Indonesia masih dalam keadaan terjajah oleh kolonialisme Belanda. Disebut babak putih karena surat kabar pada waktu itu mutlak milik orang-orang Eropa, berbahasa
Belanda dan diperuntukkan bagi pembaca berbahasa Belanda. Kontennya hanya seputar kehidupan orang-orang Eropa dan tidak mempunyai kaitan kehidupan
pribumi.Babak ini berlangsung antara tahun 1744-1854. Babak kedua yang berlangsung antara tahun 1854 hingga Kebangkitan Nasional secara kasar dapat
dibagi dalam tiga periode, yakni: 1.
Antara tahun 1854-1860, dalam periode ini surat kabar bahasa Belanda masih memegang peranan penting dalam dunia pers Indonesia. Namun, surat kabar
dengan bahasa Melayu telah terbit bernama Slompret Melajoe. 2.
Antara tahun 1860-1880, surat kabar bahasa pra-Indonesia dan Melayu mulai banyak bermunculan tetapi yang memimpin surat kabar-surat kabar ini adalah
orang-orang peranakan Eropa. 3.
Antara tahun 1881 sampai Kebangkitan Nasional, periode ini mempunyai ciri tersendiri karena pekerja pers terutama para direkturnya tidak lagi dari
pernakan Eropa, tetapi mulai banyak peranakan Tionghoa dan Indonesia atau biasa disebut dengan pribumi.
Surat kabar di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang yang secara singkat terbagi dalam enam periode, yakni zaman Belanda, zaman Jepang, zaman
kemerdekaan, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru dan zaman reformasi. Berikut uraian singkat keenam periode bersejarah tersebut:
1. Zaman Belanda
Pada tahun 1744 dilakukanlah percobaan pertama untuk menerbitkan media massa dengan diterbitkannya surat kabar pertama pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Van Imhoff dengan nama Bataviasche Nouvelles, tetapi surat kabar ini hanya
Universitas Sumatera Utara
mempunyai masa hidup selama dua tahun. Kemudian pada tahun 1828 diterbitkanlah Javasche Courant di Jakarta yang memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita
lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Mesin cetak pertama di Indonesia juga datang melalui Batavia Jakarta melalui seorang Nederland bernama
W. Bruining dari Rotterdam yang kemudian menerbitkan surat kabar bernama Het Bataviasche Advertantie Blad yang memuat iklan-iklan dan berita-berita umum yang
dikutip dari penerbitan resmi di Nederland Staatscourant. Di Surabaya sendiri pada periode ini telah terbit Soerabajasch
Advertantiebland yang kemudian diganti menjadi Soerabajasch Niews en Advertantiebland.Sedang di Semarang terbit Semarangsche Advertetiebland dan De
Semarangsche Courant. Secara umum serat kabar-surat kabar yang muncul saat itu tidak mempunyai arti secara politis karena cenderung pada iklan dari segi konten.
Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar tiap harinya. Setiap surat kabar yang beredar harulah melalui penyaringan oleh pihak pemerintahan Gubernur Jenderal di
Bogor. Tidak hanya itu, surat kabar Belandapun terbit di daerah Sumatera dan Sulawesi. Di Padang terbit Soematra Courant, Padang Handeslsbland dan Bentara
Melajoe. Di Makasar Ujung Pandang terbit Celebes Courant dan Makassarsch Handelsbland.
Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda telah terbit sekitar 16 surat kabar dalam bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu
seperti, Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar terbit di Bogor, Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe Surabaya dan surat
kabar berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.
Universitas Sumatera Utara
2. Zaman Jepang
Saat wajah penjajah berganti dan Jepang memasuki Indonesia, surat kabar- surat kabar yang beredar di Indonesia diambil alih secara pelan-pelan. Beberapa surat
kabar disatukan dengan alasan penghematan namun yang sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang memperketat pengawasan terhadat isi surat kabar. Kantor Berita
Antara diambil alih dan diubah menjadi kantor berita Yashima dengan berpusat di Domei, Jepang. Konten surat kabar dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk
memuji-muji pemerintahan Jepang. Wartawan Indonesia saat itu bekerja sebagai pegawai sedang yang mempunyai kedudukan tinggi adalah orang-orang yang sengaja
didatangkan dari Jepang.
3. Zaman Kemerdekaan