Gambar 3 Bagan alir pengolahan data
Peta Kemampuan Lahan Tingkat Sub
kelas Overlay
Data Produksi semua komoditas
hasil pertanian Tahun 2005 dan
2010
Peta Kesesuaian Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010
dengan Kemampuan Lahan Jumlah Penduduk,
kebutuhan lahan per orang Tahun 2005
dan 2010
Ketersediaan Lahan Tahun 2005 dan 2010
Kebutuhan Lahan Tahun 2005 dan 2010
Status Daya Dukung Lahan berbasis produktivitas Tahun 2005 dan 2010
Arahan penggunaan lahan yang sesuai kemampuan lahan
Analisis kuantitatif, spasial dan deskriptif Peta tanah, peta kelas
lereng, peta bentuk lahan, citra ASTER GDEM
Identifikasi Kelas Kemampuan Lahan
Citra Geoeye Tahun 2010
Interpretasi citra Peta Penggunaan
Lahan Tahun 2005
Peta Perubahan Penggunaan
Lahan
Kota Bima Dalam Angka Tahun
2005 dan 2010
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010
Overlay
Tahap 1
Tahap 5 Tahap 3
Tahap 2
Tahap 4
Pengecekan Lapang
Tabel  1  Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari penelitian
No Tujuan
Metode Analisis Data dan Sumber Data
Hasil
1 Menganalisis penutupan
penggunaan lahan tahun  2010 Interpretasi citra
menggunakan 9 kunci interpretasi
Data yang dibutuhkan: Citra Satelit Geoeye-1 imagery date
30 April 2010 Sumber data:
•  Open source – Google Earth Peta penggunaan lahan
tahun 2010
2 Menganalisis perubahan
penggunaan lahan periode tahun 2005
– 2010 Analisis SIG:
Overlay peta penggunaan
lahan tahun 2005  dan 2010 Analisis LQ
Analisis deskriptif Data yang dibutuhkan:
•  Peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010
•  Peta administrasi Sumber data :
BAPPEDA Kota Bima Hasil tahapan analisis
sebelumnya Mengetahui dinamika
dan pusat-pusat aktifitas perubahan penggunaan
lahan selama periode tahun 2005
– 2010
3 Menganalisis kemampuan
lahan Kota Bima tingkat sub kelas
Analisis SIG: Operasi overlay berbagai
peta tematik Analisis kualitatif mengacu
pada kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat
sub-kelas Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Data yang dibutuhkan: Peta tanah, peta kelas lereng, peta
bentuk lahan, citra ASTER GDEM Sumber data :
Puslittanak Diunduh dari
http:www.gdem.aster.ersdac.or.jp
Mengetahui kemampuan lahan Kota Bima tingkat
sub kelas
Lanjutan Tabel 1
No Tujuan
Metode Analisis Data dan Sumber Data
Hasil
4 Mengevaluasi kesesuaian
penggunaan lahan dengan kemampuan lahan
Analisis SIG: Operasi overlay antara peta
penggunaan lahan dengan peta kemampuan lahan
Data yang dibutuhkan: Peta penggunaan lahan tahun
2005 dan 2010 Peta kemampuan lahan
Sumber data: BAPPEDA Kota Bima
Hasil tahapan analisis sebelumnya
Peta kesesuaian penggunaan lahan tahun
2005 dan 2010 dengan kemampuan lahan
5 Menentukan status daya
dukung lahan pada tahun 2005 dan 2010
Perbandingan antara total ketersediaan lahan dan total
kebutuhan lahan Supply Side vs Demand Side
Metode penghitungan merujuk pada Permen LH 172009
tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan
Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah
Data yang dibutuhkan: •
Jumlah penduduk •
Produksi padiberas •
Produksi non padi •
Harga satuan beras •
Harga satuan tiap jenis komoditas selain beras pada tingkat produsen
Sumber data: BPS dan BAPPEDA Kota Bima
Status daya dukung lahan berbasis
produktivitas
Lanjutan Tabel 1
No Tujuan
Metode Analisis Data dan Sumber Data
Hasil
6 Membuat peta arahan
penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan
Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan
dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas
kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan
penggunaannya Arsyad 2010 Hasil tahapan analisis sebelumnya
Peta arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan
lahan
3.5.1 Perubahan Penggunaan Lahan
Peta  penggunaan  lahan  tahun  2005  skala  1  :  25.000  diperoleh  dari BAPPEDA  Kota  Bima.  Sementara  peta  penggunaan  lahan  tahun  2010  diperoleh
dari interpretasi citra Geoeye-1 Kota Bima dengan resolusi 0,41 meter atau 16 inci dan imagery date 30 April 2010 yang terdapat pada Google Earth. Menurut Este
dan Simonett 1975, interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara
atau  citra  dengan  maksud  untuk  mengidentifikasi  obyek  dan  menilai  arti pentingnya  obyek  tersebut.  Dalam  interpretasi  citra,  penafsir  mengkaji  citra  dan
berupaya  mengenali  obyek  melalui  tahapan  kegiatan  deteksi,  identifikasi,  dan analisis.  Setelah  mengalami  tahapan  tersebut,  citra  dapat  diterjemahkan  dan
digunakan  ke  dalam  berbagai  kepentingan,  misalnya  dalam  bidang  geografi, geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Deteksi adalah usaha penyadapan data
secara global, baik  yang tampak maupun  yang tidak tampak. Deteksi merupakan penentuan  ada  tidaknya  suatu  obyek,  misalnya  obyek  berupa  hutan.  Identifikasi
adalah  kegiatan  untuk  mengenali  obyek  yang  tergambar  pada  citra  yang  dapat dikenali berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor dengan alat stereoskop.
Dalam  kegiatan  interpretasi  citra,  ada  tujuh  karakteristik  dasar  yang menjadi pertimbangan Lillesand dan Kiefer 1990, yaitu:
1.  Bentuk, adalah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek demikian  khas  sehingga  citranya  dapat  diidentifikasi  langsung  hanya
berdasarkan kriteria ini. 2.  Ukuran,  adalah  ciri  obyek  berupa  jarak,  luas,  tinggi,  dan  volume.  Ukuran
obyek  pada  citra  adalah  berupa  skala.  Contohnya:  lapangan  olah  raga  sepak bola dicirikan oleh bentuk segi empat dan ukuran yang tetap, yaitu sekitar 80-
100 m. 3.  Pola,  adalah  hubungan  susunan  spasial  obyek.  Pola  dapat  digunakan  untuk
membedakan obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Misalnya pola  aliran  sungai  yang  berkelok-kelok  berbeda  dengan  pola  jalan  raya  yang
umumnya lurus. Kebun karet, kebun kelapa, dan kebun kopi mudah dibedakan dengan hutan atau vegetasi lainnya karena polanya yang teratur.
4.  Bayangan, bersifat menyembunyikan detail atau obyek  yang berada di daerah gelap.  Bayangan  juga  dapat  merupakan  kunci  pengenalan  yang  penting  dari
26
beberapa  obyek  yang  justru  dengan  adanya  bayangan  menjadi  lebih  jelas. Misalnya  lereng  terjal  tampak  lebih  jelas  dengan  adanya  bayangan.  Foto-foto
yang  sangat  condong  biasanya  memperlihatkan  bayangan  obyek  yang tergambar dengan jelas.
5.  Rona, adalah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto. 6.  Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Biasa dinyatakan dengan
“kasar”,  “sedang”  dan  “halus”.  Misalnya,  hutan  bertekstur  kasar  dan  semak bertekstur  sedang.  Tekstur  merupakan  hasil  gabungan  dari  bentuk,  ukuran,
pola, bayangan, dan rona. 7.  Situs,  adalah  letak  suatu  obyek  terhadap  obyek  lain  di  sekitarnya.  Misalnya
permukiman  pada  umumnya  memanjang  pada  pinggir  pantai,  tanggul  alam, atau  sepanjang  tepi  jalan;  atau  persawahan  banyak  terdapat  di  daerah  dataran
rendah. Dari  tujuh  karakteristik  dasar  tersebut  di  atas,  Sutanto  1992
menambahkan  satu  karakteristik  lagi,  yaitu  asosiasi.  Asosiasi  adalah  keterkaitan antara  obyek  yang  satu  dengan  obyek  lainnya.  Misalnya,  stasiun  kereta  api
berasosiasi  dengan  jalan  kereta  api  yang  jumlahnya  lebih  dari  satu  bercabang. Munibah  2008  menambahkan  faktor  lain  yang  dapat  dijadikan  sebagai  kunci
interpretasi  citra  adalah  kedekatan  antara  interpreter  dengan  obyek  yang diinterpretasi
. Menurut  Sutanto  1992,  pada  dasarnya  interpretasi  citra  terdiri  dari  dua
kegiatan  utama,  yaitu  perekaman  data  dari  citra  dan  penggunaan  data  tersebut untuk  tujuan  tertentu.  Perekaman  data  dari  citra  berupa  pengenalan  obyek  dan
unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari a menguraikan atau memisahkan
obyek  yang  rona  atau  warnanya  berbeda;  b  ditarik  garis  batasdeliniasi  bagi obyek  yang  rona  dan  warnanya  sama;  c  setiap  obyek  dikenali  berdasarkan
karakteristik  spasial  dan  unsur  temporalnya;  d  obyek  yang  sudah  dikenali diklasifikasi sesuai dengan tujuan interpretasinya; e digambarkan ke dalam peta
kerja  atau  peta  sementara;  f  dilakukan  pengecekan  medan  lapangan  untuk verifikasi;  dan  g  interpretasi  akhir,  yaitu  pengkajian  atas  pola  atau  susunan
keruangan obyek untuk dapat dipergunakan sesuai tujuannya.
27
Deteksi  perubahan  penggunaan  lahan  dilakukan  melalui  proses  tumpang susun overlay antara peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 menggunakan
ArcGIS  9.3.    Identifikasi  pusat-pusat  perubahan  penggunaan  lahan  dilakukan dengan menggunakan analisis Location Quotient LQ.
Analisis  LQ  Location  Quotient  merupakan  teknik  analisis  yang digunakan  untuk  mengetahui  pemusatan  suatu  aktifitas  di  suatu  wilayah  dalam
cakupan  wilayah  agregat  yang  lebih  luas.    Sebagai  contoh  adalah  pemusatan aktifitas  di  level  provinsi  dalam  lingkup  wilayah  nasional,  atau  pemusatan
aktifitas  di  level  kabupatenkota  dalam  lingkup  wilayah  provinsi,  demikian seterusnya.    Analisis  LQ  pada  awalnya  merupakan  salah  satu  teknik  yang
dikembangkan untuk
melakukan analisis
ekonomi basis.
Dalam perkembangannya,  analisis  LQ  dapat  digunakan  untuk  menganalisis  untuk
pemusatan  aktifitas  apapun,  dalam  hal  penelitian  ini  adalah  pemusatan  aktifitas perubahan  penggunaan  lahan.  Teknik  LQ  dilakukan  secara  berjenjang,  dimulai
dari  unit  administrasi  terkecil  kecamatan  untuk  setiap  wilayah  kabupaten, kemudian dilakukan pada unit kabupaten Rustiadi et al. 2009.
Persamaan analisis LQ dalam penelitian ini adalah:
X X
X X
LQ
J I
IJ IJ
.. .
.
…………………………………1 Dimana:
X
IJ
:    luas perubahan penggunaan lahan di kecamatan ke-i X
I.
:    total luas perubahan penggunaan lahan di Kota Bima X
.J
:   luas kecamatan ke-i X
..
:   total luas wilayah Kota Bima Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut:
-  Jika  nilai  LQ
ij
1,  maka  hal  ini  menunjukkan  terjadinya  konsentrasi  suatu aktifitas  di  sub  wilayah  ke-i  secara  relatif  dibandingkan  dengan  total  wilayah
atau  terjadi  pemusatan  aktifitas  di  sub  wilayah  ke-i,  sehingga  dapat  diketahui bahwa  suatu  wilayah  administrasi  terkecil  yang  dianalisis  merupakan  wilayah
yang menjadi pusat perubahan penggunaan lahan. -  Jika  nilai  LQ
ij
=  1,  maka  sub  wilayah  ke-i  tersebut  mempunyai  konsentrasi aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.
28
-  Jika nilai LQ
ij
1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai aktifitas  lebih kecil  dibandingkan  dengan  aktifitas  yang  secara  umum  ditemukan  di  seluruh
wilayah.
3.5.2 Kemampuan Lahan
Kemampuan  lahan  merupakan  karakteristik  lahan  yang  mencakup  sifat tanah  fisik  dan  kimia,  topografi,  drainase,  dan  kondisi  lingkungan  hidup  lain.
Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan kedalam tingkat kelas,  sub kelas, dan unit  pengelolaan  Hardjowigeno dan
Widiatmaka  2007.  Dalam  penelitian  ini  kriteria  yang  digunakan  untuk mengidentifikasi  kemampuan  lahan  pada  tingkat  sub  kelas  adalah  kelerengan,
jenis tanah, bahan induk, tekstur, kedalaman solum, drainase, dan kepekaan erosi. Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting
oleh  para  perintis  pedologi  Dokuchaev  1883  dalam  Hardjowigeno  2003. Pengaruh  dan  hubungan  sifat-sifat  bahan  induk  dengan  sifat-sifat  tanah  terlihat
lebih  jelas  pada  tanah-tanah  di  daerah  kering  atau  tanah-tanah  muda,  hal  ini relevan dengan kondisi fisik lahan Kota Bima dimana jenis tanahnya hanyalah dua
ordo  yaitu Entisol  yang merupakan tanah muda  dan  Inseptisol  yang sedikit lebih matang.  Data  tersebut  diperoleh  dari  peta  tanah  skala  1:50.000  yang  bersumber
dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Puslittanak. Atribut peta mencakup jenis  tanah,  landform,  relief,  kelas  lereng,  dan  ketinggian  altitude.    Peta  ini
kemudian dipertajam dengan menggunakan data pendukung citra ASTER GDEM resolusi  30  m.  Penajaman  yang  dilakukan  adalah  dengan  mendeliniasi  manual
peta  tanah  yang  ada  khususnya  atribut  landform  dan  relief.  Tahapan  penajaman adalah:  1  konversi  citra  ASTER  GDEM  menjadi  hillshade  menggunakan
fasilitas  ArcToolbox  pada  ArcGIS;  2  meng-overlay  peta  tanah  dengan  DEM hillshade
;  dan  3  mendeliniasi  manual  peta  tanah  berdasarkan  kenampakan landform
yang  serupa.  Sukarman  2005  menyatakan  bahwa  data  DEM  dapat digunakan untuk membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di
daerah  bergunung  berbahan  induk  homogen  maupun  heterogen.    Pada  daerah demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform bentuk lahan dan relief dengan
baik.
29
Klasifikasi  kemampuan  kelas  pada  tingkat  sub  kelas  dilakukan  dengan memperhatikan  kriteria  seperti  pada  Tabel  2  Hardjowigeno  dan  Widiatmaka
2007.
Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas
No. Faktor
Kelas Kemampuan I
II III
IV V
VI VII
VIII 1.
Tekstur tanah t a.  lapisan  atas  40
cm b.  lapisan bawah
t2t3 t2t4
t1t4 t1t4
t1t4 t1t4
t2t3 t2t4
t2t3 t2t4
t2t3 t2t4
t2t3 t2t4
t2t3 t2t4
2. Lereng
permukaan l0
l1 l2
l3 l4
l5 l6
3. Drainase
d0d1 d2
d3 d4
4. Kedalaman efektif
k0 k0
k1 k2
k3 5.
Keadaan erosi e0
e1 e1
e2 e3
e4 6.
Kerikilbatuan b0
b0 b0
b1 b2
b3 7.
Banjir o0
o1 o2
o3 o4
= dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah = permukaan tanah selalu tergenang air.
Penggolongan  besarnya  intensitas  faktor  penghambat  dalam  kriteria klasifikasi  kemampuan  kelas  pada  tingkat  sub  kelas  dapat  diuraikan  sebagai
berikut Arsyad 1979 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. a.  Tekstur tanah t
Duabelas  tekstur  tanah  dikelompokkan  ke  dalam  lima  kelompok  sebagai berikut:
- t
1
halus: liat berdebu, liat - t
2
agak halus: liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir
- t
3
sedang: debu, lempung berdebu, lempung - t
4
agak kasar: lempung berpasir - t
5
kasar: pasir berlempung, pasir b.  Lereng permukaan l
Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut: - l
0-3: datar - l
1
3-8: landaiberombak - l
2
8-15: agak miringbergelombang - l
3
15-30: miringberbukit - l
4
30-45: agak curam
30
- l
5
45-65: curam - l
6
65: sangat curam c.  Drainase tanah d
Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut: - d
baik:  tanah  mempunyai  peredaran  udara  baik.  Seluruh  profil  tanah  dari atas  sampai  lapisan  bawah  berwarna  terang  yang  uniform  dan  tidak  terdapat
bercak-bercak. - d
1
agak  baik:  tanah  mempunyai  peredaran  udara  baik.  Tidak  terdapat bercak-bercak  berwarna  kuning,  coklat,  atau  kelabu  pada  lapisan  atas  dan
bagian atas lapisan bawah. - d
2
agak  buruk:  lapisan  tanah  atas  mempunyai  peredaran  udara  baik.  Tidak terdapat  bercak-bercak  berwarna  kuning,  coklat,  atau  kelabu.  Bercak-bercak
terdapat pada seluruh lapisan bawah. - d
3
buruk:  bagian  atau  lapisan  atas  dekat  permukaan  terdapat  warna  atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat, dan kekuningan.
- d
4
sangat  buruk:  seluruh  lapisan  permukaan  tanah  berwarna  kelabu  dan tanah bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak kelabu, coklat, dan
kekuningan. d.  Kedalaman efektif k
Kedalaman efektif dikelompokkan sebagai berikut: - k
dalam: 90 cm - k
1
sedang: 90-50 cm - k
2
dangkal: 50-25 cm - k
3
sangat dangkal: 25 cm e.  Keadaan erosi e
Kerusakan oleh erosi dikelompokkan sebagai berikut: - e
tidak ada erosi - e
1
ringan: 25 lapisan atas hilang - e
2
sedang: 25-75 lapisan atas hilang - e
3
berat: 75 lapisan atas hilang, 25 lapisan bawah hilang - e
4
sangat berat: 75 lapisan atas hilang, 25 lapisan bawah hilang
31
3.5.3 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan
Untuk  memperoleh  peta  kesesuaian  antara  penggunaan  lahan  dengan kemampuan  lahan,  peta  kemampuan  lahan  tingkat  sub  kelas  di-overlay  dengan
peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010.
3.5.4 Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas
Ketersediaan  lahan  ditentukan  berdasarkan  data  total  produksi  aktual setempat  dari  setiap  komoditas  di  suatu  wilayah,  dengan  menjumlahkan  produk
dari  semua  komoditas  yang  ada  di  wilayah  tersebut.  Untuk  penjumlahan  ini digunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan
yang  beragam.  Sementara  itu,  kebutuhan  lahan  dihitung  berdasarkan  kebutuhan hidup layak.
Gambar 4 Metode penghitungan daya dukung lahan berbasis neraca lahan menurut Permen LH 172009
Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a.  Penghitungan Ketersediaan Supply Lahan
Rumus:
………………………2 Dimana:
SL =
Ketersediaan lahan ha P
i
= Produksi aktual tiap jenis komoditi satuan ton. Komoditas
yang diperhitungkan meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.
Total Produksi aktual seluruh
komoditas setempat
Ketersediaan Lahan
Populasi Penduduk
Kebutuhan lahan per
orang yang diasumsikan
dengan luas lahan untuk
menghasilkan 1 ton setara
berastahun Kebutuhan
Lahan
Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas
32
H
i
= Harga satuan tiap jenis komoditas Rpkg di tingkat
produsen. Hb
= Harga satuan beras Rpkg di tingkat produsen.
Ptvb =
Produktivitas beras tonha. Dalam penghitungan ini, faktor konversi yang digunakan
untuk menyetarakan produk nonberas dengan beras adalah harga.
b.  Penghitungan Kebutuhan Demand Lahan Rumus:
………………………………….3 Dimana:
D
L
= Total kebutuhan lahan setara beras ha
N =
Jumlah penduduk orang KHL
L
= Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per
penduduk: a.  Luas lahan  yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak
per  penduduk  merupakan  kebutuhan  hidup  layak  per penduduk dibagi produktivitas beras lokal.
b.  Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan sebesar 1 ton setara beraskapitatahun.
c.  Daerah yang tidak memiliki data produktivitas beras lokal, dapat  menggunaan  data  rata-rata  produktivitas  beras
nasional sebesar 2400 kghatahun atau 2,4 tonhatahun. c.  Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan
lahan  SL  dan  kebutuhan  lahan  DL  .  Bila  SLDL,  daya  dukung  lahan dinyatakan surplus. Bila SLDL, daya dukung lahan dinyatakan defisit.
Sumber: Permen LH 172009 Terkait  standar  kebutuhan  hidup  layak  dalam  penghitungan  kebutuhan  lahan,  di
dalam Permen LH 172009 tidak didefinisikan kebutuhan layak yang dimaksud.
33
Tabel 3  Contoh perhitungan nilai produksi total No.
Komoditas Produksi
Pi Harga Satuan
Hi Nilai Produksi
Pi ×Hi 1.
Padi dan palawija, antara lain:
padi, jagung, dan seterusnya. ………
………… ……………..
2. Buah-buahan, antara lain:
mangga, jeruk, dan seterusnya.
……… …………
……………..
3. Sayur mayur, antara lain:
bawang merah, bawang putih, dan seterusnya.
……… …………
……………..
4. Tanaman obat-obatan, antara
lain: jahe, lengkuas, dan seterusnya.
……… …………
……………..
5. Produksi daging, antara lain:
sapi, kambing, dan seterusnya.
……… …………
……………..
6. Produksi telur, antara lain:
ayam kampung dan ras. ………
………… ……………..
7. Perikanan.
……… …………
…………….. 8.
Perkebunan, antara lain: kelapa, kopi, dan seterusnya.
……… …………
…………….. 9.
Kehutanan : kayu dan non kayu
……… …………
…………….. TOTAL
3.5.5 Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan
Arahan  penggunaan  lahan  ini  hanya  didasarkan  pada  kelas  kemampuan lahan.  Kemampuan lahan merupakan cara sistematis untuk menilai potensi lahan
agar dapat berproduksi secara lestari Worosuprodjo 2005. Analisis kemampuan lahan dapat digunakan untuk menunjang kebijakan dan perencanaan penggunaan
lahan  yang  optimal  yang  tujuannya  harus  berkesinambungan  dan  berkelanjutan. Lahan  diklasifikasikan  menggunakan  faktor  penghambat,  sehingga  dengan
mengetahui  faktor  penghambatnya  maka  potensi  yang  menghambat  pemanfaatan dapat diminimumkan. Hal ini dimaksudkan agar peruntukan lahan tidak melebihi
kapasitas dan daya dukung lahan sehingga kelestarian lahan pun terjaga. Penilaian ini  dapat  juga  digunakan  untuk  memperbaiki  pengelolaan  yang  sudah  ada
sehingga dapat diperoleh bentuk konservasi yang tepat Notohadiprawiro 1991.
34
Penentuan  arahan  penggunaan  lahan  sesuai  kemampuan  lahan  dilakukan berdasarkan  prinsip  bahwa  semakin  tinggi  kelas  kemampuan  lahannya,  maka
semakin  sedikit  pilihan  penggunaannya.  Kemampuan  lahan  pada  kelas  I  sampai IV  dengan  pengelolaan  yang  baik  mampu  menghasilkan  dan  sesuai  untuk
berbagai  penggunaan,  seperti  untuk  penanaman  tanaman  pertanian  umumnya tanaman semusim dan tahunan, rumput untuk  makanan ternak, padang rumput,
dan hutan. Tanah pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon  atau  vegetasi  alami.  Dalam  beberapa  hal,  tanah  kelas  V  dan  VI
dapat  menghasilkan  dan  menguntungkan  untuk  beberapa  jenis  tanaman  tertentu, seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungan, dan bahkan jenis sayuran
bernilai  tinggi  dengan  pengelolaan  dan  tindakan  konservasi  tanah  dan  air  yang baik. Tanah dalam kelas VIII  sebaiknya dibiarkan dalam keadaan  alami Arsyad
2010.
Kelas kemampuan lahan
Intensitas dan pilihan penggunaan meningkat
Ca g
ar alam
Hu tan
li n
d u
n g
Hu tan
P ro
d u
k si
Terb atas
P en
g g
em b
alaa n
Terb atas
P en
g g
em b
alaa n
S ed
an g
P en
g g
em b
alaa n
I n
ten sif
Ga ra
p an
Terb atas
Ga ra
p an
S ed
an g
Ga ra
p an
In ten
sif
Ga ra
p an
S an
g at
In ten
sif
Ha m
b atan
an ca
m an
m en
in g
k at,
Ke se
su aian
d an
p il
ih an
p en
g g
u n
aa n
b erk
u ra
n g
I II
III IV
V VI
VII VIII
Gambar 5 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan
Sumber: Arsyad 2010
3.6  Batasan Penelitian
Beberapa batasan dalam penelitian ini adalah: 1.  Analisis  daya  dukung  lingkungan  hanya  dilakukan  terhadap  aspek  lahan,
mencakup  analisis  kemampuan  lahan  dan  neraca  lahan  berbasis  produk
35
biohayati, yaitu perbandingan ketersediaan lahan untuk menghasilkan produk hayati bioproduct dengan kebutuhan lahan berdasarkan jumlah penduduk.
2.  Hutan  tidak  dihitung  sebagai  lahan  produktif,  karena  dalam  hal  Kota  Bima tidak terdapat data produksi hasil hutan.
3.  Arahan  penggunaan  lahan  hanya  didasarkan  pada  kelas  kemampuan  lahan. Hal  ini  sesuai  dengan  konsep  bahwa  dalam  perencanaan  penataan  ruang
secara  garis  besar  alokasi  ruang  dibagi  dalam  dua  jenis,  yaitu  kawasan lindung  dan  kawasan  budidaya.  Untuk  deliniasi  kawasan  lindung,  kriteria
evaluasi lahan yang paling sesuai untuk digunakan adalah kemampuan lahan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Penggunaan Lahan dan Dinamika Perubahannya 4.1.1  Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010
Berdasarkan peta penutupanpenggunaan lahan tahun 2005 skala 1:25.000 yang  diperoleh  dari  BAPPEDA  Kota  Bima,  terdapat  sebelas  kelas  penggunaan
lahan di Kota Bima, seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005
Penggunaan Lahan Luas ha
Persentase Air
63 0,3
Hutan Mangrove Sekunder 6
0,02 Hutan Primer
283 1,3
Hutan Sekunder 10.692
48,9 Permukiman
1.229 5,6
Pertanian Lahan Kering 7.021
32,1 Rumput Savanna
56 0,3
Sawah 834
3,8 SemakBelukar
1.571 7,2
Tambak 105
0,5 Tanah TerbukaKosong
3 0,01
Jumlah 21.862
100,0
Penggunaan lahan yang dominan adalah hutan sekunder, mencakup 10.692 hektar  atau  48,9,  sebagian  besar  terletak  di  Kecamatan  Asakota  dan  Rasanae
Timur,  dimana  kedua  kecamatan  ini  memiliki  topografi  yang  umumnya  miring berbukit hingga curam. Penggunaan lahan yang paling kecil adalah tanah terbuka,
yaitu  hanya  3  hektar  atau  0,01  luas  wilayah.  Secara  keruangan,  lahan permukiman  umumnya  berada  di  tengah  kota.  Pertanian  lahan  kering
mendominasi bagian selatan Kota Bima. Pada  tahun  2005  penggunaan  lahan  untuk  keperluan  budidaya  adalah
seluas  8.016  hektar  atau  36,7  dari  total  wilayah  Kota  Bima.  Lahan  budidaya mencakup  pertanian  lahan  kering,  padang  rumput  untuk  penggembalaan,  sawah,
dan tambak. Penggunaan lahan untuk permukiman adalah seluas 1.229 hektar atau 5,6  dari  total  wilayah  Kota  Bima.  Permukiman  terpusat  pada  lahan  yang
memiliki relief datar.
38
Gambar 6 Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 Peta  penggunaan  lahan  tahun  2010  diperoleh  dari  hasil  interpretasi  citra
Geoeye-1  resolusi  0,41  meter  imagery  date  30  April  2010  pada  Google  Earth. Jenis  penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 disajikan sebagai berikut.
Tabel 5 Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010
Penggunaan Lahan Luas
Persentase ha
Air 63
0,3 Hutan Mangrove Sekunder
16 0,07
Hutan Sekunder 7.503
34,3 Permukiman
1.455 6,7
Pertanian Lahan Kering 7.833
35,8 Rumput Savanna
11 0,1
Sawah 1.508
6,9 SemakBelukar
3.189 14,6
Tambak 94
0,4 Tanah TerbukaKosong
191 0,8
Jumlah 21.862
100