Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan

Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan dan Laut Arafuru. Musim penangkapan ikan tembang terjadi sekitar bulan Juni atau Juli dan bulan September – November. Bulan Desember – Mei merupakan bulan yang kurang baik untuk penangkapan ikan tembang Chodriyah dan Tuti, 2010. Gambar 17. Fluktuasi dan Trend CPUE Ikan Tembang Sardinella Spp Dari Gambar 17 dapat dilihat nilai CPUE tertinggi ikan tembang terjadi sekitar bulan April – Juli. Untuk bulan-bulan paceklik ikan tembang terjadi sekitar bulan Desember – Februari yang ditandai dengan turunnya nilai CPUE ikan tembang. Dalam jangka waktu 5 tahun terakhir terlihat trend nilai CPUE ikan tembang terjadi peningkatan. Peningkatan hasil tangkapan ikan tembang yang signifikan terjadi pada bulan Oktober 2008 dan Juni 2010.

4.4 Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan

Secara tidak langsung SPL berpengaruh terhadap nilai CPUE hasil tangkapan beberapa jenis ikan pelagis tertentu. Ikan layang merupakan ikan yang mempunyai sifat stenohalin, yaitu hidup pada perairan dengan salinitas yang sempit, biasanya sekitar 31- 33‰ Nontji, 2005. Musim timur dan musim peralihan 2 membawa dampak kenaikan salinitas perairan dan penurunan SPL di Laut Jawa. Masuknya massa air dari samudera pasifik melalui Selat Makassar dan Laut Flores yang memiliki salinitas yang tinggi dan suhu air yang rendah mempengaruhi hasil tangkapan ikan layang secara keseluruhan. Ikan layang merupakan tangkapan utama di Laut Jawa. Dari Gambar 18 dapat dilihat secara umum nilai CPUE ikan layang akan menurun disaat nilai SST meningkat yang mengindikasikan terjadinya penurunan salinitas perairan. Fenomena ini terlihat jelas saat bulan Januari – Juni musim barat dan peralihan 1 yang merupakan bulan-bulan dimana hasil tangkapan ikan layang mencapai nilai minimumnya seperti yang terjadi pada bulan April 2008, April 2009, April 2010. Pada bulan Juli – Desember merupakan musim penangkapan ikan layang. Meningkatnya salinitas perairan dan penurunan SPL menyebabkan pada bulan- bulan ini nilai CPUE ikan layang cenderung naik seperti pada bulan Juli- September 2006 dan Agustus-Oktober 2009. Gambar 18. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Layang Secara tidak langsung terdapat hubungan antara SPL dengan nilai CPUE ikan layang yang dapat dilihat dengan menggunakan korelasi pearson yang dilambangkan dengan r. Korelasi antara SPL dengan CPUE ikan layang paling besar terjadi pada musim timur dengan nilai r sebesar -0,83 dengan koefisien determinasi sebesar 0,69. Hal ini menunjukkan adanya korelasi yang cukup erat antara SPL dengan CPUE ikan layang pada musim timur dimana pada musim ini SPL Laut Jawa rendah dan salinitas perairan tinggi. Musim peralihan 1 merupakan musim dengan nilai korelasi yang paling kecil dengan nilai r sebesar -0,24 dengan koefisien determinasi sebesar 0,06. Gambar 19. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Banyar Hampir sama dengan ikan layang, ikan banyar atau ikan kembung lelaki beruaya pada perairan dengan salinitas 33 - 35‰. Seperti yang telah dijelaskan diatas, salinitas perairan Laut Jawa akan meningkat pada musim timur dengan suhu perairan yang relatif rendah. Dari gambar 19 dapat dilihat pada bulan Desember-Maret 2007 terjadi penurunan nilai CPUE yang diiringi dengan kenaikan SPL. Bulan-bulan ini merupakan bulan musim peralihan 1 dimana masih ada pengaruh dari musim barat yang memiliki salinitas perairan yang rendah. Bulan April – Juli 2008 memperlihatkan terjadinya kenaikan nilai CPUE ikan banyar. Kenaikan nilai CPUE ini diikuti dengan penurunan SPL Laut Jawa dimana bulan-bulan ini sedang berlangsung akhir dari musim peralihan 1 dan awal dari musim timur. Sebagaimana telah diketahui, musim timur membawa massa air bersuhu rendah ke perairan Laut Jawa tetapi memiliki salinitas yang tinggi. Untuk komoditas ikan banyar, korelasi antara SPL dengan nilai CPUE paling besar terjadi pada musim timur dengan nilai r sebesar -0.42 dan nilai r ² sebesar 0.17. Sedangkan korelasi terendah terjadi pada musim peralihan 1 dengan nilai korelasi pearson sebesar -0,1. Ikan tongkol merupakan ikan pelagis yang hidup pada perairan hangat dan hidup bergerombol. Ikan tongkol dewasa hidup maksimal pada suhu 29°C. Perairan Indonesia khususnya Laut Jawa merupakan perairan yang relatif hangat sepanjang tahunnya. Keberadaan ikan tongkol di perairan Laut Jawa cukup stabil. Hal ini terlihat seperti pada Gambar 20 dimana sepanjang dari tahun 2006-2010 nilai CPUE ikan tongkol di Laut Jawa cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan. Terdapat fluktuasi nilai CPUE ikan tongkol setiap bulannya dimana SPL Laut Jawa juga berfluktuasi mengikuti musim angin yang sedang berlangsung. Korelasi antara SPL dengan nilai CPUE ikan tongkol paling besar terjadi pada musim peralihan 2 dengan korelasi pearson sebesar 0,46 dan koefisien determinasi sebesar 0.21. Sebaliknya korelasi antara SPL dengan nilai CPUE ikan tongkol paling kecil terjadi pada musim timur dengan korelasi pearson sebesar -0.12 denga koefisien determinasi sebesar 0.01. Gambar 20. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Tongkol Ikan lemuru dan ikan tembang merupakan jenis ikan pelagis yang keberadaannya tergantung pada plankton yang merupakan makanan utama kedua jenis ikan ini Nontji, 2005. Korelasi antara SPL dengan Nilai CPUE ikan lemuru dan ikan tembang terlihat kurang jelas seperti yang terlihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Berbeda-bedanya respon ikan pelagis terhadap SPL ini menunjukkan bahwa setiap ikan memiliki karakteristiknya sendiri terhadap SPL dan pola angin musim yang berpengaruh terhadap musim penangkapan ikan di Laut Jawa. Gambar 21. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Lemuru Gambar 22. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Tembang

4.5 Hubungan antara Konsentrasi Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan