukan oleh masyarakat tanpa disidangkan di Pengadilan Agama.

2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana cara dan prosedur masyarakat Ciomas dalam melakukan perceraian?

2. Apa sajakah factor yang menyebabkan masyarakat Ciomas melakukan perceraian di Pengadilan Agama?

3. Apa sajakah yang harus dilakukan untuk meminimalisir perceraian diluar Pengadilan Agama?

C. Tujuan Penelitian

Setiap gerak dan langkah suatu karya, tentu masing-masing mempunyai tujuan tersendiri, demikian pula dengan penelitian tentang penerapan tata cara perceraian. Sejalan dengan perumusan diatas maka tujuan diadakanya penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui bagaimana cara masyarakat Ciomas dalam melakukan perceraian

2. Untuk mengetahui factor apa saja yang menyebabkan masyarakat ciomas tidak melakukan perceraian Pengadilan Agama.

3. Untuk mengetahui usaha pemerintah dalam meminimalisir perceraian diluar Pengadilan Agama.


(20)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian. Sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka. Tetapi dalam pengertian metode penelitian yang lebih luas, penelitian deskriptif mencakup metode yang lebih luas diluar metode sejarah dan esperimentasl, dan secara umumj masih sering diberi nama metode survey. Bukan saja memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, menguji hipotesa-hipotesa, membuat prediksi serta serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang iingin dipecahkan dalam pengumpulan data digunakan teknik wawancara, dengan mengunakan schedule quesionair ataupun interviewguide.13

Pemilihan suatu metode juga menjadi sebuah penentuan dari kesempurnaan suatu penelitian ini, metode-metode yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Penentuan Obyek Penelitian

a. Lokasi penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil lokasi disesuaikan dengan judul skripsi “FENOMENA PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN AGAMA”. Sehingga berdasarkan skripsi ini, maka lokasi penelitian adalah Kecamatan Ciomas Serang Banten.

b. Objek penelitian

Objek utama penelitian ini adalah pasangan yang telah bercerai diluar Pengadilan Agama sebanyak 20 orang. Dan objek penunjangnya adalah Pengadilan Agama

13


(21)

Serang, Kementrian Agama Serang, Kepala KUA (Kantor Urusan Agama), Dan Pasangan Suami Isteri Yang Bercerai.

2. Jenis data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistic atau dengan cara-cara lain dari kuantitatif.

3. Alat dan tehnik pengumpulan data a. Alat bantu pengumpulan data

1) alat perekam (tape recorder) dan kaset perekam, yang digunakan untuk memudahkan peneliti dalam menganalisa hasil wawancara agar mendapatkan data yang utuh sesuai denganyang disampaikan subjek.

2) Lembaran observasi dan catatan subjek, yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting dalam jalanya wawancara.

b. tehnik pengumpulan data

1) Wawancara, yaitu sebuah dialog yang dilakukan pewawancara (interviewer) untuki memperoleh informasi dari wawancara (interviewee).14

2) Observasi yaitu sebuah metode ilmiah berupa pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.

14

Suharsini, arikunto, prosedur penelitian:suatu pendekatan praktek, (Jakarta: PT. rineka cipta, 1996), h. 144.


(22)

3) Studi dokumentasi, yaitu cara mencari dan mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.

4. Tehnik Analisa Data.

Yang dimasksud dengan teknik analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.15 Dalam penelitian ini penulis menggunakan Analisa non-statistik, yaitu mengambil keputusan atau kesimpulan-kesimpulan yang benar melalui proses pengumpulan, penyusunan, penyajian, dan penganalisaan data hasil penelitian dengan berwujud kata-kata. Data dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara dan pengumpulan-pengumpulan dokumen-dokumen yang mendukung penelitian. Penulis menganalisa data dengan menggunkan kata-kata kedalam tulisan yang lebih luas.

5. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab yang setiap babnya mempunyai beberapa sub bab. Untuk memudahkan pera pembaca maka berikut ini akan diuraikan sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :

BAB PERTAMA : Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan tehnik penulisan sistematika penulisan.

BAB KEDUA : Berisi pembahasan mengenai ketentuan hukum tentang tata cara perceraian yang meliputi pengertian, dasar hukum, alasan, tata cara dan akibat hukumnya.

15

Masri singarumbun dan sofian effendi, metode penelitian suvai,(Jakarta:LP3ES, 1995), Cet. Ket\-1, h. 263.


(23)

BAB KETIGA : Menggambarkan secara umum kondisi obyektif masyarakat kecamatan ciomas mengenai letak geografis, keadaan demografis, pasangan suami isteri yang melakukan perceraian,kondisi social keagamaan, masyarakat dan social perekonomian kecamatan ciomas tersebut.

BAB KEEMPAT : Berisi tentang tinjauan hukum yang mengatur masalah perceraian yang pembahasanya meliputi pelaksanaan perceraian yang di lakukan di kecamatan ciomas, factor penyebab perceraian diluar pengadilan agama dan pendapat pihak-pihak terkait tentang masalah ini.

BAB KELIMA : Merupakan BAB penutup yang berisikan beberapa kesimpulan dan juga memuat saran-saran.

BAB II

PENGERTIAN PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian

Perceraian menurut bahasa indonesia berarti pisah atau putus hubungan dengan sebagai suami isteri. Sedangkan perceraian menurut istilah fiqh adalaha berasal dari kata


(24)

“talak” berarti “pisah”.16

kemudian yang berfungsi pembentuk kata benda abstrak kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil dari perbuatan cerai.

Perceraian dalam istilah fiqih disebut talaq atau furqah. Talak berarti pembuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Furqah berarti bercerai lawan dari berkumpul kemudian perkataan ini di jadikan istilah oleh hali fiqih yang berarti perceraian antara suami istri.17

Sedangkan menurut syara‟ ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafadz talaq atau yang semakna dengannya.

Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya atau akrena perceraian yang terjadi antara keduanya. Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan tersebut akan dibahas menurut Hukum Islam dan hukum positif serta tata caranya pada bab ini.

Diantara para ulama‟ ada yang memberi pengertian talaq ialah melepaskan ikatan nikah pada waktu sekarang dan yang akan datang dengan lafadz talaq atau dengan lafadz yang semakna dengan itu.

Dalam istilah fiqih, perkataan talaq mempunyai dua arti yaitu arti yang sudah umum dan arti yang khusus. Talaq menurut arti yang umum ialah segala bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami yang ditetapkan oleh hakim maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalkan salah satu pihak. Talaq dalam arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh suami.18

1. As Sayid Sabiq memberikan definisi talaq sebagai berikut :

16 Departemen pendidikan dan kebudayaan,

kamus besar bahasa indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 168.

17

Muhammad baghir al habsyi, fiqh praktis menurut Al Qur’an, As-Sunnah dan pendapat para ulama,

(bandung : Mizan , 2002),cet, 2, h. 81.

18


(25)

ةْيج ز ا ةق اع إ ْا نإ جا ز ا ةطبار ح

19

Artinya : “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.

2. Sedangkan Abu Zakaria memberikan definisi talak sebagai berikut

ْحن ا ط ا ظْ ب حا ا دْقع ح

20

Artinya : “Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan semacamnya.”

3. Menurut Mazhab Hanafi Dan Hambali yaitu sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan dimasa yang akan datang.

4. Menurut Mazhab Syafi‟I, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu.

5. Menurut Mazhab Maliki, talak adalah sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri.21

Setelah dipaparkan beberapa talak diatas dapat di ambil kesimpulan, bahwa talak adalah menhilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjai dalam talak Ba‟in, sedangkan arti mengurangi pelepasan perkawinan adalah berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi pada talak Raj‟i.

Seperti diketahui bahwa ikatan pernikahan merupakan ikatan yang suci dan kuat, serta mempunyai tujuan antara lain persatuan bukan perpisahan. diperbolehkan talak

19

Abdurrahman ghazali, fiqh munakahat,(bogor: Pranada Media, 2003), cet. 1, h. 192.

20

Ibid., h. 192

21Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Nikah”,

ensiklopedi islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoenev, 1994), cet 2, jilid 4, h. 3


(26)

hanyalah dalam keadaan tertentu saja apabila tidak ada jalan lain yang lebih baik selain talak, namun akan berbahaya bila talak dibebaskan begitu saja, oleh karena itu Islam mengatur masalah talak, sesuai dengan konsep pokok sebagai berikut :

1. Talak tetap ada ditangan suami sebab suami mempunyai sikap rasional sedangkan istri bersikap emosional.

2. Talak dijatuhkan oleh pihak suami atau pihak lain atas nama suami, seperti Pengadilan Agama.

3. Istri berhak mengajukan talak kepada suami dengan alasan tertentu lewat Qadi.

4. Talak bisa kembali lagi antara suami istri sesuai dengan ketentuan agama.

5. Bagi mantan istri ada masa iddah dan memiliki hak menerima mut‟ah dan nafkah dari mantan suami.22

Sebagai mana pernikahan yang mempunyai syarat dan hukum nikah, maka talak pun memilki sayarat dan rukun talak.

Rukun talak ada tiga yaitu : 1. Suami yang mentalak.

2. Istri yang ditalak.

3. Ucapan yang digunakan untuk mentalak, adapun ucapan talak itu ada dua macam :

a) Ucapan sharih, yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk mentalak. Talak itu jatuh jika seseorang telah mengucapkannya dengan sengaja walaupun hatinya tidak berniat menalak istrinya.

22


(27)

b) Ucapan Kinayah, yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya, mungkin ucapan itu masksudnya tidak lain. Ucapan talak kinyah memerlukan adanya niat, artinya jika ucapan talak itu dengan niat syahtalaknya dan jika tidak disertai dengan niat maka talaknya belum jatuh. Ucapan kinayah antara lain misalnya:

1) Pulanglah engkau kepada ibu bapakmu. 2) Kawinlah engkau dengan orang lain. 3) Saya sudah tidak hajat lagi denganmu

1. Untuk syahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan :

a. Berakal, suami yang gila dalam arti hilang akal atau rusak akal karena sakit tidak jatuh talak.

b. Baligh, tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa.

c. Atas kemauan sendiri, yang dimaksud dengan kemauan sendiri disini adalah adanya kehendak pada diri sendiri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.

2. Untuk sahnya talak bagi istri yang ditalak disyarakan sebagai berikut:

a. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami.

b. Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan aras akad perkawinan yang sah.


(28)

3. Untuk sahnya sighat talak harus berdasarkan dengan apa yang telah dijelaskan diatas, yakni kinayah dan sharih.23

Qasdhu (sengaja), artinya bahwa dengan ucapan tidak itu memang dimaksudkan oleh

yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain.24 Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam keluarga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus atau terputusnya perkawinan. Diantaranya adalah :

a. Terjadi nusyuz dari pihak suami.

b. Terjadi nusyuz dari pihak istri.

c. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami istri.

d. Terjadinya salah satu pihak melakukan zina, yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya.

Didalam kitab-kitab undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) putusnya perkawinan dipakai istilah “pembubaran perkawinan” (ont binding deshuweliks).25 yang diatur dalam bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang pembubaran perkawinan pada umumnya (pasal 199), tentang pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan ranjang (pasal 200-2006 b), tcntang perseraian perkawinan (pasal 207-232 a), dan yang tidak dikenal dalam hukumadat atau hukum agama (Islam) walaupun kenyataanya juga terjadi, ia “ah bab XI tentang pisah meja dan ranjang (pasal 233-249).

23 Pugung Solahudin, prosedur perceraian di pengadilan agama, (Jakarta: Djambatan. 2010), cet ke-1

h. 14.

24

Abbdurrahman ghazali, op cit, h. 204.

25


(29)

Disini penulis hanya akan menjelaskan tentang perceraian perkawinan. perceraian menurut Subekti, perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putus hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.26 “ menurut ketentuan pasal 39 diregaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Selain dalam hukum perdata (BW) masalah perceraian juga diatur dalam kompilasi hukum Islam dan Undang-undang nomor I tahun 1974 tentang perkawinan. Dibidang perkawinan (Buku 1), kompilasi hukum Islam dalam berbagai hal rujuk kepada pendapat fuqaha yang sangat di kenal dikalangan ulama dan masyarakat islam Indonesia. Hal itu menunjukan bahwa kompilasi hukum Islam menjadi pelaksanaan bagi peraturan perundang-undangan, terutama yang berkenaan dengan keberlakuan hukum Islam (bagi orang Islam) dibidang perkawinan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No I Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 27

Menurut Kompilasi Hukum Islam. Cerai (talak) adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, 131 (II) sesuai dengan pasal 117 KHI.28

Kompilasi Hukum Islam pasal 116 merumuskan alasan-alasan perceraian menjadi beberapa bagian, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan :

26

Subekti, pokok-pokok hukum perdata,(jakarta: intermasa, 2001), cet. Ke-29, h. 42.

27

Cik hasan bisri, kompilasi hokum islam dna pengadilan agama dalam system hokum nasional,(Jakarta: PT. Logos wacana ilmu, 1999), cet, ke-2, h,12.

28

Abdul manan M. fauzan, pokok-pokok hukum perdata,(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), cet. Ke-2, h. 28.


(30)

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkannya.

Secara umum zina bagi orang yang terikat perkawina ialah hubungan kelamin yang dilakukan oleh suami atau istri dengan seseorang yang berlainan sex.

Hal lain yang dapat dijadikan alasan perceraian, salah satu menjadi pemabuk, pemadat, penjudi atau kebiasaan lainnya yang tidak bisa disembuhkan. Sebab, semua kebiasaan itu selain melanggar larangan agama juga meugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Hingga bila suami atau istri ada yang memiliki kebiasaan tersebut, kemudian salah satu pihak menggugat maka pengadilan dapat mengabulkannya.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

jadi bila suami meninggalkan istri atau istri meninggalkan suaami selama dua tahun tanpa izin dan alasan yang sah maka bisa dijadikan alasan perceraian. Meniggalkan pihak lain, setidaknya harus memenuhi kriteria berikut ini:

1. Tindakan meninggalkan pihak lain sebagai kesadaran kehendak bebas (Willfuly deseri and absens).

2. Bukan karena ada satu sebab memaksa yang dapat dilakukan, seperti suami atas perintah jabatan dipindahkan ketempat lain.


(31)

4. Perbuatan tersebut harus berturut-turut untuk waktu minimal dua tahun.29

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Dari rumusan tersebut dipahami baik suami maupun istri dapat menuntut perceraian jika salah satu pihak mendapat hukuman badan (life imprisontment), namun itu hal itu baru merupakan alasan, bila hukuman badan tersebut dijatuhkan setelah terjadi perkawinan.

Permasalahan alasan ini sangat sederhana, dan penerapannya tidak memerlukan penafsiran. Artinya dalam pasal 23 peraturan pemeintah no 9/1975 tentang pencatatan perkawinan jo. Pasal 74 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang diamandemen Undang-Undang No 3 Tahun 2003 Tentang Peradilan Agama menetukan bahwa “salinan” putusan pidana yang bersangkutan (suami istri). Langsung dianggap mempunyai kekuatan pembuktian “ yang menentukan” (beslisende bewijskracht) atau mempunyai kekuatan pembuktian yang “memaksa” (dwirgend bewijskracht).30

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat ayang membahayakan pihak lain.

Dalam hal ini M.Yahya Harahap memberikan penafsiran bahwa kekejaman tidak hanya bersifat fisik, tapi bisa juga kekejaman terhadap mental, seperti penghinaan, penistaan, caci maki, selalu marah akibat cemburu yang berlebihan atau suami yang berlaku dictator, sering berkata kasar atau berkata kotor. Sebab

29 Ibid, h. 140. 30

M. yahya harahap, kedudukan dan kewenangan dan acara peradilan agama, (Jakarta: Pustaka Karimi, 1997). Cet, ke- 3, h. 295.


(32)

kekejaman itu pada dasarnya sama dengan penderitaan batin yang fapat menghancurkan ketenangan jiwa pikiran yang berdampak membahayakan jasmani maupun rohani.31

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiba sebagai suami istri.

Maksud “cacat badan” atau “penyakit” disini ialah cacat jasmani atau rohani yang tidak dapat dihilangkan atau sekalipun dapat sembuh atau hilang tapi dalam waktu yang lama.32 sehingga kondisi tersebut, dapat menghalangi salah satu pihak menjalankan kewajiban masing-masing sebagai suami istri.

Selanjutnya dalam memeriksa perkara permohonan perceraian dan alasan cacat badan atau penyakit, apakah benar salah satu pihak suami atau istri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban masing-masing, bisa dibuktikan lewat pemeriksaan diri ke dokter, yang dijadikan alat bukti di pengadilan.33

Sesungguhnaya, bukan fakta-fakta atau penyakit yang harus dibuktikan. Hal ini ditekankan agar hakim tidak gampang mengablkan perceraian atas alasan cacat atau sakit, akan tetapi tidak dianjurkan agar bersikap kaku. Barangkali secara asuitik dapat dipegang pendapat Ibnu Syikah Al-Zuhri, Syuraih dan abu Tsaur yang antara lain dapat disadur, kalau penyakit itu sudah parah sehingga telah

31

Ibid, h. 144.

32

Kamal muchtar, asas-asas hukum islam tentang perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet, ke-1.h. 195.

33


(33)

menghancurkan sendi-sendi kesejahteraan dan kehidupan rumah tangga dapat dibenarkan terjadinya perceraian.34

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan, pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan ini menurut bahasa al-quran disebut shiqoq”shiqoqa” perceraian yang terjadi karena percekeokan terjadi terus menerus antara suami dengan istri sehingga memerlukan campur tangan dua orang hakim (juru damai) dari pihak suami atau istri.35 Dalam penjelasan pasal 76 ayat I Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dikatakan shiqoq adalah peradilan yang tajam dan terus menerus antara suami istri.36

Menurut Undang-undang No. I tahun 17974 tetang perkawinan, cerai talak adalah seorang suami yanag beragama Islam yang akan mencaraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidan guna penyaksian ikrar talak,. Menurut hukum positif : bahwa dalam setiap perceraian yang terjadi harus mengajukan gugatan perceraiannya ke Pengadilan Agama bagi warga Negara yang beragama Islam dan ke Pengadilan Negeri bagi warga Negara yang beragama non muslim, sesuai dengan KUHP Perdata pasal 207, tuntutan untuk perceraian, harus diajukan kepada pengadilan negeri.

B. Alasan perceraian

34

Mustafa As-syabi, wanita diantara hukum dan undang-undang,(Jakarta: bulan bintang), cet, ke-1 h. 204.

35

A. Zuhdi Muhdor, memahami hokum perkawinan, (nikah, talak, rujuk), (bandung : Al-Bayan, 1995), cet. 2.h. 97.

36


(34)

Ditinjau dari segi orang yang berwenang menjatuhkan, atau memutuskan, maka perceraian dibagi menjadi:

1. yang dijatuhkan suami dinamakan talaq; 2. yang diputuskan, atau ditetapkan oleh hakim;

3. yang putus dengan sendirinya karena salah satu dari suami-isteri meninggal dunia.37

Perceraian ada yang sesuai dengan sunnah Nabi yang disebut “Talaq sunni”. Perceraian yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi disebut “Talaq bid‟i”. Talaq yang dijatuhkan oleh suami ini dapat dibagi menjadi: “Talaq raj‟i” dan Talaq ba‟in”. Talaq ba‟in dibagi menjadi “Talaq ba‟in shughra dan Talaq ba‟in kubro”. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Talaq raj‟i yaitu suatu perceraian dimana suami boleh rujuk kepada isterinya tanpa perkawinan baru asal saja isterinya berada dalam “iddah”. Perceraian ini adalah: a. Perceraian dengan talaq satu atau dua tanpa iwadl dan isteri telah disetubuhi. b. Perceraian yang dijatuhkan oleh hakim karena itu, demikian juga karena

dzihar.

c. Perceraian dengan talaq satu atau dua yang dijatuhkan karena shiqaq oleh hakim (juru damai) dengan tidak memakai iwadl, yang dikuatkan oleh hakim. 2. Talaq ba‟in shughra (ba‟in kecil), yaitu suatu perceraian dimana suami tidak boleh

rujuk kepada isterinya dalam masa “iddah”, tetapi boleh akad nikah baru dengan mas kawin baru lagi, baik dalam iddah ataupun habisnya “iddah”. Perceraian ini adalah:

37


(35)

a. “Perceraian karena fasakh oleh hakim Pengadilan Agama”. b. “Perceraian sesudah kawin tetapi belum campur”.

c. “Perceraian dengan talaq yang memakai iwadl, seperti pada talaq khulu, ta‟lik talaq versi Indonesia, dan shiqaq yang memakai iwad”.

3. Talaq ba‟in kubro (ba‟in besar), yaitu perceraian dimana suami tidak boleh kawin lagi dengan bekas isterinya. Perceraian ini ada dua macam:

a. Perceraian karena talaq tiga; dalam hal ini suami tidak boleh kawin lagi dengan bekas isterinya, kecuali bekas isterinya itu kawin lagi dengan suamilain dan telah digaulinya. Kemudian bercerai pula dengan wajar atau ditingggalkan mati, serta telah habis „iddahnya.

b. Perceraian karena li‟an; dalam hal ini; suami sama sekali tidak boleh kawin lagi dengan bekas isterinya yang di li‟an untuk selama-lamanya.

4. Talaq bid‟i adalah talaq yang dilarang, yaitu talaq yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haidh, atau isteri dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.38

5. Talaq sunni adalah talaq yang dibolehkan yaitu talaq yang dijatuhkan terhadapisteri yang sedang suci, dan tidak dicampuri pada waktu suci tersebut.39 Talaq ini boleh dilakukan terhadap orang yang berhak menjatuhkannya,boleh pula diwakilkan atau diserahkan menjatuhkannya kepada orang lain. Jadi talaq ini dapat dijatuhkan kapan, dan dimana saja, tidak harus dijatuhkan didepan siding Pengadilan.

38

(Subekti, 1978 : 28)

39


(36)

Di samping, perceraian atas dasar talaq oleh suami, perceraian juga dapat dijatuhkan oleh hakim berdasarkan kepada gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berhak terhadap suatu perkawinan. Apabila gugatan terbukti, maka hakim memberi keputusan sesuai dengan gugatan. Putusan yang diputuskan oleh hakim ini dapat terjadi karena perkara kematian, talaq, taklik talaq, khuluk, fasakh, shiqoq, riddah, li‟an, illa‟, zhihar. Hal tesebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kematian,

2. Talaq: perceraian yang dijatuhkan suami,

3. Taklik talaq: talaq yang digantungkan pada sesuatu yang telah diperjanjikan, 4. Khuluk: talaq dengan tebus harta atau uang,

5. Fasakh: merusak atau membatalkan hubungan perkawinan, 6. Shiqoq: pertengkaran antara suami isteri,

7. Riddah: murtad salah satu pihak beragama Islam, 8. Li‟an: sumpah laknat menuduh berzina,

9. Illa‟: sumpah tidak akan mencampuri isterinya,

10. Zhihar: sumpah seorang suami bahwa isterinya sama dengan punggung ibunya.40

Di samping itu terdapat alasan lain terjadinya perceraian yaitu dalam pasal 19 PP No.9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undnag No 1 Tahun 1974, alasan tersebut adalah:

a. Salah satu pihak mendapat cacad badan, atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ isteri.

40


(37)

b. Antara suami, dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan, atau pertengkaran, sehingga tidak ada harapan akan hidup rukun lagi di dalam menjalankan rumah tangga.

c. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.

d. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya.

e. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun, atau hukuman yang lebihberat setelah perkawinan berlangsung.

f. Salah satu pihak melakukan kekejaman, atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 116 perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman, atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.


(38)

e. Salah satu pihak mendapat cacad badan, atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ isteri.

f. Antara suami, dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan, dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Suami melanggar taklik talak.

g. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.41

Pasal 133 Kompilasi Hukum Islam meyebutkan:

a. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkaan rumah.

b. Gugatan dapat diterima aapabila tergugat menyatakan atau menunjukkan tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.42

Pasal 32 UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu: a. Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

b. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.

Perselisihan yang tidak terus-menerus itu merupakan suatu hal yang biasa dalam rumah tangga. Akan tetapi, apabila perselisihan itu terjadi terus-menerus akansangat membahayakan kerukunan dan kelangsungan hidup rumah tangga itu sendiri.Perselisihan

41

Kompilasi Hukum islam pasal 116

42


(39)

itu harus dibuktikan oleh saksi-saksi, tetangga dan lain-lain tentangadanya pertengkaran yang tidak mungkin hidup rukun. Selain itu, terdapat faktorf-aktor lain yang menyebabkan terjadinya perceraian. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:

a. Faktor ekonomi atau keuangan, b. Faktor hubungan seksual,

c. Faktor perbedaan pandangan , agama, dan lain sebagainya.

d. Faktor hubungan antara suami-isteri dalam mendidik anak dan bergaul dan lain-lain.43

C. Hukum Perceraian

Dengan adanya segi-segi positif dan negatifnya atau manfaatnya dan madharatnya, maka hukum perceraian dalam hukum Islam ada empat macam :

1. Makruh, asal daripada talak atau cerai sebagaimana sabda Rasullullah SAW yang dinyatakan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu uma‟ra :

ا ا ْع ها ضر ع ْبا ْ ع :

م س ْ ع ها ص ها سر ا :

ا ط ا ها ا ا ح ا ضغبأ [

وبأ هور

هلسرا مت اح وبأ عجرو مك احلا هححص و هج ام نبا و دواد ]

44

Artinya : perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah talak”

2. Haram (bid‟ah) yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haidh ( bulanan ) atau dalam keadaan suci tetapi telah dikumpuli. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh jamaah ahli hadist selain Imam Tirmizi.

43

(Wahyuni, Setiyowati, 1997: 122).

44


(40)

م س ع ها ْ سر ْ ع ْ ف ضاح تأ ْمإ ط أ ع ْبا ْ ع ,

ها ْ سر ع أسف

ك ْ ع ْم س ع ها ص ,

ا : ْ أ مث طت مث ضْحت مث ءطت ئ ح ا سْ مث ا عح ا ف ْ م

أس ا ا ط ْ أ ها مأ ْ أ ع ا ك ف س ْ أ ط أش ْ أ ك ا ْعب أش [

ِهيلع تم ]

“ artinya suruhlah anakmu (Ibnu Umar) supaya dia rujuk kembali kepada istrinya, kemudian hendaklah ia teruskan perkawiananya itu sehingga ia suci dari haidnya, kemudian ia haidh kemmbali. Kemudian suci yang kedua. Bila ia menghendaki boleh ia teruskan perkawinan sebagaimana sebelumnya atau diceraikan sebelum dicampuri. Emikianlah iddah yang disuruh Allah supaya perempuan di talak

pada waktu itu. (HR. Mutafaqun alaih)

3. Sunnat, bila suami tak sanggup memerikan nafkah yang cukup sedangkan istri tidak rela, atau istri tidak dapat menjaga kehormatannya.

4. Wajib, bila terjadi percekcokan yang membahayakan antara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurusnya memandang agar keduanya cerai.45

D. Macam-macam perceraian dan Tata caranya 1. Macam-macam Perceraian

Secara garis besar ditinjau dari segi boleh tidaknya rujuk kembali, talak dibagi dua macam, yaitu:

a. Talak Raj‟I yaitu perempuan yang ditalak dengan sekali talak dan kemudian boleh rujuk kembali oleh bekas suaminya selama iddah, kalau sudah habis iddahnya ingin kembali harus dengan akad nikah biasa.46

45

Syadzali Mustafa,pengantar dan azas-azas hukum islam, (Jakarta: CV. Ramdani, 1990), cet. Ke-1, h. 80


(41)

Firman Allah SWT. QS At Thalaaq / 65:1

Artinya:

ا ت ْ ب م ْ ج ْحت ا ْم بر ها اْ تا ع ا اْ سْحأ ت ع ْ طف أس ا م ط ا إ ا ا أ ا ْ ت ا سْ م ظ ف ها ح ع ْ م ها ح كْت م شحا ب ْتْأ أ إ خ ا ت ب م ْ ج

ا مأ ك ْعب ْح ها ع ْ ر .

[ اطلا

]

“Hai nabi apabila kamu menceraikan iatri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hilanglah waktu iddah itu dan bertaqwalah kepada Allah tuhanmu. Dan janganlah kamu keluarkan

mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka )di izinkan ) keluar kecuali kalau

mengerjakan perbuatan keje yang terang itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuatdzalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali

Allah mengadakan sesudah itu sesuatu terjadi yang baru.

Yang di maksud ke dalam kategori talak Raj‟I adalah sebagai berikut : 1. Talak satu atau talk dua tanpa lwadh dan telah kumpul

a. Talak mati,tida hamil

b. Talak hidup san hamil

c. Talak mati dan hamil

d. Talak hidup dan tidak hamil

e. Talak hidup dan belum haid ataupun hamil.

2. Talak karena Ila‟ yang di lakukan hakim.


(42)

illa‟ adalah bersumpahnya untuk tidak mengumpuli istrinya baik dengan menggunakan nama Allah maupun sipatnya , baik secra mutlak tanpa batasan waktu atau pun dengan batasan waktu empat bulan atau lebih.47

Jika seorang suami mengila „istrinya berarti ia mengharam kan dirinya untuk menggauli istrrinya itu,kalau ia ternyata menghalalkan atau menggaulinya juga istrinya yang telah di ila‟ itu, maka ia wajib membayar denda dan bukan termasuk talak adapun denda yang harus dapat di penuhi karena sumpah ila‟adalah sebagai berikut:

a. Memerdekaan seoarang budak

b. Memberi makan sepuluh orang miskin, masing-masing satu cupak makanan yang mengenyangkan, atau memberi mereka pakaian

c. Puasa tiga hari berturut-turut.

3. Talak Hakamain

Talak Hakamain artinya talak yang diputuskan oleh juru damai (hakam) dari pihak suami atau istri.48 Hakim ini biasa diangkat dan dilakukan sendiri ataupun dari Hakim Pengadilan Agama. Hal ini terjadi karena syiqoq, baik dengan iwadh

47 Syadzali Mustafa,pengantar dan azas-azas hukum islam, (Jakarta: CV. Ramdani, 1990), cet. Ke-1,

h.83


(43)

dari pihal istri yang berarti khulu‟ maupun talak biasa, Cuma jatuhnya talak dari Hakamain atas nama suami.49

b. Talak Ba‟in

Seorang pria dilarang menikah kembali atau merujuk istrinya yang telah ditalak ba‟in kubra, yaitu talak tiga, baik sekaligus maupun berturut-turut. Larangan ini tidak berlaku lagi apabila istri tersebut sudah dinikahi dengan sah dengan pria lain, dan telah mengadakan hubungan kelamin kemudian diceraikan dan telah habis masa idahnya.50

Yang dimaksud talak tiga sekaligus ialah menjatuhkan talak tiga dengan satu kali ucapan. Ucapannya seorang suami kepada istrinya “ saya talak kamu dengan talak tiga”.51

Adapun talak tiga secara berturut-turut ialah :

1. Mula-mula ditalak dengan talak satu, kemudian dirujuk atau dinikahi lagi, kemudian ditalak yang kedua kalinya dengan talak satu, selanjutnya dinikahi atau rujuk lagi dan kemudian ditalak lagi.

2. Mula-mula ditalak dengan talak satu, kemudian dirujuk atau dinikahi lagi, kemudian ditalak untuk yang kedua kalinya lagi dengan talak satu.

3. Seperti angka dua diatas, hanya pertama-tama dijatuhkan talak satu kemudian yang untuk kedua kalinya dijatuhkan talak satu.

49

Ibid, h. 33

50

K. wantjik saleh, hukum perkawinan indonesia,(Jakarta: Ghalia Indah, 1978), cet. 5, h. 37

51


(44)

4. Mula-mula ditalak dengan talak satu,. Selama dalam masa iddah ditalak lagi dengan talak satu, dan selama masa iddah belum habis ditalak dengan talak satu, atau mula-mula ditalak dengan talak satu, kemudian dalam masa iddah ditalak dua, atau sebaliknya.52

Menurut undang-undang No I tahun 1974 tentang perkawinan, macam-macam perkawinan terbagi dalam dua macam, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Dari ketentuan-ketentuan tntang perceraian dalam Undang-undang No I tahun 1974 tentang perkwainan pasal 39-41 dan tata cara perceraian dan peraturan pelaksanaan yaitu PP No 9 Tahun 1075 pasal 14-36- jo. Kompilasi Hukum Islam pasal 114 jo. Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian terbagi menjadi dua macam, yaitu cerai talak dan cerai gugat.53

Menurut pasal 114 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disahkan karena percerain dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Undang-undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menhendaki demikian, sehingga proses perceraian atats kehendak suami berbeda dengan perceraianatas kehendak isteri istri.54

1. Cerai Talak

52

Ibid, h. 25

53 K. wantjik saleh, hukum perkawinan indonesia,(Jakarta: Ghalia Indah, 1978), cet. 5, h. 37 54

A. mukrito, praktek perkara perdata pada peradilan agama,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. 3, h. 206


(45)

Cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga perkawinan menjadi putus, dalam bahasa fiqh cerai seperti ini disebut “Talak”.55 Cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, sehingga perkawinan menjadi putus, ialah bahasa fiqih, cerai seperti ini disebut “talak” istilah cerai talak terdapat pada dalam PP No 9 Tahun 1975 Pasal 14 Yang Merupakan Penegasa Dari Pasal 39 UU perkawinan No I tahun 1974, cerai talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam seperti dirumuskan dalam 14 PP No 9 Tahun 1975 sebagai berikut: “ seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan ditempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan kepada pengadilan diadakan sidang untuk keperluan itu.

Dalam Kompilasai Hukum Islam pasal 117 disebutkan bahwa talak adalah ikrar suami dihadapan siding Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.56 Tata cara cerai talak diantaranya sebagai berikut :

a) Seorang suami yang akan mengajukan permohonan, baik lisan, maupun tertulis, kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri, dan dengan alasannya, serta Seorang suami yang akan mengajukan talak kepada isterinya harus meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

b) keputusan tersebut dapat meminta upaya banding atau kasasi.

c) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan tersebut, kemudian dalam waktu yang selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil

55

Departemen agama RI, Tanya jawab kompilasi hukum islam, (Jakarta : PT. RIENEKA CIPTA, 1992), cet, 1. H. 274.

56


(46)

pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

d) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak, dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak, serta yang bersangkutan tidak mungkin akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya, Pengadilan Agama dapat menjatuhkan putusan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

e) Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama yang dihadiri oleh isteri atau nkuasanya.

f) Apabila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama, tentang izin ikrar talak baginya yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur, dan ikatan perkawinan tetap utuh.

g) Setelah sidang menyatakan ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak, dalam rangkap 4 (empat) yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri, Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, Helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami, isteri, dan Helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

h) Gugatan cerai talak ini dapat di kabulkan atau ditolak oleh Pengadilan Agama.57

57


(47)

Permohonan cerai talak meskipun berbentuk permohonan tetapi pada hakikatnya adalah kontensius, karena didalamnya mengandung unsur sengketa, oleh sebab itu, harus di proses sebagai perkara kontensius untuk melindungi hak-hak isteridalam mencari upaya hukum dan keadilan.58

Dari ketentuan diatas dalam hubungan dan pelaksanaannya, jelas bahwa pengajuan pemberitahuan keinginan cerai itu harus dilakukan denga cara tertulis (surat) ke Pengadilan Agama dengan maksud agar persoalan yang diadukan lebi jelas. Perlu juga ditegaskan disini, bahwa keinginann tersebut berasal dari pihak suami, dan yang diajukan itu bukanlah suatu “surat permohonan” tapi surat pemberitahuan” yang memberitahukan bahwa ia akan menceraikan istrinya dan untuk itu ia meminta kepada Pengadilan Agama agar mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu, agar perceraiannya itu mempunyai kekuatan hukum.

Permohonan cerai talak meskipun berbentuk permohonan tetapi pada hakikatnya adalah kontesius, karena di dalamnya mengandung unsur sengketa, oleh sebab itu, harus diproses sebagai perkara kontesisus untuk melindungi hak-hak istri dalam mencari upaya hukum dan keadilan.

2. Cerai gugat

Cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh istri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Definisi lainnya disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan cerai gugat ini adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh pihak istri kepada pihak suami melalui

58


(48)

pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan.59 Ciri-ciri dari cerai gugat adalah sebagai berikut. :

a. Gugatan diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.60

b. Gugatan perceraian karena alasan:

1. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut, tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, gugatan dapat diterima apabila tergugat mengatakan, atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.61

2. Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan, dan pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Gugatan baru dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai

59

K. wantji saleh, Op. Cit, h, 63

60

Mukrito, Op, Cit, h. 207


(49)

sebab-sebab peselisihan, dan pertengkaran itu, serta telah mendengar pihak keluarga juga terhadap orang-orang yang dekat dengan suami-isteri tersebut.62

3. Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan sebagai bukti penggugat, cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara, disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

a. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin di timbulkannya, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

b. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan tergugat atau penggugat, Pengadilan Agama dapat:

4. Menentukan nafkah yang harus di tanggung oleh suami.

5. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri, atau barang-barang yang menjadi hak suami, atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Gugatan perceraian gugur apabila suami, atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian tersebut.


(50)

Dalam Kompilasi Hukum Islam, istilah cerai gugat dukenal dengan nama “khulu” dinyatakan dalam pasal I bahwa, khulu‟ adalah peceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.

Gugatan cerai (cerai gugat) diatur dalam Undang-undang No I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 40,jo. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tantang Catatan Perkawinan pasal 20-36,jo. Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pasal 73-88, yang sudah diamandemen Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo, KHI pasal 113-148.

E. Tata Cara Perceraian

Sebagaimana halnya dengan akad nikah, maka talak pun adalah semacam akad pula. Hanya saja bedanya ialah semacam perjanjian untuk menjadi suami istri, sedangkan talak ialah perjanjian melepas buhul akad nikah yang telah disepakati sebelumnya.

Untuk mentalak istri atau melepas kepemilikan istrinya, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Suami langsung menjatuhkan talak kepada istrinya, dihadapan dua orang saksi laki-laki dan dengan syarat-syarat dan proses tertentu yang ditentukan syara.

b. Dengan mewakilkan kepada orang lain, tentu saja dengan surat kuasa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti jika terjadi perselisihan atau perceraian dikemudian hari.


(51)

c. Dengan surat suami yang diantar seseorang yang diberi kuasa oleh pihak suami, tentu saja surat itu adalah surat yang dapat dijadikan bukti prosedurnya seperti nomor satu diatas.63

Dalam Peraturan Pemerintahan tata cara perceraian yang kategorikan sebagai cerai talak diatur dalam pasal 14, yaitu sebagai berikut.

1) Seorang suami yang perkawinannya dilakuakan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud mencreaikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada Pengadilan Agama agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

2) Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat itu dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil suami istri tersebut untuk diadakan pemeriksaan seperlunya.

3) Dalam setiap kesempatan sebelum terjadi talak, pengadilan harus selalu berusaha mendamaikan suami istri dan berusaha agar bermaksud mengadakan perceraian tersebut tidak lagi dilaksanakan. Dalam usaha mendamaikan tersebut Pengaadilan dapat meminta bantuan kepada orang yang dipandang perlu atau suatu badan penasehat, sepeperti BP4 (Badan Penasehat Perkawinan dan Penyuluhan Perceraian) atau badan lain untuk memberi nasehat kepada suami istri tersebut.

4) Bila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan sebagai dimaksud dalam Undang-Undang (lihat penjelasan pasal 39 UU) dan bahwa antara suami istri

63


(52)

tersebut tidak mungkin lagi dapat didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka Pengadilan mengadakan sidang suami tersebut mengikrarkan talak kepada istrinya. Jadi ikrar tersebut diucapkan disidang pengadilan dihadapan istri atau wakilnya.

5) Apabila hal ini telah dilaksanakan maka pengadilan membuat surat keterangan tentang adanya talak tersebut . surat keterangan itu dibuatrangkap 5(lima). Helai pertama disimpan di pengadilan, helai kedua dan ketiga dikirim masing-masing kepada PPN (pegawai pencatat nikah) tempat pernikahan dahulu untuk diadakan pencatatan perceraian, sedangkan helai keempat dan kelima diberikan kepada suami istri.

F. Akibat Perceraian

Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa suatu perkawinan bisa putus karena kematian salah satu pihak dari suami istri, atau karena perceraian suami istri.64

Adapun akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah sebagai berikut : a. Mengenai hubungan Bekas suami dan Bekas Istri.

1) Pada perceraian yang memasuki tingkat tidak mungkin disambut kembali (talak bain), persetubuhan tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin kembali asal saja belum melebihi dua pernyataan talak.

64


(53)

2) Dalam hal talak tiga dijatuhkan, perkawinan kembali hanya dapat setelah memenuhi syarat-syaratyang berat, sedang perceraian karena LI‟an, perkawinan kembali tidak mungkin untuk lagi dilakukan selamanya.

3) Suami atau istri yang meninggal dalam waktu iddah talak yang dapat dicabut kembali (talak raj‟i), berhak mendapat warisan dari harta peninggalan yang meninggal.

4) Pada perceraian yang tidak dapat dicabut kembali (talak bain) tidak seorangpun dari suami atau istri berhak mendapat warisan dari harta peninggalan yang meninggal dunia dalam masa iddah tersebut.65

b. Mengenai anak

Kalau perceraian suami atau istri telah memasuki tingkat yang tidak mungkin dicabut kembali, maka yang menjadi persoalan adalah anak-anak dibawah umur, yakni anak yang belum berakal. Sekarang timbul pertanyaan siapakah diantara suami atau istri yang berhak memelihara danmengasuh anak tersebut, yang dalam istilah hukum islam disebut hak Hadhanah.

c. Mengenai Harta Benda

Tentang harta benda didalam Islam tidak dikenal percampuran harta kekayaan antara suami atau istri karena pernikahaan harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian pula harta kekayaan suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya.

65


(54)

Karena itu pula menurut hukum islam perempuan yang telah bersuami tetap dianggap cakap bertindak dalam hukum, sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat. Hal ini berbeda dengan hukum barat perempuan yang bersuami tidak cakap bertindak hukum dan hanya dapat dilakukan perbuatan hukum secara sah, jika dibantu atau dikuasakan secara tertulis oleh suaminya.

Akan tetapi karena menurut Islam, dengan perkawinan sang istri menjadi sang istri (kongsi) sekutu dengan seorang suami dalam melayani bahtera hidup.66 Maka antara suami istri terjadilah syarikah abdan (perkongsian tenaga)dan syarikah mufawadah

(perkongsian tidak terbatas).67

Jika selama perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta dyirkah, yaitu harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami istri, karena itudalam Islam ada harta suami istri yang terpisah (tidak campura) dan harta kekayaan tidak terpisah.

Dalam hal harta kekayaan yang bercampur yang merupakan harta kekayaan bersama dari suami istri selama perkawinan, menjadi milik bersama dari suami dan isteri untuk kepentingan bersama. Karena itu apabila ikatan perkawinan putus baik disebabkan meninggal atau perceraian, maka harta ini dibagi antara suami istri.

Pada pasal 149 Kompilasi Hukum Islam tentang akibat-akibat perceraian (tidak) yaitu :

a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istri, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla dukhul.

66

Hasby Asy-shydqi, pedoman rumah tangga, (medan: Pustaka Maju), hal. 9

67


(55)

b. Memberikan nafkah, makan dan kiswah kepada istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c. Melunasi mahar yan masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qobla

dukhul

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

BAB III

KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN CIOMAS A. Letak Geografis Dan Batas Wilayah

a. Lokasi Kecamatan Ciomas Secara Geografis Adalah Sebagai Berikut :

 Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan pabuaran

 Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten pandeglang

 Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan padarincang


(56)

b. Luas kecamatan ciomas

Luas kecamatan ciomas terdiri dari 11 desa, 147 RT dan 49RW dan mempunyai areal seluas 48,53 Km2.

c. Morfologi

Kecamatan ciomas merupakan dataran tinggi yang mempunyai ketinggian wilayah antara 230 s.d 650 M diatas permukaan laut dan kecamatan ciomas terletak dikaki gunung karang.

d. Keadaan Geologis

Keadaan geologis dikecamatan ciomas yaitu jenis tanah subur cocok untuk kawasan pertanian, perkebunanm perikananm dan peternakan.

Keadaan tanah diciomas pada umumnya masuk dalam subdrup kandi udop tipik, hapludlut tipik dan kandi udop litik, dengan tingkat kesuburan rendah.68 Topografi berbukit dengan kemiringan 10% keatas dengan curah hujan hamper merata sepanjang tahun. curah hujan hamper merata sepanjang 6 tahun, rata-rata 5 tahun terakhir ii adalah 2.430 mm pertahun.

e. Tata Air

 Sumber air yang mempunyai potensi penting yaitu air cibanten yang mempunyai debet air 750 liter/per detik

 Sumber air cibulakan mempunyai debet 400 liter/detik

f. Aliran Air Sungai

68


(57)

Aliran sungai cibanten dan cibulakan airnya dipergunakan untuk mengairi sawah atau pengairan lainya.

g. Keadaan Iklim

Sesuai dengan keadaan morfologinya, iklim kecamatan ciomas iklim dataran tinggi dengan udara yang sejuk mempunyai temperature rata-rata berkisar antara 18-30o celcius. ( sumber kecamatan ciomas 2010).69

Adapun jumlah dan luas wiLayah kecamatan ciomas termasuk desa-desa yang termasuk kedalam kecamatan ciomas berdasarkan peraturan daerah kabupaten serang No 16 Tahun 2001 tentang pembentukan kecamatan organisasi kecamatan dan kelurahan terdiri sebagai berikut :

Tabel 1

Desa-desa yang termasuk dalam kecamatan ciomas

69


(58)

Desa /kelurahan Luas wilayah (Km2)

Presentase terhadap luas kecamatan (%)

1. Sukadana 3,60 7,42

2. Sukabares 2,17 4,48

3. Ujung tebu 6,99 14,40

4. Citaman 5,04 10,39

5. Cemplang 4,96 10,22

6. Lebak 3,69 7,60

7. Sukarena 8,00 16,49

8. Pondok Kahuru 2,74 5,09

9. Cisitu 3,97 8,18

10. Siketug 3,98 8,20

Ciomas 48,53 100,00

(Sumber laporan kecamatan ciomas tahun 2010)

Table 2

Jumlah penduduk kecamatan ciomas menurut tingkat usia

Usia Laki-laki perempuan total


(59)

5-9 1.612 2.335 3.947

10-14 2.227 2.457 4.684

15-19 2.079 2.281 4.360

20-24 1.521 1.584 3.105

25-29 1.295 1.584 2.879

30-34 1.225 1.479 2.704

35-39 1.217 1.612 2.829

40-44 1.059 1.431 2.489

45-49 785 1.047 1.833

50-54 747 778 1.524

55-59 489 529 1.018

60-64 333 418 751

65-69 406 710 1.115

Ciomas 16.549 20.072

(Sumber laporan tahunan kecamatan ciomas tahun 2010)70

Dari table diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah usia yang produktif lebih kecil dibandingkan usia yang tidak produktif, yaitu terdiri dari : usia anak-anak dan remaja

70


(60)

serta usia lanjut, hal ini berdampak pada kesejahteraan keluarga dimana 1 (satu) orang usia produktif berbanding 3 (tiga) orang usia tidak produktif, usia tidak produktif ini dapat dilihat sebanyak 24.163 jiwa, sedangkan usia produktif hanya berjumlah 17.142 jiwa, disamping itu penghasilan yang didapat dari usia produktif hanya dibawah standar kesejahteraan karena pada umumnya penduduk kecamatan ciomas berfrofesi sebagai petani, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini :

Table 3

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Desa Pertanian Perdagangan / penggalian

Industry dan kerajinan

perdagangan

1. Sukadana 64,1 - 1,7 9,4

2. Sukabares 58,0 - 1,6 14,1

3. Ujung tebu 70,7 - 4,4 7,0

4. Citaman 74,2 - 3,3 7,2

5. Cemplang 75,7 - 1,0 7,7

6. Lebak 73,0 - 1,9 7,2

7. Sukarena 76,5 - 1,7 5,5

8. Pondok Kahuru

68,6 0,1 1,5 8,5

9. Cisitu 69,8 - 2,9 4,7


(1)

apa yang ada dalam Kitab-Kitab Fikih Klasik dan juga apa yang sudah dipraktekan pada zaman Nabi dan para sahabatnya yang cepat mudah dan efisien dan memang pula pencatatan perceraian ini tidak ada dalam Al Qur‟an, walaupun pada azasnya pengadilan agama juga menerapkan proses yang cepat, mudah, dan efisien. Namun pada prakteknya berbeda bahkan bisa memakan waktu sampai tingkat banding dan kasasi. Hal seperti ini membuat sebagian masyarakat mencari alternatif lain agar perkara perceraiannya cepat selesai atau diputuskan yaitu dengan jalan cerai di luar pengadilan. Untuk itu Pemerintah harus benar-benar memberikan pengetahuan tentang tata cara bercerai dipengadilan atau memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Jangan saling menyalahkan tugas masing-masing karena ini adalah tugas dari pemerintah untuk mencerdaskan mayarakat.

Dalam hal sebagian masyarakat menganggap hal seperti cerai diluar pengadilan agama dianggap biasa, juga membutuhkan penanganan yang serius agar hal seperti itu bisa diminimalisir atau tidak terjadi lagi dengan adanya sosialisasi kepada masyarkat terutama yang berpendidikan rendah atau awam terhadap pengetahuan tentang hukum perkawinan karena hal seperti cerai diluar pengadilan agama juga terjadi di daerah-daerah yang pada umumnya berpendidkan rendah dan awam terhadap hukum perkawinan dan presentasinya pun semakin besar untuk melakukan cerai diluar pengadilan agama. Untuk itu pemerintah, tokoh masyarakat maupun aparatur hukum agar supaya memberikan pemahaman hukum khususnya tentang perkawinan untuk mengubah paradigma di masyarakat yang menganggap perceraian diluar pengadilan agama hal yang biasa.


(2)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas, penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut :

1. Perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Ciomas diluar Pengadilan Agama adalah dengan mendatangi keluarga untuk saksi dalam perceraian mereka dan melapor ke RT untuk memberikan atau mengisi data perceraian yang tersedia. Selanjutnya proses terjadinya perceraian pada masyarakat ciomas juga bisa melalui tokoh masyarakat atau ulama setempat, biasanya ulama setempat memberikan mediasi kepada pasangan yang akan berceraian tersebut.

2. Faktor penyebab masyarakat ciomas dalam menyelesaikan perkara perceraian tidak di pengadilan agama adalah Faktor pendidikan yang rendah, pada faktor ini masyarakat ciomas yang bercerai tidak mengetahui bahwa bercerai itu harus didepan sidang pengadilan. Ini dikarenakan faktor pendidikan yang rendah dan pengetahuan tentang hukum masih belum memadai.

3. Yang harus dilakukan pemerintah dalam meminimalisir perceraian diluar Pengadilan Agama adalah adanya peran lembaga legislative, yudikatif dan eksekutif memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar mengetahui bahwa perceraian yang benar adalah di depan siding pengadilan. Selanjutnya kementrian agama memberikan suatu tanda di dalam sighat Ta‟lik Talak yang salah satu poinnya menyatakan bahwa apabila suami meninggalkan atau tidak melaksanakan kewajibanya dan apabila


(3)

isterinya tidak rela maka si isteri bisa mengadukan ke pengadilan agama dan bisa di terima dan dibenarkan.

B. Saran-Saran

Pada penulisan skripsi ini penulis memberikan beberapa saran dari apa yang penulis amati selama penelitian diantaranya :

1. Karena masyarakat Ciomas belum memahami perceraian harus didepan sidang Pengadilan Agama maka hendaknya pemahaman tentang keharusan perceraian di pengadilan agama itu ada dalam setiap kurikulum fikih Tsanawiyah Dan Ailyah sebagai pembelajaran agar kelak masyarakat memahami bahwa perceraian itu harus didepan siding pengadilan. yang sesuai dengan pasal 39 Undang-Undang 1974 tentang perkawinan dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam dimana salah satu persyaratan perceraian harus didepan sidang pengadilan dan pengetahuan tentang ilmu hukum dimasukan kedalam materi setiap majelis ta‟lim yang berada di kecamatan ciomas.

2. Hendaknya para Ulama dan Pemerintah Bekerja sama, untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pengetahuan tentang hukum dan tata cara perceraian di pengadilan agama apabila ingin bercerai. Ini dimasksud agar masyarakat kecamatan ciomas memahami dan mengerti tentang tata cara perceraian.

3. Karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keharusan perceraian di Pengadilan Agama maka yang pantas dikatakan bersalah adalah pemerintah karena pemerintah seharusnya memberitahukan kepada pemerintah bawah seperti RT, RW, dan Ulama atau tokoh masyarakat agar pemerintah bawah tersebut memberitahukan


(4)

kepada masyarakat agar masyarakat dapat memahami bahwa perceraian harus di depan sidang Pengadilan Agama.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Zainudin Ali.,H., Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Wawancara Pribadi dengan Drs. H.M. Hasany Nazir, SH. MH. 11 januari 2011 Wawancara pribadi dengan Drs. H. Khasiful Qurab M. Si. 11 februari 2011 Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Abdul, Manan, Penerapan Acara Perdata Di Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2006. Undang-undang perkawinan indonesia (Surabaya, Arkola)

Ahmad, Sudirman Abas, qawaid fiqhiyah, Jakarta: Anglo Media, 2004 Sayuti, Tholib, Hukum Kekluargaan Indonesia, Jakarta : UI-PRESS, 1986.

Dharmabrata, Wahyono, Hukum Perdata, Asas-Asas Hukum Orang Dan Keluarga, Jakarta: Gitamajaya, 2004

Arifin, bustanul, Prof., Dr., Pengadilan Agama Di Indonesia, Jakarta : INSI, 1991.

Arto, Mukti H.A., Drs., Praktek Perkara Perdata Di Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Cet. Ke-4.

Harahap, yahya. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Karini, 1999, Cet. Ke-5.

Abdul, Manan., Prof. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Diindonesia, Jakarta: Sinar Garfika 2009

Daud, Ali., Prof., Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Garafindo, 2002 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama. Sinar Grafika : Jakarta. 2006

Purbacaraka, Purnadi. dan Soekanto, Soejono. Perihal Kaidah Hukum, Bandung, Penerbit Alumni,Cet. Ke 4, 1997.

Undang-undang Dasar 1945, Pembukaan dan Pasal 27 ayat 1


(6)

Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2005

Arto, A., Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Bou Jeber, Zein dan Soleh,Rahman, A. Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Amni

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke 2, 2000.

Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Logos, Cet. Ke, 1999

Mahendra, Ihza Yusril, Supermasi Hukum Di Indonesia, Jakarta, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan , 2002

Hadi,Sutrisno , Metodologi Resarch I, Yogyakarta, Andi Offset, 1989 Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI, 1986

Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian: Skripsi, Tesis, dan Desirtasi, Jakarta, Yayasan Klopak dan Makna Scrip, 2004