Gambar 3 Bagan alir pengolahan data
Peta Kemampuan Lahan Tingkat Sub
kelas Overlay
Data Produksi semua komoditas
hasil pertanian Tahun 2005 dan
2010
Peta Kesesuaian Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010
dengan Kemampuan Lahan Jumlah Penduduk,
kebutuhan lahan per orang Tahun 2005
dan 2010
Ketersediaan Lahan Tahun 2005 dan 2010
Kebutuhan Lahan Tahun 2005 dan 2010
Status Daya Dukung Lahan berbasis produktivitas Tahun 2005 dan 2010
Arahan penggunaan lahan yang sesuai kemampuan lahan
Analisis kuantitatif, spasial dan deskriptif Peta tanah, peta kelas
lereng, peta bentuk lahan, citra ASTER GDEM
Identifikasi Kelas Kemampuan Lahan
Citra Geoeye Tahun 2010
Interpretasi citra Peta Penggunaan
Lahan Tahun 2005
Peta Perubahan Penggunaan
Lahan
Kota Bima Dalam Angka Tahun
2005 dan 2010
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010
Overlay
Tahap 1
Tahap 5 Tahap 3
Tahap 2
Tahap 4
Pengecekan Lapang
Tabel 1 Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari penelitian
No Tujuan
Metode Analisis Data dan Sumber Data
Hasil
1 Menganalisis penutupan
penggunaan lahan tahun 2010 Interpretasi citra
menggunakan 9 kunci interpretasi
Data yang dibutuhkan: Citra Satelit Geoeye-1 imagery date
30 April 2010 Sumber data:
• Open source – Google Earth Peta penggunaan lahan
tahun 2010
2 Menganalisis perubahan
penggunaan lahan periode tahun 2005
– 2010 Analisis SIG:
Overlay peta penggunaan
lahan tahun 2005 dan 2010 Analisis LQ
Analisis deskriptif Data yang dibutuhkan:
• Peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010
• Peta administrasi Sumber data :
BAPPEDA Kota Bima Hasil tahapan analisis
sebelumnya Mengetahui dinamika
dan pusat-pusat aktifitas perubahan penggunaan
lahan selama periode tahun 2005
– 2010
3 Menganalisis kemampuan
lahan Kota Bima tingkat sub kelas
Analisis SIG: Operasi overlay berbagai
peta tematik Analisis kualitatif mengacu
pada kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat
sub-kelas Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Data yang dibutuhkan: Peta tanah, peta kelas lereng, peta
bentuk lahan, citra ASTER GDEM Sumber data :
Puslittanak Diunduh dari
http:www.gdem.aster.ersdac.or.jp
Mengetahui kemampuan lahan Kota Bima tingkat
sub kelas
Lanjutan Tabel 1
No Tujuan
Metode Analisis Data dan Sumber Data
Hasil
4 Mengevaluasi kesesuaian
penggunaan lahan dengan kemampuan lahan
Analisis SIG: Operasi overlay antara peta
penggunaan lahan dengan peta kemampuan lahan
Data yang dibutuhkan: Peta penggunaan lahan tahun
2005 dan 2010 Peta kemampuan lahan
Sumber data: BAPPEDA Kota Bima
Hasil tahapan analisis sebelumnya
Peta kesesuaian penggunaan lahan tahun
2005 dan 2010 dengan kemampuan lahan
5 Menentukan status daya
dukung lahan pada tahun 2005 dan 2010
Perbandingan antara total ketersediaan lahan dan total
kebutuhan lahan Supply Side vs Demand Side
Metode penghitungan merujuk pada Permen LH 172009
tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan
Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah
Data yang dibutuhkan: •
Jumlah penduduk •
Produksi padiberas •
Produksi non padi •
Harga satuan beras •
Harga satuan tiap jenis komoditas selain beras pada tingkat produsen
Sumber data: BPS dan BAPPEDA Kota Bima
Status daya dukung lahan berbasis
produktivitas
Lanjutan Tabel 1
No Tujuan
Metode Analisis Data dan Sumber Data
Hasil
6 Membuat peta arahan
penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan
Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan
dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas
kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan
penggunaannya Arsyad 2010 Hasil tahapan analisis sebelumnya
Peta arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan
lahan
3.5.1 Perubahan Penggunaan Lahan
Peta penggunaan lahan tahun 2005 skala 1 : 25.000 diperoleh dari BAPPEDA Kota Bima. Sementara peta penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh
dari interpretasi citra Geoeye-1 Kota Bima dengan resolusi 0,41 meter atau 16 inci dan imagery date 30 April 2010 yang terdapat pada Google Earth. Menurut Este
dan Simonett 1975, interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara
atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan
berupaya mengenali obyek melalui tahapan kegiatan deteksi, identifikasi, dan analisis. Setelah mengalami tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan
digunakan ke dalam berbagai kepentingan, misalnya dalam bidang geografi, geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Deteksi adalah usaha penyadapan data
secara global, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Deteksi merupakan penentuan ada tidaknya suatu obyek, misalnya obyek berupa hutan. Identifikasi
adalah kegiatan untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra yang dapat dikenali berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor dengan alat stereoskop.
Dalam kegiatan interpretasi citra, ada tujuh karakteristik dasar yang menjadi pertimbangan Lillesand dan Kiefer 1990, yaitu:
1. Bentuk, adalah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek demikian khas sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya
berdasarkan kriteria ini. 2. Ukuran, adalah ciri obyek berupa jarak, luas, tinggi, dan volume. Ukuran
obyek pada citra adalah berupa skala. Contohnya: lapangan olah raga sepak bola dicirikan oleh bentuk segi empat dan ukuran yang tetap, yaitu sekitar 80-
100 m. 3. Pola, adalah hubungan susunan spasial obyek. Pola dapat digunakan untuk
membedakan obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Misalnya pola aliran sungai yang berkelok-kelok berbeda dengan pola jalan raya yang
umumnya lurus. Kebun karet, kebun kelapa, dan kebun kopi mudah dibedakan dengan hutan atau vegetasi lainnya karena polanya yang teratur.
4. Bayangan, bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah gelap. Bayangan juga dapat merupakan kunci pengenalan yang penting dari
26
beberapa obyek yang justru dengan adanya bayangan menjadi lebih jelas. Misalnya lereng terjal tampak lebih jelas dengan adanya bayangan. Foto-foto
yang sangat condong biasanya memperlihatkan bayangan obyek yang tergambar dengan jelas.
5. Rona, adalah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto. 6. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Biasa dinyatakan dengan
“kasar”, “sedang” dan “halus”. Misalnya, hutan bertekstur kasar dan semak bertekstur sedang. Tekstur merupakan hasil gabungan dari bentuk, ukuran,
pola, bayangan, dan rona. 7. Situs, adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Misalnya
permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir pantai, tanggul alam, atau sepanjang tepi jalan; atau persawahan banyak terdapat di daerah dataran
rendah. Dari tujuh karakteristik dasar tersebut di atas, Sutanto 1992
menambahkan satu karakteristik lagi, yaitu asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Misalnya, stasiun kereta api
berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya lebih dari satu bercabang. Munibah 2008 menambahkan faktor lain yang dapat dijadikan sebagai kunci
interpretasi citra adalah kedekatan antara interpreter dengan obyek yang diinterpretasi
. Menurut Sutanto 1992, pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua
kegiatan utama, yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Perekaman data dari citra berupa pengenalan obyek dan
unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari a menguraikan atau memisahkan
obyek yang rona atau warnanya berbeda; b ditarik garis batasdeliniasi bagi obyek yang rona dan warnanya sama; c setiap obyek dikenali berdasarkan
karakteristik spasial dan unsur temporalnya; d obyek yang sudah dikenali diklasifikasi sesuai dengan tujuan interpretasinya; e digambarkan ke dalam peta
kerja atau peta sementara; f dilakukan pengecekan medan lapangan untuk verifikasi; dan g interpretasi akhir, yaitu pengkajian atas pola atau susunan
keruangan obyek untuk dapat dipergunakan sesuai tujuannya.
27
Deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui proses tumpang susun overlay antara peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 menggunakan
ArcGIS 9.3. Identifikasi pusat-pusat perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan analisis Location Quotient LQ.
Analisis LQ Location Quotient merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktifitas di suatu wilayah dalam
cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Sebagai contoh adalah pemusatan aktifitas di level provinsi dalam lingkup wilayah nasional, atau pemusatan
aktifitas di level kabupatenkota dalam lingkup wilayah provinsi, demikian seterusnya. Analisis LQ pada awalnya merupakan salah satu teknik yang
dikembangkan untuk
melakukan analisis
ekonomi basis.
Dalam perkembangannya, analisis LQ dapat digunakan untuk menganalisis untuk
pemusatan aktifitas apapun, dalam hal penelitian ini adalah pemusatan aktifitas perubahan penggunaan lahan. Teknik LQ dilakukan secara berjenjang, dimulai
dari unit administrasi terkecil kecamatan untuk setiap wilayah kabupaten, kemudian dilakukan pada unit kabupaten Rustiadi et al. 2009.
Persamaan analisis LQ dalam penelitian ini adalah:
X X
X X
LQ
J I
IJ IJ
.. .
.
…………………………………1 Dimana:
X
IJ
: luas perubahan penggunaan lahan di kecamatan ke-i X
I.
: total luas perubahan penggunaan lahan di Kota Bima X
.J
: luas kecamatan ke-i X
..
: total luas wilayah Kota Bima Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut:
- Jika nilai LQ
ij
1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah
atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i, sehingga dapat diketahui bahwa suatu wilayah administrasi terkecil yang dianalisis merupakan wilayah
yang menjadi pusat perubahan penggunaan lahan. - Jika nilai LQ
ij
= 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai konsentrasi aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.
28
- Jika nilai LQ
ij
1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai aktifitas lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh
wilayah.
3.5.2 Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah fisik dan kimia, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain.
Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan kedalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan Hardjowigeno dan
Widiatmaka 2007. Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas adalah kelerengan,
jenis tanah, bahan induk, tekstur, kedalaman solum, drainase, dan kepekaan erosi. Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting
oleh para perintis pedologi Dokuchaev 1883 dalam Hardjowigeno 2003. Pengaruh dan hubungan sifat-sifat bahan induk dengan sifat-sifat tanah terlihat
lebih jelas pada tanah-tanah di daerah kering atau tanah-tanah muda, hal ini relevan dengan kondisi fisik lahan Kota Bima dimana jenis tanahnya hanyalah dua
ordo yaitu Entisol yang merupakan tanah muda dan Inseptisol yang sedikit lebih matang. Data tersebut diperoleh dari peta tanah skala 1:50.000 yang bersumber
dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Puslittanak. Atribut peta mencakup jenis tanah, landform, relief, kelas lereng, dan ketinggian altitude. Peta ini
kemudian dipertajam dengan menggunakan data pendukung citra ASTER GDEM resolusi 30 m. Penajaman yang dilakukan adalah dengan mendeliniasi manual
peta tanah yang ada khususnya atribut landform dan relief. Tahapan penajaman adalah: 1 konversi citra ASTER GDEM menjadi hillshade menggunakan
fasilitas ArcToolbox pada ArcGIS; 2 meng-overlay peta tanah dengan DEM hillshade
; dan 3 mendeliniasi manual peta tanah berdasarkan kenampakan landform
yang serupa. Sukarman 2005 menyatakan bahwa data DEM dapat digunakan untuk membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di
daerah bergunung berbahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform bentuk lahan dan relief dengan
baik.
29
Klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dilakukan dengan memperhatikan kriteria seperti pada Tabel 2 Hardjowigeno dan Widiatmaka
2007.
Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas
No. Faktor
Kelas Kemampuan I
II III
IV V
VI VII
VIII 1.
Tekstur tanah t a. lapisan atas 40
cm b. lapisan bawah
t2t3 t2t4
t1t4 t1t4
t1t4 t1t4
t2t3 t2t4
t2t3 t2t4
t2t3 t2t4
t2t3 t2t4
t2t3 t2t4
2. Lereng
permukaan l0
l1 l2
l3 l4
l5 l6
3. Drainase
d0d1 d2
d3 d4
4. Kedalaman efektif
k0 k0
k1 k2
k3 5.
Keadaan erosi e0
e1 e1
e2 e3
e4 6.
Kerikilbatuan b0
b0 b0
b1 b2
b3 7.
Banjir o0
o1 o2
o3 o4
= dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah = permukaan tanah selalu tergenang air.
Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dapat diuraikan sebagai
berikut Arsyad 1979 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. a. Tekstur tanah t
Duabelas tekstur tanah dikelompokkan ke dalam lima kelompok sebagai berikut:
- t
1
halus: liat berdebu, liat - t
2
agak halus: liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir
- t
3
sedang: debu, lempung berdebu, lempung - t
4
agak kasar: lempung berpasir - t
5
kasar: pasir berlempung, pasir b. Lereng permukaan l
Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut: - l
0-3: datar - l
1
3-8: landaiberombak - l
2
8-15: agak miringbergelombang - l
3
15-30: miringberbukit - l
4
30-45: agak curam
30
- l
5
45-65: curam - l
6
65: sangat curam c. Drainase tanah d
Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut: - d
baik: tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai lapisan bawah berwarna terang yang uniform dan tidak terdapat
bercak-bercak. - d
1
agak baik: tanah mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu pada lapisan atas dan
bagian atas lapisan bawah. - d
2
agak buruk: lapisan tanah atas mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu. Bercak-bercak
terdapat pada seluruh lapisan bawah. - d
3
buruk: bagian atau lapisan atas dekat permukaan terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat, dan kekuningan.
- d
4
sangat buruk: seluruh lapisan permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak kelabu, coklat, dan
kekuningan. d. Kedalaman efektif k
Kedalaman efektif dikelompokkan sebagai berikut: - k
dalam: 90 cm - k
1
sedang: 90-50 cm - k
2
dangkal: 50-25 cm - k
3
sangat dangkal: 25 cm e. Keadaan erosi e
Kerusakan oleh erosi dikelompokkan sebagai berikut: - e
tidak ada erosi - e
1
ringan: 25 lapisan atas hilang - e
2
sedang: 25-75 lapisan atas hilang - e
3
berat: 75 lapisan atas hilang, 25 lapisan bawah hilang - e
4
sangat berat: 75 lapisan atas hilang, 25 lapisan bawah hilang
31
3.5.3 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan
Untuk memperoleh peta kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan, peta kemampuan lahan tingkat sub kelas di-overlay dengan
peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010.
3.5.4 Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas
Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi aktual setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk
dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan ini digunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan
yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak.
Gambar 4 Metode penghitungan daya dukung lahan berbasis neraca lahan menurut Permen LH 172009
Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Penghitungan Ketersediaan Supply Lahan
Rumus:
………………………2 Dimana:
SL =
Ketersediaan lahan ha P
i
= Produksi aktual tiap jenis komoditi satuan ton. Komoditas
yang diperhitungkan meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.
Total Produksi aktual seluruh
komoditas setempat
Ketersediaan Lahan
Populasi Penduduk
Kebutuhan lahan per
orang yang diasumsikan
dengan luas lahan untuk
menghasilkan 1 ton setara
berastahun Kebutuhan
Lahan
Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas
32
H
i
= Harga satuan tiap jenis komoditas Rpkg di tingkat
produsen. Hb
= Harga satuan beras Rpkg di tingkat produsen.
Ptvb =
Produktivitas beras tonha. Dalam penghitungan ini, faktor konversi yang digunakan
untuk menyetarakan produk nonberas dengan beras adalah harga.
b. Penghitungan Kebutuhan Demand Lahan Rumus:
………………………………….3 Dimana:
D
L
= Total kebutuhan lahan setara beras ha
N =
Jumlah penduduk orang KHL
L
= Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per
penduduk: a. Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak
per penduduk merupakan kebutuhan hidup layak per penduduk dibagi produktivitas beras lokal.
b. Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan sebesar 1 ton setara beraskapitatahun.
c. Daerah yang tidak memiliki data produktivitas beras lokal, dapat menggunaan data rata-rata produktivitas beras
nasional sebesar 2400 kghatahun atau 2,4 tonhatahun. c. Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan
lahan SL dan kebutuhan lahan DL . Bila SLDL, daya dukung lahan dinyatakan surplus. Bila SLDL, daya dukung lahan dinyatakan defisit.
Sumber: Permen LH 172009 Terkait standar kebutuhan hidup layak dalam penghitungan kebutuhan lahan, di
dalam Permen LH 172009 tidak didefinisikan kebutuhan layak yang dimaksud.
33
Tabel 3 Contoh perhitungan nilai produksi total No.
Komoditas Produksi
Pi Harga Satuan
Hi Nilai Produksi
Pi ×Hi 1.
Padi dan palawija, antara lain:
padi, jagung, dan seterusnya. ………
………… ……………..
2. Buah-buahan, antara lain:
mangga, jeruk, dan seterusnya.
……… …………
……………..
3. Sayur mayur, antara lain:
bawang merah, bawang putih, dan seterusnya.
……… …………
……………..
4. Tanaman obat-obatan, antara
lain: jahe, lengkuas, dan seterusnya.
……… …………
……………..
5. Produksi daging, antara lain:
sapi, kambing, dan seterusnya.
……… …………
……………..
6. Produksi telur, antara lain:
ayam kampung dan ras. ………
………… ……………..
7. Perikanan.
……… …………
…………….. 8.
Perkebunan, antara lain: kelapa, kopi, dan seterusnya.
……… …………
…………….. 9.
Kehutanan : kayu dan non kayu
……… …………
…………….. TOTAL
3.5.5 Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan
Arahan penggunaan lahan ini hanya didasarkan pada kelas kemampuan lahan. Kemampuan lahan merupakan cara sistematis untuk menilai potensi lahan
agar dapat berproduksi secara lestari Worosuprodjo 2005. Analisis kemampuan lahan dapat digunakan untuk menunjang kebijakan dan perencanaan penggunaan
lahan yang optimal yang tujuannya harus berkesinambungan dan berkelanjutan. Lahan diklasifikasikan menggunakan faktor penghambat, sehingga dengan
mengetahui faktor penghambatnya maka potensi yang menghambat pemanfaatan dapat diminimumkan. Hal ini dimaksudkan agar peruntukan lahan tidak melebihi
kapasitas dan daya dukung lahan sehingga kelestarian lahan pun terjaga. Penilaian ini dapat juga digunakan untuk memperbaiki pengelolaan yang sudah ada
sehingga dapat diperoleh bentuk konservasi yang tepat Notohadiprawiro 1991.
34
Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka
semakin sedikit pilihan penggunaannya. Kemampuan lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk
berbagai penggunaan, seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya tanaman semusim dan tahunan, rumput untuk makanan ternak, padang rumput,
dan hutan. Tanah pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal, tanah kelas V dan VI
dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu, seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungan, dan bahkan jenis sayuran
bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami Arsyad
2010.
Kelas kemampuan lahan
Intensitas dan pilihan penggunaan meningkat
Ca g
ar alam
Hu tan
li n
d u
n g
Hu tan
P ro
d u
k si
Terb atas
P en
g g
em b
alaa n
Terb atas
P en
g g
em b
alaa n
S ed
an g
P en
g g
em b
alaa n
I n
ten sif
Ga ra
p an
Terb atas
Ga ra
p an
S ed
an g
Ga ra
p an
In ten
sif
Ga ra
p an
S an
g at
In ten
sif
Ha m
b atan
an ca
m an
m en
in g
k at,
Ke se
su aian
d an
p il
ih an
p en
g g
u n
aa n
b erk
u ra
n g
I II
III IV
V VI
VII VIII
Gambar 5 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan
Sumber: Arsyad 2010
3.6 Batasan Penelitian
Beberapa batasan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis daya dukung lingkungan hanya dilakukan terhadap aspek lahan,
mencakup analisis kemampuan lahan dan neraca lahan berbasis produk
35
biohayati, yaitu perbandingan ketersediaan lahan untuk menghasilkan produk hayati bioproduct dengan kebutuhan lahan berdasarkan jumlah penduduk.
2. Hutan tidak dihitung sebagai lahan produktif, karena dalam hal Kota Bima tidak terdapat data produksi hasil hutan.
3. Arahan penggunaan lahan hanya didasarkan pada kelas kemampuan lahan. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa dalam perencanaan penataan ruang
secara garis besar alokasi ruang dibagi dalam dua jenis, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk deliniasi kawasan lindung, kriteria
evaluasi lahan yang paling sesuai untuk digunakan adalah kemampuan lahan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penggunaan Lahan dan Dinamika Perubahannya 4.1.1 Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010
Berdasarkan peta penutupanpenggunaan lahan tahun 2005 skala 1:25.000 yang diperoleh dari BAPPEDA Kota Bima, terdapat sebelas kelas penggunaan
lahan di Kota Bima, seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005
Penggunaan Lahan Luas ha
Persentase Air
63 0,3
Hutan Mangrove Sekunder 6
0,02 Hutan Primer
283 1,3
Hutan Sekunder 10.692
48,9 Permukiman
1.229 5,6
Pertanian Lahan Kering 7.021
32,1 Rumput Savanna
56 0,3
Sawah 834
3,8 SemakBelukar
1.571 7,2
Tambak 105
0,5 Tanah TerbukaKosong
3 0,01
Jumlah 21.862
100,0
Penggunaan lahan yang dominan adalah hutan sekunder, mencakup 10.692 hektar atau 48,9, sebagian besar terletak di Kecamatan Asakota dan Rasanae
Timur, dimana kedua kecamatan ini memiliki topografi yang umumnya miring berbukit hingga curam. Penggunaan lahan yang paling kecil adalah tanah terbuka,
yaitu hanya 3 hektar atau 0,01 luas wilayah. Secara keruangan, lahan permukiman umumnya berada di tengah kota. Pertanian lahan kering
mendominasi bagian selatan Kota Bima. Pada tahun 2005 penggunaan lahan untuk keperluan budidaya adalah
seluas 8.016 hektar atau 36,7 dari total wilayah Kota Bima. Lahan budidaya mencakup pertanian lahan kering, padang rumput untuk penggembalaan, sawah,
dan tambak. Penggunaan lahan untuk permukiman adalah seluas 1.229 hektar atau 5,6 dari total wilayah Kota Bima. Permukiman terpusat pada lahan yang
memiliki relief datar.
38
Gambar 6 Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 Peta penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh dari hasil interpretasi citra
Geoeye-1 resolusi 0,41 meter imagery date 30 April 2010 pada Google Earth. Jenis penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 disajikan sebagai berikut.
Tabel 5 Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010
Penggunaan Lahan Luas
Persentase ha
Air 63
0,3 Hutan Mangrove Sekunder
16 0,07
Hutan Sekunder 7.503
34,3 Permukiman
1.455 6,7
Pertanian Lahan Kering 7.833
35,8 Rumput Savanna
11 0,1
Sawah 1.508
6,9 SemakBelukar
3.189 14,6
Tambak 94
0,4 Tanah TerbukaKosong
191 0,8
Jumlah 21.862
100