Gambar 2.1 Patofisiologi GPPH Taylor Barke, 2008
C. Faktor Neurobiologis
Anak-anak dengan GPPH tidak terbukti mengalami kerusakan berat di otak. Hal ini dijelaskan dengan banyaknya anak dengan kelainan neurologis
yang disebabkan oleh trauma kapitis berat justru tidak menunjukkan adanya gejala-gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Hasil
penelitian 10-15 tahun terakhir ini mendukung adanya pengaruh gangguan perkembangan neurologis yang mempengaruhi timbulnya gejala GPPH.
Penelitian dengan Computerized Tomography Scan CT Scan dan Magnetic Resonance Imaging MRI telah membuktikan bahwa ada beberapa tempat
di otak yang berfungsi abnormal pada individu dengan GPPH yaitu hubungan
antara circuit
cortical-striatal-thalamic-cortical CSTC
Feldman Reiff, 2014. Hasil pemeriksaan Positron Emission Tomography Scan PET Scan
pada anak dengan GPPH didapatkan penurunan metabolisme gluose di korteks prefrontal dan frontal terutama sebelah kanan. Penelitian dari
National Institute of Mental Health di USA juga menunjukkan bahwa area globus pallidus dan nucleus caudatus secara bermakna lebih kecil pada anak
ADHD daripada anak normal Stahl Mignon, 2009. 2.1.4 Diagnosis GPPH
Diagnosis GPPH didasarkan pada riwayat klinis yang didapat dari wawancara dengan pasien dan orangtua serta informasi dari guru. Kriteria
Diagnostik GPPH menurut DSM-5, dari panduan diagnosis American Psychiatric Association 2013, sesuai dengan kriteria di bawah ini:
A. Gejala Utama GPPH
Gambaran Utama GPPH adalah adanya pola menetap dari gejala kurangnya perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas yang bersifat maladaptif dan tidak
sesuai dengan tahap perkembangan anak. GPPH diawali pada masa anak-anak, beberapa gejala nampak sebelum usia 12 tahun dan terlihat pada minimal dua
tempat yang berbeda misalnya di rumah, sekolah, atau tempat kerja. GPPH dapat ditegakkan apabila terdapat minimal enam gejala dari kurangnya perhatian,
hiperaktivitas dan impulsivitas minimal dalam enam bulan.
Penilaian adanya gejala GPPH memerlukan informasi dari orang yang melihat individu ini sehari-hari, karena pada suasana hati dimana individu dengan
GPPH itu mendapatkan pujian, atau dalam pengawasan, atau melakukan kegiatan yang menarik dan menyenangkan, semua menunjukkan gejala.
Terdapat salah satu atau dua di antara gejala di bawah ini yang menonjol, yaitu: 1.
Tidak mampu memusatkan perhatian inattention Penyandang GPPH menunjukkan kesulitan memusatkan perhatian
dibandingkan anak dengan umur dan jenis kelamin yang sama. Gejala yang dapat diamati berupa: sering gagal memberikan perhatian penuh sampai
terperinci atau selalu membuat kesalahan saat melakukan aktifitas pekerjaan di sekolah, tempat pekerjaan atau aktifitas lain, sering mengalami kesukaran
dalam mempertahankan perhatian dalam tugas tertentu atau aktifitas bermain mudah bosan, sering nampak tidak mendengarkan apabila diajak bicara,
tidak mengikuti perintah dengan sungguh-sungguh dan selalu gagal dalam menyelesaikan tugas, kesulitan mengatur tugas-tugas dan aktifitasnya, sering
menghindar terhadap tugas-tugas yang memerlukan perhatian mental cukup lama, sering kehilangan barang-barang alat tulis pensil, buku, mainan,
perhatian mudah teralih oleh rangsangan dari luar, sering melupakan aktifitas sehari-hari.
Pemusatan perhatian adalah suatu kondisi mental yang berupa kewaspadaan penuh alertness, sangat berminat aurosal, selektivitas,
mempertahankan perhatian sustained attention, dan rentang perhatian attention span. Individu dengan gangguan pemusatan perhatian
menunjukkan kesulitan dalam kemampuan-kemampuan tersebut. Keunikan mereka adalah mampu mempertahankan perhatian sangat fokus apabila
mengerjakan hal-hal yang diminatinya. Ini merupakan potensi baik yang ada pada penyandang GPPH, sering dikatakan sebagai selective inattention.
2. Hiperaktivitas – impusivitas
Hiperaktivitas paling sering dijumpai sebagai kegelisahan dengan tangan atau kaki sering bergerak-gerak saat duduk, meninggalkan tempat
duduk saat ada di dalam kelas atau situasi lain dimana memerlukan duduk diam, sering lari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang
tidak sesuai, kesukaran dalam mengikuti permainan atau aktifitas yang membutuhkan ketenangan, berbicara berlebihan, selalu bergerak atau
aktifitas seolah-olah mengendarai sepeda motor, menjawab sebelum pertanyaan selesai diutarakan, sukar menunggu giliran bermain, sering
interupsi saat diskusi Association, 2013. Gejala hiperaktivitas bukan merupakan gejala yang terpisah dari
impulsivitas. Anak dengan GPPH pada umumnya tidak mampu menghambat tingkah lakunya saat merespon rangsangan dari luar dirinya,
itulah yang disebut impulsivitas. Perilaku anak dengan GPPH sehari-hari seperti tidak sabar, sulit menunggu giliran, jengkel bila keinginannya tidak
terpenuhi, usil, mengganggu anak lain, melakukan sesuatu tanpa berpikir dahulu, terlalu cepat memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai
ditanyakan. Perilaku impulsif tersebut yang membuat individu dengan GPPH sering melakukan kesalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi,
dan cepat bosan. Gaya bicara yang spontan, kurang memperdulikan perasaan orang lain dan konsekuensi sosial yang terjadi. Anak dengan
GPPH sering dianggap kurang bertanggung-jawab, tidak dapat mengendalikan diri, kekanak-kanakkan, mementingkan diri sendiri, malas,
tidak sopan atau nakal, sehingga sering mendapatkan hukuman, kritikan, teguran atau tidak disukai oleh teman-temannya Juniar Setiawati,
2014. Berdasarkan gejala yang menonjol, GPPH dibagi menjadi tiga sub tipe
yaitu tipe kurangnya perhatian, tipe hiperaktivitas-impulsivitas, dan tipe kombinasi Saputro, 2012; Association, 2013.
B. Deteksi Dini GPPH
Mendeteksi GPPH
diperlukan informasi
tentang riwayat
perkembangan serta observasi perilakunya sehari-hari dirumah, disekolah, maupun di berbagai tempat, karena saat di klinik anak dengan GPPH sering
menunjukkan perilaku yang baik, sehingga tidak ditemukan gejala GPPH. Dampak negatif pada fungsi sehari-hari anak, baik dirumah, maupun di
lingkungan yang lain serta kesulitan yang dialami anak perlu dipastikan dari informasi orangtua, guru maupun pengasuh anak Juniar Setiawati, 2014.
Kuisioner yang berupa skala penilaian perilaku rating scale untuk penapisan GPPH yang disusun sesuai dengan kriteria diagnosis, dapat
dijadikan bahan untuk diisi atau dijawab oleh orangtua atau guru. Skala ini menggambarkan keadaan anak sehari-hari, apabila laporan dari orangtua
atau guru menunjukkan adanya gejala GPPH dan menimbulkan kegagalan
fungsi atau apabila nilai total skor dari skala penilaian perilaku tersebut melampaui batas cut-off score, maka anak tersebut dapat dideteksi sebagai
anak beresiko tinggi untuk terjadinya GPPH Juniar Setiawati, 2014. Dua kuisioner skala penilaian yang dapat digunakan untuk keperluan
skrining GPPH, yaitu Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia SPPAHI, dan
Abbreviated Conner’s Teacher Rating Scale ACTRS yang telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia Saputro D., 2009.
2.1.5 Penanganan pada anak dengan GPPH GPPH merupakan kondisi berbasis biologis, sehingga memerlukan
pharmacologis agent untuk memperbaiki gejalanya selain terapi non farmakologis. Anak dengan GPPH memerlukan penanganan yang efektif dengan
kombinasi penanganan terapi obat-obatan dan terapi perilaku. Orangtua anak dengan GPPH diberikan edukasi tentang kondisi anak dengan GPPH dan
penyebabnya, sehingga mereka dapat berperan aktif dalam menangani anak di rumah. Pengasuhan anak dengan GPPH dengan tehnik reinforcement positif pada
anak contohnya: memberikan pelukan atau hadiah atau sistem poin apabila anak berperilaku baik. Anak yang menunjukkan perilaku tidak baik akan diberikan
konsekuensi ringan seperti tidak boleh bersepeda atau menonton televisi. Orangtua wajib memonitor atau melakukan observasi pada anak baik diluar
maupun didalam rumah, sehingga diharapkan orangtua memiliki strategi cara mengatasi masalah anak dan cara bermusyawarah dengan anak Warsiki, 2010.
Program yang melibatkan guru-guru di sekolah juga diharapkan mampu berperan dalam mengembangkan keterampilan anak dalam area penyelesaian masalah
tingkah lakunya, bagaimana caranya mengatasi kemarahannya, keterampilan interaksi sosial dengan teman atau lingkungannya, kemampuan komunikasi
dengan sekelilingnya. Program sekolah ini memberikan kesempatan pada guru dan orangtua untuk memusatkan perhatian pada masalah spesifik yang dialami
anak atau remaja Tresco dkk., 2010. 2.2.
Depresi
2.2.1. Definisi Depresi Depresi adalah suatu kondisi terganggunya aktifitas kehidupan selama dua
minggu atau lebih yang berhubungan dengan alam perasaan yang sedih, diikuti dengan gejala penyerta, termasuk gangguan pola tidur, gangguan nafsu makan,
gangguan psikomotor, gangguan konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta keinginan bunuh diri OConnor, 2013.
Gangguan depresi ditandai oleh perasaan kesedihan, berkurangnya kesenangan, kehilangan energi, perasaan tidak berguna, menurunnya kemampuan
berfikir dan konsentrasi, pikiran berulang mengenai kematian sampai pada munculnya waham dan halusinasi serta kemungkinan adanya tindakan bunuh diri
Sadock dkk., 2015. Gangguan depresi mayor menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders Fifth Edition DSM-5 2013 memenuhi kriteria: A.
Lima atau lebih dari beberapa gejala dibawah ini yang berlangsung setidaknya dalam dua minggu dan menunjukkan adanya gangguan dalam
fungsi, minimal salah satu dari gejala 1 mood depresi atau 2 kehilangan minat dan kesenangan.
1. Mood depresi yang muncul hampir setiap hari, perasaan sedih, kosong,
putus asa. 2.
Kehilangan minat atau kehilangan rasa nikmat terhadap semua, atau hampir semua kegiatan sebagian besar waktu dalam satu hari, atau
bahkan hampir setiap hari ditandai oleh laporan secara subyektif atau berdasarkan pengamatan orang lain.
3. Kehilangan berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau
bertambahnya berat badan secara signifikan misalnya: perubahan berat badan lebih dari 5 berat badan sebelumnya dalam satu bulan.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5. Kegelisahan atau keterlambatan psikomotor hampir setiap hari dapat
diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subyektif akan kegelisahan atau merasa lambat.
6. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau
tidak wajar bisa merupakan delusi yang dialami hampir setiap hari. 8.
Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi atau sulit dalam membuat keputusan hampir setiap hari ditandai oleh
laporan subyektif atau pengamatan orang lain. 9.
Berulangkali muncul pikiran akan kematian bukan hanya takut mati, berulang kali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang
jelas, atau usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk mengakhiri nyawa sendiri.
B. Semua gejala klinis ini akibat dari adanya distress yang signifikan atau
gangguan dalam sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. C.
Episode ini tidak diakibatkan oleh efek psikologis dari penggunaan zat atau kondisi medis lainnya.
D. Tidak memenuhi kriteria gangguan skizoafektif, dkizofrenia,
skizofreniform, gangguan waham, spektrum skizofrenia tidak spesifik atau spesifik lainnya dan gangguan psikotik lain.
E. Tidak pernah ada episode manik atau hipomanik.
Gangguan depresi selain dengan kriteria diagnostik, untuk keperluan skrining dapat dilakukan dengan memakai skala penilaian seperti Beck Depression
Inventory-II BDI-II yang merupakan skala pengukuran interval yang mengevaluasi 21 gejala depresi. Instrumen ini cocok dan mudah dilakukan untuk
melakukan skrining awal pada populasi tertentu. 2.2.2. Etiologi Depresi
Depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: faktor genetik, faktor biologi dan faktor psikososial Birrel, 2013:
a. Faktor Genetik
Hasil penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa risiko untuk mengalami depresi antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu
yang menderita depresi berat unipolar diperkirakan dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Faktor yang signifikan
dalam perkembangan depresi adalah genetik. Hasil penelitian pada anak kembar terhadap gangguan depresi berat menunjukkan bahwa kembar
monozigot memiliki insiden komorbiditas 54 lebih besar dan kembar dizigot memiliki insiden 24 lebih besar Feldman Reiff, 2014.
b. Faktor Biologi
Ketidakseimbangan zat-zat kimia di dalam sel otak akan memicu timbulnya depresi. Kelainan pada amin biogenic di dalam darah, urin,
cairan cerebrospinal terjadi pada pasien depresi. Amin biogenic yang berubah yaitu 5- Hidroksi Indol Asetic Acid 5-HIAA, Homovanilic Acid
HVA, 5-Methoxy-0-Hydroksi Phenil Glikol MPGH. Neurotransmitter yang berperan dalam patologi depresi adalah serotonin dan epinephrine.
Penurunan serotonin dapat menimbulkan depresi Sadock dkk., 2015. Norepinephrine berhubungan dengan menurunnya regulasi reseptor B-
adrenergik dan respon antidepresan yang secara klinis merupakan indikasi dari peran sistem noradrenergic dalam depresi Birrel, 2013. Hormon
esterogen dan progesteron dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku dengan mempengaruhi norepinephrine, serotonin, dopamin, asetilkolin.
Perubahan hormon esterogen dan progesteron yang menurun membuat perempuan mudah mengalami gangguan mood, khususnya depresi Stahl
Mignon, 2009. c.
Faktor Psikososial Pendapat Freud 1917 dalam Sadock dkk., 2015 menyatakan bahwa
penyebab depresi adalah suatu hubungan antara kehilangan objek yang dicintai. Kemarahan pasien depresi mengarah pada diri sendiri untuk
mengidentifikasikan objek yang hilang tersebut Arista, 2014. Faktor
psikososial yang diperkirakan sebagai penyebab depresi adalah hilangnya peran sosial, penurunan kesehatan, penyakit kronis, isolasi diri,
kemiskinan, penurunan fungsi kognitif dan kurangnya dukungan keluarga. Faktor kepribadian apapun dapat sebagai faktor predisposisi terhadap
depresi. Peningkatan risiko terjadinya depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti: usia, jenis kelamin, status pernikahan, kehilangan pekerjaan dan pendapatan rumah tangga, dukungan keluarga, pendidikan, dan suku. Depresi
lebih mudah terjadi pada orang dewasa muda, dengan jenis kelamin perempuan dan pada individu yang memiliki pendidikan yang rendah Arista, 2014.
2.3 Depresi Pada Ibu