Penyusunan model untuk penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah padawilayah beriklim kering mendukung kemandirian pangan berkelanjutan (Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Barat)

(1)

MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Barat)

MOH. NAZAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Penyusunan Model Untuk Penetapan Luas Lahan Optimum Usaha Tani Padi Sawah Pada Wilayah Beriklim Kering Mendukung Kemandirian Pangan Berkelanjutan (Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Barat)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutif dari karya tulis yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Moh. Nazam NRP: P062080101


(3)

ABSTRACT

MOH. NAZAM. Developing Models for Determination of the Optimum Land Area of Paddy Farming Fields on Dry Temperate Region to Support Sustainable Food Self-Sufficiency (Case Study in West Nusa Tenggara Province). Under direction of: SUPIANDI SABIHAM, WIDIATMAKA, BAMBANG PRAMUDYA and I WAYAN RUSASTRA

Food security remains a strategic issue which is complex, multidimensional and involves many sectors. Increasing of rice production to meet the need of staple food for more than 95% of the population faced many problems: conversion of rice fields, population growth, limited of irrigation infrastructure, climate changes, land degradation, low incomes of farmers and poverty. The complexity of these problems could not be solved partially. It was a critical issue that underlies the importance of this research. The study was conducted at West Nusa Tenggara Province (NTB). The aims of research were: (1) to analyze the income and optimize the paddy rice farming fields at three different typologies, (2) to analyze the farmers’ need for decent living and to determine the contribution of famers’ income; (3) to analyze the regional capacity of rice production and consumption, (4) to assess sustainability status of lowland rice production systems, (5) to develop models and scenarios for determining optimum land area of rice farming fields to support sustainable food self-sufficiency. The study used primary and secondary data. Farm income was analyzed with the input-output analysis and optimization of farming fields with Goal Programming. Farmers’ need of decent living was determined based on an approach of household expenditures which was equivalent to rice capita-1 year-1. The capacity of rice production and consumption were analyzed descriptively. Rating index and the status of sustainability were obtained by using the technique of Rap-Sisprodi ordinate with Multi-dimensional Scaling method. Key factors were determined with prospective analysis. Determination of optimum land area was carried out by using the approach of household expenditure and balance sheet to production and consumption which were formulated in the structure of the dynamic system model using Powersim 2.5. The results showed that farm incomes in the three typologies of rice fields: irrigation technical, semi technical and rainfed respectively were Rp. 24,468,069, Rp.16,110,232, and Rp.5,582,358 ha-1 year-1 or average Rp.15,351,209 ha-1 year-1 with an average R / C 2.80. The farmers’ need of decent living in NTB was Rp.13,212,000, household-1 year-1 so that contribution of rice farming incomes of farmers' need of decent living at three different typologies respectively showed 73.49%, 56.53% and 26.82% with an average of 55.73%. The status of paddy rice production systems at existing condition was sufficiently sustainable with index 54.53%, with confidence level of 95%. There were nine key factors of sustainability of paddy rice production systems in NTB, as driving factors – land conversion, population growth and widespread of raw rice fields, and as leverage factors – price of rice, government policies, harvested area, limited of irrigation infrastructure, availability of capital, and farmers' income. Minimum land area of rice fields should be managed to meet farmers’ need of decent living – about 0.86 ha household-1. The most reasonable scenario to be implemented in order to achieve sustainable food self-sufficiency in NTB is Moderate Scenario. There are three strategies to achieve the performance of the Moderate Scenario: increasing of rice production, increasing farmers' income, and controlling of rice consumption.


(4)

RINGKASAN

Masalah ketahanan pangan masih menjadi isu strategis yang sangat kompleks, bersifat multidimensi dan melibatkan banyak sektor. Peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 95% penduduk menghadapi berbagai hambatan. Kendala utama terkait dengan masalah konversi lahan sawah, pertumbuhan penduduk, keterbatasan infastruktur irigasi, variabilitas iklim, degradasi lahan, rendahnya pendapatan petani dan masalah kemiskinan. Kompleksitas permasalahan tersebut tidak dapat dipecahkan secara parsial, sehingga merupakan masalah kritis yang perlu mendapat perhatian serius dalam proses perencanaan pembangunan. Hal inilah yang mendasari pentingnya penelitian ini dilaksanakan.

Penelitian telah dilaksanakan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada bulan April sampai dengan Desember 2010, bertujuan: (1) menganalisis pendapatan dan optimasi usaha tani padi sawah pada tiga tipologi lahan sawah; (2) menganalisis kebutuhan hidup layak petani dan menentukan kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap kebutuhan hidup layak petani; (3) menganalisis kapasitas produksi dan kebutuhan konsumsi padi; (4) menilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi sistem produksi padi sawah; (5) menyusun model dan alternatif skenario penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah mendukung kemandirian pangan berkelanjutan.

Penelitian ini bersifat makro pada agregasi provinsi NTB. Pengambilan data primer dilakukan pada tingkat usaha tani di tiga wilayah yang dibedakan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang dominan, yaitu Kabupaten Lombok Tengah mewakili karakteristik Pulau Lombok, Kabupaten Sumbawa Barat mewakili karakteristik Kabupatan Sumbawa dan Sumbawa Barat, dan Kabupaten Bima mewakili karakteristik Kabupaten Dompu, Bima dan Kota Bima. Di setiap kabupaten ditentukan tiga kelompok tani masing-masing mewakili tipologi lahan sawah irigasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan. Pemilihan lokasi dilakukan dengan Multistage Stratified Random Sampling. Setiap kelompoktani diwakili 15 orang petani sebagai responden yang ditentukan secara acak, dengan total responden sebanyak 135 orang. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei dengan teknik indepth interview, knowladge judgement, focus group discussion (FGD), konsultasi dan brain-storming. Data sekunder dikumpulkan secara desk study dari berbagai sumber, antara lain: BPS, Bappeda, BMKG, Dinas/Instansi terkait, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Publikasi Ilmiah dan Laporan.

Usaha tani padi sawah dianalisis dengan analisis pendapatan dan optimasi dengan Goal Programming, kebutuhan hidup layak petani ditentukan dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga setara nilai tukar beras kapita-1 tahun-1. Kapasitas produksi padi dan kebutuhan konsumsi dianalisis secara deskriptif. Penentuan indeks dan status keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan teknik ordinasi Rap-Sisprodi dengan metode Multi-dimensional Scaling (MDS). Faktor-faktor kunci sistem produksi padi sawah ditentukan dengan analisis prospektif. Penetapan luas lahan optimum dilakukan dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dan pendekatan neraca produksi dan konsumsi yang diformulasikan dalam struktur model sistem dinamik dengan menggunakan perangkat program Powersim 2,5.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan petani dari usaha tani padi sawah pada tiga tipologi lahan sawah berturut-turut Rp.24.468.069, Rp.16.110.232, dan Rp.5.582.358 ha-1tahun-1atau rata-rata Rp.15.351.209 ha-1


(5)

tahun-1 dengan R/C rata-rata 2,80. Hasil analisis optimasi menunjukkan bahwa nilai fungsi tujuan memaksimumkan pendapatan usaha tani padi sawah di tiga lokasi penelitian sebesar Rp. 22.348.250 ha-1tahun-1 dan meningkatnya efisiensi usaha tani padi sawah sebesar Rp. 2.800.000 ha-1tahun-1.

Hasil analisis kebutuhan hidup layak (KHL) petani di Kabupaten Lombok Tengah, Sumbawa Barat, dan Bima berturut-turut sebesar Rp.12.565.800, Rp.13.801.000 dan Rp.13.270.400 atau rata-rata Rp.13.212.000,- KK-1 tahun-1. Kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap KHL petani tertinggi di Kabupaten Sumbawa Barat (88,12%), disusul Bima (76,68%) dan yang terendah di Kabupaten Lombok Tengah (47,97%). Sedangkan kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah pada tipologi lahan sawah irigasi teknis, semi teknis dan tadah hujan adalah 73,49%, 56,53% dan 26,82% atau rata-rata 55,73%.

Jumlah pengeluaran untuk memenuhi KHL petani dibandingkan dengan standar garis kemiskinan (poverty line) yang ada, berada pada kisaran US$1-1,5 kapita-1 hari-1 (moderat). Ukuran tertinggi adalah standar Bank Dunia US$ 2 kapita-1 hari-1, sedangkan ukuran yang paling rendah berdasarkan hasil survei BPS (2010) di wilayah perdesaan Provinsi NTB tahun 2010 sebesar Rp.176.283 kapita-1 bulan-1. Apabila mengacu pada standar US$ 2 kapita-1 hari-1, maka kontribusi pendapatan terhadap KHL menurun 45%, sebaliknya apabila mengacu pada standar terendah, maka kontribusi pendapatan meningkat 70%.

Hasil analisis Rap-Sisprodi menunjukkan bahwa sistem produksi padi sawah saat ini berstatus cukup berkelanjutan dengan nilai indeks multidimensi 54,53%. Nilai stress setiap dimensi rata-rata 0,14 (goodness of fit) dan nilai koefisien diterminasi (R2) rata-rata 0,95 dengan tingkat kepercayaanMonte Carlo 95%. Dimensi ekologi memiliki bobot tertinggi, yaitu 22,24% diikuti dimensi ekonomi 14,03%; dimensi sosial 7,12%; dimensi kebijakan dan kelembagaan 6,91% dan dimensi teknologi dan infrastruktur 4,23%. Pada kondisi tersebut produksi padi NTB 2001-2008 mengalami surplus antara 6-20%.

Hasil analisis prospektif terhadap atribut sensitif hasil analisis MDS dan analisis kebutuhan diperoleh 9 faktor kunci keberlanjutan sistem produksi padi sawah di NTB yaitu 3 faktor sebagai faktor penggerak (driving factors), yaitu konversi lahan sawah, pertumbuhan penduduk dan luas baku sawah, dan 6 faktor sebagai faktor penghubung (leverage factors), yaitu harga gabah, kebijakan pemerintah, luas panen, jaringan irigasi, ketersediaan modal, dan pendapatan petani.

Luas lahan minimal (Lm) yang harus dikelola petani agar KHL minimal petani dapat terpenuhi di Kabupaten Lombok Tengah, Sumbawa Barat dan Bima berturut-turut seluas 0,76 ha, 0,88 ha dan 0,97 ha KK-1. Sedangkan Lm yang harus dikelola petani pada tipologi lahan sawah irigasi teknis, irigasi setengah teknis dan sawah tadah hujan adalah 0,54 ha, 0,83 ha dan 2,37 ha KK-1. Dengan demikian secara agregat kebutuhan lahan sawah di NTB untuk memenuhi KHL petani seluas 446.780 ha.

Rasio luas baku sawah dengan jumlah petani saat ini di Kabupaten Lombok Tengah, Sumbawa Barat dan Bima adalah 0,36 ha, 0,77 ha dan 0,74 ha KK-1 atau rata-rata 0,48 ha KK-1. Sedangkan rasio luas baku sawah dengan jumlah petani pada lahan sawah irigasi teknis, irigasi setengah teknis dan sawah tadah hujan adalah 0,40 ha, 0,46 ha dan 0,63 ha KK-1. Jika luas lahan tetap, maka untuk memenuhi KHL petani harus ditempuh melalui perbaikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani serta menciptakan sumber pendapatan lain di luaron farm, baikoff farmmaupunnon farm.


(6)

Tiga skenario alternatif dirancang untuk penetapan luas lahan optimum untuk mencapai kemandirian pangan berkelanjutan, yaitu Skenario Pesimis, Moderat dan Optimis. Apabila asumsi produktivitas padi sawah dan konsumsi padi meningkat sesuai dengan tren 2001-2008, maka hasil kinerja skenario sebagai berikut:Skenario Pesimisdengan tingkat intervensi konversi lahan 3,5% tahun-1, maka luas baku sawah akan berkurang 40,21% dan diperkirakan terjadi defisit produksi mulai tahun 2017 hingga mencapai 19,22% pada tahun 2023. Skenario Moderatdengan tingkat konversi lahan sawah 2,8% tahun-1, maka luas baku sawah akan berkurang 33,44%, dan diperkirakan terjadi defisit produksi padi mulai tahun 2021 hingga mencapai 6% pada tahun 2023. Skenario Optimis dengan tingkat konversi lahan sawah 2,2% tahun-1, maka luas baku sawah akan berkurang 27,07%, dan diperkirakan tidak terjadi defisit hingga 2023.

Faktor yang paling berpengaruh terhadap neraca produksi dan permintaan konsumsi padi di NTB adalah dinamika perubahan lahan dan penduduk. Hubungan dinamika perubahan lahan terhadap total produksi padi di NTB direpresentasikan dalam persamaan matematis: Y = 8,13 (X1 – X2) + 3,54 X3.

Jika luas baku sawah (X1) berkurang 1 ha, maka produksi padi akan menurun 8,13 ton GKG (ceteris paribus), demikian halnya jika luas sawah untuk komoditas non padi (X2) bertambah 1 ha, akan menyebabkan produksi padi berkurang 8,13 ton GKG (ceteris paribus). Jika terjadi kenaikan atau penurunan areal padi ladang (X3) seluas 1 ha akan meningkatkan atau menurunkan produksi padi 3,54 ton GKG.

Hubungan jumlah penduduk terhadap permintaan konsumsi padi di NTB, direpresentasikan dalam persamaan matematis: K = 273,294 x Pd. Setiap kenaikan Pd 1000 jiwa, permintaan konsumsi meningkat 273,294 ton GKG. Peningkatan permintaan konsumsi berpengaruh terhadap kebutuhan luas lahan usaha tani padi sawah. Pada tingkat produktivitas padi sawah aktual 5,085 ton ha-1 dan kontribusi produksi padi sawah terhadap total produksi padi NTB sebesar 90%, maka tambahan luas panen padi sawah yang diperlukan untuk memenuhi tambahan permintaan tersebut seluas 48,37 ha. Apabila IP padi sawah tetap seperti kondisi aktual 155%, maka tambahan luas lahan usaha tani padi sawah untuk mensuplai setiap kenaikan 1000 jiwa penduduk seluas 31,20 ha. Jika laju pertumbuhan penduduk 25 tahun ke depan konstan (1,67% tahun-1 atau 72.000 jiwa tahun-1), maka dibutuhkan tambahan lahan usaha tani padi sawah seluas 2.246 ha tahun-1.

Opsi yang dapat dilakukan untuk menutup defisit produksi pada Skenario Pesimis dan Moderat adalah dengan mengkombinasikan peningkatan IP padi sawah dan perluasan areal padi ladang. Skenario Pesimis harus meningkatkan IP padi sawah menjadi 220% dan perluasan areal padi ladang 143.460 ha. Skenario moderat harus meningkatkan IP padi sawah menjadi 200% dan perluasan areal padi ladang 113.460 ha. Skenario optimis menghendaki peningkatan IP padi sawah 185% dan perluasan areal padi ladang 105,960 ha. Berdasarkan pertimbangan potensi, peluang dan kendala yang dihadapi, maka skenario yang paling rasional untuk diimplementasikan guna mencapai kemandirian pangan berkelanjutan adalah Skenario Moderat. Strategi yang ditempuh untuk menjalankanSkenario Moderatadalah: (1) peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum, (2) peningkatan pendapatan petani untuk memenuhi KHL petani, dan (3) pengendalian konsumsi beras.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(8)

PENYUSUNAN MODEL UNTUK PENETAPAN LUAS LAHAN OPTIMUM

USAHA TANI PADI SAWAH PADA WILAYAH BERIKLIM KERING

MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Barat)

MOH. NAZAM

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

Penguji Luar Komisi:

Pada Ujian Tertutup: Senin, 23 Mei 2011 1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

2. Dr. Ir. Joko Pitono

Pada Ujian Terbuka: Kamis, 14 Juli 2011 1. Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. 2. Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc.


(10)

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga Disertasi dengan judul ”Penyusunan Model Untuk Penetapan Luas Lahan Optimum Usaha tani Padi Sawah Pada Wilayah Beriklim Kering Mendukung Kemandirian Pangan Berkelanjutan (Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Barat)” di bawah bimbingan dan arahan Komisi Pembimbing, telah dapat penulis selesaikan.

Peningkatan permintaan konsumsi beras yang cenderung lebih cepat dari peningkatan produksi padi dewasa ini sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk dan penurunan kapasitas produksi khususnya di wilayah beriklim kering telah menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian dengan topik tersebut di atas. Penelitian ini penulis lakukan sebagai salah satu bentuk kepedulian, keikutsertaan serta sumbang pemikiran terhadap isu strategis dan realitas yang terjadi saat ini maupun solusi alternatif dan langkah antisipatif terhadap kondisi yang mungkin terjadi 25 tahun ke depan di Nusa Tenggara Barat berdasarkan pendekatan ilmiah.

Atas tersusunnya Disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr, (Ketua Komisi Pembimbing), Dr. Ir.

Widiatmaka, DAA, Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N, M.Eng dan Prof. (R) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, MS, APU (Anggota Komisi Pembimbing) atas curahan waktu dan fikirannya dalam memberikan arahan dan petunjuk yang komprehensif serta motivasi yang sangat berharga sejak penyusunan proposal, kegiatan penelitian hingga penyusunan Disertasi ini;

2. Ketua Program Studi PSL, Sekretaris Program beserta staf, yang senantiasa memberikan motivasi dan layanan administrasi yang baik;

3. Kepala Badan Litbang Pertanian atas kepercayaan dan alokasi biaya studi program Doktor di IPB serta bantuan biaya penelitian melalui kegiatan Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T), sehingga penelitian disertasi dapat dirampungkan pada waktunya; 4. Semua pihak yang telah berkontribusi langsung ataupun tidak langsung, baik

moril maupun materiil sejak penyusunan proposal, selama kegiatan penelitian di lapangan hingga penyusunan Disertasi ini.

Semoga segala bantuan dan sumbangan pemikiran yang telah diberikan dalam Disertasi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan pembangunan, serta memperoleh imbalan yang terbaik disisi Allah SWT. Amin.

Bogor, Juli 2011


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1961, anak ke lima diantara sembilan bersaudara dari pasangan Djumarim (Alm) dan Sahmin Iq, di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Penulis menyelesaikan pendidikan Strata-1 (S1) pada Sekolah Tinggi Pertanian (Stiper) Tribhuwana Malang, program studi Sosial Ekonomi Pertanian pada tahun 1995. Kesempatan melanjutkan pendidikan master (S2) diperoleh pada tahun 2001 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) atas biaya Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian dan selesai pada April 2003. Selanjutnya pada September 2008 kembali mendapatkan kepercayaan untuk mengikuti tugas belajar program doktor (S3) atas biaya Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian pada perguruan tinggi dan program studi yang sama.

Penulis adalah Peneliti Muda pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Selama bertugas, penulis banyak terlibat dalam kegiatan penelitian, baik sebagai penanggung jawab penelitian maupun sebagai anggota. Penulis juga banyak melakukan kerjasama penelitian dengan pemerintah daerah, di antaranya dengan Bappeda Provinsi NTB, Dinas Pertanian Kabupaten (Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa Barat, Dompu, Bima dan Kota Bima). Jabatan yang pernah diemban antara lain sebagai Koordinator Program (2004 – 2005) dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha (2005 – 2008).

Penulis dikaruniai empat orang anak, dua putri dan dua putra dari seorang istri tercinta Hj. Budiatinnisa, yaitu Nadya Febrianika, Muhammad Naziruddin Muhtadi, Muhammad Husnul Hamidi dan Nindya Putri Novianti. Harapan penulis semoga tenaga, pikiran dan pengorbanan yang telah tercurahkan untuk meraih penghargaan tertinggi di bidang akademik ini dapat meningkatkan kapasitas pengabdian kepada masyarakat dalam pembangunan pertanian dan sekaligus menjadi motivasi terutama bagi anak-anakku tercinta.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 7

1.4. Manfaat Hasil Penelitian... 7

1.5. Kerangka Pemikiran... 7

1.6. Kebaruan Penelitian (Novelty)... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA... 13

2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model... 13

2.2. Sistem Produksi Padi Sawah... 16

2.3. Kemiskinan, Kemandirian dan Ketahanan Pangan... 24

2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan... 29

2.5. Penelitian Terdahulu... 31

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN... 37

3.1. Letak Geografis... 37

3.2. Kondisi Iklim... 38

3.3. Topografi... 42

3.4. Tanah... 43

3.5. Infrastruktur dan Air Irigasi... 51

3.6. Kondisi Sosial Ekonomi... 54

IV. METODOLOGI... 57

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 57

4.2. Rancangan Penelitian... 58

4.3. Jenis , Sumber dan Metode Pengumpulan Data... 60

4.4. Metode Analisis Data... 62

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 89

5.1. Keragaan Usahatani Padi Sawah... 89

5.2. Optimasi Usahatani Padi Sawah... 94

5.3. Kebutuhan Hidup Layak Petani... 100

5.4. Kapasitas Produksi Padi dan Kebutuhan Konsumsi... 104

5.5. Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Produksi Padi Sawah... 115

5.6. Faktor-Faktor Kunci Sistem Produksi Padi Sawah... 127

5.7. Luas Lahan Optimum... 133

VI. STRATEGI DAN OPSI KEBIJAKAN... 164

6.1. Eksistensi Lahan Sawah... 164

6.2. Strategi Peningkatan Produksi Padi..……… 165

6.3. Strategi Peningkatan Pendapatan Petani.……… 171

6.4. Strategi Pengendalian Konsumsi…...……… 174


(14)

VII. SIMPULAN DAN SARAN... 178

7.1. Simpulan... 178

7.2. Saran... 179

DAFTAR PUSTAKA... 181


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Pembagian wilayah kecamatan dan desa/kelurahan menurut

kabupaten/kota se NTB tahun 2009...

37 Tabel 3.2. Keragaan unsur kimia dan fisika tanah di tiga wilayah

penelitian...

45 Tabel 3.3. Kapasitas Tukar Kation (KTK) di tiga wilayah penelitian... 47 Tabel 3.4. Perkembangan penduduk NTB tahun 2001-2008... 54 Tabel 3.5. Persentase penduduk NTB usia 10 tahun ke atas menurut

pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2008...

55 Tabel 3.6. Sumber mata pencaharian penduduk NTB menurut sektor

2004-2008... 55 Tabel 4.1. Jenis data, cara pengumpulan dan sumber data... 61 Tabel 4.2. Tujuan, peubah, metode analisis data dan output yang

diharapkan...

64 Tabel 4.3. Nilai indeks dan kategori keberlanjutan... 72 Tabel 5.1. Hasil analisis usaha tani padi pada tiga tipologi lahan sawah di

tiga wilayah penelitian (ha tahun-1) tahun 2010...

89 Tabel 5.2. Rincian biaya usaha tani padi pada tiga tipologi lahan sawah

di tiga lokasi penelitian tahun 2010...

92 Tabel 5.3. Matriks input-output program linier usaha tani padi sawah di

tiga lokasi penelitian tahun 2010...

95 Tabel 5.4. Kebutuhan hidup layak (KHL) petani di NTB tahun 2010... 100 Tabel 5.5. Luas lahan garapan petani saat ini pada tiga tipologi lahan

sawah di tiga lokasi penelitian...

101 Tabel 5.6. Kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap

pemenuhan KHL petani pada tiga tipologi lahan sawah di tiga lokasi penelitian ...

102

Tabel 5.7. Kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap beberapa standar garis kemiskinan yang digunakan di

Indonesia...

103

Tabel 5.8. Perkembangan luas baku sawah di NTB (1999-2008)... 106 Tabel 5.9. Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi padi

sawah di NTB 2001 – 2008...

107 Tabel 5.10. Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi padi

ladang di NTB 2001 – 2008...

108 Tabel 5.11. Produksi padi sawah dan ladang serta kontribusi produksi padi

sawah terhadap total produksi padi NTB...

109 Tabel 5.12. Indeks pertanaman padi sawah (%) di NTB 2001-2008... 110 Tabel 5.13. Luas panen komoditas utama non padi pada lahan sawah

irigasi teknis di NTB 2001-2008...


(16)

Tabel 5.14. Nilai indeks multidimensi sistem produksi padi sawah di NTB .. 123 Tabel 5.15. Nilai stress dan koefisien determinasi multidimensi ... 126 Tabel 5.16. Hasil analisis Monte Carlo dan nilai stress multidimensi... 126 Tabel 5.17. Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan

sistem produksi padi sawah dari hasil analisis MDS...

127 Tabel 5.18. Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan

sistem produksi padi sawah hasil analisis kebutuhan...

130 Tabel 5.19. Faktor-faktor kunci multidimensi yang berpengaruh terhadap

sistem produksi padi sawah hasil analisis prospektif tahap 1 dan 2...

131

Tabel 5.20. Perbandingan nilai paramater antara data aktual dengan output simulasi dalam validasi model periode 2001-2008...

139 Tabel 5.21. Skenario dan tingkat intervensi faktor-faktor kunci... 140 Tabel 5.22. Tingkat pencapaian produksi padi melalui skenario dengan

tiga alternatif peningkatan IP padi sawah pada tahun 2023...

144 Tabel 5.23. Skenario perluasan areal panen padi ladang dan tingkat

pencapaian produksi padi pada tahun 2023 di NTB...

145 Tabel 5.24. Kinerja skenario moderat dengan strategi peningkatan IP dan

perluasan areal padi ladang pada tahun 2023...

147 Tabel 5.25. Skenario intervensi peningkatan pendapatan petani pada tiga

tipologi lahan sawah di tiga wilayah penelitian ...…...

149 Tabel 5.26. Kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap KHL

petani berdasarkan kinerja skenario intervensi di tiga wilayah penelitian...

151

Tabel 5.27. Kinerja skenario berdasarkan perubahan lahan dan jumlah penduduk terhadap kemandirian pangan di tiga wilayah

penelitian 2023...

158

Tabel 5.28. Kinerja skenario berdasarkan perubahan lahan dan jumlah penduduk terhadap kemandirian pangan di NTB tahun 2023....

161 Tabel 6.1. Peraturan perundangan yang dapat digunakan sebagai

instrumen pengendalian konversi lahan sawah...

166 Tabel 6.2. Peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan

sumber daya air...

169 Tabel 6.3. Instrumen kebijakan untuk peningkatan produktivitas padi... 170 Tabel 6.4. Perubahan kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah

terhadap KHL petani sebagai dampak perubahan kebijakan insentif...

172

Tabel 6.5. Peraturan perundangan terkait untuk peningkatan pendapatan petani ...

174 Tabel 6.6. Wilayah prioritas perencanaan terhadap faktor-faktor kunci

sistem produksi padi sawah untuk memenuhi KHL dan

kebutuhan pangan penduduk NTB tahun 2023...


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1. Keterkaitan permasalahan dalam sistem produksi padi sawah

di wilayah beriklim kering mencapai kemandirian pangan... 6 Gambar 1.2. Kerangka pemikiran penyusunan model penetapan luas lahan

untuk mencukupi kebutuhan hidup layak petani dan

kemandirian pangan...

10

Gambar 3.1. Peta wilayah hujan di Provinsi NTB (a) Pulau Lombok dan sekitarnya dan (b) Pulau Sumbawa dan sekitarnya…………..

39

Gambar 3.2. Curah hujan tahunan di Pulau Lombok 1987-2008……… 41

Gambar 3.3. Curah hujan tahunan di Pulau Sumbawa 1987-2008………… 41

Gambar 3.4. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah di Kabupaten Lombok Tengah... 49 Gambar 3.5. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah di Kabupatan Sumbawa Barat... 50 Gambar 3.6. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah di Kabupaten Bima... 50 Gambar 3.7. Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di NTB tahun 2000-2009... 56 Gambar 4.1. Peta Wilayah Administrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat... 59

Gambar 4.2. Tahapan analisis untuk mencapai tujuan penelitian... 63

Gambar 4.3. Diagram lingkar sebab akibat sub model sistem produksi padi... 79 Gambar 4.4. Diagram lingkar sebab akibat sub model konsumsi beras... 79

Gambar 4.5. Diagram input output model yang dikaji... 80

Gambar 4.6. Struktur model sistem produksi padi sawah di NTB... 82

Gambar 4.7. Struktur model permintaan konsumsi padi di NTB... 82

Gambar 5.1. Neraca produksi dan kebutuhan konsumsi padi NTB 2001-2008... 114 Gambar 5.2. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi... 115

Gambar 5.3. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahanRoot Mean Square(RMS) skala keberlanjutan 0 -100... 116 Gambar 5.4. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi... 117

Gambar 5.5. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam perubahan RMS skala keberlanjutan 0 -100... 117 Gambar 5.6. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial... 118 Gambar 5.7. Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial yang dinyatakan

dalam perubahan RMS skala keberlanjutan 0 -100...


(18)

Gambar 5.8. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi kebijakan dan kelembagaan...

120 Gambar 5.9. Nilai sensitivitas atribut kebijakan dan kelembagaan yang

dinyatakan dalam perubahan RMS skala keberlanjutan 0-100 120 Gambar 5.10. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi dan

infrastruktur...

121 Gambar 5.11. Nilai sensitivitas atribut infrastruktur dan teknologi yang

dinyatakan dalam perubahan RMS skala keberlanjutan 0-100 122 Gambar 5.12. Diagram layang-layang keberlanjutan multi-dimensi sistem

produksi padi sawah di NTB...

123 Gambar 5.13. Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap kinerja sistem yang dikaji (analisis prospektif tahap pertama)...

128

Gambar 5.14. Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (analisis prospektif tahap kedua)...

131

Gambar 5.15. Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap kinerja sistem produksi padi sawah di NTB...

132 Gambar 5.16. Kebutuhan Lm petani pada tiga tipologi lahan sawah

berdasarkan standar garis kemiskinan...

134 Gambar 5.17. Neraca produksi dan konsumsi padi di NTB tahun 2023

dengan tingkat pengendalian konversi lahan yang berbeda antar skenario...

141

Gambar 5.18. Estimasi luas baku sawah tahun 2023 dengan tingkat intervensi pengendalian konversi lahan yang berbeda antar skenario...

142

Gambar 5.19. Kinerja skenario dengan tingkat intervensi alternatif-2... 143 Gambar 5.20. Kinerja skenario dengan tingkat intervensi alternatif-3... 143 Gambar 5.21.Tingkat pencapaian produksi padi setiap skenario dengan

alternatif strategi peningkatan IP dan perluasan areal padi ladang...

146


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data Hasil Analisa Tanah di Wilayah Kabupaten Lombok

Tengah... 192 Lampiran 2. Data Hasil Analisa Tanah di Wilayah Kabupaten Sumbawa

Barat... 197 Lampiran 3. Data Hasil Analisa Tanah di Wilayah Kabupaten Bima... 203 Lampiran 4. Karakteristik satuan lahan untuk penguunaan lahan sawah

di Kabupaten Lombok Tengah... 208 Lampiran 5. Karakteristik satuan lahan untuk penggunaan lahan sawah

di Kabupaten Sumbawa Barat... 211 Lampiran 6. Karakteristik satuan lahan untuk penggunaan lahan sawah

di Kabupaten Bima... 212 Lampiran 7. Hasil analisis optimasi usaha tani padi sawah dengan

model linier programming yang penyelesaiannya

menggunakan program LINDO Release 6……….……... 214

Lampiran 8. Hasil analisis optimasi usaha tani padi sawah dengan model goal programming yang penyelesaiannya

menggunakan program LINDO Release 6…... 215

Lampiran 9. Penilaian (skoring) atribut keberlanjutan multidimensi sistem produksi padi sawah pada wilayah beriklim kering

mendukung kemandirian pangan berkelanjutan di NTB... 218

Lampiran 10. Mutual incompatibility identification faktor-faktor kunci sistem produksi padi sawah di NTB...


(20)

(21)

1.1. Latar Belakang

Padi merupakan komoditas strategis nasional dan memiliki sensitivitas yang tinggi ditinjau dari aspek politis, ekonomi, dan kerawanan sosial. Peran strategis padi dalam perekonomian nasional adalah: (1) merupakan bahan pangan pokok bagi 95% lebih penduduk Indonesia dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal dari beras lebih dari 55%; (2) sekitar 30% total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk beras; dan (3) usaha tani padi menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi lebih dari 25,6 juta rumah tangga petani (Suryana, 2005).

Ketersediaan pangan yang "cukup" merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara bersama masyarakat (FAO, 1998; Byron, 1988), dan hal ini sejalan dengan Undang Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Berdasarkan PP tersebut, ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemerintah Indonesia dalam kerangka Millenium Development Goals/MDGs, berkewajiban mengurangi angka kemiskinan dan menurunkan penderita kekurangan pangan sebesar 50% pada 2015 dari kondisi tahun 1990. Oleh sebab itu sangat logis dan wajar menjadikan program ketahanan pangan sebagai prioritas utama pembangunan nasional.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan bidang ketahanan pangan merupakan isu strategis yang menjadi salah satu instrumen utama pembangunan ekonomi (Sen, 1989 dalam Simatupang, 2007). Menurut Timmer (1997), ketahanan pangan adalah salah satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan.

Tantangan utama dalam penyediaan pangan dihadapkan pada ketersediaan sumber daya lahan yang semakin langka (lack of resources), baik luas maupun kualitas serta konflik penggunaan (conflict of interest) (Pasandaran, 2006). Kelangkaan tersebut disebabkan semakin meningkatnya penggunaan lahan pertanian ke non pertanian yang bersifat permanen (irreversible).

Di Indonesia lahan sawah memegang peranan penting dalam penyediaan pangan khususnya beras, karena lebih dari 90% produksi padi dihasilkan dari


(22)

sistem produksi padi sawah. Sejalan dengan pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, dan pesatnya pembangunan, permasalahan lahan menjadi semakin kompleks. Di satu sisi lahan sangat penting sebagai aset produktif proses produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, pada sisi yang lain, permintaan lahan meningkat secara signifikan untuk keperluan permukiman, industri dan infrastruktur pendukung lainnya, yang memacu percepatan alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Secara empiris lahan sawah termasuk lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).

Data Dirjen PLA (2006), menunjukkan luas lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan non pertanian mencapai 110.000 ha tahun-1. Pencetakan sawah baru untuk mengganti peluang produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah membutuhkan biaya besar dan jangka waktu yang panjang, lebih dari 10 tahun (Asyik, 1996, Pasandaran, 2006). Konversi lahan sawah irigasi yang terjadi tidak saja berdampak pada penurunan luas baku sawah, juga dapat menyebabkan rusaknya jaringan irigasi dan terjadinya konversi penggunaan air untuk keperluan non pertanian.

Usaha untuk meningkatkan produksi padi melalui peningkatan produktivitas terhambat oleh keterbatasan teknologi, antara lain telah dicapainya batas maksimum potensi hasil varietas, penurunan kualitas lahan karena terdegradasi, semakin terbatasnya sumber daya air, variabilitas iklim dan meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (Sumarno, 2006). Perluasan areal panen melalui peningkatan indeks pertanaman dihadapkan pada keterbatasan jaringan irigasi dan debit air, serta masih rendahnya insentif dari usaha tani padi. Rendahnya insentif yang diterima petani dapat mempengaruhi keputusan petani untuk beralih ke komoditas lain ataupun mencari sumber pendapatan lain di luar pertanian, sehingga dapat menimbulkan masalah yang lebih kompleks, sehingga usaha tani padi dapat dipandang sebagai alternatif usaha yang terakhir.

Mencukupi kebutuhan pangan merupakan masalah yang sangat kompleks, bersifat multidisiplin dan multisektor, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial oleh satu sektor saja, melainkan dengan pendekatan sistem atausystem approach(Eriyatno, 2003). Pembangunan pertanian memerlukan dukungan yang nyata dari lintas sektor, karena 80% keberhasilannya tergantung dari sektor lain, termasuk pentingnya sinergi antara pusat dan daerah dalam era otonomi. Sistem produksi padi mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara sub sistem hulu,


(23)

usaha tani, hilir, dan sub sistem pendukung. Demikan pula keberlanjutan sistem produksi padi dipengaruhi oleh keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan serta teknologi dan infrastruktur baik pada kondisi saat ini maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu pendekatan sistem dinamis sangat cocok untuk menganalisis mekanisme, pola dan kecenderungan sistem yang seringkali berubah cepat dan mengandung ketidakpastian.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan utama dalam mewujudkan kemandirian pangan berkaitan dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan lebih cepat dari pertumbuhan produksi. Permintaan pangan yang meningkat cepat merupakan resultante dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan dan perubahan selera masyarakat. Sebaliknya, pertumbuhan kapasitas produksi berjalan lambat sebagai akibat adanya kompetisi pemanfaatan lahan dan air dan stagnannya produktivitas padi. Ketidakseimbangan laju permintaan dan penyediaan, mengakibatkan penyediaan pangan yang berasal dari impor cenderung meningkat.

Sekalipun Indonesia adalah negara produsen beras terbesar ketiga dunia setelah Cina dan India, akan tetapi Indonesia adalah sekaligus konsumen dan pengimpor beras cukup besar (FAO, 2007). Impor beras terbesar terjadi pada tahun 1999 yang mencapai 4,75 juta ton, meskipun secara berangsur-angsur menurun, akan tetapi hal ini membuktikan kemandirian pangan masih rapuh. Sebaliknya ekspor beras Indonesia adalah yang terendah di Asia Tenggara.

Konsumsi beras penduduk Indonesia relatif masih tinggi, yaitu 139,15 kg (Firdaus et al., 2008; Nainggolan, 2008). Sebagai perbandingan, Thailand dan Jepang dalam dua dasawarsa terakhir telah mampu menurunkan konsumsi beras menjadi 80 kg dan 50 kg kapita-1tahun-1. Beras tidak hanya diperlukan untuk konsumsi langsung tetapi diperlukan sebagai bahan baku agroindustri yang diperkirakan mencapai 23,5% dari kebutuhan konsumsi penduduk dan cadangan/stock pemerintah sebesar 10% dari total kebutuhan konsumsi (Badan Litbang Pertanian, 2005b). Elastisitas pendapatan masyarakat terhadap konsumsi beras masih positif, yang berarti laju permintaan beras tidak semata-mata disebabkan karena pertambahan penduduk, tetapi juga disebabkan oleh peningkatan pendapatan (Irawan, 2005).


(24)

Konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah yang terus berlanjut, menjadikan upaya peningkatan produksi padi semakin terkendala. Kegiatan usaha tani terdesak ke lahan-lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman padi. Pengelolaan lahan marjinal membutuhkan input yang lebih besar, tetapi produktivitasnya rendah. Selain itu usaha tani padi sawah sebagian besar diusahakan oleh petani kecil berlahan yang sempit (kurang dari 0,4 ha). Pemilikan lahan yang sempit yang dibarengi rendahnya marjin keuntungan, menjadikan kegiatan usaha tani sebagai alternatif terakhir mata pencaharian penduduk pada umumnya.

Permodalan masih menjadi masalah yang krusial bagi petani padi yang sebagian besar tergolong miskin. Skim kredit yang tersedia untuk petani belum sepenuhnya dapat diakses petani. Hambatan petani dalam mengakses perbankan antara lain karena tidak adanya jaminan (collateral), administrasi perbankan yang kurang dipahami, tingginya cost of transaction dan cara pembayaran bulanan yang tidak sesuai dengan pendapatan petani yang bersifat musiman (Ratnawati, 2009). Akibatnya, proporsi kredit perbankan nasional untuk sektor pertanian masih sangat rendah, yaitu berkisar antara 5,14-5,92% selama kurun waktu 2004-2008 (Ashari, 2009).

Posisi tawar petani yang masih lemah menyebabkan marjin keuntungan yang diterima petani masih rendah. Hal ini terkait dengan banyaknya jumlah rumah tangga petani, skala usahanya yang kecil, lokasinya tersebar sampai ke pelosok, infrastruktur pertanian dan perdesaan yang kurang memadai, dan kurang berkembangnya kelembagaan asosiasi petani. Petani dihadapkan pada pasar masukan usaha tani yang “ologopolistik” dan pasar keluaran usaha tani yang “oligopsonistik”. Secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan, struktur pasar tersebut menciptakan perilaku pasar yang kurang menguntungkan petani yang performanya tercermin dari tingkat harga dimana petani harus membayar masukan yang lebih tinggi dan menerima harga penjualan hasil panen yang lebih rendah dari level normatifnya. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya harga gabah yang diterima petani pada saat panen raya, bahkan di bawah harga pembelian pemerintah (HPP). Sebaliknya, pada periode dimana petani tidak berproduksi, harga gabah melonjak tinggi dan dalam jangka yang panjang, kondisi tersebut biasanya dinikmati oleh sebagian kecil petani dan para tengkulak. Dampak negatif dari fenomena on-and-off produksi padi ini menyebabkan terjadinya fluktuasi harga. Fluktuasi harga yang sangat besar dan tidak menentu dapat


(25)

menjadi salah satu faktor yang tidak merangsang petani untuk meningkatkan produksi. Pada sisi yang lain, harga sarana produksi dan upah tenaga kerja pada saat dimana petani memerlukan biasanya ditawarkan lebih tinggi dari biasanya.

Dunia usaha tidak tertarik untuk berinvestasi pada kegiatan produksi padi, kecuali untuk usaha yang dapat memberikan hasil cepat (quick yielding), dengan alasan kecepatan perputaran modal, stabilitas harga dan kelayakan ekonomi. Investasi yang lebih memadai adalah pada kegiatan off-farm, seperti produksi pupuk, benih dan pestisida (hulu), dan pengolahan hasil (hilir).

Ketersediaan air terutama di wilayah beriklim kering sering menjadi faktor pembatas untuk meningkatkan produksi padi sawah. Pada musim kemarau debit air sangat rendah. Terjadinya variabilitas iklim menyebabkan kondisi iklim menjadi tidak menentu, dan kondisi ekstrim lebih sering terjadi. Kejadian-kejadian ekstrim, seperti banjir, longsor, musim hujan yang singkat dan musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya sering menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) dan berakibat penurunan produktivitas dan bahkan pada kegagalan panen atau puso.

Usaha tani padi sangat sensitif terhadap perubahan iklim, karena dapat mempengaruhi unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan padi, antara lain: (a) naiknya suhu udara yang berdampak pada unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya pola curah hujan dan meningkatnya intensitas kajadian iklim ekstrim (anomali iklim) sepertiEl-NinodanLa-Nina(Las, 2007), yang dapat menurunkan produktivitas, meningkatnya kehilangan hasil panen akibat kejadian banjir dan kekeringan yang semakin meningkat baik frekuensi maupun intensitasnya, serta meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).

Kelangkaan lahan (lack of resources) serta konflik penggunaan lahan (comflict of interest) akan menjadi persoalan yang kritis dalam mencapai kemandirian pangan. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian diperkirakan akan terus berlanjut dan bersifat permanen (irreversible), padahal potensi lahan yang sesuai untuk areal sawah di NTB sangat terbatas.

Secara skematis hubungan keterkaitan berbagai permasalahan sistem produksi padi sawah di NTB, disajikan pada Gambar 1.1.


(26)

Gambar 1.1. Keterkaitan permasalahan dalam sistem produksi padi sawah di wilayah beriklim kering mencapai kemandirian pangan.

Dengan memperhatikan keterkaitan berbagai dimensi permasalahan pada Gambar 1.1, maka pertanyaan utama penelitian adalah “Bagaimanakah gambaran aktual sistem produksi padi sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani dan kebutuhan konsumsi padi yang terus meningkat di NTB?”

Secara spesifik pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi aktual usaha tani padi sawah dan peluang mencapai kondisi optimal pada tipologi lahan sawah yang berbeda?

2. Berapa kebutuhan hidup layak petani di NTB dan berapa kontribusi pendapatan usaha tani padi terhadap kebutuhan hidup layak petani di NTB? 3. Bagaimana kondisi kapasitas produksi dan kebutuhan konsumsi padi di NTB

saat ini?

4. Bagaimana indeks dan status keberlanjutan sistem produksi padi sawah dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh untuk mencapai kemandirian pangan berkelanjutan di NTB saat ini?

5. Bagaimana rumusan model dan alternatif skenario untuk penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah pada wilayah beriklim kering mendukung kemandirian pangan berkelanjutan di NTB?

SISTEM PRODUKSI PADI SAWAH

PERMINTAAN KONSUMSI PADI

Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Kebijakan dan Kelembagaan

Dimensi Teknologi dan Infrastruktur

Luas baku sawah berkurang, sumber dan debit

air berkurang, resiko iklim

meningkat

Pendapatan usaha tani padi

rendah, kontribusinya terhadap KHL petani masih rendah Pertumbuhan pendu-duk tinggi, kebutuhan pangan dan lahan meningkat,

pengua-saan lahan sempit, konflik lahan, KHL petani tidak terpenuhi

Kebijakan pembangunan pertanian dan kelembagaan petani belum efektif Produktivitas stagnan, kualitas air dan

jaringan irigasi menurun, infrastruktur

terbatas

Kapasitas Produksi Padi Sawah Menurun

Kebutuhan Konsumsi Padi Meningkat

Feedback Produksi Padi Tidak Mencukupi Kebutuhan,

Target Kemandirian Pangan Tidak Tercapai


(27)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun model untuk penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah pada wilayah beriklim kering mendukung kemandirian pangan berkelanjutan di NTB.

Secara spesifik penelitian ini bertujuan:

(1) Menganalisis pendapatan dan optimasi usaha tani padi sawah pada tipologi lahan sawah irigasi teknis, semi teknis dan tadah hujan;

(2) Menganalisis kebutuhan hidup layak petani dan menentukan kontribusi pendapatan usaha tani padi terhadap kebutuhan hidup layak petani;

(3) Menganalisis kapasitas produksi dan kebutuhan konsumsi padi untuk menentukan derajat kemandirian pangan;

(4) Menilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi sistem produksi padi sawah mendukung kemandirian pangan berkelanjutan;

(5) Menyusun model dan alternatif skenario penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah pada wilayah beriklim kering mendukung kemandirian pangan berkelanjutan.

1.4. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai instrumen perumusan kebijakan dalam hal: (1) staretgi peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum (kebutuhan dasar) penduduk (beras) dari produksi domestik; (2) strategi peningkatan pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup layak minimalnya, dan (3) srategi pengendalian konsumsi beras.

1.5. Kerangka Pemikiran

Kecukupan pangan merupakan masalah hidup dan matinya suatu bangsa, yang ditentukan oleh kemampuan produksi dalam negeri dan kebijakan perdagangan pangan domsetik maupun global. Dari sisi kebijakan, Kementerian Pertanian untuk periode 2010-2014 telah menetapkan empat target utama pembangunan pertanian, yaitu: (1) pencapaian swasembada yang berkelanjutan, (2) percepatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani (Mentan, 2010). Pencapaian swasembada yang berkelanjutan akan terwujud apabila lahan pertanian sebagai aset produktif untuk menghasilkan pangan dapat


(28)

dipertahankan kelestariannya secara berkelanjutan. Kesejahteraan petani akan tercapai apabila kebutuhan hidup layaknya dapat terpenuhi. Usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani akan dapat dicapai apabila luas lahan usaha tani yang dikelola mampu memberikan pendapatan yang layak bagi petani. Oleh karena itu luas lahan dan tingkat pendapatan petani menjadi faktor penentu kesejahteraan petani.

Di wilayah beriklim kering seperti NTB, menjaga eksistensi lahan sawah beririgasi sangat penting. Infrastruktur irigasi yang ada di wilayah dengan ketersediaan air terbatas, memiliki kepentingan relatif yang lebih besar dari pada di wilayah lain yang memiliki curah hujan yang lebih tinggi. Efisiensi irigasi, pemanfaatan lahan dan air secara optimal merupakan kata kunci upaya peningkatan produksi padi. Faktor ini menjadi penting mengingat dalam hal sawah, masalah ketersediaan air sama pentingnya dengan ketersediaan lahan.

Lahan sawah memegang peranan yang sangat strategis, karena lebih dari 90% produksi padi di NTB bersumber dari produksi padi sawah, dan usaha tani padi sawah mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 45% (BPS NTB, 2009). Apabila dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk miskin di perdesaan dengan mata pencaharian bergantung pada sektor pertanian, maka hal ini berarti bahwa permasalahan kemiskinan dan upaya pengentasan kemiskinan sangat terkait dengan sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam kerangka MDGs yang berkewajiban menurunkan angka kemiskinan sebesar 50% pada tahun 2015 dari kondisi tahun 1990.

Determinan utama produksi padi sawah adalah luas panen dan produktivitas, sedangkan kapasitas produksi padi sawah diproyeksikan dari luas baku sawah, produktivitas dan indeks pertanaman padi sawah (Badan Litbang Pertanian, 2005a). Sebaliknya, kebutuhan produksi padi diproyeksikan dari jumlah penduduk, konsumsi kapita-1tahun-1, kebutuhan agroindustri, jumlah stock/cadangan pemerintah, kebutuhan benih padi dan jumlah ekspor atau transfer (Rachman et al. 2004). Elastisitas pendapatan masyarakat terhadap konsumsi beras masih positif yang berarti bahwa laju permintaan konsumsi beras sejalan dengan peningkatan pendapatan.

Analisis kebutuhan lahan minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani dan penetapan luas lahan optimum untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum sangat strategis dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mencapai kemandirian pangan secara berkelanjutan. Pemahaman yang


(29)

mendalam tentang dinamika dan kompleksitas sistem produksi padi sawah dan permasalahan kemiskinan petani di perdesaan adalah hal yang mendasari pentingnya penelitian ini dilakukan.

Sistem produksi padi sawah mempunyai keterkaitan yang sangat erat dan saling mempengaruhi antara penyediaan sarana produksi (sub sistem hulu), kegiatan usaha tani (sub sistemon farm), serta pemasaran dan pengolahan hasil (sub sistem hilir), sehingga diperlukan sub sistem pendukung yang memadai untuk mengaturnya. Hal ini mencerminkan peran dan keterlibatan berbagai sektor dan stakeholders dalam sistem produksi padi sawah. Sinergi lintas sektor dan stakeholders baik horizontal maupun vertikal termasuk antara pusat dan daerah dalam era otonomi akan menentukan keberhasilan sistem produksi padi. Pada sisi yang lain, keberlanjutan sistem produksi padi dipengaruhi oleh keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan dan kelembagaan serta dimensi teknologi dan infrastruktur baik pada kondisi saat ini (existing condition) maupun kondisi yang akan terjadi dimasa yang akan datang.

Pemahaman yang mendalam tentang setiap dimensi tersebut sangat penting untuk mengetahui faktor-faktor yang kunci yang menjadi determinan utama keberlanjutan sistem produksi padi sawah. Dengan mengetahui faktor-faktor kunci tersebut akan memudahkan dalam proses pengambilan keputusan baik pada tataran perencanaan maupun implementasinya. Secara ringkas kerangka pemikiran di atas, divisualisasikan pada Gambar 1.2.

1.6. Kebaharuan Penelitian (Novelty)

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah neraca penyediaan dan kebutuhan beras atau swasembada beras, antara lain: penelitian Mulyana (1998) tentang ”Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas”, bertujuan mengevaluasi dan meramalkan masa depan swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif kebijakan unilateral, multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran dan permintaan beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik. Mulyana menggunakan analisis model ekonometrika penawaran dan permintaan beras di pasar domestik dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima wilayah, yaitu: Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sisa wilayah Indonesia, sedangkan permintaannya dihitung agregat nasional.


(30)

Gambar 1.2. Kerangka pemikiran penyusunan model penetapan luas lahan untuk mencukupi kebutuhan hidup layak petani dan kemandirian pangan Rachman (2001) melakukan kajian ”Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)”. Menurut Rachman, konsumsi beras mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat secara keseluruhan menurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan, walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI lebih rendah dibandingkan nasional. Rachman juga memproyeksi produksi dan kebutuhan konsumsi beras nasional 2005, 2010 dan 2015 berdasarkan data times series 1997-2001, tetapi tidak menggunakan model sistem dinamis.

Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB (2002) melakukan


(31)

Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional Hingga 2015 Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi Pertanian”, menggunakan analisis ekonometrika. Badan Bimas Ketahanan Pangan bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia melakukan ”Analisis Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Nasional 2015 Ditinjau Dari Aspek Sosial Kelembagaan Pertanian dan Perdesaan” menggunakan analisis regresi linier (trend analysis). Untuk memperkirakan kecukupan zat gizi (energi) tahun 2002-2015 dilakukan analisis berdasarkan angka kecukupan zat gizi dari Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1979, 1988, 1993 dan 1998. Kecukupan ini diterjemahkan dalam bentuk kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang. Menurut hasil penelitian ini, pendekatan produksi dan availability masih menjadi tema yang dianggap mampu menjamin ketahanan pangan.

Irawan (2005) melakukan ”Analisis Ketersediaan Beras Nasional, Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis”, menggunakan data sekunder. Pengolahan data dengan menggunakan sistem dinamis (Powersim). Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanan, yaitu tidak mencakup sub sistem distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran.

Nurmalina (2007) meneliti tentang ”Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Penelitian menitikberatkan neraca ketersediaan hanya pada pangan pokok beras pada tingkat nasional dan regional dengan waktu analisis 2005-2015. Penilaian indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras dianalisis pada tingkat nasional dan regional menggunakan teknik ordinasi Rap-Rice dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Tingkat regional mencakup beberapa wilayah, yaitu Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan wilayah lainnya (Bali, NTB, NTT, Maluku dan Irian). Metode MDS memfokuskan pada lima dimensi analisis, yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagan dan teknologi. Sedangkan dimensi kebijakan dan infrastruktur tidak dimasukkan dalam analisis ini. Penentuan faktor-faktor kunci keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Faktor yang berpengaruh terhadap sistem ketersediaan beras yang berkelanjutan adalah pencetakan sawah, konversi lahan, kesesuaian lahan, penduduk, produksi, produktivitas dan konsumsi penduduk kapita-1. Menurut Nurmalina, kebijakan perbaikan faktor kunci dari sisi penyediaan (produktivitas, produksi, pencetakan sawah dan kesesuaian lahan) memberikan hasil kinerja


(32)

model lebih baik terhadap neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan di masa yang akan datang, dibandingkan dengan kebijakan perbaikan pada sisi kebutuhan (penurunan pertumbuhan jumlah penduduk dan konsumsi kapita-1).

Perbedaan mendasar antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang sekaligus merupakan kebaruan (novelty) penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:

(1) Tingkat agregasi penelitian-penelitian sebelumnya adalah nasional dan regional, sedangkan penelitian ini fokus pada tingkat agregasi provinsi yang diperkuat oleh data dan informasi sistem produksi padi sawah pada tingkat mikro (usaha tani).

(2) Penelitian-penelitian sebelumnya membahas masalah neraca penyediaan beras dan kebutuhan konsumsi beras, sedangkan penelitian ini mencakup permasalahan yang lebih luas, yaitu membahas sistem produksi padi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pada agregasi provinsi, dan peningkatan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) petani.

(3) Penelitian sebelumnya dalam mencapai tujuan menggunakan analisis ekonometrika, regresi linier dengan pendekatan yang parsial. Analisis sistem dinamis digunakan oleh Irawan (2005) dengan mengabaikan pengaruh faktor lingkungan. Nurmalina (2007) menggunakan analisis keberlanjutan dan analisis sistem dinamis. Dalam penelitian ini menggabungkan analisis MDS, analisis input-output, optimasi, analisis KHL dan Lm petani dan analisis sistem dinamis.

(4) Output yang dihasilkan Nurmalina (2007) adalah model neraca penyediaan dan kebutuhan beras regional dengan tiga skenario, yaitu skenario I intensifikasi plus dengan tiga alternatif, skenario II ekstensifikasi plus dan skenario III penekanan penduduk dan konsumsi kapita-1. Penelitian ini menghasilkan model penetapan luas lahan optimum usaha tani padi sawah mendukung kemandirian pangan berkelanjutan dengan tiga skenario, yaitu skenario pesimis, moderat dan optimis masing-masing dengan tiga alternatif.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi novelty penelitian ini adalah dihasilkannya rekayasa Model Penunjang Keputusan Berbasis Data Kuantitatif yang mengintegrasikan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kebijakan-kelembagaan dan teknologi-infrastruktur dalam sistem produksi padi sawah dan permintaan konsumsi padi untuk mencapai kemandirian pangan yang berkelanjutan.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistem

Secara leksikal, sistem berarti susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004). Hartrisari (2007), mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan. Menurut Muhammadi et al. (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan (aggregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan.

Pengertian interaksi adalah pengikat atau penghubung antar unsur, yang memberi bentuk/struktur kepada obyek, membedakan dengan obyek lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek. Pengertian unsur adalah benda, baik konkrit atau abstrak yang menyusun obyek sistem. Kinerja sistem ditentukan oleh fungsi unsur. Gangguan salah satu fungsi unsur mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi kinerja sistem secara keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem disebut bagian sistem atau sub-sistem (Muhammadiet al.,2001).

Sistem terdiri atas komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah bagian-bagian dari sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil disebut dengan sub-sistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut (Muhammadiet al.,2001).


(34)

Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir sistem (system thinking), di antaranya adalah: (1) holistik tidak parsial; system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) sibernitik (goal oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat yang efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien; ukurannya adalah cost effective bukancost efficient, akan lebih baik apabila hasilnya efektif dan sekaligus efisien.

2.1.2. Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin, 2004). Menurut Eriyatno (1999) karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.

Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuan.


(35)

2.1.3. Model

Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Menurut Eriyatno (1999), model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Biasanya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan evaluasi kebijakan, yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan (Tasrif, 2004).

Menurut Muhammadi et al. (2001), berdasarkan adanya pemahaman tentang kejadian sistemik, ada lima langkah yang dapat ditempuh untuk menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, yaitu:

Langkah pertama, identifikasi proses, yaitu mengungkapkan pemikiran tentang proses nyata (actual transformation) yang menimbulkan kejadian nyata (actual state). Proses nyata tersebut merujuk kepada obyektivitas dan bukan proses yang dirasakan atau subyektivitas.

Langkah kedua, identifikasi kejadian yang diinginkan adalah memikirkan kejadian yang seharusnya, yang diinginkan, yang dituju, yang ditargetkan ataupun yang direncanakan (desired state). Keharusan, keinginan, target dan rencana merujuk kepada waktu yang akan datang, sehingga disebut pandangan ke depan atau visi. Visi yang baik perlu dirumuskan dengan kriteria layak (feasible) dan dapat diterima (aceptable).

Langkah ketiga, memikirkan tingkat kesenjangan antara kondisi faktual dengan yang diinginkan. Kesenjangan adalah masalah yang harus dipecahkan atau merupakan tugas (misi) yang harus diselesaikan. Perumusan masalah secara konkrit bisa dinyatakan dalam ukuran kuantitatif atau kualitatif.

Langkah keempat, identifikasi mekanisme tentang variabel-variabel untuk menutup kesenjangan antara faktual dengan kejadian yang diinginkan. Dinamika tersebut adalah aliran informasi tentang keputusan-keputusan yang telah bekerja dalam sistem, yang merupakan hasil pemikiran dari proses pembelajaran yang dapat bersifat reaktif ataupun kreatif. Pemikiran reaktif ditunjukkan oleh aksi yang bentuk atau polanya sama dengan tindakan masa lampau dan kurang antisipatif terhadap kejadian yang akan datang. Sedangkan pemikiran kreatif ditunjukkan oleh aksi yang bentuk atau polanya berbeda dengan masa lampau yang dapat


(36)

bersifat penyesuaian tindakan masa lampau (adjustment) atau berorientasi masa depan (visionary).

Langkah kelima,analisis kebijakan, yaitu menyusun alternatif tindakan atau keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata sebuah sistem dalam menciptakan kejadian nyata. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang diinginkan. Alternatif tersebut dapat satu atau kombinasi bentuk-bentuk intervensi, baik yang bersifat struktural atau fungsional. Intervensi struktural artinya mempengaruhi mekanisme interaksi pada sistem, sedangkan intervensi fungsional artinya mempengaruhi fungsi unsur dalam sistem. Pengembangan dan penetapan alternatif intervensi tersebut dipilih setelah dilakukan pengujian (simulasi komputer atau simulasi pendapat pakar).

Perilaku dinamis dalam model dapat dikenali dari hasil simulasi model. Simulasi model terdiri atas beberapa tahap, yaitu penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.

2.2. Sistem Produksi Padi Sawah

Padi merupakan salah satu komoditas prioritas yang menjadi fokus perhatian saat ini dan di masa yang akan datang. Prioritas komoditas ditetapkan berdasarkan kriteria kuantitaif, mencakup: produksi, luas panen, nilai tambah, serapan tenaga kerja dan daya saing (Suryana, 2005). Indikator dapat pula bersifat kualitatif, seperti kebijakan, sosial-budaya, dan manajemen industri. Pemberian indeks untuk masing-masing indikator dilakukan dengan memanfaatkan expertise judgement oleh pakar yang berpengalaman luas pada bidangnya.

Pada umumnya usaha tani padi di Indonesia diusahakan dalam skala kecil oleh sekitar 18 juta petani, akan tetapi usaha tani padi menyumbang 66% terhadap produk domestik bruto (PDB) tanaman pangan, memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga dengan sumbangan pendapatan 25-35% (Badan Litbang Pertanian, 2005b). Oleh sebab itu, komoditas padi tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, sehingga menjadi basis utama dalam revitalisiasi pertanian ke depan.


(37)

Pengertian skala usaha tani mengacu pada konsep "retun to scale". Selama ini konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai pendekatan teoritis mengenai skala optimal usaha tani (Chavas, 2001 dalam Sumaryanto, 2009). Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan beragam kesimpulan. Sen (1962) menemukan adanya hubungan terbalik antara luas garapan dengan produktivitas pada usaha tani di India. Kemudian, pada dekade 70-an, studi Yotopoulos and Lau (1973) dan Berry and Cline (1979) yang dikutip dari Sumaryanto (2009) memperoleh kesimpulan bahwa pada usaha tani di India ternyata skala kecil relatif lebih efisien daripada skala besar; dan tidak disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi usaha tani karena secara umum ternyata usaha kecil berada pada kondisi "constant return to scale". Dalam konteks penelitian ini pengertian mengenai skala usaha tani akan dikaitkan dengan kebutuhan hidup layak minimal petani dan garis kemiskinan (poverty line) yang diacu di wilayah perdesaan.

2.2.1. Faktor-Faktor Produksi Padi Sawah

Dalam sistem produksi padi sawah terdapat tiga faktor dasar paradigmatik, yaitu benih, tanah dan tenaga (Sitorus, 2006). Ketiga unsur dasar tersebut membentuk pertanian melalui proses interaksi triangular yang berpusat pada budaya tertentu. Implikasi dari asumsi ini adalah bahwa pengembangan benih, tanah dan tenaga yang unggul berikut pola interaksi berinti budaya antara ketiganya harus menjadi fokus utama dalam pengembangan sistem produksi padi. Sedangkan faktor-faktor produksi, seperti pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian (alsintan) bersifat pendukung (supportif) terhadap ketiga unsur dasar tersebut. Pupuk dan air irigasi adalah faktor pendukung untuk tanah; obat-obatan adalah faktor pendukung untuk benih, sedangkan alsintan adalah faktor pendukung untuk tenaga kerja (petani), dalam arti meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja petani. Implikasi asumsi ini bahwa fokus aktivitas pengembangan sistem produksi padi bergeser dari tiga serangkai “pupuk-obat-obatan-alsintan” ke “benih-tanah-tenaga”.

Benih adalah faktor produksi yang menjadi penentu utama atau ”patokan dasar” tingkat perkembangan dan kemajuan pertanian, sehingga efektivitas faktor-faktor produksi akan ditentukan oleh tingkatan teknologi benih (Sitorus, 2006). Di antara komponen teknologi produksi, varietas unggul mempunyai peranan yang lebih besar dalam peningkatan produktivitas padi. Hasil riset World


(38)

Bank menyimpulkan, benih varietas unggul bersertifikat (VUB) merupakan penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap peningkatan produksi padi, diikuti irigasi (5%) dan pupuk (4%). Interaksi VUB, irigasi, dan pupuk dapat meningkatkan produktivitas mencapai 75%, sedangkan sumbangan dari perluasan areal tanam hanya 25%. (Fagiet al.,2001).

Mayoritas produksi padi nasional (69%) disumbang oleh penggunaan benih VUB dan sisanya oleh varietas sedang (16%), dan rendah (15%). Penggunaan benih VUB secara nasional baru mencakup 47% dari kebutuhan benih padi nasional (Sitorus, 2009a). Lebih lanjut Sitorus menyatakan bahwa benih padi VUB adalah determinan pokok peningkatan produksi, sehingga dapat dikatakan bahwa swasembada beras hanya mungkin dicapai di atas basis ketersediaan benih padi VUB.

Peranan benih padi VUB, tidak terlepas dari peranan produsen benih dan sistem perbenihan nasional. Data 1970-an sampai 2000-an menunjukkan bahwa peningkatan jumlah benih padi VUB berbanding lurus dengan peningkatan produksi padi nasional. Benih padi VUB produksi Sang Hiang Sri memasok 61% dari pangsa penggunaan benih bersertifikat secara nasional, atau 28% dari total kebutuhan benih nasional (292.500 ton). Fakta ini membuktikan, peran signifikan benih VUB dalam pencapaian swasembada beras tahun 1984 dan 2008 (Sitorus, 2009a). Kemampuan industri benih padi untuk memenuhi total kebutuhan benih nasional, baru mencapai 47%, artinya, lebih dari setengah kebutuhan benih padi nasional (53%) dipenuhi oleh benih nonsertifikat bermutu rendah yang dihasilkan petani dan penangkar lokal.

Faktor produksi tanah, mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan (2) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Kedua fungsi tersebut dapat menurun atau hilang. Hilangnya fungsi kedua dapat segera diperbaiki dengan pemupukan, sedangkan hilangnya fungsi pertama tidak mudah diperbaiki atau diperbaharui karena memerlukan waktu yang lama, puluhan bahkan ratusan tahun untuk pembentukan tanah (Arsyad, 2006).

Indonesia terletak di daerah tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi, topografi yang curam dan sumber daya manusia yang tergolong rendah, sehingga masalah degradasi tanah cukup penting diperhatikan. Degradasi tanah adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah, kehilangan atau perubahan kenampakan (features) tanah yang tidak


(39)

dapat diganti (Sitorus, 2009b). Degradasi tanah adalah proses yang menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan. Salah satu indikator menurunnya kualitas lahan, khususnya sawah adalah menurunnya kandungan C organik tanah.

Faktor-faktor yang sering menyebabkan kerusakan tanah antara lain erosi tanah, hilangnya unsur hara dan bahan organik tanah karena pencucian (leaching) dan atau terangkut melalui panen tanpa ada usaha untuk mengembalikannya, timbulnya senyawa-senyawa beracun dan penjenuhan air (Arsyad, 2006; Sitorus, 2001). Secara umum degradasi tanah disebabkan oleh faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Faktor alami penyebab degradasi tanah, antara lain: lahan berlereng curam, tanah yang mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain (Sitorus, 2009b). Sedangkan degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan (poverty), masalah kepemilikan lahan (proverty), ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial ekonomi, masalah kesehatan, pertanian tidak tepat (inappropriate agriculture) dan aktivitas pertambangan/industri (Sitorus, 2009b).

Degradasi tanah berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah. Tanah yang mengalami kerusakan baik kerusakan karena sifat fisik, kimia maupun biologi memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai sekitar 22% pada lahan semi kritis, 32% pada lahan kritis, dan diperkirakan sekitar 38% pada lahan sangat kritis (Sudirman dan Vadari, 2000).

Faktor tenaga kerja memegang peranan yang sangat penting dalam sistem produksi padi sawah. Ketersediaan tenaga kerja yang cukup akan mendorong pengelolaan sistem produksi padi secara lebih intensif. Di wilayah dimana ketersediaan tenaga kerja kurang, pengelolaan usaha tani padi cenderung dilakukan seadanya (tidak intensif). Penggunaan alsintan sebagai pengganti fungsi tenaga manusia memerlukan banyak pertimbangan, karena tidak semua lokasi sesuai untuk penggunaan alsintan. Kelangkaan tenaga kerja juga membuat upah lebih tinggi, sehingga biaya usaha tani meningkat.

Faktor iklim bukan merupakan faktor produksi padi, tetapi merupakan unsur terpenting yang sangat berpengaruh terhadap sistem produksi padi. Terjadinya variabilitas dan perubahan iklim global menyebabkan kondisi iklim menjadi tidak menentu, pola iklim telah berubah dan tidak pasti, fluktuasi iklim lebih besar,


(1)

4 (0) <25% petani aktif mengikuti penyuluhan 2 3 0 (1) 25-<50% petani aktif mengikuti

penyuluhan

(2) 50-75% petani aktif mengikuti penyuluhan Jumlah RT Petani dapat

Penyuluhan: Didasarkan atas perkiraan jumlah rumah tangga petani yang aktif mengikuti

penyuluhan pertanian (3) >75% petani aktif mengikuti penyuluhan

5 (0) Pertumbuhan penduduk > 1,5%/th 1

3 0 (1) Pertumbuhan penduduk 1- 1,5%/th (2) Pertumbuhan penduduk 0,5-<1%/th Pertumbuhan penduduk:

Didasarkan atas laju

pertumbuhan penduduk rata-rata secara agregasi di NTB sejak

2000-2009 (3) Pertumbuhan penduduk <0,5%/th

6 (0) Buruh tani sangat kurang 2

3 0 (1) Buruh tani relatif kurang (2) Buruh tani relatif mencukupi Jumlah buruh tani: Didasarkan

atas ketersediaan buruh tani rata-rata di NTB

(3) Buruh tani melebihi kebutuhan

7 (0) Konsumsi beras > 160 kg/kap/th 2

3 0 (1) Konsumsi beras 140-160 kg/kap/th (2) Konsumsi beras 120 - 140 kg/kap/th Konsumsi beras per

kapita/tahun: Didasarkan atas konsumsi beras rata-rata penduduk NTB saat ini

(kg/kap/th) (3) Konsumsi beras <120 kg/kap/th

8 (0) Konversi lahan sawah >3% 0

3 0 (1) Konversi lahan sawah 2-3% (2) Konversi lahan sawah 1-2% Konversi lahan sawah:

Didasarkan atas perkembangan konversi lahan sawah secara agregasi di NTB sejak 2000

-2009 (3) Konversi lahan sawah <1%

9 (0) <60% desa dapat dijangkau kend. roda-4 2

3 0 (1) 60-<80% desa dapat dijangkau kendaraan roda-4

(2) Lebih dari 80% desa dapat dijangkau kendaraan roda-4

Aksesibilitas transportasi desa: Didasarkan atas akses desa pada umumnya di NTB yang dapat dijangkau kendaraan roda-4

(3) Seluruh desa dapat dijangkau kend roda-4

10 (0) <60% desa dapat dijangkau sarana

komunikasi

2 3 0 (1) 60-<80% desa dapat dijangkau sarana

komunikasi

(2) Lebih dari 80% desa dapat dijangkau sarana komunikasi

Aksesibilitas Komunikasi Desa: Didasarkan atas akses desa pada umumnya di NTB yang dapat dijangkau sarana komunikasi

(3) Seluruh desa dapat dijangkau sarana komunikasi

11 (0) <25% desa wilayahnya adalah pertanian

tanaman pangan

3 3 0 (1) 25-<50% desa wilayahnya adalah

pertanian tanaman pangan (2) 50-<75% desa wilayahnya adalah

pertanian tanaman pangan Desa wilayah pertanian tan.

Pangan: Didasarkan atas jumlah desa yang sebagian besar wilayahnya adalah pertanian tanaman pangan

(3) >75% desa wilayahnya adalah pertanian tanaman pangan


(2)

D. Dimensi Kebijakan dan Kelembagaan

1 3 0 (0) <25% petani mendapat pelayanan modal

dari lembaga keuangan pemerintah

2 (1) 25-<50% petani mendapat pelayanan

modal dari lembaga keuangan pemerintah (2) 50-75% petani mendapat pelayanan modal

dari lembaga keuangan pemerintah Kelembagaan permodalan:

Didasarkan atas persentase petani yang memperoleh layanan modal dari kelembagaan keuangan pemerintah saat ini

(3) >75% petani mendapat pelayanan modal dari lembaga keuangan pemerintah

2 3 0 (0) Dukungan dan kinerja kelembagaan

penyuluhan mencapai <25% sasaran

2 (1) Dukungan dan kinerja kelembagaan

penyuluhan mencapai 25-<50% sasaran (2) Dukungan dan kinerja kelembagaan

penyuluhan mencapai 50-75% sasaran Kelembagaan Penyuluhan:

Didasarkan atas dukungan dan kinerja kelembagaan

penyuluhan dalam memenuhi kebutuhan petani di NTB tahun 2008.

(3) Dukungan dan kinerja kelembagaan penyuluhan mencapai >75% sasaran

3 3 0 (0) Dukungan dan kinerja kelembagaan

perbenihan mencapai <25% kebutuhan benih bermutu

2

(1) Dukungan dan kinerja kelembagaan perbenihan mencapai 25-<50% kebutuhan benih bermutu

(2) Dukungan dan kinerja kelembagaan perbenihan mencapai 50-75% kebutuhan benih bermutu

Kelembagaan Perbenihan: Didasarkan atas kapasitas dan kinerja kelembagaan perbenihan dalam memenuhi kebutuhan benih di NTB

(3) Dukungan dan kinerja kelembagaan perbenihan mencapai >75% kebutuhan benih bermutu

4 3 0 (0) Dukungan dan kinerja kelembagaan

teknologi sangat rendah

2 (1) Dukungan dan kinerja kelembagaan

teknologi masih kurang

(2) Dukungan dan kinerja kelembagaan teknologi cukup baik

Kelembagaan Teknologi: Didasarkan atas dukungan dan kinerja kelembagaan teknologi untuk memenuhi kebutuhan teknologi padi di NTB

(3) Dukungan dan kinerja kelembagaan teknologi sangat baik

5 3 0 (0) Dukungan dan kinerja kelembagaan

pengendalian OPT mencapai <25% sasaran

2

(1) Dukungan dan kinerja kelembagaan pengendalian OPT mencapai 25-<50% sasaran

(2) Dukungan dan kinerja kelembagaan pengendalian OPT mencapai 50-75% sasaran

Kelembagaan Pengendalian OPT: Didasarkan atas dukungan dan kinerja kelembagaan OPT dalam sistem pengendalian OPT tanaman padi sawah di NTB

(3) Dukungan dan kinerja kelembagaan pengendalian OPT mencapai >75% sasaran


(3)

6 3 0 (0) Dukungan dan kinerja kebijakan pemerintah mencapai <25% sasaran

1 (1) Dukungan dan kinerja kebijakan

pemerintah mencapai 25-<50% sasaran (2) Dukungan dan kinerja kebijakan

pemerintah mencapai 50-75% sasaran Kebijakan pemerintah:

Didasarkan atas dukungan dan kinerja kebijakan dalam sistem produksi padi sawah di NTB

(3) Dukungan dan kinerja kebijakan pemerintah mencapai >75% sasaran

7 3 0 (0) <25% kelembagaan petani memenuhi

kebutuhan anggotanya

1 (1) 25-<50% kelembagaan petani memenuhi

kebutuhan anggotanya

(2) 50-75% kelembagaan petani memenuhi kebutuhan anggotanya

Kelembagaan petani: Didasarkan atas persentase kelembagaan petani yang memiliki kinerja dalam memenuhi kebutuhan

anggotanya di NTB tahun 2010

(3) >75% kelembagaan petani dapat memenuhi kebutuhan anggotanya

8 3 0 (0) Dukungan kelembagaan pasar dalam

pembelian gabah petani mencapai <25%

2 (1) Dukungan kelembagaan pasar dalam

pembelian gabah petani mencapai 25-50% (2) Dukungan kelembagaan pasar dalam

pembelian gabah petani mencapai 50-75% Kelembagaan Pasar:

Didasarkan atas dukungan kelembagaan pasar dalam pembelian gabah petani

(3) Dukungan kelembagaan pasar dalam pembelian gabah petani mencapai >75%

9 3 0 (0) Kinerja pelayanan kelembagaan saprodi

untuk memenuhi kebutuhan petani secara tepat mencapai <25%

2

(1) Kinerja pelayanan kelembagaan saprodi untuk memenuhi kebutuhan petani secara tepat mencapai 25-50%

(2) Kinerja pelayanan kelembagaan saprodi untuk memenuhi kebutuhan petani secara tepat mencapai 50-75%

Kelembagaan sarana produksi: Didasarkan atas kinerja pelayanan kelembagaan saprodi untuk memenuhi kebutuhan petani secara tepat

(3) Kinerja pelayanan kelembagaan saprodi untuk memenuhi kebutuhan petani secara tepat mencapai >75%

E Dimensi Teknologi dan Infrastruktur

1 3 0 (0) Tidak mendukung 1

(1) Kurang mendukung (2) Cukup mendukung Jaringan irigasi teknis:

Didasarkan atas kondisi dan luas jangkauan jaringan irigasi teknis mendukung sistem

produksi padi sawah di NTB (3) Sangat mendukung

2 3 0 (0) Meningkat drastis 1

(1) Cenderung meningkat (2) Cenderung menurun Luas areal komoditas selain

padi: Didasarkan atas perkembangan luas areal komoditas selain padi yang diusahakan pada lahan sawah di NTB 2001-2008


(4)

3 3 0 (0) Sangat kurang 2 (1) Relatif kurang

(2) Cukup baik Pengelolaan lahan dan air:

Didasarkan atas tingkat penerapan teknologi pengelolaan lahan dan air, seperti pemulihan kesuburan lahan, usaha tani padi sawah hemat air (SRI), pemupukan berimbang, dll

(3) Sangat baik

4 3 0 (0) IP padi menurun drastis 1

(1) IP padi cenderung menurun (2) IP padi cenderung meningkat Indeks pertanaman padi sawah:

Didasarkan atas perkembangan indeks pertanaman (IP) padi

sawah di NTB 2001-2008 (3) IP padi meningkat drastis

5 3 0 (0) Penggunaan benih unggul bermutu dan

bersertifikat < 25%

2 (1) Penggunaan benih unggul bermutu dan

bersertifikat 25- <50%

(2) Penggunaan benih unggul bermutu dan bersertifikat 50-75%

Penggunaan benih unggul: Didasarkan atas rata-rata penggunaan benih unggul bermutu dan bersertifikat oleh petani di NTB tahun 2008

(3) Penggunaan benih unggul bermutu dan bersertifikat >75%

6 3 0 (0) Lamban 2

(1) Kurang cepat (2) Relatif cepat Pergiliran varietas: Didasarkan

atas kecepatan adopsi dan pergiliran varietas padi sawah di

NTB 2001-2008 (3) Sangat cepat

7 3 0 (0) Sangat kurang 2

(1) Relatif kurang (2) Relatif berkembang Penggunaan alsintan:

Didasarkan atas tingkat perkembangan penggunaan alsintan, seperti traktor, alat semprot, dll oleh petani padi di NTB 2001-2008

(3) Berkembang pesat

8 3 0 (0) <25% petani menggunakan pupuk sesuai

rekomendasi

2 (1) 25-<50% petani menggunakan pupuk

sesuai rekomendasi

(2) 50-75% petani menggunakan pupuk sesuai rekomendasi

Penggunaan pupuk: Didasarkan atas persentase petani

menggunakan sesuai

rekomendasi pemupukan di NTB (Permentan

No.40/Permentan/OT.140/

4/2007) (3) >75% petani menggunakan pupuk sesuai

rekomendasi

9 3 0 (0) <25% petani mengendalikan OPT

berdasarkan prinsip PHT

2 (1) 25-<50% petani mengendalikan OPT

berdasarkan prinsip PHT

(2) 50-75% petani mengendalikan OPT berdasarkan prinsip PHT

Pengendalian OPT: Didasarkan atas persentase petani melakukan pengendalian OPT berdasarkan prinsip pendekatan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) di NTB tahun 2010

(3) >75% petani mengendalikan OPT berdasarkan prinsip PHT


(5)

10 3 0 (0) <25% petani melakukan panen pada saat dan cara yang tepat

2 (1) 25-<50% petani melakukan panen pada

saat dan cara yang tepat

(2) 50-75% petani melakukan panen pada saat dan cara yang tepat

Panen: Didasarkan atas persentase petani melakukan panen pada saat yang tepat dan dengan cara yang sesuai dengan anjuran di NTB tahun 2010

(3) >75% petani melakukan panen pada saat dan cara yang tepat

11 3 0 (0) <25% petani melakukan perontokan gabah

dengan alat dan cara sesuai anjuran

2 (1) 25-<50% petani merontok gabah dengan

alat dan cara sesuai anjuran

(2) 50-75% petani melakukan perontokan gabah dengan alat dan cara sesuai anjuran Perontokan gabah: Didasarkan

atas persentase petani melakukan perontokan gabah dengan alat dan cara sesuai anjuran

(3) >75% petani melakukan perontokan gabah dengan alat dan cara sesuai anjuran

12 3 0 (0) <25% petani melakukan pengeringan

gabah sesuai dengan kadar air yang ditentukan

1

(1) 25-<50% petani melakukan pengeringan gabah sesuai dengan kadar air yang ditentukan

(2) 50-75% petani melakukan pengeringan gabah sesuai dengan kadar air yang ditentukan

Pengeringan: Didasarkan atas persentase petani melakukan pengeringan gabah sesuai dengan kadar air yang ditentukan baik dengan mesin pengering (dryer) maupun secara alami di NTB th 2010

(3) >75% petani melakukan pengeringan gabah sesuai dengan kadar air yang ditentukan

13 3 0 (0) Sangat kurang 2

(1) Kurang (2) Relatif cukup Penggilingan: Didasarkan atas

jumlah dan kualitas mesin penggilingan gabah untuk memenuhi kebutuhan petani di


(6)

Keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang (Cluster) Faktor Kunci

A B C

1. Konversi Lahan Sawah

Laju konversi lahan sawah tetap seperti saat ini 4,07% tahun-1

Laju konversi lahan sawah menurun secara gradual rata-rata 2,8% tahun-1

Laju konversi lahan sawah dapat dikendalikan di bawah 2,2% tahun-1

2. Luas Baku Sawah

Luas baku sawah akan berkurang 40% karena pengendalian laju konversi lahan tidak berjalan

Luas baku sawah akan berkurang 33% karena pengendalian laju konversi lahan kurang efektif

Luas baku sawah akan berkurang 27% karena pengendalian laju konversi lahan lebih efektif 3. Luas Panen

Padi Sawah

Luas panen padi sawah menurun karena luas baku sawah menurun dan jaringan irigasi tidak diperbaiki atau dibangun sehingga indeks pertanaman tetap seperti saat ini 155%

Luas panen padi sawah relatif tetap karena ada perbaikan jaringan irigasi dan peningkatan pendapatan petani sehingga indeks pertanaman dapat ditingkatkan menjadi 190%

Luas panen padi sawah meningkat karena luas baku sawah dipertahankan, ada perbaikan jaringan irigasi dan peningkatan pendapatan petani sehingga indeks pertanaman dapat ditingkatkan menjadi 220%

4. Jaringan irigasi Jaringan irigasi tetap seperti saat ini, tidak ada

pemeliharaan, sehingga luas areal sawah yang dapat dijangkau berkurang

Jaringan irigasi lebih baik karena ada pemeliharaan, sehingga luas areal yang dapat dijangkau meningkat secara gradual menjadi 60%

Jaringan irigasi meningkat 20% karena adanya pembangunan dan pemeliharaan, sehingga luas areal yang dapat dijangkau meningkat > 80% 5. Pertumbuhan

Penduduk

Laju pertumbuhan penduduk tetap seperti saat ini 1,67% tahun-1

Laju pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan secara bertahap menjadi rata-rata 1,5% tahun-1

Laju pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan di bawah 1,3% tahun-1

6. Harga gabah Harga gabah tetap seperti saat ini dengan fluktuasi harga yang sangat tinggi antar musim

Harga dasar gabah tetap tetapi harga dipertahankan stabil antar musim

Harga dasar gabah meningkat dengan stabilitas harga yang lebih terjamin antar musim 7. Kebijakan

Pemerintah

Kebijakan insentif pemerintah dengan implementasi dan pengawasan yang tidak efektif seperti saat ini

Kebijakan insentif pemerintah tetap dengan implementasi dan pengawasan yang lebih efektif

Kebijakan insentif pemerintah meningkat dengan

implementasi dan pengawasan yang efektif

8. Ketersediaan modal petani

Sebagian besar petani masih menggunakan modal sendiri, atau meminjam dari tetangga, sehingga kapasitas produksi tidak optimal

Sekitar 50%-80% petani dapat mengakses skim kredit dari perbankan sebagai modal kerja, sehingga kapasitas produksi lebih optimal

Lebih dari 80% petani dapat mengakses skim kredit dari perbankan sebagai modal kerja, sehingga kapasitas produksi lebih optimal 9. Pendapatan

petani

Tingkat pendapatan petani tetap seperti saat ini, sehingga kontribusi pendapatan terhadap KHLnya hanya 43,74%

Tingkat pendapatan petani dari usaha tani ditingkatkan karena kebijakan insentif berjalan efektif, sehingga dapat terpenuhi KHLnya 60-80% atau lebih

Tingkat pendapatan petani dari usaha tani ditingkatkan karena kebijakan insentif berjalan efektif dan ada sumber pendapatan alternatif di luar pertanian sehingga dapat terpenuhi KHLnya 100% atau