c. Partisipasi Politik Dalam ilmu politik, partisipasi politik didefinisikan sebagai keikutsertaan
warga negara dengan bentuk yang terorganisir dalam membuat keputusan-keputusan politik, dengan keikutsertaan yang bersifat sukarela dan atas kemauannya sendiri,
didasari oleh rasa tanggung jawab terhadap tujuan-tujuan social secara umum dan dalam koridor kebebasan berpikir, bertindak dan kebebasan mengemukakan
pendapat. Dalam literature sosial politik dapat didefinisikan sebagai “kontribusi atau keikutsertaan warga dalam masalah-masalah politik di lingkup masyarakatnya,
dengan mendukung atau menolak, membantu atau melawan dan seterusnya.
12
Dengan ketiga aspek inilah maka pendidikan politik akan berjalan sesuai dengan tujuan dari pendidikan politik itu sendiri. Maka ketiga aspek di ataslah yang
harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur pendidikan politik agar mendapatkan hasil yang maksimal dari proses pendidikan politik.
Jadi, pada intinya pendidikan politik bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran politik dan mendidik karakteristik manusia yang kenyang dengan jiwa
demokrasi. serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan pendidikan yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah demi tercapainya tujuan
pendidikan yang umum ataupun yang khusus. Juga bertujuan untuk memperlancar jalannya demokrasi yang dinamis.
E. Tujuan Pendidikan Politik Islam
12
Ibid, hal. 98-99
Hubungan erat antara Islam dan politik sebagaimana telah ditunjukan dalam keterlibatan nyata umat Islam dalam urusan-urusan politik, bukan sekedar penjelmaan
realitas sejarah tapi juga penjelmaan dari ketentuan agama. Menurut Bernard Lewis, “Islam terkait dengan kekuasaan sejak awal kelahirannya, dari masa formatifnya di
zaman Nabi dan para Khalifah sesudah Nabi wafat. Hubungan agama dan kekuasaan, umat dan masyarakat politik ini, dapat dilihat dalam Al-Qur’an sendiri dan dalam
teks-teks keagamaan yang lain yang merupakan sandaran bagi keyakinan umat Islam.” Ini berarti bahwa keduanya memang tak terpisahkan.
Pengalaman politik umat Islam dalam sejarah merupakan cerminan dari kesadaraan keagamaan. Tapi mungkin juga dua hal tersebut merupakan fenomena
terpisah. Setelah masa Nabi dan Khalifah yang empat sejarah politik yang terbentuk bukanlah tipe kesadaran politik yang mengalir langsung dari semangat ajaran-ajaran
Islam, melainkan sebagaimana dikatakan Hamid Enayat: “Suatu kecenderungan umat Islam kepada politik yang sering kali
tersembunyi di belakangan ketakwaan, atau kelesuan politik atau keduanya. Kalau esensi politik adalah seni hidup dan kerjasama dengan yang lain, maka rukun
Islam syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu sangat sesuai dengan upaya menjunjung-tinggi semangat korp esprit de corps dan solidaritas
kelompok diantara umat Islam … jika … hakikat politik adalah pergumulan untuk kekuasaan, maka hampir menjadi lebih banyak lagi visi dunia politik : dengan
selalu memandang hakikat manusia atas dasar kebutuhan jasmani dan rohani, Islam tidak pernah puas dengan sekedar ungkapan cita-cita, tapi terus menerus
mencari alat untuk menjabarkan cita-cita tersebut dan kekuasaan adalah alat yang sangat penting untuk mencapai cita-cita tersebut”.
13
Terdapat tiga arus utama pemikiran politik Islam yaitu :
13
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik era orde baru, Jakarta: Logos, 2001, h. 88-89
Pertama, arus formalistik. Arus ini menekankan formalisme keagamaan yaitu bentuk-bentuk prakonsepsi Islam tentang politik, seperti bentuk negara dan corak
instrumen politik yang perlu diadakan. Kedua, kecenderungan substantive yang menekankan isi substansi dari pada
bentuk format. Pendukung arus ini menekankan tuntutan manifestasi nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik dan subtansi nilai-nilai instriksi Islam ke dalam
kehidupan politik nasional. Ketiga, arus “fundamentalis”. Istilah ini dipakai untuk menunjukan adanya
arus yang berada di luar dan di antara dua arus sebelumnya. Pendukung arus ini cenderung untuk bertumpu pada nilai-nilai dasar Islam dan berusaha untuk
melakukan ideologisasi terhadap Islam untik kehidupan politik. Islam bukan hanya sekedar akidah ketuhanan atau ritual ibadah saja atau
bukan hanya sekedar hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tanpa ada hubungan dengan penataan kehidupan, masyarakat dan negara. Islam adalah aqidah,
ibadah, moral dan syari’ah yang integral. Dengan kata lain, Islam adalah system kehidupan yang komprehensif.
Kepribadian muslim seperti yang di bina oleh Islam dan ditempa oleh akidah, syari’ah, ibadah dan tarbiyahnya adalah kepribadian politikus. Islam meletakan suatu
kewajiban di pundak setiap muslim yang dinamakan dengan amar ma’ruf dan nahi munkar. Kewajiban ini mungkin saja dilaksanakan dalam bentuk nasehat kepada para
penguasa dan kaum muslimin secara umum. Hal ini sejalan dengan hadits Rasul yang
mengatakan, “agama adalah nasehat”. Kegiatan seorang muslim dalam menata masalah umatnya, sekarang dinamakan dengan kegiatan politik.
14
Para ulama masa lalu memuji nilai dan keutamaan politik, sehingga Imam Al- Ghazali mengatakan : “Dunia adalah ladang akhirat, agama tidak akan sempurna
kecuali dengan dunia. Penguasa dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang dan penguasa adalah penjaga. Sesuatu yang tidak punya tiang akan rubuh dan sesuatu
yang tidak dijaga akan hilang”.
15
Politik diharuskan ada dalam suatu negara karena mempunyai peran yang sangat pital untuk kemajuan negara itu sendiri, yaitu dengan pemberi nasihat kepada
para pemimpin atau penguasa bila terdapat kejanggalan atau kesalahan dalam kepemimpinannya, yaitu tugas menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar baik bagi
masyarakat yang menggeluti politik yang bersangkutan ataupun pemimpin itu sendiri.
14
Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqh Negara, Jakarta: Robbani Press, 1997, h. 109-111
15
Ibid, h. 122
BAB III SEJARAH PIAGAM MADINAH