BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan rupa yang seindah-indahnya, sebagaimana dalam firman
Allah SWT dalam surat At-Tin ayat 4 :
Artinya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Q.S At-Tin : 4. Selain itu juga manusia dilengkapi dengan organ psikofisik yang
istimewa seperti panca indera dan hati. Kenyataan itu merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya. Namun, apabila masyarakat membandingkan
manusia satu dengan lainnya maka perbedaannya akan terlihat. Misalnya dalam bentuk kekurangan fisik atau mentalnya yang kadang disebut dengan
cacat. Cacat bukanlah penyakit, melainkan suatu keadaan yang berbeda-beda. Dari perbedaan tersebut, terdapat sekelompok anak yang memiliki
keterbelakangan mental dengan ciri-ciri yang mencolok atau lebih dikenal dengan istilah down’s syndrome.
Down’s syndrome adalah kondisi abnormalitas pada diri manusia yang
ditandai oleh berbagai abnormalitas fisik termasuk keterbelakangan mental yang berat, disebabkan oleh munculnya satu kromosom ekstra dari kedua
puluh satu pasang kromosomnya. Nama lain untuk down’s syndrome disebut juga Mongolism.
1
Tentunya setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun si anak menyandang down syndrome, namun dalam proses ke arah
sana orangtua mempunyai tanggung jawab untuk dapat menerima keadaan anaknya dengan apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan
atau penilaian, selain itu juga tetap menghargai dan memahaminya sebagai individu yang berbeda dan mendukung perkembangannya.
Masa kanak-kanak adalah masa yang panjang dan cukup bagi seorang pendidik untuk menanamkan apapun yang diinginkan pada diri anak. Pada
masa itu pula, seorang pendidik dapat mengarahkannya sesuai dengan gambaran yang ada padanya. Selama seorang anak ditopang dengan asuhan
yang baik, arahan yang mendidik, maka pada saat itulah telah terbentang masa depan cerah yang akan dihadapinya.
Seperti halnya anak-anak normal, mereka membutuhkan pendidikan, bimbingan dan kasih sayang. Keluarga merupakan lembaga pendidikan awal
bagi anak, karena bimbingan merupakan hal pertama dan yang utama diberikan di rumah, sedangkan lembaga selanjutnya diberikan di sekolah
sebagai pendidikan formal yang akan membantu anak-anak untuk bisa hidup mandiri.
Mandiri bukanlah singkatan dari ” mandi sendiri ” melainkan mandiri merupakan suatu usaha agar anak dapat berdiri sendiri tidak bergantung pada
1
Kartono Kartini dan Gulo Dali, Kamus Psikologi, Bandung: Pionir Jaya,1987, h. 131.
orang lain dan bertanggung jawab atas perilakunya sendiri.. Kemandirian sudah dapat dilihat sejak individu masih kecil dan akan terus berkembang
hingga akhirnya menjadi sifat yang relatif menetap pada masa remaja. Masa kanak-kanak bukanlah masa “praktek”. Ia hanya suatu masa
persiapan dan pelatihan untuk dapat mencapai masa “praktek” di saat ia sudah mulai dewasa hingga ia merasa mudah dalam menjalankan kewajiban-
kewajibannya. Juga membuat sang anak siap secara total dalam mengarungi bahtera kehidupan dengan penuh rasa optimis.
2
Sekolah memiliki peranan penting terutama dalam membantu dan mengarahkan anak agar memiliki sikap mental dan mandiri yang baik,
meskipun tidak sepenuhnya menjadikan mereka anak normal. Masalah anak cacat terutama anak yang mengalami down’s syndrome
belum begitu banyak mendapat perhatian di Indonesia, meskipun dalam 10 tahun terakhir ini tampak kemajuan. Fasilitas pendidikan dan rehabilitasi
sangat terbatas. Secara praktis anak down syndrome tentu memerlukan tindakan yang khusus, seperti memasukkan anak tersebut ke sekolah khusus,
intervensi dini dan sebagainya. Tindakan ini perlu dilakukan karena intelegensi dan kemampuannya berada di bawah rata-rata, sehingga
membutuhkan bantuan khusus, seperti pengasuhan yang khusus dari orang tua.
Selain membutuhkan perhatian yang lebih dari orang tua seorang anak khususnya penderita down’s syndrome juga membutuhkan pola pendidikan
2
Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, Jakarta: Gema Insani, 2005, h. 423.
yang tepat bagi pengembangan kemampuan anak. Salah satunya adalah SLB sekolah Luar Biasa.
Lembaga SLB Sekolah Luar Biasa merupakan salah satu lembaga sekunder yang mempunyai peranan penting terhadap perkembangan jiwa
anak-anak cacat, baik cacat fisik maupun cacat mental. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan luar biasa yaitu membantu anak didik yang menyandang
kelainan fisik atau mental atau kelainan perilaku agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi
maupun anggota masyarakat, dan dapat hidup secara wajar serta mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Hal di atas juga dikarenakan interaksi anak dengan pendidik di sekolah cukup intensif dan berlangsung lama dalam setiap harinya. Karena itu sekolah
tidak hanya berfungsi untuk mencerdaskan melainkan juga membentuk watak dan kepribadian anak.
3
Begitu juga pendidik harus mempunyai pengertian tentang sikap dan pandangan anak dan keluarganya mengenai kekhususan yang dimiliki si anak.
Sikap dan pandangan ini dapat berbeda-beda, yaitu sebagian anak dan keluarganya dapat menerima kondisi si anak dan dapat mengatasinya,
sebagian lainnya tidak dapat berbuat demikian. Dimana kunci utamanya adalah apakah si anak merasa dicintai, disenangi, dan merasa aman. Hal ini
diperlukan oleh setiap anak, tetapi yang lebih dibutuhkan adalah anak yang berkebutuhan khusus.
3
Notosoedirjo Moeljono dan Latipun, Kesehatan Mental Konsep dan Penerapannya, Malang:Universitas Muhammadiyah, 2002, h. 201.
Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik pada anak down’s syndrome
terutama mengenai menumbuhkan kemandirian, dimana anak yang mengalami down’s syndrome perlu mendapatkan perhatian khusus melalui
bimbingan, untuk meneliti lebih jauh dalam sebuah penelitian penulis
menuangkan dalam judul skripsi “Pelaksanaan Bimbingan dalam Menumbuhkan Kemandirian Anak yang Mengalami Down’s Syndrome di
SLB-C Yayasan Krisna Murti Jakarta Selatan”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah