Politik Anggaran Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Kota Medan Tentang Pajak Daerah (Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan)

(1)

i

POLITIK ANGGARAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN TENTANG PAJAK DAERAH

(Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan)

Disusun Oleh:

100906103

ROMULUS CALVIN PURBA

Dosen Pembimbing: INDRA FAUZAN, S.H.I., M.Soc.SC.

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

ii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ROMULUS CALVIN PURBA (100906103)

POLITIK ANGGARAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN TENTANG PAJAK DAERAH (Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan)

ABSTRAK

Otonomi Daerah merupakan tantangan bagi Pemerintah Daerah dalam mengurangi ketergantungan kepada Pemerintah Pusat, dan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, kata kunci dari otonomi daerah adalah “kewenangan”, seberapa besarkah kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam menginisiatifkan kebijakan hingga mengimplementasikannya. Kewenangan daerah untuk menjalankan beberapa urusannya itu diatur dalam sebuah Peraturan Daerah (Perda).

Pajak daerah diatur dalam sebuah Perda, adanya besaran tarif yang ditentukan didalamnya membuat Perda tentang Pajak Daerah berbeda dengan Perda lainnya, dimana penentuan besaran tarif-tarif pajak tersebut melalui proses politik anggaran, yang hasilnya sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah. Pemerintah Kota Medan mengajukan revisi Peraturan Daerah No.7 tahun 2011 tentang Pajak Hiburan. Banyaknya usaha hiburan yang hampir tutup akibat besaran pajak, menjadi pemicu pengajuan revisi. Pengajuan ini tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah kota Medan tentang perubahan atas Perda Pajak Hiburan.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kualitatif dalam kerangka pendekatan metode deskriptif. Dimana dalam penelitian ini hendak memahami serta melakukan interpretasi terhadap interaksi sosial diantara para aktor dalam sebuah konteks sosial, temporal, dan historis tertentu.

Para perancang Perda perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah dan pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tertentu, sehingga diperlukan kerjasama diantara beragam aktor yang terlibat bersama masyarakat demi terwujudnya kepentingan bersama.


(3)

iii UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

ROMULUS CALVIN PURBA (100906103)

POLITICS OF BUDGETING IN ARRANGE MEDAN REGIONAL REGULATION ABOUT REGIONAL TAX (Case Study: Medan Regional Regulation Number 7 in 2011 about the Entertainment Tax)

ABSTRACT

Regional autonomy is a challenge for the local government in reducing dependence to the central government, and to accelerate and increase the public welfare. In the other words, the key to regional autonomy is “authority”, how big the authority owned by the region to initiative the policy until to implement it. To run the local authority need some affairs were arranged in a regional regulations.

Local taxes arranged in a regional regulations, the tariff determined in making a regional regulation about regional tax in contrast with other regional regulations. Where the determination of the tariff of the tax through the political process budget, the outcome is very influential to the regional revenue. The Medan government of the proposed revision of the No. 7 / 2011 about entertainment tax. Many entertainment businesses that almost closed because the amount of tax, become the the submission of the revision of the. The submission of this is set forth in the regional regulation draft on changes to the city of Medan regulation on taxes entertainment.

This research methodology used the approach of the qualitative analysis within the framework of a method of descriptive .Where in this research will understand as well as undertaking interpretation against social interaction among the actors in a social context, temporal and certain historical.

Designers regional regulation need to make regional regulation on behalf of and for the benefit of the people. The first step should be taken is asked questions about the type of the problems faced by the community. Besides identify problem designer regional regulations must also identify the cause of the problems and affected parties impact of various the issue. Designer a bylaw should understand the consequences that could arise from the specific problems So that necessary cooperation between the various actors involved with the community for the common interests.


(4)

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Dengan Judul : POLITIK ANGGARAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN TENTANG PAJAK DAERAH (Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan

Dilaksanakan pada :

Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat :

Tim Penguji : Ketua Penguji

Nama : ( )

NIP :

Penguji Utama

Nama : Indra Fauzan, S.H.I., M.Soc.SC ( ) NIP : 195801151986011001

Penguji Tamu

Nama : ( )


(5)

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh Nama : ROMULUS CALVIN PURBA

NIM : 100906103 Departemen : Ilmu Politik

Judul : POLITIK ANGGARAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN TENTANG PAJAK DAERAH (Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011)

Menyetujui,

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

Dra. T. Irmayani, M.Si_______

NIP. 196806301994032001 NIP. 195801151986011001 Indra Fauzan, S.H.I., M.Soc.SC

Mengetahui, Dekan FISIP USU

NIP. 196805251992031002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(6)

vi

Karya ini dipersembahkan untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Politik Anggaran dalam Penyusunan Peraturan Daerah Kota Medan tentang Pajak Daerah (Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik dari Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Selesainya skripsi juga ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada, Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si sebagai Ketua Departemen Ilmu Politik dan Kepada Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si sebagai Sekretaris Departemen Ilmu Politik. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Indra Fauzan, S.H.I., M.Soc.SC sebagai dosen pengajar dan dosen pembimbing penulis yang selama ini telah meluangkan waktu memberikan bimbingan, masukan dan kritik yang membangun kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini dari awal hingga akhir.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dekan Prof. Dr. Badaruddin, M.Si serta seluruh dosen dan staf pengajar Departemen Ilmu Politik yang telah meluangkan waktu untuk mendidik penulis selama menjalani masa perkuliahan. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Kak Emma, Pak Burhan dan Kak Siti yang membantu penulis dalam urusan administratif kampus.

Secara khusus penulis mengucapkan kepada kedua orang tua, Bapak Jenner A.T. Purba dan Ibu Rosmawaty Siregar atas cinta, kasih sayang, doa dan kesabaran dalam membesarkan dan mendidik penulis kearah yang lebih baik. Serta terimakasih kepada kakak-kakak penulis, Melviana Ligria Purba, Marini Fransisca Purba, dan Mekares Veronica Purba yang telah memberikan doa dan


(8)

viii

dukungan selama ini kepada penulis juga kepada keluarga besar yang tidak hentinya memberikan dukungan dan nasihat.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Lana, Johannes, Edo, Jan Roi, Ray Daniel, Junior, Arfan, Andre, Anggi, Zen, Endo, dan Freddy yang telah memberikan semangat, dukungan, dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini, dan juga penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman penulis khususnya di Departemen Ilmu Politik yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat kepada pembaca sekalian. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Desember 2014

Penulis,


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Batasan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori ... 10

F.1. Politik Anggaran ... 10

F.2. Kebijakan Publik ... 15

F.2.1. Implementasi Kebijakan Publik ... 19

G. Metodologi Penelitian ... 20

G.1. Metode Penelitian ... 20

G.2. Jenis Penelitian ... 21


(10)

x

G.4. Teknik Pengumpulan Data ... 22

G.5. Teknik Analisa Data ... 23

H. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI DAN OBJEK PENELITIAN ... 25

A. Gambaran Umum Kota Medan ... 25

A.1. Keadaan Geografis Kota Medan ... 27

A.2. Keadaan Demografis Kota Medan ... 29

B. Kota Medan dalam Dimensi Otonomi Daerah ... 31

B.1. Kewenangan Pemerintah Kota Medan ... 34

B.2. Kemampuan Keuangan Daerah Kota Medan ... 36

C. Pajak di Indonesia ... 37

C.1. Pajak Daerah ... 40

C.1.1. Jenis Pajak Daerah ... 43

C.1.2. Obyek Pajak Daerah ... 46

C.1.3. Subyek dan Wajib Pajak Daerah ... 46

BAB III PEMBAHASAN ... 48

A. Proses Penyusunan Peraturan Daerah ... 48

A.1. Prosedur dan Langkah Umum Pembentukan Peraturan Daerah ... 51

B. Politik Anggaran dalam Proses Revisi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan ... 75

C. Kendala Dalam Menyusun Peraturan Daerah Kota Medan ... 84

BAB IV PENUTUP ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 88


(11)

xi LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Medan


(12)

xii

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 2.1. Bagan Organisasi Pemerintah Kota Medan ... 33 Bagan 2.2. Pajak Sebagai Muara Hubungan Negara-Rakyat dan Hubungan


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara Lampiran 2. Wawancara

Lampiran 3. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan


(14)

ii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ROMULUS CALVIN PURBA (100906103)

POLITIK ANGGARAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN TENTANG PAJAK DAERAH (Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan)

ABSTRAK

Otonomi Daerah merupakan tantangan bagi Pemerintah Daerah dalam mengurangi ketergantungan kepada Pemerintah Pusat, dan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, kata kunci dari otonomi daerah adalah “kewenangan”, seberapa besarkah kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam menginisiatifkan kebijakan hingga mengimplementasikannya. Kewenangan daerah untuk menjalankan beberapa urusannya itu diatur dalam sebuah Peraturan Daerah (Perda).

Pajak daerah diatur dalam sebuah Perda, adanya besaran tarif yang ditentukan didalamnya membuat Perda tentang Pajak Daerah berbeda dengan Perda lainnya, dimana penentuan besaran tarif-tarif pajak tersebut melalui proses politik anggaran, yang hasilnya sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah. Pemerintah Kota Medan mengajukan revisi Peraturan Daerah No.7 tahun 2011 tentang Pajak Hiburan. Banyaknya usaha hiburan yang hampir tutup akibat besaran pajak, menjadi pemicu pengajuan revisi. Pengajuan ini tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah kota Medan tentang perubahan atas Perda Pajak Hiburan.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kualitatif dalam kerangka pendekatan metode deskriptif. Dimana dalam penelitian ini hendak memahami serta melakukan interpretasi terhadap interaksi sosial diantara para aktor dalam sebuah konteks sosial, temporal, dan historis tertentu.

Para perancang Perda perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah dan pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tertentu, sehingga diperlukan kerjasama diantara beragam aktor yang terlibat bersama masyarakat demi terwujudnya kepentingan bersama.


(15)

iii UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

ROMULUS CALVIN PURBA (100906103)

POLITICS OF BUDGETING IN ARRANGE MEDAN REGIONAL REGULATION ABOUT REGIONAL TAX (Case Study: Medan Regional Regulation Number 7 in 2011 about the Entertainment Tax)

ABSTRACT

Regional autonomy is a challenge for the local government in reducing dependence to the central government, and to accelerate and increase the public welfare. In the other words, the key to regional autonomy is “authority”, how big the authority owned by the region to initiative the policy until to implement it. To run the local authority need some affairs were arranged in a regional regulations.

Local taxes arranged in a regional regulations, the tariff determined in making a regional regulation about regional tax in contrast with other regional regulations. Where the determination of the tariff of the tax through the political process budget, the outcome is very influential to the regional revenue. The Medan government of the proposed revision of the No. 7 / 2011 about entertainment tax. Many entertainment businesses that almost closed because the amount of tax, become the the submission of the revision of the. The submission of this is set forth in the regional regulation draft on changes to the city of Medan regulation on taxes entertainment.

This research methodology used the approach of the qualitative analysis within the framework of a method of descriptive .Where in this research will understand as well as undertaking interpretation against social interaction among the actors in a social context, temporal and certain historical.

Designers regional regulation need to make regional regulation on behalf of and for the benefit of the people. The first step should be taken is asked questions about the type of the problems faced by the community. Besides identify problem designer regional regulations must also identify the cause of the problems and affected parties impact of various the issue. Designer a bylaw should understand the consequences that could arise from the specific problems So that necessary cooperation between the various actors involved with the community for the common interests.


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini mendeskripsikan politik anggaran dalam penyusunan peraturan daerah kota Medan tentang pajak daerah. Kajian penelitian ini berawal dari pemahaman bahwa otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi Daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki dan dinikmati sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, otonomi juga sebagai tantangan bagi Pemerintah Daerah dalam mengurangi ketergantungan kepada Pemerintah Pusat, dan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, kata kunci dari otonomi daerah adalah “kewenangan”, seberapa besarkah kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam menginisiatifkan kebijakan hingga mengimplementasikannya1

Selama ini perencanaan dan kebijakan Pemerintah Daerah lebih banyak memiliki aturan yang sama diseluruh daerah dari Pemerintah Pusat dengan pola perencanaan top down mechanism. Sementara saat ini program yang dibuat oleh Pemerintah Pusat harus dikurangi seiring dengan berlakunya Undang-Undang (UU) No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Oleh sebab itu,

.

1

Syaukani, dkk. 2010. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.10


(17)

2

implementasi Undang-Undang tersebut menuntut Pemerintah Daerah agar lebih mandiri dibidang keuangan karena belanja langsung dan tidak langsung saat ini atau yang lebih dikenal dengan belanja rutin dan pembangunan mendatang haruslah lebih banyak berasal dari Pajak dan Retribusi. Potensi Pajak dan Retribusi berkaitan langsung dengan aktivitas ekonomi sektoral dan sistem serta kemampuan aparatur pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber Pajak dan Retribusi potensial yang dapat dijadikan sebagai basis utama Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kewenangan daerah untuk menjalankan beberapa urusannya itu diatur dalam sebuah Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan UU No.10 tahun 2004, Bab I Ketentuan Umum, Pasal l1 ayat (1) disebutkan bahwa Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Dalam hal ini Perda merupakan instrumen aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Sejak Tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa Undang-Undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan Perda sebagai salah satu instrumen yuridisnya.

Kedudukan dan fungsi Perda berbeda antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam UUD/Konstitusi dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Perbedaan tersebut juga terjadi pada


(18)

3

penataan materi muatan yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada Pemerintah Daerah. Mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap penyusunan dan pelaksanaan Perda pun mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang Perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positif tentang Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang Perda. Untuk membatalkan sebuah Perda memerlukan peraturan hukum yang lebih tinggi yaitu Peraturan Presiden (UU No 32 tahun 2004 Bab VI pasal 145 ayat 3), jika dinilai Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi. Hal ini membawa angin segar bagi daerah untuk berlomba-lomba membuat Perda yang dirasa bisa membawa perubahan kearah yang lebih baik.

Pajak daerah merupakan sumber penerimaan terbesar dalam postur APBD, sehingga rawan dalam pengelolaannya. Pajak daerah harus diperhitungkan pada nilai kemanfaatan pajak itu dikenakan, misalnya seberapa besar hasil guna dan daya guna pajak itu bagi pemerintah dan masyarakatnya2

2

Edi Slamet Irianto. 2014. Pengantar Politik Pajak. Jakarta: Observation & Research of Taxation. Hal. 122

. Tarif pajak daerah diatur dalam sebuah Perda, adanya besaran tarif yang ditentukan didalamnya membuat Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah berbeda dengan Peraturan Daerah lainnya, dimana penentuan besaran tarif-tarif pajak tersebut melalui proses


(19)

4

politik anggaran, yang hasilnya sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah.

Pemerintah Kota Medan mengajukan revisi Peraturan Daerah No.7 tahun 2011 tentang Pajak Hiburan. Banyaknya usaha hiburan yang hampir tutup akibat besaran pajak, menjadi pemicu pengajuan revisi. Pengajuan ini tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah kota Medan tentang perubahan atas Perda Pajak Hiburan.

Pemko Medan mengajukan layaknya pajak untuk usaha karaoke dari 30% diturunkan menjadi 20%. Besaran tersebut juga diterapkan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Dengan tarif pajak 20% usaha karaoke tumbuh pesat di kota-kota tersebut. Selain tarif pajak karaoke, dalam revisi tersebut juga diajukan penurunan dua pajak hiburan lain yakni usaha pusat kebugaran dan usaha pijat. Pemko Medan mengusulkan tarif pajak pusat kebugaran turun dari 35% menjadi hanya 10%, dan pajak usaha pijat dari 30% turun ke 20%.

Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan (urusan) dari pemerintah pusat kepemerintah daerah. Penyerahan berbagai kewenangan dalam rangka desentralisasi ini tentunya harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Sumber pembiayaan yang paling penting adalah sumber yang dikenal dengan istilah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dimana komponen


(20)

5

utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Politik anggaran sangat penting untuk dikaji pada penelitian ini, sebab anggaran merupakan instrumen paling penting dalam kebijakan ekonomi yang dimiliki pemerintah baik pusat maupun daerah dan hal ini menggambarkan pernyataan komprehensif tentang prioritas negara. Sebagai warga negara, kita juga sangat bergantung pada negara untuk menyediakan pelayanan yang krusial dan infrastruktur. Anggaran publik merupakan bentuk hubungan antara warga negara pembayar pajak dan aparat pemungut pajak.

Secara sederhana anggaran publik merupakan bagaimana membuat pilihan antara kemungkinan-kemungkinan pengeluaran, keseimbangan dan proses memutuskannya. Akan tetapi, anggaran publik memiliki tipikal yang berbeda, seperti bersifat terbuka, melibatkan berbagai aktor dalam penyusunannya yang memiliki tujuan berbeda-beda, mempergunakan dokumen anggaran sebagai bentuk akuntabilitas publik, dan keterbatasan yang harus diperhatikan.

Terlibatnya beragam aktor sepanjang proses penganggaran, mulai dari perencanaan dan penyusunan dilingkungan birokrasi, sampai pengesahannya di DPR RI maupun DPRD, menjadikan anggaran sebagai arena kontestasi politik yang sangat penting selain Pemilu. Tidak mengherankan, banyak pihak menilai anggaran sebagai proses politik arena perebutan sumber daya publik antara berbagai kepentingan, baik aktoraktor di dalam lingkaran sistem politik yang berlaku maupun kelompok kepentingan lain yang memiliki pengaruh terhadap


(21)

6

keputusan politik anggaran. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Wildavsky ”All budgeting is about politics; most politics is about budgeting; and budgeting must therefore be understood as part of political game”3

Secara harfiah politik anggaran bisa diartikan sebagai sebuah proses politik dua atau lebih orang atau lembaga yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan keuntungan dari anggaran, dimana mereka memiliki kuasa untuk mengendalikannya

. Dapat dipahami bahwa semua tentang penganggaran adalah bagian dari politik, dan politik adalah salah satu bagian dari penganggaran dan karena itu penganggaran harus dipahami sebagai bagian dari permainan politik.

4

Konteks politik anggaran akan terkait dengan siapa yang berperan dan kemampuan negara dalam memberikan jaminan kepada rakyatnya. Namun yang terjadi, politik anggaran dipahami dan dijalankan dalam konteks jangka pendek dan menguntungkan pihak-pihak terkait saja. Aturan dalam penentuan program hanya terletak pada level kepentingan masing-masing aktor, bahkan rakyat sendiri tidak mengetahui berapa persen anggaran yang dilimpahkan untuk kesejahteraannya. Belum lagi persoalan yang menyangkut perilaku birokrat, korupsi, inefisiensi, kekurangefektifan pelaksanaan program, tingkat kebocoran yang tinggi, defisit anggaran yang terus membesar, rencana anggaran pendapatan . Dengan demikian politik anggaran menjadi hubungan antara sumberdaya keuangan dan perilaku manusia untuk mencapai sasaran kebijakan.

3

Yuna Farhan. 2013. “Transparansi, Partisipasi, dan Demokrasi”. Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Nomor 5, Februari 2013. Jakarta: Yayasan Perludem. Hal.30

4

Aaron Wildavsky dan Naomi Caiden. 2012. Dinamika Proses Politik Anggaran. Penerjemah: Suraji dan Sufiansyah. Yogyakarta: Matapena Consultindo. Hal.3-4


(22)

7

yang tidak mencapai target, terus berkurangnya asset negara dan berbagai masalah lainnya yang semakin menjauhkan kebijakan politik anggaran yang berpihak pada rakyat. Tentu saja akibat buruk dari alokasi anggaran pembangunan yang sangat terbatas itu, minim pula proyek infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk memacu perputaran roda-roda perekonomian. Padahal, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibutuhkan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara signifikan yang masih terus membelit puluhan juta warga diseluruh daerah.

Kewenangan berdasarkan desentralisasi fiskal yang begitu besar dimiliki oleh daerah otonom cenderung disalahgunakan. Akibatnya, anggaran yang ditetapkan oleh pemerintahan di daerah setiap tahun tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat tetapi menjadi lahan korupsi aparatur penyelenggara negara. Permasalahan diatas menunjukkan bahwa ranah politik anggaran tidak sekedar target bagi kekuasaan, tetapi yang lebih menguatirkan adalah pemaknaan politik kepentingan pihak-pihak negara dan pengusaha dalam menyediakan anggaran untuk publik dengan politik perjuangan publik.

Politik anggaran sangat penting dan menarik untuk dikaji pada penelitian ini karena memiliki kontribusi terhadap kajian Ilmu Politik. Alasannya: Pertama, anggaran merupakan instrumen paling penting dalam kebijakan ekonomi yang dimiliki pemerintah baik pusat maupun daerah dan hal ini menggambarkan pernyataan komprehensif tentang prioritas negara. Sebagai warga negara, kita juga sangat bergantung pada negara untuk menyediakan pelayanan yang krusial dan infrastruktur sehingga proses politik anggaran tersebut harus dapat dimaknai


(23)

8

sebagai proses formal dan sarat nilai-nilai keadilan sosial dalam penyelenggaraan pemerintah yang baik. Kedua, persoalan anggaran publik merupakan bentuk hubungan antara warga negara pembayar pajak dan aparat. Politik anggaran merupakan salah satu instrumen kebijakan dan bukanlah sekedar instrumen ekonomi untuk revenue policy (kebijakan menarik pendapatan). Ketiga, politik anggaran merupakan instumen penting bagi pemerintah untuk melaksanakan dan memenuhi fungsi-fungsi dasarnya dan mencapai tujuan-tujuan substantif dari kebijakan. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merasa tertarik memilih judul “Politik Anggaran dalam Penyusunan Peraturan Daerah Kota Medan tentang Pajak Daerah”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana politik anggaran dalam penyusunan Peraturan Daerah Kota Medan tentang pajak daerah?

C. Batasan Masalah

Agar penelitian terfokus pada permasalahan, perlu ditetapkan batasan-batasan permasalahan yang akan diteliti agar tidak melebar sehingga menyebabkan tujuan dari penelitian itu sendiri tidak tercapai. Maka penelitian ini


(24)

9

hanya membatasi masalah pada proses penyusunan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses penyusunan peraturan daerah Kota Medan tentang pajak daerah

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan politik anggaran dalam penyusunan peraturan daerah Kota Medan tentang pajak daerah.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti bagi peneliti, pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan pemerintah diantaranya:

1. Bagi peneliti, untuk meningkatkan pengetahuan serta kemampuan khususnya dalam penelitian, sehingga mampu mengungkapkan permasalahan yang dihadapi.

2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, diantaranya mengenai berbagai aspek dari politik anggaran disektor pajak daerah. 3. Bagi masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan peran


(25)

10

pemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Serta diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran secara konseptual, khususnya kepada masyarakat maupun pemerintah yang berorientasi pada pengelolaan pajak daerah.

F. Kerangka Teori

Penelitian ini mendasarkan pada teori-teori yang relevan sehingga mendukung bagi tercapainya hasil penelitian yang ilmiah. Dasar teori yang digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini adalah teori tentang Politik Anggaran dan Kebijakan Publik. Teori-teori ini yang akan dijadikan peneliti sebagai dasar pemikiran dan menjadi acuan dalam melakukan penelitian.

F.1. Politik Anggaran

Secara teoritik, anggaran merupakan instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan roda kekuasaannya. Dalam praktiknya, anggaran tidak terlepas dari sejumlah kepentingan yang harus diakomodasi, sekaligus menjadi mediasi berbagai kebutuhan masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik anggaran adalah proses saling mempengaruhi diantara berbagai pihak yang berkepentingan dalam menentukan skala prioritas pembangunan akibat terbatasnya sumber dana publik yang tersedia5

5

Fridolin Berek, dkk. 2006. Kumpulan modul: Pendidikan Politik Anggaran Bagi Warga. Bandung: BiGS dan TiFA. Hal.213

. Politik Anggaran dapat juga diartikan sebagai proses penegasan kekuasaan atau kekuatan politik di antara


(26)

11

berbagai pihak yang terlibat dalam penentuan kebijakan maupun alokasi anggaran.

Politik anggaran menurut Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria diartikan sebagai berikut:

“Politik anggaran adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan didistribusikan, siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk meningkatkan pelayanan publik”6

Kedudukan dan domain politik anggaran selalu menjadi perdebatan oleh banyak kalangan. Persoalan anggaran dianggap sebagai persoalan pemerintah, kelembagaan, tatakelola, kewenangan, kekuasaan, norma ideologi, kebijakan dan pasar maupun persoalan sosial budaya serta politik jangka pendek. Defenisi ruang lingkup dan batasan politik anggaran sangat luas, dan berada dimana saja. Namun umumnya politik anggaran dianggap merupakan domain peran negara karena

.

Politik anggaran dapat dimaknai sebagai proses pengalokasian anggaran berdasarkan kemauan dan proses politik, baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Tidak dapat dihindari bahwa penggunaan dana publik akan ditentukan kepentingan politik. Dalam penentuan besaran maupun alokasi dana untuk rakyat senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh pejabat. Yaitu alokasi anggaran acap kali juga mencerminkan kepentingan perumus kebijakan terkait dengan konstituennya.

6


(27)

12

sebagai analisis kajian politik. Sehingga kekuatan politik menjadi aktor penting untuk merumuskan dan merencanakan anggaran7

Proses politik anggaran tidak menanyakan bagaimana anggaran seharusnya dibuat, tapi bagaimana ia sebenarnya dibuat. Sehingga dalam penganggaran juga merefleksikan sejenis kepolitikan tertentu

.

8

. Fokus analisisnya adalah pada setiap isu atau kebijakan, yang langsung ataupun tak langsung yang melibatkan kepentingan publik. Selain itu keterlibatan politik didalam penyusunan anggaran juga tercermin pada kegiatan yang melibatkan warga negara secara signifikan dalam sebagian atau seluruh dari proses pembuatan kebijakan khususnya dalam kebijakan penganggaran. Perdebatan politik tentang penyusunan anggaran tersebut bukan hanya antara eksekutif dengan lembaga legislatif tetapi juga dengan masyarakat luas dalam wacana politis dalam pengambilan keputusan akan kebijakan publik9

Dalam konteks demikian, kebutuhan atau kepentingan seringkali memiliki bobot prioritas yang relatif sama. Dari sanalah diperlukan pilihan-pilihan untuk memutuskan mana yang akan didanai terlebih dahulu. Tidak heran jika atas

.

Politik anggaran pada dasarnya menyangkut keputusan politik mengenai kondisi anggaran dan siapa yang berhak memutuskan dan yang menerima anggaran tersebut dan itu semua bermuara pada negara sebagai pemegang otoritas kekuasaan tertinggi. Sehingga dapat dijawab analisis politik anggaran adalah bagaimana anggaran untuk rakyat.

7

Aaron Wildavsky dan Naomi Caiden. Op. Cit. Hal.xxiv

8

Ibid. Hal.vi

9


(28)

13

pertimbangan itu pada akhirnya berbagai pihak dan kelompok kepentingan akan berebut pengaruh didalam memutuskan alokasi anggaran. Itulah yang disebut dengan anggaran sebagai medan tempur strategis dalam politik kebijakan pembangunan10

Perubahan era dan paradigma dalam sistem dan pengelolaan negara juga berdampak pada masalah anggaran sebagai jantung berjalannya program pelayanan negara terhadap rakyatnya, misalnya anggaran untuk siapa dan bagimana rakyat merasa sejahtera. Secara umum, anggaran diartikan sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan suatu institusi atau lembaga tertentu untuk suatu masa periode di masa yang akan datang. Dalam pengertian anggaran secara umum itu, tercakup baik pengertian anggaran negara, anggaran perusahaan maupun anggaran institusi atau lembaga lainnya. Anggaran negara adalah suatu pernyataan tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa datang, serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sesungguhnya terjadi di masa lalu

.

11

1. Pertama, anggaran adalah persoalan rumit dan rewel. Untuk memahaminya harus memiliki kecakapan dan tingkat pendidikan tertentu. Tidaklah mudah mementahkan anggapan yang mendarah daging itu karena anggaran memiliki struktur, sistem dan mekanisme yang biasanya hanya dimengerti oleh mereka dengan kecakapan khusus. Dalam banyak kasus

. Sejauh ini terdapat tiga mistifikasi terhadap anggaran:

10

Umar Alam Nusantara, dkk. 2010. Jalan Baru Pendidikan Politik Rakyat: Kumpulan Tulisan. Bandung: FDA Forum Diskusi Anggaran. Hal.11

11


(29)

14

terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, anggaran masih dipahami sebagai aturan formal dan sesuatu yang menggantungkan pihak aktor atau institusi kelembagaan negara dan secara yuridis anggaran sekedar dipahami sebagai aturan baku yang sudah ada.

2. Kedua, anggaran hanyalah urusan proyek-proyek pembangunan dan sumber finansial lainnya. Ujung-ujungnya pada keengganan pemerintah untuk keluar dari kungkungan cengkeraman indikator-indikator yang mengaburkan implikasinya pada kelompok masyarakat yang rentan. Kaum miskin dan warga rentan justru menjadi pemikul beban dari implikasi anggaran.

3. Ketiga, anggaran adalah semata-mata urusan yang boleh dimonopoli pemerintah. Setidaknya sejak merdeka hingga saat ini pemerintah selalu mendudukkan anggaran sebagai persoalan yang sangat eksklusif di wilayah monopoli mereka, tanpa ada ruang keterlibatan bagi masyarakat12.

Anggaran merupakan salah satu tahap yang harus dilalui dalam dalam perencanaan keuangan terutama sebagai pedoman dalam mengelola keuangannya. Tetapi karena proses penyusunan dan pertanggungjawaban anggaran tidak mungkin dipisahkan dari keterlibatan lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian sesungguhnya anggaran dapat pula berfungsi sebagai alat pengawas bagi

12


(30)

15

masyarakat terhadap pemerintah, sekaligus celah bagi terjadinya tarik ulur kepentingan diantara stakeholder tersebut.

Politik anggaran bukan hanya sekedar perwujudan pengelolaan keuangan negara tetapi merupakan wujud kedaulatan rakyat yang tanggung jawabnya berada ditangan pemerintah. Sebagai konsekuensi dari tanggung jawab tersebut, perlu upaya-upaya serius agar pejabat negara dapat melakukan pengelolaan keuangan negara/daerah dengan lebih berkualitas. Adanya ruang kepentingan politik terhadap anggaran negara dan anggaran daerah, maka seyogianyalah pengelolaan keuangan negara harus berbasis kinerja. Bukan hasil dari sulap-menyulap dari eksekutif dan legislatif. Adanya dinamika perkembangan pembaharuan dibidang politik baik ditingkat nasional maupun ditingkat daerah serta adanya perubahan perangkat hukum formal yang didasarkan atas prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang bersifat dinamis dan modern menunjukkan kebutuhan transparansi dan akuntabilitas didalam pengelolaan keuangan juga harus dilaksanakan.

F.2. Kebijakan Publik

Istilah policy (kebijakan) seringkali penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan, Undang-Undang ketentuan-ketentuan usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah


(31)

16

publik atau pemerintahan13. Secara umum, saat ini kebijakan lebih dikenal sebagai keputusan yang dibuat oleh lembaga pemerintah, yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalah-permasalahan yang terjadi dimasyarakat dalam sebuah negara14

Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu

.

15

Sedangkan pengertian publik; dalam bukunya, Islamy menjelaskan: Kata publik mempunyai dimensi arti agak banyak, secara sosiologis kita tidak boleh menyamakan dengan masyarakat

. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.

16

13

William N. Dunn. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Edisi II). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Hal.51

14

Ibid. Hal.32

15

Leo Agustino. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Hal.7

16

Islamy. 1998. Agenda Kebijakan Administrasi Negara. Malang: Universitas Brawijaya. Hal.23

. Perbedaan pengertian masyarakat diartikan sebagai “sistem antar hubungan sosial dimana manusia hidup dan tinggal secara bersama-sama”. Didalam masyarakat tersebut norma-norma atau nilai-nilai tertentu yang mengikat atau membatasi kehidupan anggota-anggotanya.


(32)

17

Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas17

Thomas R Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk menentukan langkah untuk “berbuat”atau “tidak berbuat” (to do or not to do). Defini Thomas ini kata Said zanal Abidin adalah hasil gabungan dari definisi yang dibuat David Easton, Lasswell dan Kaplean dan dari Carl Fredich. Carl J. Friedrich menyatakan kebijakan adalah serangkain konsep tindakan yang diusulkan oleh seorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu

.

18

1. Tujuan (goal)

. Carl Friedrich merinci apa-apa yang pokok dalam suatu kebijakan yaitu adanya :

2. Sasaran (objectives) 3. Kehendak (purpose)

Menurut Amara Raksasataya, kebijakan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada tiga unsur dalam mencapai suatu tujuan :

17

Hesel Nogi Tangkilisan. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Lukman Offset YPAPI. Hal.1

18


(33)

18 1. Identifikasi tujuan yang akan dicapai

2. Strategi untuk mencapainya (Apa yang dimaksud dengan strategi)

3. Penyediaan berbagai input atau masukan yang memungkinkan pelaksanaanya

Hugo Hegio, dalam said, menyatakan kebijakan sebagai suatu tindakan yang bermaksud mencapai tujuan (goal, end) tentu (a course of action intended to accomplish some end)19

William N. Dunn dalam bukunya “pengantar analisis kebijakan publik” seraya menunjuk tulisan Duncan Mac Rac, Jr. mengatakan analisis kebijakan,

. Perumusan kebijakan berarti penetapan langkah-langkah yang akan atau seharusnya ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan, misalnya Garis-Garis Besar Haluan Negara, Repelita, Rancangan Pembangunan Nasional, sedangkan “analisis kebijakan” adalah upaya evaluatif atau upaya “penilaian” bermuatan sorotan kritik dan sumbang-saran terhadap pelaksanaan sesuatu konsep kebijakan yang ditetapkan semula, misalnya evaluasi terhadap pelaksanaan konsep pembangunan nasional dan daerah.

Kegiatan analisis kebijakan juga bersifat audit yang sering diiringi tuntutan pertanggungjawaban atas suksesnya tidaknya pelaksanaan sesuatu konsep kebijakan. Kategori pertanggungjawaban itu, mungkin “politis” ataupun “yuridis” risiko kegagalan bertanggungjawab politis, umumnya risiko terhadap posisi jabatan. Tanggung jawab yuridis bisa berupa tanggungjawab secara hukum “keperdataan”, “pidana” atau secara hukum administrasi negara”.

19


(34)

19

melibatkan berbagai disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif20

Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik. Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Implementasi adalah suaturangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan

. Sebagai disiplin ilmu terapan (applied science), analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu social dan perilaku, tetapi juga administrasi public, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis sistem dan matematika terapan. Dari berbagai definisi diatas, pada dasarnya yang dimaksud dengan kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, untuk mengatasi masalah-masalah dalam masyarakat, bentuknya berupa Peraturan Perundang-Undangan atau program-program.

F.2.1. Implementasi Kebijakan Publik

21

20

William N. Dunn. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik(Edisi II). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Hal.97

21

Gaffar Afan. 2009. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.295

. Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan tersebut. Misalnya dari sebuah Undang-Undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Peraturan Daerah, menyiapkan sumber daya guna menggerakkan implementasi termasuk di


(35)

20

dalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana mengantarkan kebijakansecara konkrit kemasyarakat.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan Derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas22

G. Metodologi Penelitian

.

Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut.

G.1. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Dimana dalam penelitian ini hanya hendak memahami serta melakukan interpretasi

22

Riant Nugroho Dwijowijoto. 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta : Elex Media Komputindo. Hal.158


(36)

21

terhadap interaksi sosial diantara para aktor dalam sebuah konteks sosial, temporal, dan historis tertentu. Dengan kata lain, secara metode, penelitian ini sedikit atau bahkan tidak mengedepankan metode statistik dan matematik, tetapi memanfaatkan analisis verbal dan kualitatif.

Secara teori penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada quality atau hal terpenting dari sifat suatu barang/jasa. Hal terpenting dari suatu barang dan jasa berupa kejadian/fenomena/gejala sosial adalah makna dibalik kejadian tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori23

Selain itu, pendekatan ini menekankan sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk penyelidikan. Dalam penelitian ini mementingkan sifat penyelidikan yang sarat nilai. Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya

.

24

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Dimana dalam penelitian ini akan menggambarkan serta memaparkan tentang kondisi dan

fenomena-. Sehingga pada konteks tersebut, penelitian ini sangat cocok dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.

G.2. Jenis Penelitian

23

Djam’an Satori dan Aan Komariah, 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Hal.22

24

Norman K Denzin dan Yvonna S Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.34


(37)

22

fenomena sosial yang terjadi. Narbuko dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif25

Data yang dikumpul dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk data yaitu: Pertama, data primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian yang berupa tanggapan, saran, kritik, pertanyaan dan penilaian dari responden; penjelasan dan keterangan hasil pengamatan secara langsung atas pertanyaan penelitian. Data dapat diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara/interview. Adapun responden tersebut adalah orang-orang yang dijadikan dalam sumber data penelitian. Kedua, Data Sekunder yakni data yang diperoleh secara tidak langsung, didapatkan dari data atau arsip, media massa,

.

G.3. Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian berlokasi di Pemerintahan Kota Medan khususnya pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Medan, Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan dan serta lembaga/instansi terkait lainnya.

G.4. Teknik Pengumpulan Data

25


(38)

23

buku-buku, ataupun dokumen-dokumen, laporan serta sumber-sumber lainnya yang mendukung penelitian ini.

G.5. Teknik Analisa Data

Teknik analisis dan penafsiran data dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah yang direkomendasikan oleh Yin, yang menyatakan bahwa analisis data terdiri atas pengujian, pengkategorian, pentabulasian ataupun pengkombinasian bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal penelitian26

26

Robert K. Yin. 2014. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal.133

. Unsur mendeskripsikan lebih menonjol dalam kajian ini.

Setelah seluruh data didapat maka data yang relevan dan diperlukan diklasifikasi untuk disederhanakan kembali. Setelah semua data diperoleh dan diklasifikasikan, maka selanjutnya untuk penyusunan data. Tujuannya untuk memperoleh ketepatan data yang berkaitan dengan tema penelitian. Penyajian data dimulai dengan mengetengahkan data-data. Kemudian selanjutnya dengan memaparkan semua data tersebut dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan kerangka teoritik yang dipergunakan dalam penelitian ini. Dan validitas data ini diperkuat dengan teknik triangulasi data, yang berarti mengadakan cross and check antara sumber data maupun narasumber yang satu dengan yang lain. Sehingga signifikansi kesimpulan analisis penelitian dapat diperoleh.


(39)

24 H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas ataupun penjabaran mengenai rencana penelitian, untuk mempermudah didalam penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu penulis membagi penulisan kedalam 4 (empat) bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisikan mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Batasan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II : GAMBARAN UMUM LOKASI DAN OBJEK PENELITIAN Dalam bab ini akan menjelaskan sejarah kota Medan, pendapatan daerah, sejarah pajak di Indonesia.

BAB III : PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan menyajikan hasil penelitian tentang Proses Penyusunan dan Politik Anggaran dalam Penyusunan Peraturan Daerah Kota Medan tentang Pajak Daerah.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya.


(40)

25 BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI DAN OBJEK PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kota Medan

Kehadiran kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan sebagai “Medan” ini menuju pada bentuk kota metropolitan. Hari lahir kota Medan adalah 1 Juli 1590, sampai saat ini usia kota Medan telah mencapai 422 Tahun. Keberadaan kota Medan saat ini tidak lepas dari historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, kota Medan berkembang semenjak Guru Patimbus membangun kampung tersebut, Guru Patimbus adalah seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang puteri Datuk Pulo Brayan. Dalam bahasa Karo kata Guru berarti “Tabib“ atau “Orang Pintar“, kemudian kata “Pa“ merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata “Timpus” berarti bundelan., bungkus atau balut. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya.

Berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan kota Medan selanjutnya ditandai dengan perpindahan


(41)

26

Ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis menuju Medan tahun 1887, sebelum akhirnya status diubah menjadi Gubernemen yang dipinpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915. Secara historis, perkembangan kota Medan.

Sejak awal memposisiskannya menjadi jalur lalu lintas Perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Batubara, serta adanya kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembangannya, yang telah mendorong berkembangnya kota Medan sebagai Pusat Perdagangan sejak masa lalu.

Keberadaan kota Medan tidak lepas dari peran para pendatang asing yang datang ke Medan sebagai pedagang ataupun lainnya, peranan Nienhuys sebagai pemilik modal perkebunan tembakau yang berkawasan di daerah Marelan telah menjadi cikal-bakal pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau telah memindahkan pusat perdagangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang pada saat sekarang ini dikenal sebagai Kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan perkembangan perkembangan kota Medan seperti saat sekarang ini, sedangkan dijadikannya Medan menjadi Ibukota dari Deli juga telah mendorong Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini selain merupakan suatu wilayah kota juga sekaligus Ibukota Sumatera Utara.

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Provinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan


(42)

27

sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota/negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2012 diperkirakan telah mencapai 2.122.804 jiwa27. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional28

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951,

.

A.1. Keadaan Geografis Kota Medan

Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi).

27

Katalog BPS. 2013. Kota Medan dalam Angka. BPS Kota Medan. Hal.45

28


(43)

28

yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat.

Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.

Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

Secara administratif, wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat


(44)

29

Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

A.2. Keadaan Demografis Kota Medan

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu


(45)

30

keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan social ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian.

Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun.

Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi,


(46)

31

termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2008-2012

Tahun Jumlah Penduduk Luas Wilayah (KM Persegi)

Kepadatan Penduduk (KM Persegi)

2008 2.102.105 265,10 7.929,50

2009 2.121.105 265,10 8.001

2010 2.097.610 265,10 7.913

2011 2.117.224 265,10 7.987

2012 2.122.804 265,10 8007,56

Sumber: BPS Kota Medan29

Secara konstitusional Negara Indonesia di bagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil (Kota-Kabupaten). Masing-masing daerah pada dasarnya memiliki sifat otonom dan atministratif. Adanya daerah, menjadikan adanya pemerintahan daerah, pertimbangan situasional, historis, politis, psikologis dan Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

B. Kota Medan Dalam Dimensi Otonomi Daerah

29


(47)

32

tehnis pemerintahan, merupakan latar belakang pemikiran strategis perlunya pemerintahan daerah di Indonesia.

Suasana kejiwaan dan kebatinan inilah yang pada dasarnya menjadi semangat penyusunan dan diperlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, yang saat ini berlaku sebagai dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan prinsip demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Adanya pemerintahan daerah berkonsekuensi adanya Pemerintahan Daerah. Pemerintah Daerah Kota Medan adalah Walikota Medan beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai unsur penyalenggara pemerintah daerah. Secara garis besar struktur organisasi Pemerintah Kota Medan, dapat digambarkan sebagai berikut:


(48)

33 Bagan 2.1.

Organisasi Pemerintah Kota Medan

Sumber: Pemko Medan30

Fungsi Pemerintah Kota Medan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam lima (5) sifat, yaitu: (1) Pemberian pelayanan, (2) Fungsi pengaturan (penetapan Perda), (3) Fungsi pembangunan, (4) Fungsi perwakilan (dengan berinteraksi dengan Pemerintah Propinsi /Pusat), (5) Fungsi koordinasi dan perencanaan pembangunan kota. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, Pemerintah Kota Medan menyelenggarakan 2 (dua) bidang urusan yaitu:

30


(49)

34

1. Urusan pemerintahan teknis yang pelaksanaannya diselenggarakan oleh Dinas-dinas daerah (Dinas Kesehatan, Pekerjaan Umum) dan

2. Urusan pemerintahan umum, yang terdiri dari;

a. Kewenangan mengatur yang diselenggarakan bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan, sebagi Badan Legislatif Kota.

b. Kewenangan yang tidak bersifat mengatur (segala sesuatu yang dicakup dalam kekuasaan melaksanakan kesejahteraan umum), yang diselenggarakan oleh Wlikota/Wakil Walikota, sebagai pimpinan tertinggi Badan Eksekutif Kota.

Berdasarkan fungsi dan kewenangan tersebut, Walikota Medan membawahi (pimpinan Eksekutif tertinggi) seluruh Instansi pelaksana Eksekutif Kota.

B.1. Kewenangan Pemerintah Kota Medan

Harus diakui UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah menjembatani aspirasi dan semangat reformasi masyararakat lokal, yang menginginkan adanya keleluasaan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Secara filosofis, implimentasi otonomi daerah ternyata dapat mendorong daerah berkembang dengan prakarsa kreditivitas dan inisiatifnya sendiri, termasuk menumbuhkan partisipasi masyarakat, akuntabilitas, transparansi dan komitmen yang kuat untuk mendahulukan kepentingan bangsa dan negara.


(50)

35

Adanya keleluasan melaksanakan otonomi daerah, tercermin dari pola pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Semangat Undang-Undang No. 32 Tahun. 2004, telah menempatkan kewenangan pusat hanya pada aspek- aspek yang sangat terbatas seperti politik luar negeri, pertahanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lain yang tidak atau belum dapat diselenggarakan oleh daerah. Untuk itu, Kota Medan dituntut untuk mampu menyelenggarakan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah, meliputi administrasi pemerintahan umum, pertanian, perikanan dan kelautan, perindustrian dan perdagangan, koperasi, penanaman modal, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan ruang, pemukiman, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan dan olahraga.

Bagi Pemerintah Kota Medan, implementasi otonomi daerah diwujudkan dalam kewajiban Pemerintah Kota untuk menjamin pelayanan umum yang sangat mendasar kepada masyarakat dan dunia usaha, berdasarkan kewenangan dan bidang-bidang wajib yang dilaksanakan Pemerintah Kota. Secara terus menerus, Pemerintah Kota Medan memperbaiki mutu pelayanan umum yang ada, mulai dari identifikasi dan standarisasi pelayanan, peningkatan kerja pelayanan Pemerintah Kota, dan monitoring pelayanan. Usaha ini diharapkan mampu menciptakan pemberian pelayanan yang adil dan merata bagi seluruh pihak, baik masyarakat maupun dunia usaha yang bersifat lokal, nasional dan asing31

31

Pemko Medan. Op. Cit. Hal.25


(51)

36

B.2. Kemampuan Keuangan Daerah Kota Medan

Diberlakukannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas, fungsi dan peran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut berkonsekuensi, masing- masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif.

Untuk mendukung penyelenggaraan kewenangan, peran, fungsi, dan tanggung jawabnya. Pemerintah Kota Medan memiliki beberapa sumber pendapatan pokok, yaitu : (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (2) Dana Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah, (4) Lain- lain penerimaan yang sah. Sebagai daerah yang perkembangan ekonominya sangat didominasi sektor sekunder dan tertier, sumber pendapatan asli daerah sebagian besar diperoleh dari hasil pajak dan retribusi daerah. Bagi Pemerintah Kota Medan, pungutan pajak lebih didefinisikan sebagai cara memberikan kesejahteraan umum (redistribusi pendapatan) dari pada sekedar budgeter.

Walaupun ada kecenderungan peningkatan volume dalam PAD, namun diakui 70% sumber penerimaan Kota Medan di sektor publik masih berasal dari


(52)

37

alokasi pusat (dana perimbangan/dana alokasi umum). Hal yang menggembirakan dalam hal pembiayaan pembangunan kota adalah, jika sebelumnya sebagian besar program pembangunan yang disediakan oleh pemerintah pusat dialokasikan dalam bentuk dana Inpres (regional) maupun dana DIP (sektoral), maka saat ini sebagian besar sudah dalam bentuk bantuan spesifik (specific blok grant), dan blok grant yang lansung diterima dan dikelola oleh daerah.

Pemanfaatan sebagian besar dana perimbangan tersebut oleh Pemerintah Kota Medan digunakan untuk pengembangan jaringan infrastruktur kota terpadu, termasuk pemeliharaannya. Dengan keterpaduan tersebut infrastruktur yang dibangun benar-benar memperlancar arus barang dan jasa antar daerah sehingga dapat menggerakkan kegiatan sosial ekonomi warga Kota Medan. Kegiatan ekonomi yang berkembang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan Pemerintah Kota dalam pembiayaan pembangunan kota, sekaligus memperkecil ketergantungan Pemerintah Kota kepada Pemerintah Pusat32

Pajak dimasa lalu merupakan pungutan dari raja kepada rakyatnya yang bertempat tinggal di wilayah yang dikuasai oleh raja tersebut. Pemungutan pajak dimasa lalu hanya berdasarkan kehendak raja. Tetapi di era globalisasi saat ini, pemungutan pajak merupakan pungutan dari negara terhadap rakyatnya. Oleh karena itu banyak ahli yang membuat definisi pajak.

.

C. Pajak di Indonesia

32


(53)

38

Pajak bagi Wajib Pajak merupakan beban yang harus ditanggung dan akan mengurangi jumlah pendapatan yang akan diperoleh. Besarnya beban pajak yang akan dibayarkan tergantung pada besarnya pendapatan yang akan diperoleh, semakin besar pendapatan yang diperoleh, semakin besar pula pajak yang akan dibayar, sebaliknya demikian jika pendapatan rendah maka pajak yang akan dibayarkan juga rendah.

Menurut Andriani:

“Pajak merupakan iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, langsung dapat ditunjuk, dan berguna untuk membiayai berbagai pengeluaran umum terkait dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”33

Kebijakan perpajakan merupakan hasil dan muara dari dua ranah penting dalam proses demokratisasi, yaitu hubungan negara-masyarakat dan pusat-daerah. Bila penguatan demokrasi lebih bersifat substantif, keterkaitan demokrasi dengan kebijakan perpajakan bisa ditelusuri, ditemukan, dan dipahami. Maka dari itu,

.

Pengertian Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah : Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

33


(54)

39

penciptaan relasi antar aktor demokrasi dalam negara akan berhasil diciptakan. Sharing of authority (pembagian wewenang) antara negara dengan warganya dan sharing of power antara pusat dengan daerah terlihat dalam kebijakan perpajakan.

Bagan 2.2.

Pajak Sebagai Muara Hubungan Negara-Rakyat dan Hubungan Pusat-Daerah

Sumber: Edi Slamet Irianto34

Pajak merupakan salah satu alat penting untuk melihat bagaimana pola hubungan telah dibangun antara negara dan masyarakat. Pajak bisa mencerminkan tindak peran serta masyarakat dan kadar keabsahan negara di mata masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari pertumbuhan pembayar pajak dan pertumbuhan penerima pajak. hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 3 ayat (1) UU No.17 Tahun 2003 tentang keuangan negara yang menegaskan bahwa: “Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan Perundang-Undangan, efisien, ekonomis, efektif transparan, dan bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. Artinya bahwa dalam pengelolaan keuangan daerah yang

34

Edi Slamet Irianto. 2012. Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Pajak di Indonesia. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Hal.8

NEGARA (RULER)

PUSAT

RAKYAT (TAX PAYER)

DAERAH PAJAK


(55)

40

modern secara yuridis harus dituangkan dalam perangkat pengaturan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip “good financial government” yang berupa keterbukaan dan peran serta masyarakat35

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang

.

Partisipasi masyarakat dalam kebijakan perpajakan merupakan indikator penting bagi sebuah negara yang demokratis. Meskipun bukan satu-satunya indikator, partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan perpajakan mendorong demokratisasi di negara modern. Warga negara yang diberi beban membayar pajak tidak boleh bersifat pasif dalam membayar pajak. Rakyat wajib pajak dituntut keterlibatan aktifnya, tidak hanya yang berkaitan dengan kewajiban membayar pajak, tetapi juga berkaitan dengan perencanaan dan kebijakan perpajaan dalam arti yang luas. Partisipasi perpajakan juga ditentukan oleh kepemilikan warga. Tidak semua warga diberi beban berpartisipasi yang sama dalam pajak. Dengan demikian, pajak hanya dibebankan kepada kalangan yang memiliki sumber penghasilan, sumber kekayaan, dan harta benda yang diwajibkan oleh aturan Perundang-Undangan negara.

C.1. Pajak Daerah

35

Akmal Boedianto. 2010. Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: Laksbang Pressindo. hal: xiii


(56)

41

dapat dipaksakan berdasarkan peraturan Perundang-Undangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Apabila memperhatikan prinsip umum perpajakan yang baik dengan bertitik tolak dengan pendapat Adam Smith dan ekonom-ekonom Inggris yang lain, maka menurut Musgrave haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Penerimaan/ pendapatan harus ditentukan dengan tepat;

b. Distribusi beban pajak harus adil artinya setiap orang harus dikenakan pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya;

c. Yang menjadi masalah penting adalah bukan hanya pada titik mana pajak tersebut harus dibebankan, tetapi oleh siapa pajak tersebut akhirnya harus ditanggung.

d. Pajak harus dipilih sedemikian rupa untuk meminimumkan terhadap keputusan perekonomian dalam hubungnnya dengan pasar efisien.

e. Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebujakan fiskal untuk mencapai stabilitasi dan pertumbuhan ekonomi.

f. Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan tegas/ pasti serta harus dipahami oleh wajib pajak.

g. Biaya administrasi dan biaya-biaya lain harus serendah mungkin jika dibandingkan dengan tujuan-tujuan lain36

Untuk mempertahankan prinsip tersebut di atas, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

.

36


(57)

42

a. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dari ongkos pemungutannya;

b. Relatif stabil, artinya penerimaan pajak tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan ada kalanya menurun secara tajam;

c. Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay)37

Melihat definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pajak daerah merupakan pajak dalam konteks daerah yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota. Diatur berdasarkan Peraturan Daerah dan hasilnya untuk membiayai pembangunan daerah.

Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah, pajak daerah dibagi menjadi 2 (dua) yakni :

.

1. Pajak Daerah yang dipungut oleh Provinsi

2. Pajak Daerah yang dipungut oleh Kabupaten/Kota

Perbedaan kewenangan pemungutan antara pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota, yakni sebagai berikut : 1. Pajak provinsi kewenangan pemungutan terdapat pada Pemerintah Daerah

Provinsi, sedangkan untuk pajak Kabupaten/Kota kewenganan pemungutan terdapat pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

37


(58)

43

2. Objek pajak Kabupaten/Kota lebih luas dib.andingkan dengan objek pajak provinsi, dan objek pajak Kabupaten/Kota masih dapat diperluas berdasarkan peraturan pemerintah sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada. Sedangkan pajak provinsi apabila ingin diperluas objeknya harus melalui perubahan dalam Undang-Undang.

Perpajakan Daerah oleh K. J. Davey dapat diartikan sebagai berikut:

1. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri;

2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah;

3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah38

C.1.1. Jenis Pajak Daerah

Kriteria Pajak daerah secara spesifik dapat diuraikan dalam 4 (empat) hal yakni :

.

1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan yang dilaksanakan oleh daerah itu sendiri;

2. Pajak yang dipungut berdasarkan pengaturan dari pemerintah pusat tetapi penetapan besarnya tarif pajak oleh pemerintah daerah;

3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah itu sendiri;

38


(59)

44

4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat, tetapi hasil pemungutannya diberikan kepada pemerintah daerah.

Pajak daerah di Indonesia dapat di golongkan berdasarkan tingkatan Pemerintah Daerah, yaitu pajak daerah tingkat Provinsi dan pajak daerah tingkat Kabupaten/Kota. Penggolongan pajak seperti tersebut di atas diatur dalam Undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Pasal 2 ayat 1 dan 2) serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang obyek, subyek, dasar pengenaan pajak dan ketentuan tarif dari pajak daerah yang berlaku, baik sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Selanjutnya Pajak Daerah saat ini yang hak kewenangan pemungutnya dapat diklasifikasikan menurut wilayah pemungutan pajak dapat dibagi menjadi :

1. Pajak Daerah Provinsi, yaitu pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi, terdiri dari :

a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.


(60)

45

2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota, yaitu pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota, terdiri dari :

a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Reklame; d. Pajak Hiburan; e. Pajak Parkir;

f. Pajak Penerangan Jalan;

g. Pajak Pengambilan dan Pengelohan Bahan galian Golongan C

Tarif pajak Provinsi yang berlaku dalam rangka keseragaman akan diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang pajak daerah provinsi yang seragam ditentukan dalam suatu peraturan pemerintah. Dalam hal ini, yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

Sedangkan pajak daerah Kabupaten/Kota, khususnya yang menyangkut masalah tarif pajak Kabupaten/Kota ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan perlakuannya sama dengan tarif yang terdapat dalam Undang-Undang pajak daerah. Tarif tersebut merupakan tarif tertinggi yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam pemungutan pajak daerah.


(61)

46 C.1.2. Obyek Pajak Daerah

Pajak dapat dikenakan dengan satu syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah adanya objek pajak yang dimiliki atau dinikmati oleh wajib pajak. Pada dasarnya objek pajak merupakan manifestasi dari taatbestand (keadaan yang nyata). Dengan demikian, taatbestand adalah keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang menurut peraturan perundang-undangan pajak dapat dikenakan pajak. Kewajiban pajak dari seorang wajib pajak muncul (secara objektif) apabila ia memenuhi taatbestand. Tanpa terpenuhinya taatbestand tidak ada pajak terutang yang harus dipenuhi atau dilunasi. Ketentuan dalam Undang-undang No.18 Tahun 1997 maupun Undang-undang No.34 Tahun 2000 tidak secara tegas dan jelas menentukan yang menjadi objek pajak pada setiap jenis pajak daerah. Penentuan mengenai objek pajak daerah terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

C.1.3. Subjek dan Wajib Pajak Daerah

Pengertian subjek dan wajib pajak daerah dalam pemungutan pajak daerah, merupakan dua istilah yang kadang disamakan walaupun sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda. Dalam beberapa jenis pajak , subjek pajak identik dengan wajib pajak yakni setiap orang atau badan yang memenuhi ketentuan sebagai subjek pajak diwajibkan untuk membayar pajak sehingga secara otomatis menjadi wajib pajak seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. Sementara itu pada beberapa jenis pajak daerah, pihak


(1)

88

politik arena perebutan sumber daya publik antara berbagai kepentingan, baik aktor‐aktor di dalam lingkaran sistem politik yang berlaku maupun kelompok kepentingan lain yang memiliki pengaruh terhadap keputusan politik anggaran, seperti yang tercermin dari hasil penelitian penulis bahwa terjadi kejanggalan antara alasan Pemko Medan, dengan fakta temuan dilapangan oleh DPRD yang justru menimbulkan dugaan negatif oleh DPRD terhadap Pemko Medan yang ingin mengakomodir kepentingan pengusaha.

Dalam proses revisi terhadap Perda Kota Medan No.7 Tahun 2011 eksekutif dan legislatif tidak sejalan, DPRD Kota Medan tidak menemukan substansi revisi Pajak Hiburan. Pansus tidak menemukan adanya substansi antara perlunya dilakukan revisi sejumlah tarif pajak hiburan. Usulan Pemerintah Kota Medan tidak didukung dengan data yang akuntabel dan akurat yaitu data sejumlah pengusaha hiburan yang melayangkan keberatan dan jumlah pengusaha yang datang mengajukan keberatan hanya tiga orang sehingga belum mewakili seluruh pengusaha hiburan di Kota Medan. Sehingga tetap menggunakan Perda lama yang masih dianggap efektif dalam menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena tarif pajak hiburan Kota Medan masih berada dalam batasan yang wajar sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

. B. Saran

Keprofesionalan dan kearifan pemerintah sangatlah dibutuhkan. Partisipasi masyarakat khususnya dalam pembuatan naskah akademik dan rancangan


(2)

89

peraturan daerah merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh jajaran pemerintahan Kota Medan agar sesuai dengan asas-asas pembuatan Perda yang baik dan sejalan dengan hakikat kebijakan publik. Partisipasi masyarakat tidak hanya menguntungkan masyarakat namun juga pemerintah, sebab masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya dan juga untuk menjamin hak demokrasi masyarakat dalam pembangunan masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat juga merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan pemerintah akan sulit berhasil.

Pengajuan revisi peraturan daerah hendaknya didukung oleh data yang akuntabel dan akurat serta berlandaskan kepentingan bersama tanpa adanya dorongan kepentingan pihak-pihak tertentu saja, agar tidak muncul dugaan-dugaan, indikasi negatif, dan kesalahpahaman antara eksekutif dan legislatif maupun masyarakat. Para perancang Perda perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tertentu, sehingga diperlukan kerjasama diantara beragam aktor


(3)

90

yang terlibat khususnya eksekutif, legislatif bersama dengan masyarakat demi terwujudnya kepentingan bersama.


(4)

91

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abidin, Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Afan, Gaffar. 2009. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Berek, Fridolin, dkk. 2006. Kumpulan modul: Pendidikan Politik Anggaran Bagi Warga. Bandung: BiGS dan TiFA.

Boedianto, Akmal. 2010. Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Davey, K.J. 1988. Pembiayaan Pemerintahan Daerah. Jakarta: Universitas Indonesia.

Denzin, Norman K dan Yvonna S Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Diana Conyers. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Dirjen Peraturan Perundang-Undangan dan UNDP. 2008. Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah.

Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Irianto, Edi Slamet. 2014. Pengantar Politik Pajak. Jakarta: Observation & Research of Taxation.

______. 2012. Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Pajak di Indonesia. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Islamy. 1998. Agenda Kebijakan Administrasi Negara. Malang: Universitas Brawijaya.


(5)

92

Katalog BPS. 2013. Kota Medan dalam Angka. BPS Kota Medan.

Manan, Bagir. 2004. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press. Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi

Aksara.

Nusantara, Umar Alam, dkk. 2010. Jalan Baru Pendidikan Politik Rakyat: Kumpulan Tulisan. Bandung: FDA Forum Diskusi Anggaran.

Pemko Medan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Tahun 2006-2010 Kota Medan.

Priantara, Diaz. 2012. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media. Satori, Djam’an dan Aan Komariah. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif.

Bandung: Alfabeta.

Soemitro, Rochmat. 1991. Asas dan Dasar Perpajakan I. Bandung: Eresco.

Syaukani, dkk. 2010. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Lukman Offset YPAPI.

Wildavsky, Aaron dan Naomi Caiden. 2012. Dinamika Proses Politik Anggaran. Penerjemah: Suraji dan Sufiansyah. Yogyakarta: Matapena Consultindo. Yin, Robert K. 2014. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Jurnal:

Farhan, Yuna. 2013. “Transparansi, Partisipasi, dan Demokrasi”. Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Nomor 5, Februari 2013. Jakarta: Yayasan Perludem.

Undang-Undang:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


(6)

93

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan

Website:

2014.

Oktober 2014.

pada 5 Oktober 2014.

Oktober 2014

diakses pada 6 Oktober 2014

6 Oktober 2014


Dokumen yang terkait

Implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket

0 59 102

Prosedur Pengujian Kendaraan Umum Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 4 Tahun 2012 Ditinjau Dari Aspek Hukum Administrasi Negara (Studi Di Kabupaten Karo)

4 84 97

Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan )

3 62 199

Analisis Penerapan Penuh Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) Berbasis Akrual (Kasus Pada Pemerintah Kota Medan)

18 162 123

Implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Perizinan Usaha Warnet (Tinjauan Kebijakan Sosial Untuk Mencegah dan Mengatasi Perilaku Menyimpang Pengguna Warnet)

5 93 159

Implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket

3 76 102

Pengangsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak Hiburan Pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan Menurut Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan

0 0 7

Politik Anggaran Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Kota Medan Tentang Pajak Daerah (Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan)

0 0 23

Politik Anggaran Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Kota Medan Tentang Pajak Daerah (Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan)

0 1 24

Politik Anggaran Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Kota Medan Tentang Pajak Daerah (Studi Kasus: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan)

0 1 13