4. Analisis Analysis Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen–komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainnya.
5. Sintesis Synthesis Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi –formulasi yang ada.
6. Evaluasi Evaluation Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek.
Penelitian –penelitian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria –kriteria yang telah ada.
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan Notoatmodjo, 2007:
1. Sosial ekonomi Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang,
sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan, ekonomi baik tingkat pendidikan akan tinggi sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga.
Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak begitu memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan
kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih mendesak. 2. Kultur budaya, agama
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahauan seseorang, karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan
budaya yang ada dan agam yang dianut.
Universitas Sumatera Utara
3. Pendidikan Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal baru
dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut. Pendidikan itu menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan. 4. Pengalaman
Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang tinggi maka pengalaman semakin luas, sedangkan semakin tua umur
seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.
2.4 Kegawatdaruratan 2.4.1 Definisi Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan merupakan keadaan yang bermanifestasikan gejala- gejala akut akan adanya suatu keparahan pada tingkatan tertentu, dimana apabila
pada keadaan tersebut tidak diberikan perhatian medis yang memadai, dapat membahayakan keselamatan individu bersangkutan, menyebabkan timbulnya
gangguan serius fungsi tubuh ataupun terjadinya disfungsi organ atau kecacatan.ACEP, 2013.
Menurut The American Hospital Association AHA dalam Herkutanto 2007 pengertian gawat darurat adalah: An emergency is any condition that in the
opinion of the patient, his family, or whoever assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate medical attention. This
condition continues until a determination has been made by a health care professional that the patient’s life or well-being is not threatened. Akan tetapi,
ternyata dalam praktek nyatanya, banyak keadaan yang dianggap gawat darurat, pada akhirnya setelah melalui proses observasi dan evaluasi yang memadai,
dianggap bukan suatu keadaan gawat darurat. Maka perlu dibedakan keadaan false emergency dengan true emergency. A true emergency is any condition clinically
determined to require immediate medical care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and admission to the hospital to those that are
Universitas Sumatera Utara
diagnostic problems and may or may not require admission after work-up and observation.
2.4.2 Keadaan-keadaan kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan dalam bidang medis dapat bermanifestasikan berbagai gejala dan tampilan yang beragam. Keadaan-keadaan gawat darurat yang dapat
kita temukan sehari-hari adalah seperti American College of Emergency Physicians, 2004 :
a. Nyeri dada b. Sindroma Koroner Akut
c. Diseksi Aorta d. Nyeri Abdomen
e. Aneurisma Aorta Akut f. Apendisitis Akut
g. Perdarahan subarahnoid h. Demam pediatrik
i. Meningitis j. Masalah airway
k. Trauma l. Cedera Kepala
m. Cedera Spinal n. Luka
o. Fraktur p. Torsi Testikular
q. Kehamilan Ektopik r. Sepsis
Universitas Sumatera Utara
2.5 Penanganan Awal Kegawatdaruratan 2.5.1 Pengertian Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Penanganan awal ataupun sering disebut pertolongan pertama merupakan pertolongan secara cepat dan bersifat sementara waktu yang diberikan pada
seseorang yang menderita luka atau terserang penyakit mendadak. Pertolongan ini menggunakan fasilitas dan peralatan yang tersedia pada saat itu di tempat
kejadian. Nasution, 2009
2.5.2 Tujuan Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Tujuan yang penting dari penanganan awal kegawatdaruratan adalah memberikan perawatan yang akan menguntungkan pada orang-orang tersebut
sebagai persiapan terhadap penanganan lebih lanjut. Dalam penanganan pasien- pasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat penting, maka diperlukan suatu
cara penilaian yang cepat untuk menentukan tindakan perawatan yang harus diberikan sesegera mungkin dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang.
Terdapat suatu pendekatan yang dikenal dengan Initial Assesment Penilaian Awal yang meliputi ATLS, 2009 :
1. Persiapan 2. Triase
3. Primary survey ABCDE 4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi 6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan terhadap secondary survey 8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
9. Penanganan definitif
Universitas Sumatera Utara
Tahapan-tahapan penilaian awal ini merupakan suatu urutan kejadian progresif yang berjalan secara linier ataupun longitudinal. Dalam situasi klinis
sesungguhnya, pelaksanaannya dapat berjalan secara paralel ataupun bersamaan. Prinsip dasar dalam ATLS adalah membantu dalam penilaian dan pemberian
resusitasi pasien-pasien gawat darurat. Penilaian dibutuhkan untuk mengetahui prosedur mana saja yang perlu dilakukan, karena tidak semua pasien
membutuhkan seluruh prosedur ini. Primary Survey yang meliputi ABCDE Airway, Breathing, Circulation,
Disability, dan ExposureEnvironmental adalah bagian awal dari penanganan suatu kegawatdaruratan. Dalam proses ini, fungsi vital pasien gawat harus dinilai
secara cepat dan segera diberikan perawatan untuk pertolongannya.
2.5.2.1 Primary Survey
Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi keadaan-keadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan
sebagai berikut : A : Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal
B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi C : Circulation, kontrol perdarahan
D : Disability, status neurologis E : ExposureEnvironmental control, membuka seluruh baju penderita,
tetapi cegah hipotermia
2.5.2.1.1 Airway
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital lainnya merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi
airway akan menyebabkan kematian dalam hitungan beberapa menit. Gangguan pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit lebih lama untuk
menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya lebih memakan waktu
Universitas Sumatera Utara
yang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan dengan cepat begitu memulai penilaian awal. Greaves, 2006
Menurut ATLS 2009, kematian-kematian dini yang disebabkan masalah airway, dan yang masih dapat dicegah, sering disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway 2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru 4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi 6. Aspirasi isi lambung
Tecapainya patensi airway merupakan hal yang sangat esensial dalam penanganan awal pasien-pasien gawat darurat. Penilaian tentang mampu atau
tidaknya seseorang bernapas secara spontan harus dilakukan secara cepat. Menurut Bersten dan Soni 2009 dalam Higginson dan Parry 2013, untuk
menilai patensi airway secara cepat dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien. Respon verbal yang normal menandakan dengan cepat
kepada penolong bahwa pasien memiliki airway yang paten, sudah bernapas, dan otaknya sudah dalam keadaan diperfusi. Namun begitu, penilaian airway tetap
penting untuk dilakukan. Apabila pasien hanya dapat berbicara sepatah dua patah kata ataupun tidak respon, pasien kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan
membutuhkan pertolongan bantuan napas secara cepat. Dalam mengatasi obstruksi airway, terlebih dahulu dilakukan suctioning
untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih yang mungkin timbul akibat pangkal lidah yang terjatuh. American College of Surgeons, 2009 Tindakan suctioning
yang tepat dalam pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan kejadian aspirasi dan lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. Walter,
2002 Pada keadaan tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway adalah pangkal lidah yang jatuh. Selain itu, penolong juga harus melakukan
Universitas Sumatera Utara
inspeksi tentang ada tidaknya benda-benda asing yang menghambat airway ataupun kemungkinan terjadinya fraktur fasial, mandibular ataupun
trakeallaringeal yang juga dapat menghambat bebasnya airway. Pasien-pasien dalam keadaan penurunan kesadaran ataupun GCS Glasgow Coma Score yang
nilainya 8 ke bawah perlu diberikan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan-gerakan motorik tidak bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya
pemasangan airway definitif. American College of Surgeons, 2009 Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
• Suara berkumur • Suara nafas abnormal stridor, dsb
• Pasien gelisah karena hipoksia • Bernafas menggunakan otot nafas tambahan gerak dada paradoks
• Sianosis Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan
dengan cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu chin lift maneuver dan
memiringkan kepala head tilt maneuver, atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan jaw thrust maneuver. Airway selanjutnya dapat dipertahankan
dengan orofaringeal oropharyngeal airway atau nasofaringeal nasopharingeal airway. Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada spinal mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal in-line
immobilization Haskell, 2006. A. Teknik-teknik mempertahankan airway :
1. Head-tilt Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan airway dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk
memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher
Universitas Sumatera Utara
pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong menekan ke
belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten. Alkatri,
2007 2. Chin-lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke
arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri incisor bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan
hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang
leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal. Nasution, 2009
Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver sumber : European Resusciation Council Guidelines for Resuscitation 2010.
3. Jaw-thrust Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada
Universitas Sumatera Utara
pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila Arifin, 2012.
Gambar 2.2 Jaw-thrust maneuver dengan in-line immobilization sumber : Advance Trauma Life Support – Student Course Manual, 2009
4. Oropharyngeal Airway Indikasi : Membebaskan sumbatan airway atas, mencegah pangkal
lidah menyumbat airway, dan berfungsi sebagai bite-block pada penanganan jalan nafas yang lebih advance yakni proteksi pipa
endotrakeal dan memfasilitasi suctioning oral dan faringeal. Gausche- Hill, 2007
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan
dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus anak telinga sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas arah terbalik, lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 derajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan
sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah,
Universitas Sumatera Utara
terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas Lihat, rasa, dengar. Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien Arifin, 2012
Gambar 2.3 : Oropharyngeal Airway Sumber : Advance Trauma Life Support –Students Course Manual, 2009
5. Nasopharyngeal Airway Indikasi : Penggunaan nasopharyngeal airway optimal untuk
pemeliharaan airway pada pasien-pasien setengah sadar ataupun tidak sadarkan diri. Alat ini lebih tidak mudah menyebabkan stimulasi gag
reflex dan juga muntah pada pasien dibandingkan dengan penggunaan
Universitas Sumatera Utara
oropharyngeal airway dan tepat digunakan pada pasien yang giginya menggertak ataupun tidak mau membuka mulutunya. Wilson, 2013
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa nasofaring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa
naso-faring dari lubang hidung sampai tragus anak telinga. Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly gunakan kasa yang sudah
diberi KY jelly. Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke arah mulut ke bawah. Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas
sudah bebas lihat, dengar, rasa Arifin, 2012.
Gambar 2.4 : Nasopharyngeal Airway Sumber : The McGraw-Hill Companies, Inc. 2006
B. Airway definitif Terdapat tiga macam airway definitif, yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgikal krikotiroidotomi atau trakeostomi. Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-
penemuan klinis antara lain Americann College of Surgeons, 2009 : ■Masalah-masalah Airway - Ketidakmampuan untuk
memelihara patensi jalan napas dengan cara lain, dengan
Universitas Sumatera Utara
bahaya yang potensial terjadi pada airway mis : setelah cedera inhalasi, fraktur fasial, atau hematoma retrofaringeal.
■Masalah-masalah Pernapasan –Ketidakmampuan untuk memperthanakan oksigenasi yang adekuat dengan dukungan
sungkup oksigen, dan adanya apnea. ■ Masalah-masalah Disabilitas – Adanya cedera kepala tertutup
yang membutuhkan ventilasi bantuan Skala Koma Glasgow bernilai 8 atau kurang, perlu melindungi bagian bawah airway
dari terjadinya aspirasi darah ataupun muntahan, atau adanya aktivitas kejang yang menetap.
Penilaian dari status klinis pasien dan penggunaan pulse oxymeter dapat membantu menentukan perlu atau tidaknya tindakan airway definitif. Dalam
memberi tindakan orotrakeal ataupun nasotrakeal, harus selalu diperkirakan adanya cedera pada c-spine maka in-line mobilisation harus tetap dikerjakan saat
memberikan tindakan. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikator jelas untuk melakukan airway surgical.
2.5.2.1.2 Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang baik terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. American College of Surgeons, 2009 Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup kedalam dengan yang
dihembuskan ke luar dari paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-teknik sederhana seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver
tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang spontan, maka penggunaan bag- valve mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi Higginson dan
Parry, 2013. Teknik ini efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan
dari salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik
Universitas Sumatera Utara
American College of Surgeons, 2009. Berikut adalah cara melakukan pemasangan bag-valve mask Arifin, 2012 :
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh 2.Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran
3.Letakkan sungkup muka bagian yang lebar dibagian mulut 4.Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka.
5.Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
6.Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
7.Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama
8.Pastikan jalan nafas bebas lihat, dengar, rasa 9.Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag kantong reservoir sekaligus pompa nafas bantu squeeze-bag.
Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan melakukan metode berikut American College of Surgeons, 2009 :
- Look : Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan splinting
atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah labored breathing sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman
terhadap oksigenasi penderita. - Listen : Dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua
Universitas Sumatera Utara
hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernafasan yang cepat – takipnea mungkin
menunjukkan kekurangan oksigen. - Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi
tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
Pada saat penilaian sebelumnya dilakukan, penolong harus mengetahui dan mengenal ciri-ciri gejala dari keadaan-keadaan yang sering muncul
dalam masalah ventilasi pasien gawat darurat seperti tension pneumothorax, massive hemothorax, dan open pneumothorax Arifin,
2012. Tabel 2.1. Ciri-ciri Gejala yang sering muncul pada Pemeriksaan Masalah
Ventilasi Pasien Inspeksi
Palpasi Perkusi
Auskultasi 1.Tension
pneumothorax -ICR flat
-Sesak nafas -Dilatasi vena
jugularis -Deviasi trakea
Stem fremitus
menurun Hipersonor
Suara pernafasan
menurun
2.Massive hemothorax
-ICR flat -Sesak nafas
-Pucat Stem
fremitus meningkat
Beda Suara
pernafasan menurun
3.Open pneumothorax
-ICR normal -Sesak nafas
-Luka berlubang
dinding toraks sucking chest
wound Suara
fremitus menurun
Hipersonor Suara
pernafasan menurun
Universitas Sumatera Utara
Penanganan yang dapat dilakukan adalah : a. Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12 litermenit
b. Tension pneumothorax : Needle Insertion IV Cath No.14 di ICR
II-Linea midclavicularis c. Massive haemothorax
: Pemasangan Chest Tube d. Open pneumothorax
: Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi flutter-type voice effect
2.5.2.1.3 Circulation
Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh banyak jenis perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan adalah
masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan. American College of Surgeons, 2009
Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi tentang ini :
a. Tingkat Kesadaran Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran jangan dibalik, penderita yang sadar belum tentu normovolemik.
b. Warna Kulit Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.
Universitas Sumatera Utara
c. Nadi Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a. Karotis kiri-
kanan untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia bila penderita
tidak minum obat beta-blocker. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain.
Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak
ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan tanda diperlukannya resusitasi segera.
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual
maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan
pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin American College of Surgeons, 2009.
Tabel 2.2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentase Penderita Semula
Kelas I Kelas II
Kelas III Kelas IV
Kehilangan Darah mL
Sampai 750 750 - 1500
1500 - 2000 2000
Kehilangan Darah volume darah
Sampai 15 15 – 30
30 – 40 40
Denyut Nadi 100
100 120
140 Tekanan Darah
Normal Normal
Menurun Menurun
Tekanan Nadi mmHg
Normal atau Naik Menurun
Menurun Menurun
Frekuensi Pernafasan
14 – 20 20 - 30
30 - 40 35
Produksi Urin mLjam
30 20 - 30
5 -15 Tidak berarti
CNSStatus Mental Sedikit cemas
Agak cemas Cemas, bingung
Bingung, lesu lethargic
Penggantian Cairan Kristaloid
Kristaloid Kristaloid dan
darah Kristaloid dan
darah
Universitas Sumatera Utara
2.5.2.1.4 Disability
Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan neurologis yang cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat
kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis. American College of Surgeons, 2009
Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum keadaan yang luas mulai dari letargi sampai status koma. Perubahan apapun yang
mengganggu jaras asending sistem aktivasi retikular dan sambungannya yang sangat banyak dapat menyebabkan gangguan tingkat kesadaran. Smith, 2010
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC Glasgow Coma Scale merupakan metode
yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder.
AVPU, yaitu: A : Alert
V : Respon to verbal P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai “eye opening” penderita skor 4-1 Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri dengan menekan ujung kuku jari tangan
Universitas Sumatera Utara
d. Tidak memberikan respon 2. Menilai “best verbal response” penderita skor 5-1
Perhatikan apakah penderita : a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
b. Disorientasi atau bingung c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya e. Tidak memberikan respon
3. Menilai “best motor respon” penderita skor 6-1 Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri d. Fleksi abnormal decorticated
e. Ektensi abnormal decerebrate f. Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran
2.5.2.1.5 Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan
Universitas Sumatera Utara
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi. Nasution, 2009
2.6 Peran Perawat dan Bidan dalam Penanganan Awal Kegawatdaruratan
2.6.1 Peran Perawat
Berdasarkan data dalam daftar dan unit kodifikasi mengenai standar kompetensi seorang perawat di dalam Standar Kompetensi Perawat Indonesia,
dikatakan bahwa seorang perawat baik perawat vokasional, ners, ners spesialis, maupun ners konsultan, semuanya harus mampu mengidentifikasi dan
melaporkan situasi perubahan ayng tidak diharapkan, meminta bantuan cepat dan tepat dalam situasi gawat daruratbencana dan menerapkan keterampilan bantuan
hidup dasar sampai bantuan tiba. Tambahan lain bagi seorang ners spesialis adalah berkemampuan mengambil peran kepemimpinan dalam triage dan
koordinasi asuhan klien sesuai kebutuhan asuhan khusus. Sedangkan untuk sseorang ners konsultan harus juga mampu memobilisasi dan mengkoordinasikan
sumber daya dan mengambil peran kepemimpinan dalam situasi gawat darurat danatau bencana.
2.6.2 Peran Bidan
Dalam Standar Kompetensi Bidan Indonesia, seorang bidan dituntut untuk mememiliki keterampilan dalam memberikan asuhan kegawatdaruratan terutama
dalam kegawatdaruratan kebidanan, seperti prolaps tali pusat, distosia bahu, malpresentasi,dan keadaan gawat janin. Akan tetapi disebutkan juga bahwa bidan
harus berkompetensi dalam memberikan pertolongan kegawatdaruratan terus menerus sesuai kebutuhan seperti melakukan resusitasi bayi baru lahir,
kegawatdaruratan maternal seperti perdarahan, resusitasi jantung paru maupun keadaan gawat napas.
Universitas Sumatera Utara
2.7 Aspek Hukum dan Medikolegal dalam Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Dipandang dari segi hukum dan
medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Pada keadaan gawat darurat medik
didapati beberapa masalah utama yaitu: - Periode waktu pengamatanpelayanan relatif singkat
- Perubahan klinis yang mendadak - Mobilitas petugas yang tinggi
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Situasi emosional
dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan tenaga kesehatan yang di bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien dengan pihak
pemberi pelayanan kesehatan. Herkutanto, 2007 Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.231992 tentang
Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat 4 yang menyatakan bahwa “pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”. Ketentuan tersebut
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatanperawatan,
sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang mengandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.231992 tentang Kesehatan yang merumuskan
bahwa “tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan
yang bersangkutan”. Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di
rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk
Universitas Sumatera Utara
melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan
maka yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi gawat darurat saat itu.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep