Uji Aktivitas Antibakteri Air Rebusan Dan Ekstrak Etanol Cacing Tanah (Megascolex sp.)Terhadap Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI AIR REBUSAN DAN EKSTRAK ETANOL CACING TANAH (Megascolex sp.)TERHADAP
BAKTERI Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae
SKRIPSI
OLEH:
ESNA WATY MANIK NIM 091524007
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI AIR REBUSAN DAN EKSTRAK ETANOL CACING TANAH (Megascolex sp.)TERHADAP
BAKTERI Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
ESNA WATY MANIK NIM 091524007
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI AIR REBUSAN DAN EKSTRAK ETANOL CACING TANAH (Megascolex sp.)TERHADAP
BAKTERI Salmonella typhosa, Escherichia coli,
Shigella dysenteriae
OLEH:
ESNA WATY MANIK NIM 091524007
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pada tanggal : Oktober 2011
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Dra. Sudarmi, M.Si., Apt. Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt. NIP 195409101983032001 NIP 195008281976032002
Pembimbing II, Dra. Sudarmi, M.Si., Apt. NIP 195409101983032001
Dra. Masfria, M.S., Apt. Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt NIP 195707231986012001 NIP 195008221974121002
Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt. NIP 195001261983031002
Dekan,
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena senantiasa memberikan rahmat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada kedua orangtua yang tercinta Juster Manik, SE dan Julianna Tarigan Amkeb serta kedua adik saya Eci dan Eka atas dukungan doa, semangat dan material selama menjalani pendidikan strata 1 Farmasi.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Sudarmi, M.Si., Apt. dan Ibu Dra. Masfria, M.S., Apt. yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, dan ikhlas sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan.
2. Ibu Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. selaku pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberi semangat kepada penulis selama menjalani pendidikan.
3. Ibu Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt., Bapak Drs. Awaluddin Saragih, M.Si.,Apt., dan Bapak Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt. Selaku dosen penguji yang telah memberikan saran hingga selesainya skripsi ini.
4. Ibu Kepala Laboratorium Farmakognosi dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah membina dan mendidik penulis selama menjalani pendidikan.
(5)
6. Teman-teman mahasiswa/i Farmasi khususnya Ekstensi angkatan 2009 yang telah membantu, dan memberikan semangat sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis bersedia menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang Farmasi.
Medan, Oktober 2011 Penulis
(6)
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI AIR REBUSAN DAN EKSTRAK ETANOL CACING TANAH (Megascolex sp.) TERHADAP
BAKTERI Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae
ABSTRAK
Cacing tanah adalah hewan yang mempunyai banyak khasiat dan mudah untuk ditemukan. Hasil informasi dari masyarakat Gang Flamboyan daerah Tanjung Slamat, kecamatan Medan Tuntungan, bahwa masyarakat mengkonsumsi air rebusan cacing tanah 3 kali sehari selama lebih kurang 7 hari digunakan sebagai obat tifus. Dan diperoleh juga informasi dari media elektronik yaitu internet, banyak masyarakat juga mengkonsumsi cacing tanah sebagai obat tifus dalam bentuk serbuk yang diisi ke dalam kapsul yang dapat dijumpai di toko obat cina.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri air rebusan dan ekstrak etanol cacing tanah terhadap bakteri Salmonella typhosa, Escherichia
coli dan Shigella dysenteriae dengan metode difusi agar menggunakan pencetak
lubang (punch hole).
Hasil skrining senyawa kimia dari serbuk simplisia dan ekstrak etanol cacing tanah menunjukkan adanya senyawa golongan glikosida, alkaloida, dan saponin. Ekstrak etanol cacing tanah diperoleh dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol. Batas daerah hambat yang efektif pada bakteri
Salmonella typhosa pada konsentrasi 100 mg/ml dengan diameter hambat 14,35
mm, bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 100 mg/ml dengan diameter hambat 14,10 mm.
Kata kunci : Cacing tanah Megascolex sp., Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella dysenteriae.
(7)
TEST OF ANTIBACTERIAL ACTIVITY FROM THE BOILED WATER AND ETANOL ESTRACT OF EARTHWORM (Megascolex sp.) AGAINST
BACTERIA Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae
ABSTRACT
Earthworms is a kind of animal has many usage and easy to find. The information of society from Flamboyan alley in Tanjung Slamat, Medan Tuntungan stated that society consume boiled water from earthworms three times a day for about 7 days for curing typhus. Beside it, the information from electronic media such as internet, stated that many society consumed this earthworms as a drug for typhus in powder preparation that filled into capsules which can be to found at china drug stores.
This research was done to test the antibacterial activity of boiled water and athanol extract of earthworm against Salmonella typhosa, Escherichia coli and
Shigella dysenteriae by using agar diffusion method and punch hole.
The results of screening chemical compounds from simplicia powder and ethanol extract from earthworms show that compounds glycosides group, alkaloids, and saponin were found. Ethanol extract of earthworms were gotten by maceration using ethanol solvent. The effective inhibitory regions against the bacteria Salmonella typhosa in concentration of 100 mg/ml inhibition diameter was 14.35 mm and inhibition diameter against Escherichia coli at same concentration was 14.10 mm.
Key words: Earthworms Megascolex sp., Salmonella typhosa, Escherichia coli
and Shigella dysenteriae.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN .... ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Kerangka Pikir Penelitian ... 3
1.4 Hipotesis ... 4
1.5 Tujuan Penelitian... ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... ... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cacing Tanah ... 6
2.1.1 Klasifikasi cacing tanah ... 6
2.1.2 Habitat Cacing Tanah Megascolex sp. ... 7
2.1.3 Nama Daerah ... 7
2.1.4 Ciri-ciri fisik cacing tanah ... 7
2.1.5 Perkembangbiakan ... 9
2.1.6 Kandungan kimia ... 9
(9)
2.2 Ekstraksi ... 15
2.2.1 Pengertian ... 15
2.2.2 Metode Ekstraksi ... 16
2.3 Sterilisasi ... 17
2.4 Bakteri ... 18
2.4.1 Uraian umum ... 18
2.4.2 Reproduksi bakteri ... 20
2.4.3 Morfologi bakteri ... 21
2.4.4 Fase pertumbuhan bakteri ... 23
2.4.5 Media pertumbuhan bakteri ... 24
2.4.6 Metode isolasi biakan bakteri ... 25
2.4.7 Pengukuran aktifitas antibakteri ... 26
2.4.8 Bakteri Salmonella typhimurium ... 27
2.4.9 Bakteri Escherichia coli ... 28
2.4.10 Bakteri Shigella dysenteriae ... 29
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Alat-alat ... 30
3.2 Bahan-bahan ... 30
3.3 Penyiapan Bahan ... 31
3.3.1 Pengambilan Bahan ... 31
3.3.2 Identifikasi Bahan ... 31
3.3.3 Pembuatan simplisia ... 31
3.4 Pembuatan Pereaksi ... 32
3.4.1 Pereaksi Asam Klorida 2 N ... 32
3.4.2 Pereaksi Asam Sulfat 2N ... 32
3.4.3 Pereaksi Bourchard ... 32
(10)
3.4.5 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 32
3.4.6 Pereaksi Mayer ... 32
3.4.7 Pereaksi Molish ... 33
3.4.8 Natrium Hidroksida 2 N ... 33
3.4.9 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M ... 33
3.5 Skrining Senyawa Kimia ... 33
3.5.1 Pemeriksaan Alkaloida ... 33
3.5.2 Pemeriksaan Flavonoida ... 34
3.5.3 Pemeriksaan Glikosida ... 34
3.5.4 Pemeriksaan Saponin ... 35
3.5.5 Pemeriksaan Antrakinon ... 35
3.5.6 Pemeriksaan Steroida/Triterpenoida ... 35
3.5.7 Pemeriksaan Tanin ... 36
3.6 Pembuatan Ekstrak dan Air Rebusan Cacing Tanah ... 36
3.6.1 Pembuatan Air Rebusan... 36
3.6.2 Pembuatan Ekstrak Etanol ... 36
3.7 Sterilisasi alat ... 37
3.8 Pembuatan Media ... 37
3.8.1 Media Nutrient Agar (NA) ... 37
3.8.2 Pembuatan Agar Miring Nutrient Agar (NA) ... 37
3.8.3 Pembuatan Larutan NaCl 0,9% ... 37
3.8.4 Pembuatan Sospensi Standard Mc Farland 0,5 .... 38
3.8.5 Pembuatan Stok Kultur Bakteri ... 38
(11)
3.9 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol dan Air Rebusan
dengan Berbagai Konsentrasi ... 39
3.9.1 Pembuatan Larutan Uji Air Rebusan ... 39
3.9.2 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol ... 39
3.10 Metode Pengujian Efek Antibakteri In Vitro ... 39
3.10.1 Pembuatan Larutan Uji Air Rebusan ... 40
3.10.2 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol ... 40
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Identifikasi Cacing Tanah ... 41
4.2 Hasil Skrining Senyawa Kimia ... 41
4.3 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Air Rebusan Cacing Tanah Terhadap Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella dysenteriae ... 43
4.4 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella dysenteriae ... 44
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 46
5.2 Saran ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Hasil Skrining Senyawa Kimia ... 41 4.2 Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Ekstrak Etanol
Terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli
(13)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Cacing Tanah ... 50
2. Pembuatan Serbuk Simplisia ... 51
3. Pembuatan Ekstrak Etanol Cacing Tanah ... 52
4. Pembuatan Air Rebusan Cacing Tanah ... 54
5. Bagan Uji Aktivitas Antibakteri Dari Larutan Uji ... 55
6. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Air Rebusan ... 56
7. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol ... 58
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil Identifikasi Cacing Tanah ... 49
2. Gambar Cacing Tanah (Megascolex sp. ... 50
(14)
4. Bagan Pembuatan Ekstrak Cacing Tanah ... 52
5. Hasil Skrining Senyawa Kimia ... 53
6. Bagan Pembuatan Air Rebusan Cacing Tanah ... 54
7. Bagan Uji Aktivitas Antibakteri Dari Larutan Uji ... 55
8. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Air Rebusan Cacing Tanah ... 56
(15)
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI AIR REBUSAN DAN EKSTRAK ETANOL CACING TANAH (Megascolex sp.) TERHADAP
BAKTERI Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae
ABSTRAK
Cacing tanah adalah hewan yang mempunyai banyak khasiat dan mudah untuk ditemukan. Hasil informasi dari masyarakat Gang Flamboyan daerah Tanjung Slamat, kecamatan Medan Tuntungan, bahwa masyarakat mengkonsumsi air rebusan cacing tanah 3 kali sehari selama lebih kurang 7 hari digunakan sebagai obat tifus. Dan diperoleh juga informasi dari media elektronik yaitu internet, banyak masyarakat juga mengkonsumsi cacing tanah sebagai obat tifus dalam bentuk serbuk yang diisi ke dalam kapsul yang dapat dijumpai di toko obat cina.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri air rebusan dan ekstrak etanol cacing tanah terhadap bakteri Salmonella typhosa, Escherichia
coli dan Shigella dysenteriae dengan metode difusi agar menggunakan pencetak
lubang (punch hole).
Hasil skrining senyawa kimia dari serbuk simplisia dan ekstrak etanol cacing tanah menunjukkan adanya senyawa golongan glikosida, alkaloida, dan saponin. Ekstrak etanol cacing tanah diperoleh dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol. Batas daerah hambat yang efektif pada bakteri
Salmonella typhosa pada konsentrasi 100 mg/ml dengan diameter hambat 14,35
mm, bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 100 mg/ml dengan diameter hambat 14,10 mm.
Kata kunci : Cacing tanah Megascolex sp., Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella dysenteriae.
(16)
TEST OF ANTIBACTERIAL ACTIVITY FROM THE BOILED WATER AND ETANOL ESTRACT OF EARTHWORM (Megascolex sp.) AGAINST
BACTERIA Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae
ABSTRACT
Earthworms is a kind of animal has many usage and easy to find. The information of society from Flamboyan alley in Tanjung Slamat, Medan Tuntungan stated that society consume boiled water from earthworms three times a day for about 7 days for curing typhus. Beside it, the information from electronic media such as internet, stated that many society consumed this earthworms as a drug for typhus in powder preparation that filled into capsules which can be to found at china drug stores.
This research was done to test the antibacterial activity of boiled water and athanol extract of earthworm against Salmonella typhosa, Escherichia coli and
Shigella dysenteriae by using agar diffusion method and punch hole.
The results of screening chemical compounds from simplicia powder and ethanol extract from earthworms show that compounds glycosides group, alkaloids, and saponin were found. Ethanol extract of earthworms were gotten by maceration using ethanol solvent. The effective inhibitory regions against the bacteria Salmonella typhosa in concentration of 100 mg/ml inhibition diameter was 14.35 mm and inhibition diameter against Escherichia coli at same concentration was 14.10 mm.
Key words: Earthworms Megascolex sp., Salmonella typhosa, Escherichia coli
and Shigella dysenteriae.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengobatan tradisional semakin dikembangkan dan diteliti oleh para ilmuan mulai dari tanaman hingga hewan, salah satunya adalah cacing tanah. Cacing tanah sangat dikenal di masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang hampir setiap hari menemukannya di kebun, tegalan atau sawah. Secara tidak kita sadari, kehadiran cacing tanah di bumi telah memberi manfaat yang begitu besar (Rusdi, 1995).
Sejak dahulu cacing tanah sangat berperan dalam kehidupan manusia disebabkan kandungan gizinya yang cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya yang mencapai 64 - 76 %. Selain protein, kandungan lainnya yang terdapat dalam tubuh cacing tanah antara lain lemak 7 - 10%, kalsium 0,55%, fosfor 1% dan serat kasar 1,08% (Palungkung, 2010). Menurut prof. Dr Dondin Sajuthi cacing tanah juga mengandung golongan senyawa alkaloida yang dapat digunakan sebagai antipiretik.
Manfaat cacing tanah bagi kehidupan manusia antara lain adalah sebagai penghasil pupuk organik, pendaur ulang limbah, bahan baku pakan ternak, sebagai bahan baku makanan dan minuman pada masyarakat Jepang dan beberapa negara Eropa misalnya vermijuice dan worm spaghetti, bahan baku kosmetik, menurunkan kadar kolesterol, meningkatkan daya tahan tubuh, dan menurunkan tekanan darah tinggi, disamping itu cacing tanah juga dikenal sebagai obat untuk penyakit tifus dengan mengkonsumsi air rebusan cacing tanah ataupun serbuk cacing tanah yang dapat diperoleh dari toko obat Cina (Palungkung, 2010).
(18)
Cacing tanah telah dicantumkan dalam "Ben Cao Gang Mu", buku bahan obat standar pengobatan tradisional China. Di Cina, cacing tanah akrab disebut 'naga tanah' dan nama lain dari cacing tanah kering di kalangan pedagang obat-obatan tradisional China adalah ti lung kam (Hasanudin, 2010).
Cacing tanah yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah cacing tanah Megascolex sp., atau yang sering disebut masyarakat dengan julukan cacing merah. Mudah ditemukan di tempat-tempat sampah dan merupakan cacing lokal Indonesia.
Jika kita berkunjung ke Jawa Tengah, maka kita akan menemukan kios-kios penjual jamu khusus penyakit tifus. Ternyata bahan dasar dari jamu tersebut adalah cacing tanah dan sudah sejak lama dijadikan jamu tradisional masyarakat setempat. Di media elektronik, juga sudah banyak masyarakat mengkonsumsi cacing tanah untuk mengobati penyakit tifus dengan mengkonsumsi air rebusan cacing tanah dan serbuk cacing tanah yang dimasukkan ke dalam kapsul (Hasanudin, 2010).
Penulis juga memperoleh informasi bahwa pemanfaatan cacing tanah digunakan oleh masyarakat di Gang Flamboyan, Tanjung Slamat, kecamatan Medan Tuntungan, Medan untuk mengobati penyakit tifus dengan meminum air rebusan cacing tanah sebanyak 30 ekor dan campuran bahan lain (tidak diberitahukan pada peneliti), tiga kali sehari selama lebih kurang 7 hari.
Hasil penelitian dari Farmasi Unpad menyatakan enzim dalam cacing tanah mampu memperbaiki proses fisiologis tubuh. Adapun enzim tersebut adalah
(19)
Tifus disebabkan oleh bakteri Salmonella typhosa, yang seringkali ditularkan pada manusia oleh kotoran ternak. Gejala penyakit tifus bisa sangat bervariasi yaitu terjadi demam dengan kenaikan suhu secara bertahap dalam tiga hari pertama, nyeri kepala yang hebat, perut kembung dan nyeri, anorexia, nausea dan obstipasi. Kemudian sering kali diikuti diare, bronchitis, perdarahan hidung dan apati ( T.H. Tjay, 2002).
Salah satu gejala penyakit tifus adalah diare. Diare dapat juga disebabkan oleh bakteri Escherichia coli dan Shigella dysenteriae. Salmonella typhosa,
Escherichia coli dan Shigella dysenteriae merupakan bakteri dari kelompok
bakteri gram-negatif berbentuk batang (Enterobacteriaceae) yang habitat alaminya berada pada sistem usus manusia (Jawetz et al, 2001).
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti menguji aktivitas antibakteri dari air rebusan dan ekstrak etanol cacing tanah Megascolex sp. terhadap beberapa bakteri gram negatif yaitu Salmonella typhosa, Escherichia coli, dan Shigella
dysenteriae. Menggunakan metode difusi dengan mengukur diameter zona
(20)
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalah penelitian yaitu : 1. Golongan kandungan senyawa kimia apa saja yang terdapat dalam air
rebusan, serbuk simplisia dan ekstrak etanol cacing tanah
2. Apakah air rebusan dan ekstrak cacing tanah mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli, dan
Shigella dysenteriae
1.3 Kerangka Pikir Penelitian
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter Cacing tanah Serbuk Simplisia Maserasi Aktivitas antibakteri terhadap bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli,dan Shigella dysenteriae Diameter hambat masing-masing bakteri Alkaloida Saponin Glikosida Flavonoida Glikosida Antrakinon Triterpenoida/Steroida Tanin Ekstrak etanol Skrining Fitokimia Rebus Air rebusan
(21)
1.4 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka diperoleh hipotesis sebagai berikut:
1. Kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam cacing tanah
Megascolex sp. adalah alkaloida, flavonoida, glikosida, saponin,
glikosida antrakinon, triterpenoida/steroida dan tanin.
2. Air rebusan dan ekstrak etanol cacing tanah Megascolex sp. mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Salmonella typhosa,
Escherichia coli dan Shigella dysenteriae.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam cacing tanah yang berkhasiat sebagai antibakteri
2. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri air rebusan dan ekstrak etanol cacing tanah terhadap Salmonella typhosa, Escherichia coli, dan
Shigella dysenteriae.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dilakukan adalah:
Menambah daftar hewan yang dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit tifus.
(22)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cacing Tanah
Disebut cacing tanah (earthworm) karena hewan ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di tanah. Cacing tanah merupakan hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang belakang (avertebrata) dan bertubuh lunak. Cacing tanah digolongkan ke dalam filum Annelida karena seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti cincin (Khairuman SP.,2010).
Suin (1982) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cacing tanah yang terdapat di Indonesia cukup tinggi, yaitu tercatat dan telah diketahui sebanyak 55 jenis cacing tanah. Jenis cacing tanah yang telah ditemukan di Pulau Sumatera adalah Friedericia bulbosa Rosa, Pontoscolex corethrurus Fr. Mull., Pheretima
darliensis Sims dan Easton, Planapheretima moultoni Michaelsen, Megascolex
sp.. Sedangkan dari hasil penelitian Arlen, dkk. (1994) di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan timbunan sampah rumah tangga pada beberapa Kecamatan Kotamadya Medan-Sumatra Utara didapatkan 6 jenis cacing yaitu
Megascolex sp., Perionyx sp,. Drawida sp., Pontoscolex corethrurus dan Pheretima sp.
2.1.1 Klasifikasi cacing tanah
Cacing tanah Megascolex sp. diklasifikasikan sebagai berikut (Hanafiah,2005)
Phylum : Annelida Kelas : Chaetopoda
(23)
Ordo : Oligochaeta Famili : Megascolecidae Genus : Megascolex Spesies : Megascolex sp
2.1.2 Habitat Cacing tanah Megascolex sp.
Cacing tanah Megascolex sp . hidup di tempat atau tanah yang terlindungi dari sinar matahari, lembab, gembur dan yang mengandung banyak serasah. Habitat ini sangat spesifik bagi cacing tanah untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Cacing tanah Megascolex sp. menempati bagian permukaan tanah hingga jauh ke dalam tanah. Tempat ini disukai karena terlindung dari teriknya sinar matahari.
2.1.3 Nama daerah
Di Indonesia cacing tanah Megascolex sp. dikenal dengan nama cacing merah. Dalam bahasa Inggris cacing sering disebut dengan istilah worm, vermes, dan helminth.
2.1.4 Ciri-ciri Fisik Cacing Tanah
Ciri-ciri fisik cacing tanah Megascolex sp anatara lain pada tubuhnya terdapat segmen luar dan dalam, yang berjumlah antara 160-180, tidak mempunyai kerangka luar. Tubuhnya dilindungi oleh kutikula, warna tubuh bagian dorsal merah keunguan, bagian ventral kekuningan (pucat), tidak memiliki alat gerak seperti kebanyakan binatang. Untuk bergerak cacing tanah harus menggunakan otot-otot tubuhnya yang panjang dan tebal yang melingkari tubuhnya.
(24)
Panjang tubuh cacing tanah Megascolex sp. 50-105 mm, diameter 1,5-3,5 mm. Pada tubuh cacing tanah terdapat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis yang dapat mempermudah pergerakannya di tempat-tempat yang padat dan kasar, juga terdapat seta berupa rambut yang relatif keras dan berukuran pendek. Daya lekat seta ini kuat sehingga cacing dapat melekat erat pada permukaan benda.
Cacing tanah tidak memiliki mata, tetapi pada tubuhnya terdapat prostomium yang merupakan organ saraf perasa berbentuk seperti bibir. Adanya prostomium ini membuat cacing tanah peka terhadap benda-benda di sekelilingnya. Itulah sebabnya cacing tanah dapat menemukan bahan organik yang menjadi makanannya walaupun tidak mempunyai mata.
Cacing tanah dewasa yakni yang berumur sekitar 2-3 bulan memiliki klitelium yang merupakan alat untuk membantu perkembangbiakan. Organ ini merupakan bagian tubuh yang menebal dan warnanya lebih terang dari warna tubuhnya.
Di akhir bagian tubuhnya terdapat anus. Anus digunakan untuk mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya. Kotoran cacing tanah atau yang sering disebut kascing sangat berguna bagi tanaman karena sangat kaya dengan unsur hara.
Untuk bernafas, cacing tanah hanya mengandalkan kulitnya karena tidak memiliki alat pernapasan. Cacing tanah bereaksi negatif terhadap sinar matahari. Karena sinar matahari tersebut dapat mematikan cacing tanah hanya dalam waktu satu menit.
(25)
2.1.5 Perkembangbiakan
Binatang ini bersifat hermaprodit atau biseksual. Namun untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri. Pembuahan harus dilakukan berpasangan. Dari perkawinan sepasang cacing tanah
2.1.6 Kandungan Kimia
Senyawa/ Unsur % Bahan Kering
Protein Lemak Kalsium Fosfor Serat kasar 64-76 7-10 0,55 1 1,08
Komposisi Kandungan Asam Amino
Asam Amino Komposisi (%)
Asam Amino Esensial - Arginin - Histidin - Isoleusin - Leusin - Lisin - Metionin - Fenilalanin 4,13 1,56 2,58 4,84 4,33 2,18 2,25 2,95
(26)
- Treonin - Valin
Asam Amino Non-esensial - Sistin
- Glisin - Serin - Tirosin
3,01
2,29 2,92 2,88 1,38
(Palungkung, 2010).
2.1.7 Manfaat Cacing Tanah
Cacing tanah memiliki manfaat yang sangat besar anatara lain: A. Penghasil pupuk organik
Pupuk organik dihasilkan dari proses pengomposan atau perombakan bahan organik pada kondisi lingkungan yang lembab oleh sejumlah mikroba ataupun organisme pengurai. Salah satunya adalah cacing tanah. Penguraian oleh cacing tanah lebih cepat 3 - 5 kali dibanding mikroba. Itulah sebabnya, cacing tanah sangat potensial sebagai penghasil pupuk organik.
Bahan organik merupakan sumber makanan utama bagi cacing tanah. Setelah bahan organik dimakan maka dihasilkan pupuk organik. Pupuk organik tersebut lebih dikenal sebagai kascing (bekas cacing). Kascing merupakan partikel-partikel tanah berwarna kehitaman yang ukurannya lebih kecil dari partikel tanah. Komponen biologis yang terdapat dalam kascing diantaranya hormon pengatur tumbuh seperti giberelin, sitokinin, dan auxin (Palungkung,2010).
(27)
Dengan kemampuannya, cacing tanah sanggup melumat dan mencerna sampah organik menjadi suatu yang bermanfaat untuk menghindari polusi yang diakibatkan oleh bau sampah. Seperti di Italia bagian utara cacing tanah sudah dibudidayakan untuk pelumat sampah yang paling efektif. Sampah organik yang tertumpuk di suatu tempat dimana di tempat tersebut dipelihara cacing tanah sebanyak 20.000 ekor/5 meter persegi, dalam waktu yang singkat tumpukan sampah dapat dimusnahkan. Sedangkan di Jepang peternakan cacing tanah ditujukan untuk mengolah limbah industri kayu menjadi pupuk organik (Arlen, 1997).
C. Bahan baku pakan ternak dan ikan
Selama ini sumber protein dalam penyusunan ransum unggas dan ikan masih berasal dari tepung ikan. Seiring dengan meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat maka harga tepung ikan pun semakin tidak terjangkau. Tentu saja hal ini akan berdampak pada pemasaran produk.
Telah dilakukan penelitian dan diperoleh bahwa tepung ikan dapat digantikan dengan tepung cacing tanah. Ditinjau dari kandungan proteinnya ternyata tepung cacing tanah masih lebih baik dibanding tepung ikan. Selain itu tepung cacing tanah mengandung asam amino paling lengkap, berlemak rendah, mudah dicerna dan tidak mengandung racun.
Para peneliti di Indonesia juga melakukan penelitian terhadap cacing tanah, khususnya tepung cacing tanah. Hasil penelitiannya menunjukkan pemberian tepung cacing tanah dapat menurunkan jumlah ayam yang terinfeksi Salmonella pulorum
(penyebab penyakit berak kapur) melalui mekanisme peningkatan kekebalan tubuh ayam, selain untuk pakan ayam, tepung cacing tanah juga dijadikan pakan ikan (Palungkung, 2010).
(28)
Tifus adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhosa, masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhosa. Pencemaran bisa terjadi melalui orang yang mempersiapkan makanan (karena tangannya kotor), akibat makanan masih kurang matang, atau makanan dihinggapi lalat pembawa. Salmonella typhi juga bisa ditularkan para carrier (pembawa kuman) melalui tinjanya (Mypotik, 2011). Dengan gejala apati, mulut dan bibir kering, perut tegang dan konstipasi, suhu badan tinggi terus menerus selama satu minggu, lidah kotor, badan gemetar dan lemas, adanya bintik merah pada dada dan perut (Andaiyani, 2010).
Dalam catatan klasik Tiongkok, cacing tanah disebut tilung atau naga tanah. Cacing tanah sejak dahulu kala mereka gunakan dalam berbagai ramuan untuk menyembuhkan bermacam-macam penyakit. Masyarakat telah menggunakan cacing tanah ini sebagai obat penyakit tifus dengan pengolahan yang sederhana.
Ekstrak cacing tanah mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang menyebabkan penyakit tifus dan diare. Menurut Leslei (2000), ekstrak cacing tanah mengandung enzim lisosim yang mempunyai kemampuan sebagai antimikroba yang efektif untuk merusak dinding sel bakteri. Penelitian di Laboratorium Farmasi Unpad menyatakan terdapat enzim lain dalam cacing tanah yang mampu memperbaiki proses fisiologis tubuh. Adapun enzim tersebut adalah peroksidase, katalase dan selulase (Palungkung, 2010).
E. Menurunkan demam
Demam dapat terjadi karena peningkatan suhu di hipotalamus, jika sel tubuh terluka oleh rangsangan pirogen seperti bakteri, virus, parasit, maka membrane sel yang tersusun oleh fosfolipid akan rusak. Salah satu komponen
(29)
asam lemak fosfolipid yaitu asam arakidonat akan terputus dari ikatan molekul fosfolipid dibantu oleh enzim fosfolipase. Asam arikidonat akan membentuk prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenase. Prostaglandin merangsang hipotalamus untuk meingkatkan suhu tubuh.
Pengujian ekstrak cacing tanah untuk melihat aktivitasnya sebagai penurun panas dilakukan menggunakan hewan coba tikus putih yang didemamkan dengan vaksin campak. Kelompok tikus putih yang diberi ekstrak cacing tanah suhunya meningkat 0,8 0C, sedangkan kelompok tikus putih yang tidak diberi ekstrak cacing tanah suhunya meningkat 1,8 0C dari suhu normal.
Dari serangkaian pengujian kimia diketahui bahwa senyawa aktif sebagai antipiretik dari ekstrak cacing tanah adalah golongan senyawa alkaloida. Pengujian memang belum dapat menentukan nama senyawanya secara tepat(Prof. Dr Dondin Sajuthi, 2008).
F. Bahan baku kosmetik
Cacing tanah mengandung berbagai macam enzim dan asam amino esensial yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kosmetika. Enzim dan asam amino esensial berguna dalam proses penggantian sel tubuh yang rusak, terutama dalam menghaluskan dan melembutkan kulit. Hal ini telah dilakukan di Jepang, Prancis, Italia dan Australia (Palungkung, 2010). Beberapa enzim yang dimaksud sebagai berikut.
• Enzim peroksidase katalase, berfungsi memperlambat penuaan
• Selulosa lignase, berfungsi mengembalikan dan menstabilkan fungsi pencernaan • Asam arakidonat, berfungsi mempercepat pembentukan sel-sel baru
(30)
• Alfa-tokoferol, berfungsi mempertahankan elastisitas dan keremajaan kulit (Khairuman SP, 2010).
G. Bahan baku makanan dan minuman
Harga makanan yang mangandung cacing tanah ini tergolong mahal sehingga dari kalangan masyarakat menengah keatas saja yang dapat memperolehnya.
Di beberapa negara cacing tanah dikonsumsi karena diyakini mempunyai kashiat, di Australia ada masyarakat yang melahap cacing mentah untuk menyegarkan badan, di Filipina cacing tanah digunakan sebagai bahan untuk membuat perkedel, di Jepang dibuat sebagai bahan minuman segar (Vermijuice) yang berkhasiat menyembuhkan sakit kepala, di Eropa cacing tanah dibuat menjadi wormburger, crispy earthworm, dan verre de terre, dan di Indonesia daerah Cipanas, Jawa Barat ada sebuah keluarga yang mengolah cacing tanah menjadi omelet (Palungkung, 2010).
H. Menghancurkan gumpalan darah
Mihara Hisahi, peneliti dari Jepang, berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari Lumbricus (cacing tanah), maka enzim tersebut kemudian dinamakan lumbrokinase. Canada RNA Biochemical, Inc. kemudian mengembangkan penelitian tersebut dan berhasil menstandarkan enzim lumbrokinase menjadi obat stroke. Obat berasal dari cacing tanah ini populer dengan nama dagang " Boluoke". Lazim diresepkan untuk mencegah dan mengobati penyumbatan
(31)
pembuluh darah jantung (ischemic) yang berisiko mengundang penyakit jantung koroner (PJK), tekanan darah tinggi (hipertensi), dan stroke (Hasanudin, 2010).
2.2 Ekstraksi 2.2.1 Pengertian
Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan asal dengan menggunakan pelarut. Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat - zat yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
2.2.2 Metode Ekstraksi
Menurut Ditjen POM (2000), beberapa metode ekstraksi: 1. Cara dingin
i. Maserasi, adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
ii. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
(32)
2. Cara panas
i. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
ii. Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. iii. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
iv. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
v. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.3 Sterilisasi
Sterilisasi merupakan proses penghilangan semua jenis organisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat pada suatu benda (Pratiwi, 2008).
Cara-cara sterilisasi yaitu:
a. Sterilisasi dengan bahan kimia, contoh: senyawa fenol. Desinfektan ini digunakan misalnya untuk membersihkan area tempat bekerja.
(33)
b. Sterilisasi kering, digunakan untuk alat-alat gelas misalnya cawan petri, tabung reaksi. Cara ini cocok untuk alat-alat gelas karena tidak ada pengembunan dan tetes air.
c. Sterilisasi basah, biasanya menggunakan uap panas bertekanan dalam autoklaf. Media biakan, larutan dan kapas dapat disterilkan dengan cara ini. Autoklaf merupakan suatu alat pemanas bertekanan tinggi, dengan meningkatnya suhu air maka tekanan udara akan bertambah dalam autoklaf yang tertutup rapat. Sejalan dengan meningkatnya tekanan di atas tekanan udara normal, titik didih air meningkat. Biasanya pemanasan autoklaf berada pada suhu 1210 C selama 15 menit.
d. Filtrasi bakteri, digunakan untuk mensterilkan bahan-bahan yang terurai atau tidak tahan panas. Metode ini didasarkan pada proses mekanik yaitu menyaring semua bakteri dari bahan dengan melewatkan larutan tersebut melalui lubang saringan yang sangat kecil.
2.4 Bakteri
2.4.1 Uraian Umum
Bakteri termasuk dalam golongan procaryotes, ukurannya sangat kecil (dalam ukuran mikron) sehingga hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop. Bakteri memiliki inti sel yang terdiri atas DNA dan RNA namun tidak memiliki pembungkus inti. Dinding selnya terdiri atas peptidoglikan, berkembang biak dengan membelah diri (binary fission), dapat dibiakkan pada perbenihan buatan serta dapat dihambat dengan antibiotika. Beberapa bakteri ada yang dapat bergerak aktif karena memiliki flagella (Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya, 2003).
(34)
Pertumbuhan dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh: 1. Zat makanan (nutrisi)
Sumber zat makanan bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, unsur logam (natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, tembaga dan kobalt), vitamin dan air untuk fungsi-fungsi metabolik dan pertumbuhannya.
2. Keasaman dan kebasaan (pH)
Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum pertumbuhan antara 6,5-7,5, namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau basa.
3. Temperatur
Proses pertumbuhan bakteri tergantung pada reaksi kimiawi dan laju reaksi kimia yang dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Bakteri psikofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 0-30oC, temperatur optimum adalah 10-20oC.
b. Bakteri mesofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 5-60oC, temperatur optimum adalah 25-40oC.
c. Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 50-100oC, temperatur optimum adalah 55-65oC.
(35)
Beberapa spesies bakteri dapat hidup dengan adanya oksigen dan sebaliknya spesies lain akan mati. Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, bakteri dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Aerobik yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya.
b. Anaerobik yaitu bakteri yang dapat tumbuh tanpa oksigen.
c. Anaerobik fakultatif yaitu bakteri yang dapat tumbuh dengan oksigen ataupun tanpa oksigen.
d. Mikroaerofilik yaitu bakteri yang dapat tumbuh baik dengan adanya sedikit oksigen.
5. Tekanan osmosa
Medium yang baik bagi pertumbuhan bakteri adalah medium isotonis terhadap isi sel bakteri.
6. Kelembaban
Secara umum bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang lembab. Kebutuhan akan air tergantung dari jenis bakterinya (Pelczar et al, 1988).
2.4.2 Reproduksi bakteri
Bakteri pada umumnya berkembang biak dengan membelah diri (binary fission). Pada waktu akan membelah sel bakteri membesar 2 kali semula kemudian membelah menjadi 2. Masing-masing sel bakteri yang baru menerima sitoplasma dan bahan genetic dalam jumlah yang sama. Dalam lingkungan yang
(36)
ideal bakteri membelah dengan sangat cepat. Jika bakteri bereproduksi setiap 20 menit, maka akan terbentuk suatu koloni bakteri yang terdiri atas lebih dari 2 juta bakteri selama 7 jam, jika makanannya masih cukup. Ada beberapa bakteri yang berkembang biak secara konjugasi. Konjugasi terjadi antara bakteri yang sama jenisnya, jika satu bakteri mempunyai plasmid yang lainnya tidak. Bakteri jantan dan betina yang sama jenisnya saling melekatkan diri dengan membuat jembatan sitoplasma (pilus penghubung) dan selanjutnya terjadi pertukaran material genetic. Konjugasi sebetulnya jarang terjadi dan hanya pada beberapa spesies bakteri (Pratiwi, 2008).
2.4.3 Morfologi Bakteri
Berdasarkan morfologinya bakteri dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: a. Bentuk basil
Basil adalah bakteri yang mempunyai bentuk menyerupai batang atau silinder, membelah dalam satu bidang, berpasangan ataupun berbentuk rantai pendek atau panjang. Bentuk basil dapat dibedakan atas:
- Monobasil yaitu basil yang terlepas satu sama lain dengan kedua ujung tumpul.
- Diplobasil yaitu basil yang bergandeng dua dan kedua ujungnya tumpul. - Streptobasil yaitu basil yang bergandengan panjang dengan kedua ujung
(37)
Contoh: Escherichia coli, Bacillus anthracis, Salmonella typhimurium, Shigella
dysenteriae.
b. Bentuk kokus
Kokus adalah bakteri yang bentuknya seperti bola-bola kecil, ada yang hidup sendiri dan ada yang berpasang-pasangan. Bentuk kokus ini dapat dibedakan atas:
- Monokokus
- Diplokokus yaitu kokus yang bergandeng dua. - Tetrakokus yaitu kokus yang mengelompok empat.
- Stafilokokus yaitu kokus yang mengelompok dan merupakan suatu untaian.
- Streptokokus yaitu kokus yang bergandeng-gandengan panjang berupa rantai.
- Sarsina yaitu kokus yang mengelompok seperti kubus.
Contoh: Monococcus gonorhoe, Diplococcus pneumoniae, Streptococcus lactis,
Staphylococcus aureus, Sarcina luten.
c. Bentuk spiral
Dapat dibedakan atas:
- Spiral yaitu bentuk yang menyerupai spiral atau lilitan. - Vibrio yaitu bentuk batang yang melengkung berupa koma.
- Spirochaeta yaitu menyerupai bentuk spiral, bedanya dengan spiral dalam kemampuannya melenturkan dan melengkukkan tubuhnya sambil bergerak.
(38)
Contoh: Spirillum, Vibrio cholerae, Spirochaeta palida (Volk and Wheeler, 1989).
Berdasarkan pengecatan gram, maka bakteri dapat dibedakan menjadi dua bagian (Lay, 1994) yaitu :
A. Bakteri gram positif, yaitu bakteri yang dapat mengikat zat warna pertama (kristal violet dan Sol. iodii) akan memberikan warna ungu dan setelah dicuci dengan alkohol, warna ungu tersebut akan tetap kelihatan. Kemudian ditambahkan zat warna kedua (safranin), warna ungu pada bakteri tidak berubah.
B. Bakteri gram negatif, yaitu bakteri yang kehilangan warna dari kristal violet ketika dicuci dengan alkohol dan setelah diberi zat warna kedua (safranin), bakteri akan memberikan warna merah muda
2.4.4 Fase Pertumbuhan Bakteri
Bakteri mengalami pertumbuhan melalui beberapa fase, yaitu: a. Fase penyesuaian (lag phase)
Bakteri biasanya akan mengalami masa penyesuaian pada lingkungan baru setelah pemindahan untuk menyeimbangkan pertumbuhan.
b. Fase pembelahan (log phase)
Selama fase ini, populasi meningkat dua kali pada interval waktu yang teratur. Jumlah koloni bakteri akan terus bertambah seiring lajunya aktivitas metabolisme sel.
(39)
Pada fase ini terjadi kompetisi antara bakteri untuk memperoleh nutrisi dari media untuk tetap hidup. Sebagian bakteri mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel bakteri yang hidup menjadi tetap.
d. Fase kematian
Pada fase ini, sel bakteri akan mati lebih cepat daripada terbentuknya sel baru. Laju kematian mengalami percepatan yang eksponensial (Lee, J, 1983).
Kurva Fase Pertumbuhan Bakteri 2.4.5 Media Pertumbuhan Bakteri
Pembiakan bakteri di laboratorium memerlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi bakteri. Zat hara diperlukan untuk pertumbuhan, sintesis sel, keperluan energi dalam metabolisme dan pergerakan. Lazimnya, media biakan mengandung air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen dan hidrogen, kedalam bahan dasar media dapat pula ditambahkan faktor pertumbuhan berupa asam amino dan vitamin. Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu:
(40)
a. Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat.
b. Media non-sintetik yaitu media yang kandungan dan isinya tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contohnya: ekstrak daging, pepton (Lay, BW, 1994).
II. Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi: a. Media umum
Media yang paling sering digunakan dalam penelitian mikrobiologi, contohnya : Nutrient Agar merupakan media yang kaya dan subur.
b. Media selektif
Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi, contohnya: MCA, PDA, Saboaraut Agar (SA).
c. Media diferensial
Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar, contohnya: EMB, SSA.
d. Media diperkaya
Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit, beberapa zat organik yang mengandung zat karbon dan nitrogen (Irianto, K, 2006).
(41)
III. Berdasarkan konsistensinya, dibagi atas (Irianto, K, 2006): a. Media padat/ solid
b. Media semi solid c. Media cair
2.4.6 Metode Isolasi Biakan Bakteri a) Cara gores
Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling menutupi di atas permukaan agar yang telah padat.
b) Cara sebar
Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat.
c) Cara tuang
Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril dan dicampurkan dengan medium agar cair, lalu dibiarkan memadat. Koloni yang berkembang akan tertanam di dalam media tersebut (Stanier, RY et al, 1982).
2.4.7 Pengukuran Aktivitas Antibakteri
Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antibakteri tertentu dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu dilusi atau difusi. Penting sekali menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba.
(42)
Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Tahap akhir dimasukkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz et al, 2001).
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik (Jawetz et al, 2001).
c. Metode Turbudimetri
Bakteri yang bertambah banyak pada media cair akan menyebabkan mendia menjadi keruh. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah spektrofotometer dengan cara membandingkan densitas optik antara media tanpa pertumbuhan bakteri dan media pertumbuhan bakteri (Pratiwi, 2008).
2.4.8 Bakteri Salmonella typhimurium
Berikut sistematika bakteri Salmonella typhimurium (Dwidjoseputro, 1998):
(43)
Divisi : Bacteriophyta Kelas : Bacteria Bangsa : Eubacteriales Suku : Bacteriaceae Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella typhimurium
Bentuk tubuh dari Salmonella typhimurium adalah batang lurus pendek dengan panjang 1-1,5 mikrometer. Tidak membentuk spora, bersifat gram negatif. Biasanya bergerak motil dengan menggunakan flagella dan kadang menjadi bentuk non-motilnya. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu optimum sekitar 370C. Biasanya memproduksi asam dan gas dari glukosa, maltosa, mannitol dan sorbitol, tetapi tidak memfermentasi laktosa dan sukrosa. Tidak membentuk indol dan gelatin cair. Salmonella typhimurium dapat menyebabkan penyakit tifus yang ditandai dengan demam, mual, muntah, diare dan hilangnya nafsu makan (Anonim, 2009).
2.4.9 Bakteri Escherichia coli
Berikut sistematika bakteri Escherichia coli (Dwidjoseputro, 1998): Divisi : Bacteriophyta
Kelas : Bacteria Bangsa : Eubacteriales Suku : Bacteriaceae Genus : Escherichia Spesies : Escherichia coli
(44)
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang
dengan panjang sekitar 2 mikrometer dan diamater 0,5 mikrometer, bersifat anaerob fakultatif, biasanya dapat bergerak dan tidak membentuk spora. Bakteri ini umumnya hidup pada rentang 20-400 C, optimum pada 370C.
Escherichia coli merupakan bakteri yang secara normal terdapat di dalam
usus dan berperan dalam proses pembusukan sisa-sisa makanan. Keberadaan bakteri ini merupakan parameter ada tidaknya materi fekal di dalam suatu habitat khususnya air. Escherichia coli adalah salah satu jenis bakteri yang ada dalam tinja manusia dan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan seperti diare (Anonim, 2009). Escherichia coli menjadi patogen ketika mencapai jaringan di tempat yang kurang umum seperti pada saluran air kemih, kelenjar prostat dan tempat lain (Cappuccino, J and Sherman, 1987).
2.4.10 Bakteri Shigella dysenteriae
Berikut sistematika bakteri Shigella dysenteriae (Dwidjoseputro, 1998): Divisi : Bacteriophyta
Kelas : Bacteria Bangsa : Eubacteriales Suku : Bacteriaceae Genus : Shigella
Spesies : Shigella dysenteriae
Shigella dysenteriae merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerobik,
berbentuk batang yang tidak bergerak, tidak membentuk spora. Bakteri ini berukuran sekitar 0,5-0,7 mikrometer dan tumbuh baik pada suhu 370C (Anonim, 2010). Bakteri ini dapat menyebabkan disentri basiler. Disentri adalah salah satu
(45)
dari berbagai gangguan pencernaan yang ditandai dengan peradangan usus terutama kolon, disertai nyeri perut dan buang air besar yang sering mengandung darah dan lendir (Pelczar et al, 1988).
(46)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental. Tahap penelitian meliputi penyiapan bahan, determinasi sampel, pembuatan ekstrak etanol, pembuatan rebusan cacing tanah dan skrining senyawa kimia. Selanjutnya pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar menggunakan punch hole. Parameter yang dilihat adalah besarnya diameter hambat pertumbuhan bakteri. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.
3.1 Alat-Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, autoklaf (Fisons), blender (Philips), bola karet, freeze dryer (Modulio), inkubator (Fiber Scientific), jangka sorong, jarum ose, kamera digital (Sony), kompor (Sharp), autoklaf, Laminar Air Flow Cabinet (Astec HLF 1200L), lemari pendingin (Toshiba), mikroskop, neraca kasar (Sun), neraca listrik (Vibra AJ), oven (Memmert), penangas air (Yenaco), pinset, pipet mikro (Eppendorf), rotary
evaporator (Haake D) dan punch hole.
3.2 Bahan-Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah cacing tanah, nutrient
agar, Salmonella typhosa (ATCC 29213), Escherichia coli (ATCC 25922), Shigella dysenteriae (ATCC 25931), air suling, larutan NaCl 0,9 %, bahan kimia
(47)
asam klorida pekat, asam asetat anhidrida, asam asetat glasial, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, benzen, besi (III) klorida, bismut (III) nitrat, etanol, etilasetat,
n-heksana, iodium, isopropanol, kalium iodida, kloroform, natrium hidroksida,
natrium klorida, natrium sulfat anhidrat, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, serbuk zinkum, timbal (II) asetat, dan toluena.
3.3 Penyiapan Bahan 3.3.1 Pengambilan bahan
Pengambilan bahan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan hewan yang sama dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah cacing tanah (Megascolex sp.) yang diperoleh dari Jalan Deli Tua, Desa Namo Bintang Dusun 3 Rumah Mbacang Tempat Pembuangan Akhir, Kecamatan Pancurbatu, Sumatera Utara.
3.3.2 Identifikasi bahan
Identifikasi bahan dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan, Biologi FMIPA USU dapat dilihat pada halaman 23.
3.3.3 Pembuatan simplisia
Cacing tanah yang telah dikumpulkan kemudian dibersihkan dari kotoran dan tanah dengan cara dicuci pada air mengalir hingga air cucian bersih dari kotoran, ditiriskan, tubuh cacing dibelah, kemudian cuci kembali dengan air agar tidak ada lagi tanah dalam tubuh cacing, ditiriskan kemudian dikeringkan di lemari pengering pada suhu 40-60 0C hingga kering, dimana jika simplisia tersebut diremas akan hancur. Selanjutnya simplisia diserbuk menggunakan blender, disimpan dalam wadah plastik yang tertutup rapat.
(48)
3.4 Pembuatan Pereaksi
3.4.1 Pereaksi Asam Klorida 2 N
Sebanyak 17 ml asam klorida pekat dilarutkan dalam air suling hingga volume 100 ml (Depkes, 1979).
3.4.2 Pereaksi Asam Sulfat 2 N
Sebanyak 5,4 ml asam sulfat pekat kemudian diencerkan dengan air suling hingga 100 ml. (Depkes, 1979).
3.4.3 Pereaksi Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).
3.4.4 Pereaksi Dragendorff
Sebanyak 8 g bismut (III) nitrat dilarutkan dalam asam nitrat 20 ml kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Depkes RI, 1980). 3.4.5 Pereaksi Liebermann-Burchard
Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrida dicampurkan dengan 5 ml asam sulfat pekat kemudian ditambahkan etanol hingga 50 ml (Harborne,1987).
3.4.6 Pereaksi Mayer
Sebanyak 1,35 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam 60 ml air suling. Kemudian pada wadah lain sebanyak 5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10 ml
(49)
air lalu campurkan keduanya dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).
3.4.7 Pereaksi Molish
Sebanyak 3 g alfa-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga volume 100 ml (Ditjen POM, 1995).
3.4.8 Pereaksi Natrium hidroksida 2 N
Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Depkes, 1979).
3.4.9 Pereaksi Timbal (II) asetat 0,4 M
Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air bebas karbondioksida hingga 100 ml (Depkes, 1989).
3.5 Skrining Senyawa Kimia
Skrining senyawa kimia serbuk simplisia dan ekstrak cacing tanah meliputi: pemeriksaan senyawa alkaloida, flavonoida, glikosida, saponin, glikosida antrakinon dan triterpenoida/steroida.
3.5.1 Pemeriksaan Alkaloida
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang, kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk tes alkaloida.
Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalam masing-masing tabung reaksi dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada tabung :
(50)
b.Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff c.Ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer
Alkaloid disebut positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit 2 tabung reaksi dari percobaan diatas (Depkes RI, 1989).
3.5.2 Pemeriksaan Flavonoida
Sebanyak 10 g serbuk simplisia kemudian ditambahkan 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, filtrat yang diperoleh kemudian diambil 5 ml lalu di tambahkan 0,1 g serbuk Mg dan 1 ml HCl pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok, dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).
3.5.3 Pemeriksaan Glikosida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling ditambah dengan 10 ml HCl 2N. Panaskan selama 30 menit, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, lalu dikocok selama 5 menit dan disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran 3 bagian kloroform dan isopropanol dilakukan berulang sebanyak tiga kali. Kumpulan sari air diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50 0C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut, yaitu 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di penangas air. Sisa dilarutkan dalam 2 ml air suling dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat. Glikosida positif jika terbentuk cincin ungu (Depkes RI, 1979).
(51)
3.5.4 Pemeriksaan Saponin
Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1979).
3.5.5 Pemeriksaan Glikosida Antrakinon
Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia ditambahkan 5 ml asam sulfat 2 N, dipanaskan sebentar setelah dingin ditambahkan 10 ml benzen, dikocok dan didiamkan. Lapisan benzen dipisahkan dan disaring lalu dikocok lapisan benzen dengan 2 ml natrium hidroksida 2 N, didiamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan benzen tidak berwarna menunjukkan adanya antrakinon (Depkes RI, 1995).
3.5.6 Pemeriksaan Triterpenoida/Steroida
Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan n-heksana selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat. Terbentuk warna biru atau hijau menunjukkan adanya steroida dan terbentuk warna merah, pink atau ungu menunjukkan adanya triterpenoida (Farnsworth, 1966).
(52)
Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Depkes RI, 1979).
3.6 Pembuatan Ektrak dan Air Rebusan Cacing Tanah 3.6.1 Pembuatan air rebusan
Cacing tanah yang telah dibersihkan dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air, kemudian direbus sampai air dalam wadah tertinggal sedikit. Saring, ampasnya dibuang.
3.6.2 Pembuatan ekstrak etanol
Sebanyak 200 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah gelas berwarna gelap dan ditambahkan pelarut etanol 96% sebanyak 1,5 liter sampai serbuk terendam sempurna. Ditutup dan dibiarkan selama selama 5 hari terlindung dari cahaya dan sering diaduk, kemudian disaring, ampas dimaserasi kembali dengan 0,5 liter pelarut etanol 96% dan filtrat yang diperoleh dienapkan selama 2 hari kemudian dituang melalui penyaring. Semua maserat digabung menjadi satu lalu dipekatkan dengan bantuan alat rotari evaporator sampai diperoleh ekstrak kental, kemudian ekstrak di freeze dryer ( + - 40oC) dan ditimbang. Diperoleh berat ekstrak etanol cacing tanah 87,7 g.
(53)
Alat-alat dan bahan-bahan untuk pemeriksaan mikrobiologi harus disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan didalam oven pada suhu 170°C selama 1 jam. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Jarum ose dan pinset dengan lampu bunsen (Lay,1994).
3.8 Pembuatan Media
3.8.1 Media Nutrient Agar (NA)
Komposisi : Beef Extract 3 g
Peptone 5 g
Agar 15 g
Air suling sampai 1 L Cara pembuatan :
Sebanyak 23 g serbuk NA dilarutkan dalam air suling hingga 1 liter dengan bantuan pemanasan sampai semua bahan larut sempurna. Kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit (Difco Laboratories, 1977). 3.8.2 Pembuatan Agar Miring Nutrient Agar (NA)
Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 5 ml media nutrient agar, didiamkan pada suhu kamar sampai sediaan membeku pada posisi miring kira-kira 45o kemudian disimpan dalam lemari pendingin (Difco Laboratories, 1977).
3.8.3 Pembuatan Larutan NaCl 0,9% Komposisi : Natrium Klorida 0,9 g
Air suling ad 100 ml Cara pembuatan :
(54)
Natrium klorida ditimbang sebanyak 0,9 g dilarutkan dengan air suling steril sedikit demi sedikit sampai 100 ml. Kemudian disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Depkes RI, 1979).
3.8.4 Pembuatan Suspensi Standar Mc Farland 0,5 Komposisi: BaCl2 1,175% b/v 0,5 ml
H2SO4 1% v/v 99,5 ml Cara pembuatan:
Kedua larutan dicampurkan dalam tabung reaksi steril, dikocok sampai homogen dan ditutup (Vandepitte et al, 1991).
3.8.5 Pembuatan Stok Kultur Bakteri
Satu koloni bakteri diambil dengan menggunakan jarum ose steril, lalu ditanam pada media nutrient agar miring dengan cara menggores. Kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 36-370C selama 18-24 jam (Ditjen POM, 1995).
3.8.6 Penyiapan inokulum bakteri
Bakteri hasil inkubasi diambil dengan menggunakan jarum ose steril kemudian disuspensikan ke dalam 10 ml NaCl 0,9% steril, kemudian dihomogenkan dengan vorteks, diinkubasikan selama lebih kurang 2 jam hingga diperoleh kekeruhan yang sama dengan standar Mc Farland (konsentrasi 108 CFU/ml). Setelah itu dilakukan pengenceran dengan mempipet 0,1 ml biakan bakteri (108 CFU/ml), dimasukkan kedalam tabung steril yang berisi larutan NaCl 0,9% steril sebanyak 9,9 ml dan dikocok homogen. Sampai didapat suspensi bakteri dengan konsentrasi 106 CFU/ml (Lay,1994).
(55)
3.9 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol dan Air Rebusan dengan Berbagai Konsentrasi
3.9.1 Pembuatan larutan uji ekstrak etanol
Ekstrak etanol ditimbang 5 g dilarutkan dengan etanol 96% hingga 10 ml maka konsentrasi ekstrak adalah 500 mg/ml kemudian dibuat pengenceran selanjutnya sampai diperoleh ekstrak dengan konsentrasi 400 mg/ml; 300 mg/ml; 200 mg/ml; 100 mg/ml; 90 mg/ml; 80 mg/ml; 70 mg/ml; 60 mg/ml; 50 mg/ml; 40 mg/ml; 30 mg/ml; 20 mg/ml; 10 mg/ml.
3.9.2 Pembuatan larutan uji air rebusan cacing tanah
10 ekor cacing tanah dengan berat 8 gram yang telah dibersihkan dan dipotong-potong dimasukkan ke dalam wadah yang berisi 400 ml air, kemudian direbus dengan api kecil sampai air rebusan tinggal 40 ml. Selanjutnya dilakukan hal yang sama dengan jumlah cacing yang berbeda yakni 15, 20, 25 dan 30 ekor cacing tanah.
3.10 Metode Pengujian Efek Antibakteri secara In Vitro
Metode ini menggunakan media padat dan punch hole, penentuan daya hambat pertumbuhan bakteri dilakukan dengan cara mengukur diameter daerah jernih disekeliling punch hole menggunakan jangka sorong.
(56)
Dipipet 0,1 ml suspensi bakteri Salmonella typhosa dengan konsentrasi 106 CFU/ml, dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya dituangkan 20 ml media NA cair (45-50o C), lalu dihomogenkan dan didiamkan hingga media memadat. Setelah media padat kemudian dibuat lubang dengan menggunakan pencetak lubang (punch hole) lalu tetesi 0,1 ml larutan uji air rebusan dengan berbagai kepekatan. Sebagai kontrol diteteskan 0,1 ml etanol 96%. Pra inkubasi selama 10-15 menit kemudian diinkubasi pada suhu 35+ 2 oC selama 18-24 jam. Selanjutnya diukur diameter zona bening disekitar larutan uji dengan menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali. Hal yang sama dilakukan pada bakteri Escherichia coli dan Shigella dysenteriae.
3.10.2 Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol
Dipipet 0,1 ml suspensi bakteri Salmonella typhosa dengan konsentrasi 106 CFU/ml, dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya dituangkan 20 ml media NA cair (45-50o C), lalu dihomogenkan dan didiamkan hingga media memadat. Setelah media padat kemudian dibuat lubang dengan menggunakan pencetak lubang (punch hole) lalu tetesi 0,1 ml larutan uji ekstrak etanol dengan berbagai konsentrasi, 500, 400, 300, 200, 100, 90, 80, 70, 60, 50, 40, 30, 20 dan 10 mg/ml. Sebagai kontrol diteteskan 0,1 ml etanol 96%. Dilakukan pra inkubasi selama 10-15 menit kemudian diinkubasi pada suhu 35+ 2 oC selama 18-24 jam. Selanjutnya diukur diameter zona bening disekitar larutan uji dengan menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali. Hal yang sama dilakukan pada bakteri Escherichia coli dan Shigella dysenteriae.
(57)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Identifikasi Cacing Tanah
Identifikasi cacing tanah dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Biologi FMIPA USU menyatakan bahwa cacing tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cacing Tanah (Megascolex sp.), family Megascolecidae. Hasil identifikasi dapat dilihat pada lampiran halaman 49.
4.2 Hasil Skrining Senyawa Kimia
Hasil skrining serbuk simplisia dan ekstrak cacing tanah menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloida, glikosida, dan saponin sedangkan pada air rebusan tidak. Hasil skrining senyawa kimia dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut: Tabel 4.1 Hasil Skrining Senyawa Kimia Air Rebusan, Serbuk Simplisia dan
Ekstrak Etanol Cacing Tanah. No Golongan senyawa
yang diperiksa
Hasil skrining Air Rebusan
Hasil skrining Serbuk simplisia
Hasil skrining Ekstrak etanol
1 Alkaloida _ + +
2 Glikosida _ + +
3 Saponin _ + +
4 Flavonoida _ _ _
5 Glikosida Antrakinon
_ _ _
(58)
7 Tanin _ _ _ Keterangan : + = Mengandung senyawa yang diperiksa
- = Tidak mengandung senyawa yang diperiksa
Hasil skrining senyawa kimia air rebusan cacing tanah yang ditambah dengan pereaksi kimia tidak menunjukkan hasil yang positif, hal ini disebabkan air tidak dapat menyari dengan sempurna zat kimia (alkaloida, glikosida) yang terdapat dalam tubuh cacing tanah. Pada serbuk simplisia dan ekstrak cacing tanah yang ditambah dengan pereaksi Dragendorff memberikan warna jingga, dengan pereaksi Bouchardat memberikan warna kuning, sedangkan dengan pereaksi Mayer terbentuk adanya kekeruhan dan endapan putih, ini menunjukkan adanya senyawa alkaloida. Skrining glikosida ditunjukkan dengan penambahan pereaksi Molish dan asam sulfat pekat dimana terbentuk cincin ungu. Penambahan 10 ml air panas dan dikocok kuat-kuat selama 10 detik dengan adanya buih dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes HCl 2N menunjukkan adanya saponin. Hasil skrining serbuk simplisia dan ekstrak cacing tanah memperlihatkan adanya golongan senyawa alkaloida, glikosida dan saponin.
Hasil maserasi 200 g serbuk simplisia cacing tanah dengan menggunakan pelarut etanol sebanyak 2 liter, lalu diuapkan dengan rotary evaporator, kemudian dikeringkan dengan freeze dryer dan ditimbang. Diperoleh ekstrak kental sebanyak 87,7 gram. Ekstrak kental yang diperoleh diuji dengan berbagai konsentrasi terhadap bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella
(59)
4.3 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Air Rebusan Cacing Tanah Terhadap Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella dysenteriae. Hasil uji aktivitas antibakteri tidak menunjukkan adanya daerah hambatan pada pertumbuhan bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella
dysenteriae, data dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Air Rebusan Cacing Tanah terhadap Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan
Shigella dysenteriae.
Jumlah (ekor) dalam 40 ml
air
Diameter daerah hambatan (mm)*
10 -
15 -
20 -
25 -
30 -
Keterangan: (*) = Hasil rata-rata tiga kali pengukuran (-) = Tidak ada hambatan
Dari hasil penelitian tidak terbukti air rebusan cacing tanah menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli, dan Shigella
dysenteriae, sehingga informasi untuk pengobatan penyakit tifus tidak sesuai. Hal
ini disebabkan karena zat atau senyawa kimia yang terdapat pada cacing tanah tidak dapat disari dengan pelarut air dan enzim yang bersifat sebagai antibakteri
(60)
dari cacing tanah telah rusak akibat pemanasan pada suhu lebih dari 500C. Kemungkinan juga disebabkan karena adanya penambahan bahan-bahan lain selain cacing tanah yang ditambahkan ke dalam rebusan, dan diperoleh informasi bahwa khasiat dari air rebusan cacing tanah tidak langsung sembuh melainkan harus diminum secara terus menerus selama lebih kurang 7 hari atau sampai didapatkan hasil.
4.4 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella dysenteriae.
Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan
Shigella dysenteriae. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak akan menghasilkan
diameter daerah hambatan yang semakin besar.Hasil uji dari ekstrak etanol dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Ekstrak Etanol Cacing Tanah terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhosa, Eschericia
coli dan Shigella dysenteriae.
Konsentrasi (mg/ml)
Diameter daerah hambatan (mm)* Salmonella
typhosa
Escherichia coli
Shigella dysenteriae
500 18,10 17,275 13,00
400 17,40 15,70 13,075
(61)
200 15,3 15,30 10,95
100 14,35 14,10 10,20
90 12,725 13,50 9,35
80 12,60 12,50 8,95
70 11,60 11,00 8,05
60 11,10 9,80 -
50 10,25 8,80 -
40 8,62 8,65 -
30 7,75 7,50 -
20 - - -
10 - - -
Blanko - - -
Keterangan: (*) = Hasil rata-rata dua kali pengukuran, (-) = Tidak ada hambatan
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode difusi dengan mengukur diameter zona hambat pertumbuhan bakteri, dimana diameter zona hambat akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan konsentrasi terhadap ekstrak cacing tanah memiliki korelasi positif terhadap peningkatan diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella
dysenteriae. Dari data di atas menunjukkan bahwa ekstrak cacing tanah dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan
Shigella dysenteriae, sedangkan pada blanko tidak menunjukkan aktivitas
(62)
dari ekstrak tersebut diperoleh batas daerah hambat yang efektif pada bakteri
Salmonella typhosa dengan konsentrasi 100 mg/ml dengan diameter hambat 14,35
mm, pada bakteri Escherichia coli dengan konsentrasi 100 dengan diameter hambat 14,10 mm. Dengan demikian ekstrak etanol cacing tanah lebih kuat dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhosa dibandingkan bakteri
Escherichia coli dan Shigella dysenteriae. Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella dysenteriae merupakan bakteri gram negatif. Batas
daerah hambat dinilai efektif apabila memiliki diameter daya hambat lebih kurang 14 mm sampai 16 mm (Ditjen POM, 1995).
(63)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan
1. Pada cacing tanah terdapat golongan senyawa alkaloida, glikosida, saponin.
2. Hasil uji aktivitas antibakteri air rebusan cacing tanah tidak memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella typhosa, Escherichia
coli dan Shigella dysenteriae, sedangkan ekstrak etanol cacing tanah
memiliki daerah hambat yang efektif pada bakteri Salmonella typhosa dan
Escherichia coli dan pada bakteri Shigella dysenteriaea tidak mempunyai
daerah hambat yang efektif, dimana daerah hambat yang efektif pada bakteri Salmonella typhosa pada konsentrasi 100 mg/ml dengan diameter hambat 14,35 mm, pada bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 100 mg/ml dengan diameter hambat 14,10 mm.
5.2Saran
Disarankan kepada peneliti selanjutnya dapat memeriksa senyawa kimia yang bersifat sebagai antibakteri pada cacing tanah Megascolex sp..
(64)
DAFTAR PUSTAKA
Beisher, L. (1991). Microbiology in Practice. A self Instructional Laboratory
Course. New York: Ed Harper Collins Publisher.
Cappuccino, J and Sherman, N. (1996). Microbiology: A Laboratory Manual. Fourth Edition. New York: Addison-Wesley Publishing Company. page. 186, 391.
Depkes RI. (1979). Materia Medika Indonesia. Jilid III. Jakarta: Depkes RI. Hal. 155-171.
Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta : Depkes RI. Hal. 516, 518, 522, 536, 540, 549.
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Depkes RI. Hal. 299-305,334-335.
Difco Laboratories. (1977). Difco Manual of Dehydrated Culture Media and
Reagents for Microbiology and Clinical Laboratory Procedures. Ninth
edition. Detroit Michigan: Difco Laboratories. Pages 32, 64. Ditjen POM. (1986). Sediaan Galenik. Jakarta : Depkes RI. Hal. 12,26.
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Depkes RI. Hal. 855, 896, 898, 1033.
Dwidjoseputro. (1998). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit D. Jambatan. Halaman 38.
Fransworth, N.R. (1996). Biologycal and Phytochemical Screening of Plants.
Journal of Pharmaceutical Science. 55(3). Chicago: Reheis Chemical
Company. Pages 262-264.
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. Hal 147.
Hoan, Tan Tjay. & Rahardja, Kirana. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan, Dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit PT.
Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, hal. 275, 757.
Irianto, K. (2006). Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid Satu. Bandung: Penerbit Yrama Widya. Hal. 16-18, 21-22.
Jawetz, E. (2001). Mikrobiologi Kedokteran. Penerjemah: Mudihardi, E., dkk. Surabaya: Penerbit Salemba Medika. Hal. 318.
(65)
Lay, B.W. (1996). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 57-58, 109.
Lee, J. (1983). Microbiology. First Edition. USA: The Barnes and Nobel Outline Series. p. 50-53.
Palungkung, R. (2010). Usaha Ternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Jakarta: Penebar Swadaya, hal. 23-33.
Pelczar, MJ. Chan, ECS dan Crieg, NR. (1988). Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerjemah: Ratna Siri, dkk. Cetakan pertama. Jilid Dua. Jakarta: Penerbit UI Press.
Stanier, RY. Adelberg, EA dan Ingraham, JL. (1982). Dunia Mikrobe I. Penerjemah: Agustin Wydia, dkk. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Hal. 23-25.
Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya. (2003). Bakteriologi Medik. Cetakan Pertama. Malang: Bayu Media Publishing.
(66)
(67)
Lampiran 2
(68)
Lampiran 3
Dicuci pada air mengalir
Dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air selama 1 malam
Ditiriskan Dibelah
Dijemur di matahari langsung selama 2 hari
Dimasukkan ke dalam lemari pengering
Ditimbang beratnya
Dihaluskan hingga menjadi serbuk, dengan blender kering
Ditimbang beratnya
Gambar 2. Bagan Pembuatan Serbuk Simplisia Cacing tanah
segar
Simplisia
(69)
Lampiran 4. Bagan Pembuatan Ekstrak Cacing Tanah
200 g serbuk simplisia cacing tanah
Dimaserasi dengan 1,5 liter etanol 96%
Diamkan 5 hari sambil sering diaduk
Disaring
Ampas Filtrat
Dimaserasi kembali dengan 0,5 ml etanol
Disaring
Dienapkan selama 2 hari, lalu disaring
Ampas Filtrat II
Dienaptuangkan selama 2 hari,
lalu disaring
Ekstrak cair 2 liter
Dirotary evaporator
Difreeze dryer
(70)
Lampiran 5
Tabel 1. Hasil Skrining Senyawa Kimia Air Rebusan, Serbuk Simplisia dan Ekstrak Etanol Cacing Tanah
No Golongan senyawa yang diperiksa
Hasil skrining Air Rebusan
Hasil skrining Ekstrak etanol
Hasil skrining Serbuk simplisia
1 Alkaloida _ + +
2 Glikosida _ + +
3 Saponin _ + +
4 Flavonoida _ _ _
5 Antrakinon _ _ _
6 Triterpenoida/Steroida _ _ _
Keterangan : + = Mengandung senyawa yang diperiksa - = Tidak mengandung senyawa yang diperiksa
(71)
Lampiran 6
Dibersihkan
Dimasukkan kedalam wadah yang berisi air sebanyak 400 ml Direbus
Disaring
Gambar 4. Bagan Pembuatan Air Rebusan Cacing Tanah Cacing tanah
segar
Rebusan cacing tanah
Filtrat/ Air rebusan cacing tanah
(72)
Lampiran 7
Diambil dengan jarum ose steril Ditanam pada media NA miring
Diinkubasi pada suhu 35+2 oC selama 18- 24 jam
Diambil dengan jarum ose steril Disuspensikan dalam 10 ml NaCl 0,9%
steril dan inkubasi selama 2-6 jam Divorteks hingga diperoleh kekeruhan yang sama dengan standar Mc. Farland 0,5
Dipipet 0,1 ml ke dalam tabung reaksi Ditambahkan 9,9 ml NaCl 0,9 % steril
dan divorteks hingga homoge
Dipipet 0,1 ml ke dalam cawan petri Dituang 20 ml NA steril cair (45-500 C),
dibiarkan memadat
Dibuat lubang dengan punch hole pada permukaan media, diteteskan 0,1 ml larutan uji yang berbeda
Pra-inkubasi selama 15 menit Diinkubasi pada suhu 370 C selama
18-24 jam
Diukur diameter zona hambat di sekitar larutan penguji
Gambar 5. Bagan Uji Aktivitas Antibakteri dari Larutan Uji Biakan murni bakteri
Stok kultur bakteri
Suspensi bakteri 108 CFU/ml
Suspensi bakteri 106 CFU/ml
Hasil inkubasi
(73)
Lampiran 8 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Air Rebusan Cacing Tanah
A B
C
Gambar 6 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Air Rebusan Cacing Tanah Dengan Kepekatan 30 Ekor Cacing Tanah Dalam 40 ml Air Terhadap Bakteri
Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae
Keterangan :
A. Bakteri Salmonella typhosa B. Bakteri Escherichia coli C. Bakteri Shigella dysenteriae
(1)
Tabel 1. Hasil Skrining Senyawa Kimia Air Rebusan, Serbuk Simplisia dan Ekstrak Etanol Cacing Tanah
No Golongan senyawa yang diperiksa
Hasil skrining Air Rebusan
Hasil skrining Ekstrak etanol
Hasil skrining Serbuk simplisia
1 Alkaloida _ + +
2 Glikosida _ + +
3 Saponin _ + +
4 Flavonoida _ _ _
5 Antrakinon _ _ _
6 Triterpenoida/Steroida _ _ _
Keterangan : + = Mengandung senyawa yang diperiksa - = Tidak mengandung senyawa yang diperiksa
(2)
Lampiran 6
Dibersihkan
Dimasukkan kedalam wadah yang berisi air sebanyak 400 ml Direbus
Disaring
Gambar 4. Bagan Pembuatan Air Rebusan Cacing Tanah Cacing tanah
segar
Rebusan cacing tanah
Filtrat/ Air rebusan cacing tanah
(3)
Diambil dengan jarum ose steril Ditanam pada media NA miring
Diinkubasi pada suhu 35+2 oC selama 18- 24 jam
Diambil dengan jarum ose steril Disuspensikan dalam 10 ml NaCl 0,9%
steril dan inkubasi selama 2-6 jam Divorteks hingga diperoleh kekeruhan yang sama dengan standar Mc. Farland 0,5
Dipipet 0,1 ml ke dalam tabung reaksi Ditambahkan 9,9 ml NaCl 0,9 % steril
dan divorteks hingga homoge
Dipipet 0,1 ml ke dalam cawan petri Dituang 20 ml NA steril cair (45-500 C),
dibiarkan memadat
Dibuat lubang dengan punch hole pada permukaan media, diteteskan 0,1 ml larutan uji yang berbeda
Pra-inkubasi selama 15 menit Diinkubasi pada suhu 370 C selama
18-24 jam Biakan murni bakteri
Stok kultur bakteri
Suspensi bakteri 108 CFU/ml
Suspensi bakteri 106 CFU/ml
(4)
Lampiran 8 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Air Rebusan Cacing Tanah
A B
C
Gambar 6 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Air Rebusan Cacing Tanah Dengan Kepekatan 30 Ekor Cacing Tanah Dalam 40 ml Air Terhadap Bakteri
Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae
Keterangan :
A. Bakteri Salmonella typhosa B. Bakteri Escherichia coli C. Bakteri Shigella dysenteriae
(5)
Tabel 2. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Shigella dysenteriae Konsentrasi
(mg/ml)
Diameter daerah hambatan (mm)
Salmonella typhosa Escherichia coli Shigella dysenteriae
D1 D2 D* D1 D2 D* D1 D2 D*
500 17,9 18,3 18,1 16,6 17,95 17,27 13,1 12,85 17,5 400 18,0 16,8 17,40 15,7 15,7 15,7 13,3 12,85 13 300 15,45 16,0 15,725 15,2 15,8 15,5 11,5 10,9 11,2 200 15,2 15,4 15,30 15,4 15,2 15,30 10,6 11,3 10,95 100 13,9 14,8 14,35 14,5 14,05 14,1 10,6 9,8 10,2
90 13,1 12,3 12,72 12,6 12,4 12,5 9,5 9,2 9,35
80 12,2 13,0 12,6 11,9 11,1 11,5 8,9 9 8,95
70 12,2 11,0 11,6 10,6 10,5 10,55 8 8,1 8,05
60 10,9 11,3 11,1 9,0 8,6 8,8 - - -
50 9,9 10,6 10,25 8,9 8,4 8,65 - - -
40 8,25 9,0 8,62 7,8 7,2 7,95 - - -
30 7,5 8 7,75 - - - -
20 - - - -
10 - - - -
(6)
Lampiran 9
A B
C
Gambar 7.1 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Cacing Tanah Terhadap Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli,
Shigella dysenteriae
Keterangan : A. Konsentrasi 500 mg/ml, 400 mg/ml Bakteri Salmonella typhosa B. Konsentrasi 500 mg/ml, 400 mg/ml Bakteri Escherichia coli C. Konsentrasi 500 mg/ml, 400 mg/ml Bakteri Shigella dysenteriae