Hanya saja didalam KUHP, “pemufakatan jahat” dan “recidive” tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, terapi didalam aturan khusus.
b Dalam Konsep, semua bentuk-bentuk tindak pidana atau tahapannya terjadi dilakukannya tindak pidana itu, dimasukkan dalam Ketentuan
Umum Buku I. Bahkan dalam perkembangan terakhir Konsep 2008 ditambah dengan “persiapan” preparation yang selama ini tidak diatur
dalam KUHP dan juga belum ada dalam Konsep-konsep sebelumnya. c Aturan umum “pemufakatan jahat” dan “persiapan” dalam Buku I Konsep,
agak berbeda dengan “percobaan”
34
1. Penentuan dapat dipidananya “percobaan” dan lamanya dipidana ditetapkan secara umum dalam Buku I, kecuali ditentukan lain oleh
UU: pidana pokoknya maksimum minimum dikurangi sepertiga . Perbedaannya adalah :
2. Penentuan dapat dipidananya “pemufakatan jahat” dan “persiapan “ ditentukan seccara khusustegas dalam UU dalam perumusan tindak
pidana yang bersangkutan. Aturan umum hanya menentukan pengertian batasan kapan dikatakan ada “permufakatan jahat” atau
“persiapan” dan lamanya pidana pokok yaitu dikurangi dua pertiga
35
C. Pengertian dan Unsur PertanggungJawaban Pidana
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah
menjatuhkan pidana terhadap orang tersebut, tapi juga sepenuhnya dapat diyakini
34
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Malang, 1996 .Hlm 70
35
Martiman Prodjohamodjojo, Memahami Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramitha , Jakarta , 1996 . Hlm 86
Universitas Sumatera Utara
bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.
36
Dapat pula dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia
melakukan perbuatan pidana tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana, apabila dia itu mempunyai kesalahan.
Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu meakukan perbuatan pidana Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan
tindak pidana, kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang
sepatutnya dijatuhkan. Dalam menentukan perbuatan dapat dipidana terdapat dua pandangan,
yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis . Pandangan dualistis ini memisahkan tindak pidana disatu pihak dengan pertanggungjawaban dilain pihak,
adanya pemisahan ini mengandung konsekuensi bahwa untuk memidana seseorang tidak cukup kalau orang tersebut hanya telah melakukan tindak pidana
saja melainkan masih dibutuhkan satu syarat lagi yaitu apakah orang tersebut terbukti kesalahannya. Pandangan ini terlihat pada definisi Hukum Pidana
menurut Moelijatno yaitu Hukum Pidana adalah bagian dari hukum yang memberikan aturan-aturan dasar mengenai perbuatan apa yang boleh dilakukan
dari kapan atau dalam hal apa pengenaan serta penjatuhan pidana dapat dikenakan kepada orang yang melanggar larangan tersebut.
36
Chairul Huda, Op.cit. Hlm, 63
Universitas Sumatera Utara
dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain , jika memang tidak ingin berbuat demikian.
37
Pompe menyingkat kesalahan ini sebagai pembuat dapat dicela verwijtbaarheid dan perbuatan yang dapat dihindari vemijdbaarheid. Pompe
mengatakan bahwa dilihat dari akibatnya, perbuatan tersebut dapat dicela dan menurut hakekatnya adalah dapat dihindarinya. Maka kesalahan menyebabkan
atau mempunyai akibat dapat dicela.
38
1 Kemampuan bertanggung jawab
Celaan ini dimungkinkan karena si pelaku itu sebenarnya bisa berusaha agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum
dan dapat berbuat sesuai dengan hukum. Oleh karena itu pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya.
Menurut Simons bahwa untuk adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku yaitu :
2 Hubungan kejiwaan antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan
3 Dolus atau Culpa
39
Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moelijatno bahwa pertanggungjawabn pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur
kesalahan adalah : 1
Mampu bertanggung hawab 2
Mempunyai kesengajaan atau kealpaan 3
Tidak adanya alasan pemaaf
40
37
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Centra ,
Jakarta, 1981.hlm 58
38
Ibid, hlm 58-59
39
Sofyan Sastrawidjadja, op.cit, hlm 180
.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya unsur-unsur kesalahan tersebut harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan sehingga untuk adanya kesalahan yang
mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah : 1
Melakukan perbuatan pidana 2
Mampu betanggungjawab 3
Dengan kesengajaan atau kealpaan 4
Tidak adanya alasan pemaaf.
41
2. Kemampuan Bertanggungjawab Mengenai kemampuan bertanggungjawab, ajaran kemampuan
bertanggungjawab toerekeningsvatbaarheid mengenai keadaan jiwa batin seseorang yang normal sehat ketika melakukan tindak pidana
42
2 Dalam hal pembuat ada di dalam keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan
tidak mengerti akibat perbuatannya nafsu, gila, pikiran tersesat dan sebagainya
. Dalam KUHP tidak ada ketentuan yang menyebutkan tentang arti
kemampuan bertanggungjawab itu. Hanya dalam M.v.T diterangkan secara negatif bahwa “ tidak mampu bertanggungjawab” dari pembuat adalah :
1 Dalam arti pembuat diberi kebebasan memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yang dibolehkan Undang-undang dilarang dalam hal
perbuatan yang dipaksadwanghandelinngen
43
40
Ibid, hlm 181
41
Ibid
42
Ibid
43
Ibid, hlm181-182
.
Universitas Sumatera Utara
Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi tiga syarat :
1 Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya 2 Dapat menginsyafi bahwa perbuatan itu tidak dapat dipandang patut
dalam pergaulan masyarakat. 3 Mampu menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
perbuatan.
44
Menurut Simons, mampu bertanggungjawab adalah mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu
mampu menentukan kehendaknya. Sedangkan menurut Moelijatno, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :
1 Kemampuan untuk membeda-bedakan antara poerbuatan yang baik dan yang buruk yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum
2 Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan itu
45
Yang pertama merupakan ”faktor akal” yaitu dapat membedakan antara perbuatan mana yang diperbolehkan dengan yang tidak. Yang kedua merupakan
“faktor perasaan atau kehendak “ yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
46
44
Roeslan Saleh, Opcit , hlm. 61
45
Sofyan Sastrawidjadja loc.cit
46
Ibid, hlm. 183
Dalam KUHP mengenai ketidakmampuan bertanggungjawab dalam Pasal 44 :
Universitas Sumatera Utara
“ Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena
penyakit tidak dipidana”
47
Ketidakmampuan bertanggungjawab dalam Pasal 44 KUHP tersebut dapat dikatakan merupakan alasan peniadaan kesalan alasan pemaaf yang dapat
dibedakan dengan alasan pemaaf lainnya, seperti yang diatur dalam Pasal : 48 KUHP daya paksa; Pasal 49 ayat 2 KUHP bela paksa melampaui batas: Pasal
51 ayat 2 KUHP perintah jabatan tidak sah .
48
47
Moelijatno , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta , 2000, Hlm 211
48
Sofyan Sastrawidjaja.loc.cit
Cara untuk menentukan ketidakmampuan bertanggungjawab terhadap seseorang sehingga ia tidak dapat dipidana ada tiga system, yaitu :
1 Sistem deskriptif menyatakan yaitu dengan cara menentukan dalam perumusannya itu sebab-sebabnya tidak mampu bertanggungjawab.
Menurut sistem ini jika psikiater telah menyatakan seseorang sakit jiwa, maka dengan sendirinya ia tidak dapat dipidana.
2 Sistem normatif menilai yaitu dengan cara hanya menyebutkan akibatnya yakni tidak mampu bertanggungjawab tanpa menentukan
sebab-sebabnya, yang penting disini apakah orang itu mampu bertanggungjawab atau tidak.Jika dipandang bertanggungjawab, maka
apa yang akan menjadi sebabnya tidak perlu dipikirkan lagi. 3 Sistem deskriptif-normatif yaitu dengan cara gabungan dari kedua cara
tersebut, yakni menyebutkan sebab-sebabnya tidak mampu bertanggungjawab.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini harus sedemikian rupa akibatnya hingga dipandang atau dinilai sebagai mampu bertanggungjawab. Sistem butir 3 yang dianut oleh KUHP
kita. Dengan cara gabungan ini maka untuk dapat menentukan bahwa terdakwa tidak mampu bertanggungjawab, dalam praktik diperlukan adanya kerjasama
antara psykiater dengan hakim. Psykiater yang menentukan ada atau tidak adanya sebab-sebab yang ditentukan dalam undang-undang sedangkan hakim yang
menilai apakah karena sebab-sebab itu terdakwa mampu bertanggungjawab atau tidak.
49
3. Kesengajaan Tentang sifat sengaja ada dua teori , yaitu :
a. Teori Kehendak wilstheorie b. Teori Membayangkan voorstellingstheorie
1. Teori Kehendak Teori ini dikemukakan oleh Von Hippel. Sengaja adalah kehendak
membuat suatu tindaka dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan kata lain, dikatakan bahwa ”akibat dikehendaki”,
apabila akibat itu menjadi maksud dari tindakan yang dilakukan tersebut. Contoh : A mengarahkan pistolnya kepada B, Ia menembak mati B.
Adalah sengaja apabila A benar-benar menghendaki kematian tertembak matinya B.
49
Sofyan Sastrawidjaya.Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
Teori ini dianut oleh Memorie van Toelichting, ini terbukti adanya istilah ”willens en wetens” yang terdapat pada Memorie van Toelichting.
50
Tidak boleh dikatakan bahwa A menghendaki kematian B. A hanya mempunyai suatu bayangan tentang kematian B. Berdasarkan alasan-
alasan psikologis, maka tidak mungkinlah A menghendaki kematian B. Yang hanya dapat dikehendaki adalah suatu tindakan yang mungkin
menyebabkan kematian B. Tindakan itu adalah perbuatan menembak mati. 2. Teori Membayangkan
Teori ini dikemukakan oleh Frank. Menurut Frank, berdasarkan suatu alasan psikologis, maka tidak mungkinlah hal suatu akibat dapat
dikehendaki, manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Menurut Frank adalah sengaja,
apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dan oleh sebab itu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Contohnya : A membayangkan kematian musuhnya yaitu B. Supaya dapat merealisasikan bayangan tadi, maka A membeli sebuah
pistol dan mengarahkan pistol itu kepada B sehingga B jatuh tertembak mati.
50
Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Bandung, 1994, Hlm. 301
Universitas Sumatera Utara
Kematian B pada waktu A merencanakan tindakannya barulah suatu bayangan saja.
51
51
Ibid, hlm. 302
Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu : a. Sengaja sebagai maksud opzet als oogmerk
Dalam VOS, definisi sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika
pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui
perbuatannya. Contoh : A menghendaki kematian B, dan oleh sebab itu ia
mengarahkan pistolnya kepada B. Selanjutnya, ia menembak mati B. Akibat penembakan yaitu kematian B tersebut adalah benar dikehendaki
A. Kesengajaan dengan maksud merupakan bentuk sengaja yang paling sederhana.
Menurut teori kehendak, maka sengaja dengan maksud dapat didefinisikan sebagai berikut : sengaja dengan maksud adalah jika apa
yang dimaksud telah dikehendaki. Menurut teori membayangkan , sengaja dengan maksud adalh jika akivat yang dimaksudkan telah mendorong
pembuat melakukan perbuatannya yang bersangkutan. b. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa, agar tujuan dapat tercapai,
sebelumnya harus dilakuakan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga.
Universitas Sumatera Utara
Contoh : agar dapat mencapai tujuannya, yaitu membunuh B, maka A sebelumnya harus membunuh C, karena C menjadi pengawal B. Antara
A dan C sama sekali tidak ada permusuhan, hanya kebetulan C pengawak B. A terpaksa tetapi sengaja terlebih dahulu membunuh C dan kemudian
membunuh B. Pembunuhan B berarti maksud A tercapai, A yakin bahwa ia hanya dapat membunuh B setelah terlebih dahulu membunuh C,
walaupun pembunuhan C itu pada permulaannya tidak dimaksudkannya. A yakin bahwa jika ia tidak terlebih dahulu membunuh C, maka tentu ia
tak pernah akan dapat membunuh B. c. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan besar
dapat ditimbulkan suatu pelanggaran lain disamping pelanggaran pertama. Sebagai contoh : keputusan Hoge Raad tanggal 19 Juni 1911,
kasusnya A hendak membalas dendam terhadap B. A mengirimkan sebuah kue tart kealamat B, dalam tart tersebut telah dimasukkan racun. A sadar
akan kemungkinan besar bahwa istri B turut serta makan kue tart tersebut. Walaupun ia tahu, tapi ia tidak menghiraukan . Oleh hakim ditentukan
bahwa perbuatan A terhadap istri B juga dilakukan dengan sengaja, yaitu sengaja dengan kemungkinan
52
4. Kelalaian atau Kealpaan Culpa a. Pengertian Kelalaian Culpa
52
Ibid, Hlm. 304-311
Universitas Sumatera Utara
Dalam KUHP juga tidak memberikan perumusan tentang apa yang dimaksudkan dengan culpa. Hanya didalam M.v.t diberikan keterangan apa
yang dimaksud dengan kelalaian atau kealpaan itu, yaitu : ”Kealpaan itu , disatu pihak merupakan kebalikan sesungguhnya dari
kesengajaan , dan lain pihak merupakan kebalikan dari suatu kebetulan”. Dan ketika Mentri Kehakiman Belanda mengajukan rancangan undang-undang
hukum pidana diberi keterangan mengenai kealpaan atau kelalaian yaitu : 1. ”Kekurangan pemikiran yang diperlukan ” gebrek aan het nodige
deneken 2 ”Kekurangan pengetahuan pengertian yang diperlukan” gebrek aan
nodige kennis 3 ”Kekurangan dalam kebijaksanaan yang diperlukan” gebrek aan nodige
belaid
53
2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh
hukum. b. Unsur Kealpaan
Mengenai unsur-unsur kealpaan Van Hammel mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat unsur yaitu :
1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh
hukum.
54
Dalam VOS juga menyatakan bahwa yang menjadi unsur-unsur kealpaan adalah :
53
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana , Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm. 343
54
Sofyan Sastrawidjaja, op.cit, hlm. 201
Universitas Sumatera Utara
1. Pembuat dapat ”menduga terjadinya” akibat kelakuannya.
2. Pembuat ”kurang berhati-hati” pada pembuat ada kurang rasa
bertanggungjawab, dengan kata lain andaikata pembuat delik- delik lebih berhati-hati, maka sudah tentu kelakuan yang
bersangkutan tidak dilakukan atau dilakukannya secara lain.
55
55
Ibid, hlm. 210
Menurut Pompe, unsur-unsur culpa adalah : 1.
Pembuat dapat menduga terjadinya akibat perbuatannya atau sebelumnya dapat mengerti arti perbuatannya, atau dapat mengerti
hal yang pasti akan terjadinya akibat perbuatannya. 2.
Pembuat sebelumnya melihat kemungkinan akan terjadinya akibat perbuatannya.
3. Pembuat sebelumnya dapat melihat kemungkinan akan terjadinya
akibat perbuatannya c. Bentuk- bentuk kealpaan
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu :
1. Kealpaan yang disadari bewuste schuld
Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu
akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.
2. Kealpaan yang tidak disadari onbewuste schuld
Universitas Sumatera Utara
Kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu
akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat
tersebut.
56
Kealpaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis
kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran Buku III KUHP.
Selain daripada bentuk-bentuk kealpaan diatas , adapula bentuk- bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri
dari : 1.
Kealpaan berat culpa lata Kealpaan berta dalam bahasa belanda disebut dengan merlijke
schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berta ini tersimpul dalam ”kejahatan karena kealpaan”, seperti
dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP 2.
Kealpaan ringan culpa levis atau culpa levissima
57
56
Ibid, hlm. 215
57
Ibid, hlm. 214
d. Perbedaan Kealpaan Yang Disadari Bewuste Schuld dan Kesengajaan Dengan Kemungkinan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan teori kehendak VoN Hippel maka garis perbatasan antara sengaja dengan kemungkinan dan kealpaan yang disadari dapat
dirumuskan sebagai berikut : Kalau ternyata bahwa pembuat menghendaki akibat yang dimaksud
dan akibat yang lain itu, maka dalam hal ini adalah sengaja dengan kemungkinan, sedangkan kalau ternyata bahwa pembuat tidak
menghendaki kedua akibat tersebut, maka dalam hal ini adalah kealpaan yang disadari bewuste schuld
Berdasarkan teori membayangkan Frank , maka perbatasan antara sengaja dengan kemungkinan dan kealpaan yang disadari dapat
dirumuskan sebagai berikut : Jika pembuat mempunyai bayangan akan pasti terjadinya akibat yang
sebenarnya bukan maksudnya, masih juga meneruskan perbuatannya, maka dalam hal ini adalah sengaja dengan kemungkinan.
Sementara jika pembuat mendapat bayangan hal tersebut, tidak meneruskan perbuatannya, maka dalam hal ini adalah bewuste schuld.
Menurut Utrecht, perumusan teori membayangkan ini kurang memuaskan. Menurut Utrecht, perumusan teori ini tidak membuat
perbatasan antara sengaja dengan kemungkinan dan kealpaan yang disadari antara bewuste schuld dan opzet bij zekerheidsbewustzjin
sengaja dengan kepastian
Universitas Sumatera Utara
5. Alasan-alasan Peniadaan Pidana Dalam KUHP tidak disebutkan istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Bab III Buku Kesatu hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapus pidana. Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini
dibeda-bedakan menjadi : a. Alasan pembenar dan alasan pemaaf
1 Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa
lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. 2 Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan
terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia
tidak dipidana karena tidak ada kesalahan
58
Jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah bahwa
atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan disini adalah
Disamping alasan peniadaan atau penghapusan pidana dalam ilmu pidana dikenal pula peniadaan atau penghapusan penuntutan.
Alasan penghapusan penuntutan disini soalnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf.
58
Moelijatno,op.cit. hlm.137
Universitas Sumatera Utara
kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak dituntut tentu saja pelakunya tidak dipidana.
59
b. Ketidakmampuanbertanggungjawab ontoerekeningsvatbaarheid
ditentukan dalam Pasal 44 KUHP ayat 1 dan 2, yang berbunyi : 1 Barangsiapa
melakukan perbuatan
yang tidak
dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana. 2 Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan
60
c. Daya Paksa Daya paksa ditentukan dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi :
“ Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
KUHP tidak memberikan pengertian kepada daya paksa ini, oleh karena ituu harus dicarinya dalam M.v.T yang dijelaskan yang
dimaksud dengan daya paksa adalah “ setiap kekuatan, setiap tekanan, setiap paksaaan, yang tidak dapat ditahan”.
61
1 Daya paksa absolute
Dalam doktrin atau ilmu hukum piidana, daya paksa itu dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu :
Daya paksa absolute adalah daya paksa yang sama sekali tidak dapat ditahan. Daya paksa ini dapat secara fisik dapat pula
secara psikis.
59
Ibid, hlm. 137
60
Sofyan Sastrawidjaja, op.cit, hlm. 221
61
Ibid, hlm 222
Universitas Sumatera Utara
2 Daya paksa relative
Daya paksa relative adalah yang dimaksudkan sebagai daya paksa dalam pengertian Pasal 48 KUHP. Didalam daya paksa ini
bahwa paksaan itu sebenarnya masih bias dihindarkan atau orang yang dipaksa itu masih dapat berbuat lain
62
d. Bela Paksa Untuk menentukan adanya bela-paksa noodweer menurut bunyi
Pasal 49 ayat 1 KUHP itu harus dipenuhi tiga syarat, yaitu : 1 Perbuatan harus untuk pembelaan yang sangat perlu;
2 Pembelaan itu hanya dapat dilakukan untuk kepentingan hukum yang limitative, yaitu :
a Diri sendiri maupun oran glain, yang termasuk dalam pengertian diri adalah badan dan jiwa manusia ;
b Kehormatan atau kesusilaan sendiri maupun orang lain; c Harta benda sendiri maupun orang lain;
3 Harus ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang datang seketika yang melawan hukum
63
62
Ibid, hlm. 223
63
Ibid, hlm. 228-229
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang