2 Tindakan imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa pengenaan bea
masuk imbalan. 3
Bea masuk imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan
berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.
H. Hambatan Tindakan Imbalan Countervailing Duties
Dalam Perdagangan Luar Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2014 Tentang Perdagangan
Perundingan non-tarif dalam kerangka GATTWTO untuk pertama kali dibahas dalam perundingan Tokyo Round 1973-1979 di Tokyo Jepang. Adapun
hasil perundingan Tokyo Round dibidang non-tarif yang disepakati dalam perjanjian GATT masih merupakan code, karena hanya mengikat negara-negara
peserta perundingan. Namun demikian, karena ketentuan yang dihasilkan dalam Tokyo Round merupakan upaya penyempurnaan perjanjian GATT, maka
perjanjian tersebut juga merupakan elemen dalam perkembangan yurisprudensi GATT. Dibidang non-tarif, hasil perundingan yang dicapai dalam perundingan
Tokyo Round, secara ringkas adalah sebagai berikut:
115
1. Pengaturan yang lebih rinci mengenai tindakan non-tarif non-tarif measures,
seperti subsidy dan countervaliling duty atau bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi langkah subsidi yang diambil oleh negara pengekspor.
2. Ketentuan yang lebih rinci mengenai hambatan teknis terhadap perdagangan
internasional technical barrier to trade. 3.
Ketentuan yang lebih rinci mengenai pembelian dalam bentuk impor sektor pemerintah atau government procurement..
115
Chandra C Alexander, Indonesia dan Ancaman Perjanjian Perdagangan Bebas Bilateral, Jakarta : Institute for Global Justice, 2005, hlm. 166-167.
Universitas Sumatera Utara
4. Ketentuan yang dirinci mengenai prosedur dalam pemberian lisensi impor.
5. Penyesuaian dan perubahan aturan GATT mengenai anti-dumping yang
dirumuskan dalam GATT dan disetujui pada 1967. Menurut Pasal 50 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
bahwa :
116
1. Semua Barang dapat diekspor atau diimpor, kecuali yang dilarang, dibatasi,
atau ditentukan lain oleh undang-undang. 2.
Pemerintah melarang Impor atau Ekspor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan:
a. untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk
sosial, budaya, dan moral masyarakat; b.
untuk melindungi hak kekayaan intelektual; danatau c.
untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.
Pasal 51 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan :Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai
Barang yang dilarang untuk diekspor. Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor. Barang yang dilarang
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
117
Pasal 52 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan :
118
116
Pasal 50 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
117
Pasal 51 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
118
Pasal 52 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Universitas Sumatera Utara
1. Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan
pembatasan Barang untuk diekspor. 2.
Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor.
3. Barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
ditetapkan dengan Peraturan Menteri. 4.
Setiap Eksportir yang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat 3
dikenai sanksi administratif danatau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
5. Setiap Importir yang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan
pembatasan Barang untuk diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dikenai sanksi administratif danatau sanksi lainnya yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. 6.
Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan ayat 5 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 53 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan:
119
1. Eksportir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat 4 terhadap Barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 ayat 5 terhadap Barang impornya wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh Importir, atau ditentukan lain oleh Menteri.
119
Pasal 53 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Universitas Sumatera Utara
Pasal 54 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan:
120
1. Pemerintah dapat membatasi Ekspor dan Impor Barang untuk kepentingan
nasional dengan alasan: a.
untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum; danatau b.
untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.
2. Pemerintah dapat membatasi Ekspor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dengan alasan: a.
menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; b.
menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri;
c. melindungi kelestarian sumber daya alam;
d. meningkatkan nilai tambah ekonomi bahan mentah danatau sumber daya
alam; e.
mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas Ekspor tertentu di pasaran internasional; danatau
f. menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri.
3. Pemerintah dapat membatasi Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dengan alasan: a.
untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri; danatau
b. untuk menjaga neraca pembayaran danatau neraca Perdagangan.
120
Pasal 54 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Universitas Sumatera Utara
Hambatan non-tarif adalah semua macam kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang menghambat perdagangan bebas dan mencakup
semua hambatan yang bukan merupakan tarif. Dengan demikian, semua hambatan yang timbul karena kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang bukan
merupakan tarif termasuk kategori hambatan non-tarif. Macam hambatan non-tarif adalah sangat banyak dan dapat terus bertambah. Alan M. Rugman, et.al
mengilustrasikan berbagai hambatan non-tarif adalah sebagai berikut:
121
3. Pembatasan spesifik, yang terdiri dari kuota termasuk sukarela, lisensi
impor, rasio asing-domestik, batas minimum harga impor, embargo, perjanjian-perjanjian bilateral, dan perjanjian-perjanjian pemasaran secara
teratur. 4.
Peraturan administrasi pabean, yang terdiri dari sistem valuasi, aturan anti- dumping, klasifikasi tarif, dokumentasi yang disyaratkan, biaya-biaya,
disparitas standar mutu dan pengujian, standard packaging, labeling dan pemasaran.
5. Partisipasi pemerintah, yang terdiri dari kebijakan pengadaan procurement,
subsidi dan insentif ekspor, bea countervailing, program bantuan domestik, dan bantuan trade-divertin.
6. Pungutan impor, yang terdiri dari jaminan impor import deposit, pajak-pajak
tambahan suplementary, kredit impor, pungutan variabel variable levies, dan pungutan perbatasan border levies.
121
Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di bawah Sistem Hukum WTO Bandung: PT. Alumni, 2010, hlm. 139-140
Universitas Sumatera Utara
Rezim perdagangan internasional yang tidak dapat dihindari lagi dalam peningkatan perekonomian suatu negara yang mana perdagangan internasional
merujuk pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh berbagai pemerintah dibidang perdagangan. Pemerintah sebagai regulator memiliki kewenangan untuk membuat
kebijakan tidak saja bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan diwilayahnya tetapi juga kewenangan untuk membuat kebijakan atas barang atau jasa asal
negara lain yang akan masuk ke negaranya.
122
Jika merujuk pada pengertian kebijakan perdagangan yakni merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional dilakukan dengan memerhatikan gejala dan perkembangan yang terjadi dinegara lain yang berpengaruh pada perekonomian nasional.
123
Secara umum, larangan hambatan non-tarif terhadap akses pasar – untuk barang dan juga untuk jasa dan pemberi jasa dapat berupa :
Maka, kebijakan pemerintah dalam perdagangan, yakni hambatan non tarif adalah semua macam
kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang menghambat perdagangan bebas dan mencakup semua hambatan yang bukan merupakan tarif. Dengan
demikian, semua hambatan yang timbul karena kebijakan pemerintah atau aturan suatu negara yang bukan merupakan tarif merupakan kategori hambatan non tarif
non-tariff measures. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh United Nation Convention on Trade and Development UNCTAD, 2010.
124
a. Hambatan kuantitatif quantitative restriction
b. Hambatan non-tarif lainnya, seperti hambatan teknis dalam perdagangan,
kurangnya transparansi dalam regulasi perdagangan nasional, penerapan yang
122
Syahmin AK, Op. Cit., hlm. 11.
123
Ibid
124
Ibid, hlm.16.
Universitas Sumatera Utara
kurang adil dan memihak dari regulasi perdagangan nasional dan formalitas dan prosedur perpajakan.
Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah hambatan non-tarif, yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan
disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan, penunjukan pada perusahaan tertentu saja sebagai sebagai pihak yang menangani
pemasaran dan pembuatan atas suatu jenis barang. Praktik non-tarif merupakan tindakan kebijakan dan praktik yang menghambat volume, komposisi, dan arah
perdagangan barang atau upaya menghambat sampainya barang ke konsumen disuatu negara. Jika merujuk pada hukum WTO, terutama dalam GATT 1994
yang tidak melarang penerapan bea masuk tarif namun tidak selain tarif, maka, kebijakan non-tarif adalah hal yang dilarang dalam perdagangan internasional.
Menurut GATT 1994, larangan kebijakan hambatan non tarif diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Larangan hambatan kuantitatif
Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif diatur dalam Pasal XI GATT 1947. Hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional yang disebutkan
dalam persetujuan GATTWTO adalah larangan dalam hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan
ini, adalah kuota danpembatasan ekspor secara sukarela voluntary export restraints.Pembatasan melalui kuota adalah pembatasan secara lansung terhadap
jumlah barang yang boleh diimpordiekspor dari atau ke luar negeri . Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok
Universitas Sumatera Utara
individu atau perusahaan domestik untuk mengimpor atau mengekspor suatu produk yang jumlahnya dibatasi secara langsung.
125
Dilarangnya pemberlakuan hambatan kuantitatif ini adalah sebab hambatan kuantitatif memberi dampak yang lebih luas daripada dampak yang
diakibatkan oleh pembatasan melalui tarif dan akan menjadi distorsi terhadap aliran perdagangan bebas yang pada praktiknya pun cenderung tidak adil dan
menimbulkan diskriminasidan peluang-peluang subjektif lainnya. Karena ketika partner dagang membatasi impor dengan tarif, masih dimungkinkannya untuk
meningkatkan ekspor selama harga barang dapat bersaing dengan produk asing, namun ketika suatu negara menerapkan pembatasan kuantitatif, meskipun produk
yang diimpor atau diekspor memiliki harga yang kompetitif namun barang tersebut tidak dapat dimasukkan atau dikeluarkan kesuatu negara.
126
Pembatasan ekspor sukarelaadalah sebuah kuota pada perdagangan yang diterapkan dari sisi negara pengekspor, bukan pengimpor, biasanya dikenakan atas
permintaan pemerintah negara pengimpor.
127
Alasan dilarangnya pembatasan ekpor sukarela adalah karena pada praktiknya VER mengandung unsur intimidasi
dimana negara pengimpor biasanya menggunakan ancaman untuk membuat negara pengekspor secara “sukarela” membatasi ekspornya kenegara
bersangkutan. Sebagai sebuah kebijakan perdagangan, VER sarat dengan muatan politik.
128
125
Kebijakan Non-Tarif”, http:habitat.ub.ac.idindex.phphabitatarticleview109194, diakses pada 30 Maret 2017 Pukul 17.08 WIB.
126
Ibid.
127
“Pembatasan Ekspor Sukarela”, http:kamusbisnis.comartipembatasan-ekspor- sukarela, diakses pada 30 Maret 2017 Pukul 19.30 WIB
128
Bob Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional Yogyakarta : Kanisius, 2002, hlm. 69
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu maka hukum perdagangan internasional melaui WTO menetapkan untuk menghilangkan jenis hambatan kuantitatif. Adanya prinsip
transparansi membawa akibatkan bahwa negara-negara anggota WTO apabila hendak melakukan proteksi perdagangan internasional, tidak boleh menggunakan
kuota sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diijinkan untuk diterapkan. Karenanya prinsip ini seringkali disebut sebagai tarifikasi hambatan perdagangan.
2. Larangan Subsidi
Masalah subsidi diatur dalam Article XVI GATT 1947 kemudian dielaborasi dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tahun
1994 GATT-WTO. Ada beberapa unsur sebagai substansi dari Article XVI yaitu adanya memberi dan mempertahankan subsidi yang meliputi berbagai upaya
untuk menambah penghasilan para produsen serta menekan harga produknya, pemberian subsidi untuk mendorong ekspor, baik langsung maupun tidak
langsung dan pemberian subsidi untuk mengurangi impor menghambat impor.
129
Selain itu, menurut Article XVI terdapat kewajiban mengenai pemberitahuan subsidi dimana pemberitahuan ini dimaksudkan untuk melindungi industri
domestik negara importir bagi subsidi produksi dengan beberapa ketentuan yaitu pemberitahuan harus memuat jumlah produk yang diberikan subsidi, juga nilai
subsidinya dan keadaan-keadaan yang dijadikan alasan diberikannya subsidi.
130
Tidak semua praktik subsidi dilarang. Praktik subsidi yang dilarang adalah yang dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak lain misalnya subsidi pada
129
Christoporus Barutu , Op. Cit., hlm. 69.
130
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
perusahaan untuk mengejar target ekspor atau mengharuskan penggunaan barang- barang domestik daripada barang impor.
131
1. Pemberian dana secara langsung oleh pemerintah seperti hibah, pinjaman,
penyertaan modal atau jaminan hutang. Menurut Article 1 Agreement on Subsidies and Countervailing Measures
GATT-WTO 1994 dapat disimpulkan bahwa subsidi merupakan kontribusi finansial yang diberikan oleh pemerintah suatu negara kepada pelaku ekonomi
berupa:
2. Penghapusan pendapatan atau tagihan pemerintah misalnya insentif fiskal,
seperti memberikan keringanan atau penghapusan pajak. 3.
Penyediaan barang atau jasa oleh pemerintah selain infrastruktur umum atau pembelian barang.
4. Melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan, atau memberikan
kepercayaan pada badan swasta untuk melaksanakan fungsi sehubungan terkait poin ini dan poin sebelumnya yang pelaksanaannya berbeda dengan
biasanya yang dilakukan oleh pemerintah.
131
Ibid., hlm. 72-73.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN